MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 12 November 2025

KAJIAN TENTANG MENGKRITISI KITAB TADZKIR AN-NAS YANG PENUH KISAH KHURAFAT




Kitab “Tadzkir An-Nas” tergolong kitab sufi yang mengungkap kisah karomah para wali namun penuh dengan khurafat. Meskipun saya belum mendalami lebih jauh biografi pengarangnya yaitu Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas.

Sepengetahuan saya, kitab sufi yang lebih aman adalah “Ihya’ Ulumiddin” karya Al-Ghazali. Penulisnya ahli fikih, sehingga berusaha tidak keluar jalur syariat. Fokusnya pembersihan jiwa dan sejalan dengan perintah Al-Qur’an untuk menyucikan diri dan jiwa. Kalaupun ada kekurangan di dalamnya, seperti adanya hadits-hadits dhoif dan maudhu’, maka masih bisa ditambal dengan “Al-Mughni ‘an Hamli Al-Asfar” karya Al-‘Iraqi yang mentakhrij kitab “Ihya' Ulumiddin” dan menjelaskan kualitas hadits-haditsnya.

Adapun kitab Tadzkirun Nas, ada sejumlah kisah konten yang mengkhawatirkan karena akan membentuk alam pikir yang mundur bagi umat islam, memuja karomah secara salah, dan mengelu-elukan wali secara tidak proporsional.

Sebagai contoh kisah yang terdapat di halaman 154 dikisahkan,

وحكى سيدي عن الحبيب عبد الله بن عمر بن يحيى أنه لما وصل إلى مَليبَار. دخل على الحبيب علوي بن سهل، فرأى في بيته تصاوير طيور وديكة وغيرها، فقال: يا مولانا إن جدكم صلى الله عليه وسلم يقول: يُكلّف صاحبُ التصاوير يوم القيامة أن ينفخ فيها الروح، فقال له الحبيب علوي: عاد شيءٌ غيرُ هذا؟ فقال: لا، فنفخ الحبيب علوي تلك التصاوير، فإذا الديكةُ تصرُخ، والطيورُ تغرّد، فسلّم الحبيب عبد الله بن عمر له حالَه.

Syaikh menceritakan tentang Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, bahwa ketika beliau tiba di Malibar, beliau mengunjungi Habib Alawi bin Sahal. Di rumah Habib Alawi, beliau melihat gambar-gambar burung, ayam jantan, dan lain-lain.

Habib Abdullah berkata, "Wahai tuan, bukankah kakekmu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda, 'Pemilik gambar-gambar akan diminta untuk meniupkan ruh ke dalamnya pada hari kiamat'?"

Habib Alawi menjawab, "Apakah ada yang lain selain itu?"

Habib Abdullah menjawab, "Tidak."

Maka, Habib Alawi meniupkan napas ke gambar-gambar itu, dan tiba-tiba ayam-ayam jantan itu berkokok, dan burung-burung itu bernyanyi. Habib Abdullah bin Umar sangat mengagumi kejadian itu dan menyerahkan urusannya kepada Habib Alawi." (Tadzkir An-Naas, Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Zawiyah Al-Idrus Al-Ilmiyah hal.154).

Pada halaman 201-202 ada kisah turunnya mangkok emas dari langit,

قال سيدي ولما توفي سيدنا الشيخ عمر المخضر اراد السادة تريم ان يجعلوا سيدنا عيدروس نقيبا عليهم فأبى بن ذالك, فقالوا له ما احد يجى به, الا شيخه السيد محمد بن حسن جمل الليل فأخبروه، فدعا به، وقال له أخل النقابة، واشترط على حالته، فقال واشترط على ما شئت فقال اشترط عليك ثلاثة شروط، الأول أن يكون منصبى معموراً إلى يوم القيامة، الثاني أن لا يطاول أولادي أحد ويغالبهم، إلا طالوا عليه وغلبوه، الثالث أحوال الأولياء الاحياء والموتى جميعها تندرج في صدري، فقال له وهذه الخصلة لم طلبتها، فقال من أراد أن ينصرف فى من الأولياء قابلته بحاله فتمم له بها.  

ولما توفي سيدنا الشيخ أبو بكر بن سلام اجتمع أولاده للنشاور، فيمن يكون الخليفة بعده، فاجتمع رأيهم على أن يجتمعوا فى شعب, ومن ظهرت فيه العلامة يكون هو الخليفة، فظهرت طاسة ملانة ماء عند الحسين فشربوا كلهم منها, وقالوا له انت الخليفة.  

قال جامع هذه النبذة وقد روأيت فيها جمعه السيد الجليل محسن بن عبد الله السقّاف، من كلام سيدي الحبيب علي بن محمّد الحبشي ما نصه ولما توفي سيدنا الشيخ أبو بكر بن سالم قال كل واحد من أولاده إختلافة عندي، فقالت لهم أمهم كلكم فيكم البرمة، ولكن من ظهرّت الكرامة على يديه فهو الخليفة، فطلعوا إلى وادي عينات وفرش كل واحد سجّادته في ناحية وصلى، فنزلت على الشيخ عمر من السماء طاسة من ذهب، وسلسلتها من ذهب، فدعا إخوانه وأراهم هذه الكرامة، وقال لهم هل عندكم شيء من ذلك، قالوا لا فسلموا له، فقال الحبيب حسين، إني صحبت أخي عمر، ولا أعتقد أني أخوه, بل أعتقد أني مملوك له لكن صارت الخلافة إليه بعده وأقبلت عليه الدنيا والأخرى انتهى.  

