MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR
Tampilkan postingan dengan label AKIDAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AKIDAH. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Oktober 2018

BENARKAH MEMBELA KALIMAH TAUHID, ATAU MEMBELA KEPENTINGAN?







Bukan saya anti pada kalimat Tauhid. Sebab setiap selesai shalat kami membaca La Ilaha Illa Allah dengan suara keras. Jika ada orang wafat kami kami antar ke pemakaman dengan La Ilaha Illa Allah. Malamnya kami Tahlili dengan La Ilaha Illa Allah. Dzikir Thariqah pun ratusan kali kami baca La Ilaha Illa Allah.

Tapi kami tidak pernah menggunakan kalimat Tauhid untuk politik, merebut kekuasaan dan mengganti negara dengan simbol Tauhid. Terlebih dari mereka menginjak-injak kalimat Tauhid.

Imam An-Nawawi berkata dalam Minhajut Thalibin:

ﻭاﻟﻔﻌﻞ اﻟﻤﻜﻔﺮ ﻣﺎ ﺗﻌﻤﺪﻩ اﺳﺘﻬﺰاء ﺻﺮﻳﺤﺎ ﺑﺎﻟﺪﻳﻦ ﺃﻭ ﺟﺤﻮﺩا ﻟﻪ ﻛﺈﻟﻘﺎء ﻣﺼﺤﻒ ﺑﻘﺎﺫﻭﺭﺓ

“Perbuatan yang dapatkan menyebabkan kufur adalah kesengajaan melakukan perbuatan tersebut dengan bentuk menghina secara terang-terangan dengan agama atau mengingkari terhadap agama, seperti melempar kotoran terhadap Al-Qur’an”

Kemudian diberi penjelasan lebih gamblang oleh Syekh Al-Qulyubi:

ﻭﺃﻟﺤﻖ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻪ ﻭﺿﻊ ﺭﺟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻧﻮﺯﻉ ﻓﻴﻪ ﻭاﻟﻤﺮاﺩ ﺑﺎﻟﻤﺼﺤﻒ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻗﺮﺁﻥ، ﻭﻣﺜﻠﻪ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻛﻞ ﻋﻠﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﺃﻭ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ اﺳﻢ ﻣﻌﻈﻢ، ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ اﻟﺮﻣﻠﻲ ﻭﻻ ﺑﺪ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ اﻹﻫﺎﻧﺔ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ

“Sebagian ulama menyamakan bentuk meletakkan kaki di atas Al-Qur’an (namun) pendapat ini dibantah oleh ulama lain.
Yang dimaksud Mushaf adalah lembaran yang berisikan Al-Qur’an. Demikian halnya kitab hadits, ilmu agama atau sesuatu yang tertulis nama yang diagungkan. Guru kami (Ar-Ramli) berkata: “Untuk selain Qur’an harus ada bukti yang menunjukkan bentuk penghinaan, jika tidak maka tidak sampai kufur” (Hasyiyah Qulyubi 4/177)

Saya yakin di gambar-gambar yang saya sertakan tidak ada yang berniat melecehkan kalimat Tauhid, namun paling tidak berada di ambang yang amat sangat mengkhawatirkan.

Contoh kalimah tauhid yang seharusnya kita bela dan selamatkan dari TINDAK PENISTAAN oleh orang-orang bodoh atas nama agama demi KEPENTINGANNYA adalah kalimah tauhid di kaos, di topi, di bola, di bendera, di baju, di sepatu dan lainnya

Manusia mulia bukan karena jabatan, bukan karena harta, bukan karena wanita. Namun karena satu hal yaitu tauhid.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

"Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui." (QS. Al Munafiqun: 8).

Umar bin Khattab pun mengingatkan hal ini, beliau berkata:

نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا اِبْتَغَيْنَا العِزَّةَ بِغَيْرِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Kita adalah bangsa yang dimuliakan dengan Islam, maka ketika kita mencari kemuliaan dengan selainnya maka Allah akan hinakan kita.”

Maraknya penggunaan simbol-simbol keagamaan sebagai sablon pakaian, atribut maupun aksesoris lainnya, disayangkan oleh sejumlah tokoh islam. Selain melanggar aturan syar'i, tindakan seperti itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan dalam beragama yang pada dasarnya dilarang oleh agama.

Dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud dijelaskan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ وَضَعَ خَاتَمَه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.”

Hal itu untuk menjaga kagungan lafadz Allah yang terdapat dalam cincin tersebut. Bahkan saking hati-hatinya para ulama untuk menjaga keagungan nama Allah tersebut, penulis kitab fikih ternama: Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarh al-Minhaj, Syihabuddin ar-Ramli (w. 1004 H) melarang bahkan mengharamkan membawa tulisan nama Allah ke dalam kamar mandi, bahkan jika nama Allah tersebut tertulis di mata uang sekalipun, apalagi sekedar kaos dan topi.

Lalu, bagi orang-orang yang menggunakan kaos atau topi yang bertuliskan kalimat tauhid, yakin mereka akan melepas atributnya sebelum masuk ke toilet? Yakin, saat di tempat umum mereka mau melepas kaosnya sebelum masuk toilet? Apalagi toilet mall.

Bayangkan kalau orang memakai kaos, topi, sepatu, atau lainnya bersablon tulisan kalimat tauhid seperti itu, apakah kemudian kalau dia ke kamar mandi untuk buang air juga sempat melepas atau meninggalkannya. Hal-hal seperti itu apakah sudah diperhitungkan benar-benar ketika membuatnya.

*Kalimat Tauhid Bukan sekedar Atribut*

Kalimat tauhid merupakan salah satu representasi dari Iman. Berdasarkan definisi yang dicetuskan oleh para ulama ahlus sunnah wal jamaah, iman adalah mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota

(الإيمان قول باللسان وتصديق بالقلب وعمل بالجوارح)

Dari definisi tersebut, tidak ada sama sekali penulisan asma Allah atau kalimat tauhid atribut dalam kaos atau topi menjadi bagian dari iman. Tentunya dari definisi iman tersebut, yang diinginkan adalah kita senantiasa memperbaharui iman kita dengan senantiasa menggunakan kalimat tauhid tersebut untuk berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hati kita, juga memanifestasikannya dengan sikap dan perbuatan kita sehari-hari, bukan menyablonnya di kaos atau topi, atau malah menjualnya semurah barang dagangan.

Bisa menjamin, orang yang menggunakan atribut tauhid perilakunya mencerminkan unsur keimanan? atau justru sebaliknya, malah memalukan Islam?

Lalu, apa yang masih kalian banggakan dengan atribut kalimat tauhid?

Designnya?

Ah, designnya juga tidak kreatif, nyontek design benderanya HTI, kok! hehehe.....

Loh, bendera HTI kan bendera Rasul?

Yakin, bendera rasul, khat-nya pake khat tsuluts, seperti bendera HTI?

Bisa jadi, design khat di bendera rasul lebih bagus dari design khatnya benderanya HTI, bukan?

Lalu, benderanya HTI itu bendera Rasul, bukan sih? Wallahu A’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menjelaskan semoga bermanfaat. Aamiin

Jumat, 27 November 2015

HAKIKAT REBO WEKASAN



Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dijauhkan dari berbagai malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi begini:

فائدة أخرى: ذكر بعض العارفين – من أهل الكشف والتمكين – أنه ينزل في كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا من البليات، وكل ذلك في يوم الأربعاء الأخير من شهر صفر، فيكون ذلك اليوم أصعب أيام السنة كلها، فمن صلّى في ذلك اليوم أربع ركعات إلخ

Artinya: Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan: setiap tahun, turun 320.000 cobaan. Semuanya itu pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka pada hari itu menjadi sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa shalat di hari itu 4 rakaat dst.”.

Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo Wekasan (Rabu akhir di bulan Shafar). Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahasa.

Pertama, pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Wahabi berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:

ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات

“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”

Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya dalam akidah Islam.

Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara ghaib yang biasa terjadi kepada para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.

Ketiga, dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).

“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.

Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.

Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:

أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).

“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari datangnya sial. Sementara dalam hadits berikutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa memperoleh ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi ilham atau mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.

Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut tidak mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat hajat di hari tersebut, tentunya boleh-boleh saja, dengan harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:

وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).

“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).

Keterangannya pada hari rabu ini Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga kita dari 320.000 balai sampai setahun kemudian, mungkin menurut sebagian mufasir ada yang mengatakan Bid’ah atau apalah, tapi menurut sebagian mufasir lain mengatakan bahwa sholat hajat Rabu Wekasan bisa dilakukan selagi masih dalam koridor keislaman dan jauh dari perbuatan musyrik, Sholat tolak balla atau sering disebut salat hajat ini di kerjakan 4 rakaat, tata cara solat

Rakaat pertama setelah membaca Al Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-kautsar sebanyak 13 kali

Rakaat ke dua setelah membaca Al fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-Ikhlas 13 x

Rakaat ke tiga setelah membaca Al fatihah dilanjutkan dengan membaca Qs al-Falaq 1x

Rakaat ke empatnya setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs an-nas 1 x

Setelah salam maka di lanjutkan dengan Doa ini

سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبِّ رَّحِيْمِ . سَلاَمٌ عَلىَ نُوْحٍ فِيْ الْعاَلَمِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمَحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ مُوْسى وَهرُوْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِلْياَسِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ. سَلاَمٌ طِبْتُمْ فاَدْخُلُوْهاَ خَالِدِيْنَ . سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبىَ الدَّارِ . سَلاَمٌ هِيَ حَتىَّ مَطْلَعِ اْلفَجْرِ.
اللّهُمَّ يَاشَدِيْدَ اْلقُوَّةِ وَيَا شَدِيْدَ اْلمِحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ إِكْفِنِي مِنْ جَمِيْعِ شَرِّ خَلْقِكَ يِا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْتَقِمُ يَا مُتَكَرِّمُ يَا مَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ أَنْتَ إِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اَللّهُمَّ بِسِرِّ اْلحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ إِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا اْليَوْمِ وَماَ يُنَزَّلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ اْلمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ اِلبَلاَياَتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ الله ُوَهُوَالسَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ . حَسْبُناَ الله ُوَنِعْمَ اْلوَكِيْلِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله ِاْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ .

Maka Allah Subhanahu wa Ta’al akan menjaga orang tersebut dari seluruh balak tadi sampai akhir tahun. Ditambahkan oleh Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad yang mengatakan bahwa hal itu juga termasuk Bid’ah madzmumah (tercela). Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat tersebut sesuai dengan tuntunan syeikh Al-Kamil Farid Ad-Din dalam kitab Jawahir Al-Khamis hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak dimana sholat mutlak adalah sholat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab dan bilangannya.

Mudah-mudahan Umat muslim diseluruh dunia selalu di jaga Oleh-Nya dengan selalu mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua larangannya selain itu juga semoga dengan melakukan salat 4 rakaat ini kita selalu Taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amien ya Rabb. Wallahul a’lam bish-Shawab wal Musta’an

Kamis, 06 November 2014

HUKUM ISTRI MENGGUGAT CERAI SUAMI (KHULU’)




Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa ditutupi.
Bagi wanita, meminta cerai adalah perbuatan sangat buruk. Dan Islam melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi pelakunya, jika tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, MAKA TIDAK ADA DOSA ATAS KEDUANYA TENTANG BAYARAN YANG DIBERIKAN OLEH ISTRI UNTUK MENEBUS DIRINYA. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah 2:229)
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.
HUKUM ISTRI MENGGUGAT CERAI SUAMI (KHULU’)
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan hal ini, diantaranya,
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187).
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.
Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,
أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة
“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,
أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي
“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,
نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي
‘Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).
HAL-HAL YANG MEMBOLEHKAN GUGAT CERAI SUAMI
Hadits-hadits di atas tidaklah memaksa wanita untuk tetap bertahan dengan suaminya sekalipun dalam keadaan tertindas. Karena yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika itu dilakukan karena alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam kondisi tertentu, seorang wanita wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها  منه
“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
Berikut beberapa kasus yang membolehkan sang istri melakukan gugat cerai,
  1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
  2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
  3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dll
  4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
  5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.
  6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
  7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.
GUGAT CERAI OLEH ISTRI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.

Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. FASAKH

Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
  1. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
  2. Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
  3. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya. 

2. KHULU’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229.
Adapun dalil haditsnya adalah sebuah hadits shahih yang mengisahkan tentang istri Tsabit bin Qais bin Syammas bernama Jamilah binti Ubay bin Salil yang datang pada Rasulullah dan meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan mahar.
[Hadits riwayat Bukhari no. 4973; riwayat Baihaqi  dalam Sunan al-Kubro no. 15237; Abu Naim dalam Al-Mustakhroj no. 5275;  Teks asal dari Sahih Bukhari sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
DEFINISI KHULU’
Definisi khuluk menurut madzhab Syafi’i adalah sebagai berikut: 
الخلع شرعا هو اللفظ الدال على الفراق بين الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط الآتي بيانها في شروط العوض فكل لفظ يدل على الطلاق صريحا كان أو كناية يكون خلعا يقع به الطلاق البائن وسيأتي بيان ألفاظ الطلاق في الصيغة وشروطها 
(Khulu’ secara syariah adalah kata yang menunjukkan atas putusnya hubungan perkawinan antara suami istri dengan tebusan [dari istri] yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Setiap kata yang menunjukkan pada talak, baik sharih atau kinayah, maka sah khulu-nya dan terjadi talak ba’in.) [Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/185 mengutip definisi khuluk menurut madzhab Syafi’i]. 
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mendefinisikan khuluk demikian: 
الخلع هو أن تفتدي المرأة نفسها بمال تدفعه لزوجها، أو هو فراق الزوجة على مال 
(Khuluk adalah istri yang menebus dirinya sendiri dengan harta yang diberikan pada suami atau pisahnya istri dengan membayar sejumlah harta). [Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, IX/490; Mu’jam Al-Mustalahat al-Fiqhiyah, II/46 – 48)]. 
HUKUM KHULU’ 
Adapun hukum asal dari gugat cerai adalah boleh. Imam Nawawi menyatakan: 
وأصل الخلع مجمع على جوازه ، وسواء في جوازه خالع على الصداق أو بعضه ، أو مال آخر أقل من الصداق ، أو أكثر ، ويصح في حالتي الشقاق والوفاق ، 
(Hukum asal dari khulu’ adalah boleh menurut ijmak ulama. Baik tebusannya berupa seluruh mahar atau sebagian mahar atau harta lain yang lebih sedikit atau lebih banyak. Khulu’ sah dalam keadaan konflik atau damai.) [ Abu Syaraf An-Nawawi dalam Raudah at-Talibin 7/374;  Al-Hashni dalam Kifayatul Akhyar, III/40]. 
Al-Jaziri membagi hukum khuluk menjadi boleh, wajib, haram, dan makruh: 
الخلع نوع من الطلاق لأن الطلاق تارة يكون بدون عوض وتارة يكون بعوض والثاني هو الخلع وقد عرفت أن الطلاق يوصف بالجواز عند الحاجة التي تقضي الفرقة بين الزوجين وقد يوصف بالوجوب عند عجز الرجل عن الإنفاق والاتيان وقد يوصف بالتحريم إذا ترتب عليه ظلم المرأة والأولاد وقد يوصف بغير ذلك من الأحكام المتقدم ذكرها هناك على أن الأصل فيه المنع وهو الكراهة عند بعضهم والحرمة عند بعضهم ما لم تفض الضرورة إلى الفراق
(Khuluk itu setipe dengan talak. Karena, talak itu terkadang tanpa tebusan dan terkadang dengan tebusan. Yang kedua disebut khuluk. Seperti diketahui bahwa talak itu boleh apabila diperlukan. Terkadang wajib apabila suami tidak mampu memberi nafkah. Bisa juga haram apabila menimbulkan kezaliman pada istri dan anak. Hukum asal adalah makruh menurut sebagian ulama dan haram menurut sebagian yang lain selagi tidak ada kedaruratan untuk melakukannya). [Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/186]. 
As-Syairazi dalam Al-Muhadzab menyatakan bahwa khuluk itu boleh secara mutlak walaupun tanpa sebab asalkan kedua suami istri sama-sama rela.  Apalagi kalau karena ada sebab, baik sebab yang manusiawi seperti istri sudah tidak lagi mencintai suami; atau sebab yang syar’i seperti suami tidak shalat atau tidak memberi nafkah. 
إذا كرهت المرأة زوجها لقبح منظر أو سوء عشرة وخافت أن لا تؤدي حقه جاز أن تخالعه على عوض لقوله عز و جل { فإن خفتم أن لا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به } [ البقرة : 229 ] وروي أن جميلة بنت سهل كانت تحث ثابت بن قيس بن الشماس وكان يضربها فأتت إلى النبي ( ص ) وقالت : لا أنا ولا ثابت وما أعطاني فقال رسول الله ( ص ) [ خذ منها فأخذ منها فقعدت في بيتها ] وإن لم تكره منه شيئا وتراضيا على الخلع من غير سبب جاز لقوله عز و جل { فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا } [ النساء : 4 ] 
(Apabila istri tidak menyukai suaminya karena buruk fisik atau perilakunya dan dia kuatir tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, maka boleh mengajukan gugat cerai dengan tebusan karena adanya firman Allah dalam QS Al Baqaran 2:229 dan hadits Nabi dalam kisab Jamilah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais. … Apabila istri tidak membenci suami akan tetapi keduanya sepakat untuk khuluk tanpa sebab maka itupun dibolehkan karena adanya firman Allah dalam QS An Nisa 4:4). [As-Syairozi, Al-Muhadzab,  II/289]. 
KHULU’ DI LUAR PENGADILAN 
Khuluk, sebagaimana halnya talak, dapat dilakukan secara langsung antara suami istri tanpa melibatkan hakim dan pengadilan agama. Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab: 
ويجوز الخلع من غير حاكم لأنه قطع عقد بالتراضي جعل لدفع الضرر، فلم يفتقر إلى الحاكم كالإقالة في البيع. 
(Khuluk dapat dilakukan tanpa hakim karena khuluk merupakan pemutusan akad dengan saling sukarela yang bertujuan untuk menolak kemudaratan. Oleh karena itu ia tidak membutuhkan adanya hakim sebaagaimana iqalah dalam transaksi jual beli). [Imam Nawawi, Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab, XVII/13]. 
Walaupun khuluk dapat dilakukan di luar pengadilan, namun secara formal itu tidak diakui negara. Untuk mengesahkannya secara legal formal menurut undang-undang Indonesia, maka pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan Agama.[KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 114] 
Harus juga diingat, bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan. Seperti, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), suami tidak memberi nafkah, ditinggal suami selama 2 tahun berturut-turut, dan lain-lain. [KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 116]. 
KHULU’ DI PENGADILAN AGAMA 
Suatu gugatan perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal formal apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim. [Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan] 
Untuk mengajukan gugatan cerai atau khulu’, seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya. Bagi yang tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila istri dan suami sama-sama tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. [Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama]. 
Berbeda dengan khuluk yang dilakukan di luar Pengadilan, maka gugat cerai yang diajukan melalui lembaga pengadilan harus memenuhi syarat-syarat antara lain: 
  1. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
  2. suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;
  3. suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
  4. suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
  5. suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya;
  6. terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
  7. suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
  8. suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga. []Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975. 
Syarat-syarat di atas tentu saja harus disertai dengan adanya saksi dan bukti-bukti yang menguatkan gugatan. 
GUGAT CERAI TANPA KERELAAN SUAMI 
Gugat cerai pada dasarnya harus dilakukan atas sepengetahuan dan kerelaan suami. Karena pihak yang memberi kata cerai dalam khuluk adalah suami. Jadi, kalau suami tidak rela atau tidak mau meluluskan gugatan perceraian istri, maka khuluk tidak bisa terjadi. 
Namun demikian, dalam situasi tertentu Hakim di Pengadilan Agama dapat meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau bahkan tanpa kehadiran suami apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Hakim menganggap bahwa perceraian itu lebih baik bagi pihak penggugat yaitu istri. Misalnya, karena terjadinya konflik yang tidak bisa didamaikan, atau suami tidak bertenggung jawab, terjadi KDRT yang membahayakan istri dan lain sebagainya. [Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, II/290]. 
Dalam konteks ini, maka hakim dapat menceraikan keduanya bukan dalam akad khuluk tapi talak biasa. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dinyatakan: 
وبضرر زوج لزوجته – نحو: لم نزل نسمع عن الثقات وغيرهم أنه يضارها فيطلقها عليه الحاكم 
(Disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan kekerasan pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya.). [Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285]. 
Apabila suami tidak memiliki kesalahan signifikan pada istri, hanya istri kurang menyukai suami dan kuatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami dan kewajibannya sebagai istri, maka istri dapat mengajukan khuluk dan sunnah bagi suami untuk meluluskannya.  Apabila suami tidak rela dan tidak mau, maka ada dua pendapat ulama. Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami. Konsekuensinya, hakim tidak dapat menceraikan mereka. Ini pandangan mayoritas ulama, termasuk madzhab Syafi’i. 
Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan kehendak istri untuk bercerai walaupun suami tidak rela.  Pandangan ini terutama berasal dari madzhab Hanbali.  Al-Mardawi dalam Al-Inshaf: menyatakan: 
وإذا كانت المرأة مبغضة للرجل وتخشى أن لا تقيم حدود الله في حقه فلا بأس أن تفتدي نفسها منه، فيباح للزوجة ذلك والحالة هذه على الصحيح من المذهب وعليه أكثر الأصحاب وجزم الحلواني بالاستحباب، وأما الزوج فالصحيح من المذهب أنه يستحب له الإجابة إليه وعليه الأصحاب. واختلف كلام الشيخ تقي الدين رحمه الله في وجوب الإجابة إليه. وألزم به بعض حكام الشام المقادسة الفضلاء 
(Apabila istri marah pada suami dan takut tidak dapat menjalankan perintah Allah dalam memenuhi hak-hak suami maka istri boleh melakukan gugat cerai. … Al-Halwani menyatakan gugat cerai dalam konteks ini sunnah. Adapun suami maka menurut pendapat yang sahih adalah sunnah mengabulkan permintaan istri. Syekh Taqiuddin dan sebagian hakim Suriah menyatakan bahwa suami wajib memenuhi permintaan istri.) [Al-Mardawi, Al-Inshaf, VIII/382].
KESIMPULAN
Khuluk atau gugat cerai dari seorang istri pada suami hukumnya boleh dan sah dilakukan kapan saja baik dalam damai atau karena konflik rumah tangga. Karena faktor kesalahan suami atau karena istri tidak lagi mencintai suami. Dengan syarat adanya kerelaan suami. Dan dapat dilakukan di depan pengadilan atau di luar pengadilan. 
Gugat cerai di Pengadilan Agama yang disebabkan oleh perilaku suami yang tidak bertanggungjawab dapat diluluskan oleh hakim dengan sistem talak (bukan khuluk) tanpa perlu persetujuan suami. 
Adapun gugat cerai yang murni karena istri tak lagi mencintai suami, bukan karena kesalahan suami, maka suami disunnahkan untuk menerima permintaan istri. Dalam konteks ini, maka ulama berbeda pendapat ada yang MEMBOLEHKAN dan ada yang MELARANG. Wallahu a’lam bis-Shawab dan semoga bermanfa’at. Aamiin

Kamis, 24 Oktober 2013

MTA MENGHALALKAN BIAWAK, MEREKA MENYAMAKAN DHOB DENGAN BIAWAK



http://brosur.mta.or.id/. Ahad, 04 September 2011/06 Syawwal 1432 Brosur No. : 1569/1609/IF

Halal Haram dalam Islam (ke-7)

16. Beberapa binatang yang para shahabat memakannya, sedangkan Nabi SAW tidak melarang.

1. Dlabb (biawak)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: الضَّبُّ لَسْتُ آكُلُهُ وَ لاَ اُحَرّمُهُ. البخارى 6: 231

Dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Biawak itu aku tidak mau memakannya, tetapi aku tidak mengharamkannya”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 231]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ اَكْلِ الضَّبّ، فَقَالَ: لَا آكُلُهُ وَ لَا اُحَرّمُهُ. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, "Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai makan daging biawak, maka beliau menjawab: "Saya tidak memakannya, tetapi tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1542]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص وَ هُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ عَنْ اَكْلِ الضَّبّ، فَقَالَ: لَا آكُلُهُ وَ لَا اُحَرّمُهُ. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu Umar dia berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang daging biawak saat beliau di atas mimbar. Beliau menjawab: "Saya tidak memakannya dan juga tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1542]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ اَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ، وَ اُتُوْا بِلَحْمِ ضَبّ فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيّ ص اِنَّهُ لَحْمُ ضَبّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: كُلُوْا فَاِنَّهُ حَلاَلٌ وَ لَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW dahulu ketika bersama dengan para sahabatnya, termasuk di dalamnya adalah Sa'ad. Lalu dihidangkan daging biawak untuk mereka. Lalu seorang wanita diantara istri-istri Nabi SAW menyeru, "Itu adalah daging biawak”. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Makanlah karena daging biawak itu halal, namun bukan makanan yang biasa saya makan”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1541]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: دَخَلْتُ اَنَا وَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَاُتِيَ بِضَبّ مَحْنُوْذٍ، فَاَهْوَى اِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النّسْوَةِ اللاَّتِي فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ اَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا يُرِيْدُ اَنْ يَأْكُلَ، فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقُلْتُ اَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَنْظُرُ. مسلم 3: 1543

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, "Saya dan Khalid bin Walid bersama-sama dengan Rasulullah SAW datang ke rumah Maimunah, lalu ia hidangkan kepada kami daging biawak yang telah dibakar, Rasulullah SAW lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil daging tersebut, tiba-tiba sebagian dari wanita yang berada di rumah Maimunah berkata, "Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang akan beliau makan”. Karena itu Rasulullah SAW lalu menarik tangannya. Lantas saya bertanya, "Apakah daging tersebut haram wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Tidak, tetapi karena ia tidak ada di negeri kaumku, maka saya merasa jijik untuk memakannya”. Khalid berkata, "Lalu saya ambil daging tersebut dan saya makan, sedangkan Rasulullah SAW melihat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

عَنْ اَبِي اُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ اْلاَنْصَارِيّ اَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ اَخْبَرَهُ اَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَيْفُ اللهِ اَخْبَرَهُ اَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص عَلَى مَيْمُوْنَةَ زَوْجِ النَّبِيّ ص وَ هِيَ خَالَتُهُ وَ خَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ، فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوْذًا قَدِمَتْ بِهِ اُخْتُهَا حُفَيْدَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مِنْ نَجْدٍ، فَقَدَّمَتِ الضَّبَّ لِرَسُوْلِ اللهِ ص، وَ كَانَ قَلَّمَا يُقَدَّمُ اِلَيْهِ طَعَامٌ حَتَّى يُحَدَّثَ بِهِ وَ يُسَمَّى لَهُ، فَاَهْوَى رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ اِلَى الضَّبّ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْ النّسْوَةِ الْحُضُوْرِ اَخْبِرْنَ رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ، قُلْنَ: هُوَ الضَّبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ: اَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ يَنْظُرُ فَلَمْ يَنْهَنِي. مسلم 3: 1543

Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif Al-Anshariy bahwa Abdullah bin ‘Abbas pernah mengkhabarkan kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang di juluki dengan pedang Allah, mengkhabarkan kepadanya; bahwa dia bersama dengan Rasulullah SAW datang kepada Maimunah isteri Nabi SAW (dia adalah bibinya Khalid dan juga bibinya Ibnu ‘Abbas) lantas dia mendapati di situ daging biawak yang telah di bakar, oleh-oleh dari saudara perempuannya yaitu Hufaidah binti Al Harits dari Najd, lantas daging biawak tersebut disuguhkan kepada Rasulullah SAW. Dan jarang sekali beliau disuguhi makanan sehingga beliau diberitahu terlebih dahulu nama makanan yang disuguhkan. Kemudian ketika Rasulullah SAW akan mengambil daging biawak tersebut, seorang wanita dari beberapa wanita yang ikut hadir berkata, "Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang kalian suguhkan!" Kami (para wanita) berkata, "Itu daging biawak, wahai Rasulullah !". Lalu Rasulullah SAW menarik tangannya. Khalid bin Walid lalu bertanya, "Ya Rasulullah, apakah daging biawak itu haram ?". Beliau menjawab, "Tidak, namun makanan itu tidak ada di negeri kaumku, maka aku tidak mau memakannya”. Khalid berkata, "Lantas aku ambil daging tersebut dan aku makan, sedangkan Rasulullah melihatku dan tidak melarang”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ: اَهْدَتْ خَالَتِي اُمُّ حُفَيْدٍ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص سَمْنًا وَ اَقِطًا وَ اَضُبًّا، فَاَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ الْاَقِطِ وَ تَرَكَ الضَّبَّ تَقَذُّرًا، وَ اُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص، وَ لَوْ كَانَ حَرَامًا مَا اُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص. مسلم 3: 1545

Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata; saya mendengar Ibnu ‘Abbas berkata, "Bibiku, Ummu Hufaid pernah menghadiahkan minyak samin, keju dan daging biawak kepada Rasulullah SAW, lalu beliau memakan minyak samin dan keju, dan tidak memakan daging biawak, karena merasa jijik. Namun daging biawak tersebut dihidangkan di atas meja makan Rasulullah SAW, seandainya hal itu haram, tentu tidak dihidangkan di meja makan Rasulullah SAW”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1545]

KETAHUILAH BAHWA DHOB ITU BUKAN BIAWAK

Perbedaan Dhab dan Biawak

Untuk membedakan antara kedua hewan tersebut rasanya saya hanya perlu menjelaskan ciri-ciri atau karakteristik hewan dhab saja dikarenakan insya Allah mayoritas dari kita sudah mengenal siapa itu biawak. Berikut karakteristik hewan dhab menurut para ulama:

1. Bentuk tubuhnya

Bentuk tubuh dhab hampir mirip dengan biawak, bunglon dan tokek. Ukuran tubuhnya lebih kecil dari biawak.

Dhab itu berekor kasar (mirip duri duren kalau menurut saya), kesat dan bersisik. Ekornyapun tidak terlalu panjang berbeda dengan biawak. Dhab jantan memiliki dua dzakar dan dhab betina memiliki dua vagina.

2. Warnanya

warna tubuhnya mirip dengan warna tanah, berdebu kehitam-hitaman (غُبْرَة مُشْرَبةٌ سَواداً), apabila telah gemuk maka dadanya menjadi berwarna kuning.

3. Makanannya

- Rerumputan
- Jenis-jenis belalang
- Dhab tidak memangsa dan memakan hewan lain(selain belalang), bahkan Ibnu Mandzur mengatakan bahwa dhab tidak mau memakan kutu.

4. Tempat Hidupnya

Dhab hanya tinggal digurun pasir. Mereka tidak bisa tinggal dirawa-rawa seperti halnya biawak.

5. Sifatnya

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dhobb tidak memangsa hewan lain kecuali hanya