Syaikh berkata, "Ketika Syaikh Umar Al-Mukhdar wafat, para sayyid di Tarim ingin mengangkat Syaikh Aydrus sebagai pemimpin mereka, tapi beliau menolak. Mereka berkata, "Tidak ada yang bisa membujukmu kecuali Syaikh Muhammad bin Hasan Jamalullail."

Maka, mereka memberitahu Syaikh Muhammad, dan beliau memanggil Syaikh Aydrus. Syaikh Aydrus berkata, "Saya akan menerima jabatan ini dengan syarat-syarat tertentu."

Syaikh Muhammad berkata, "Apa saja syaratmu, saya terima."

Syaikh Aydrus berkata, "Saya memiliki tiga syarat:

1. Jabatan saya harus tetap terisi sampai hari kiamat.

2. Tidak ada yang bisa menandingi anak-anak saya, kecuali mereka bisa mengalahkan saya.

3. Semua keadaan para wali, baik yang hidup maupun yang mati, harus masuk ke dalam hati saya."

Syaikh Muhammad berkata, "Mengapa kamu meminta syarat ini?"

Syaikh Aydrus menjawab, "Saya ingin bisa menghadapi siapa saja yang ingin menentang para wali."

Syaikh Muhammad berkata, "Baiklah, saya terima syaratmu."

Ketika Syaikh Abu Bakar bin Salim wafat, anak-anaknya berkumpul untuk membicarakan siapa yang akan menjadi penggantinya. Mereka sepakat untuk berkumpul di sebuah lembah dan siapa yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran akan menjadi khalifah.

Maka, sebuah mangkuk berisi air muncul di depan Syaikh Husain, dan mereka semua minum dari mangkuk itu. Mereka berkata, "Kamu adalah khalifah."

Penulis kitab ini, Syaikh Muhammad bin Hasan Jamalullail, meriwayatkan bahwa Syaikh Abu Bakar bin Salim wafat, dan anak-anaknya berkata, "Setiap orang di antara kami memiliki pendapat sendiri tentang siapa yang akan menjadi khalifah."

Ibu mereka berkata, "Kalian semua memiliki kemampuan, tapi siapa yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran (karomah), dialah khalifah."

Mereka pergi ke wadi (lembah) Ainat, dan setiap orang meletakkan sajadahnya di tempat yang berbeda dan shalat. Mangkuk emas turun dari langit ke kepada Syaikh Umar, dan dia memanggil saudara-saudaranya dan menunjukkan tanda-tanda kebesaran (karomah) itu kepada mereka.

Syaikh Husain berkata, "Saya telah bersahabat dengan saudara saya Umar, dan saya tidak percaya bahwa saya adalah saudaranya, tapi saya percaya bahwa saya adalah hambanya. Tapi, khilafah jatuh kepadanya setelah ayah kami wafat." (Tadzkir An-Naas, Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Zawiyah Al-Idrus Al-Ilmiyah hal.201-202).

Sementara pada halaman 206 ada seorang yang melihat jenazahnya Habib Shalih saat mau dimakamkan sebagai wali dan bahkan temannya melihatnya sebagai seorang nabi,

وكان سلفنا إذا قدم عليهم وليٌّ يعظِّمونه في عيوننا حتى نُرى كأنه نبي من كبره في صدورِنا، ولما كان وقت دفن الحبيب صالح قال رجلٌ من أهل حَبْرَة، وهي قرية بوادي عمد لصاحبه: أرى أنَّ هذا السيد وليٌّ، فقال له صاحبه منكِرًا عليه عدم معرفته بالحبيب صالح، وليٌّ، هو إلاَّ نبيٌّ. 

وكان الحبيب أبو بكر بن عبد الله حاضرًا، يسمع كلامهما، فَضَحِك، حتى استغرق فى الضحك، متعجبًا من هذه الكلمة.  

Para leluhur kami, jika ada seorang wali yang datang, mereka akan mengagungkannya di mata kami, sehingga kami melihatnya seperti seorang nabi di hati kami karena kebesarannya (karomahnya).

Ketika waktu pemakaman Habib Shalih tiba, seorang laki-laki dari Habra, sebuah desa di Wadi (lembah) Amad, berkata kepada temannya, "Aku melihat bahwa sayyid ini adalah seorang wali."

Temannya menjawab dengan mengingkarinya, "Wali? Dia (bukan) wali, dia adalah nabi!"

Habib Abu Bakar bin Abdullah ada di sana, mendengar percakapan mereka, dan dia tertawa sehingga sampai istighraq (tenggelam atau larut dalam mengingat Allah Ta'ala) saat ketawa, karena sangat mengagumi kata-kata itu." (Tadzkir An-Naas, Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Zawiyah Al-Idrus Al-Ilmiyah hal 206). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat untuk menambah wawasan. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar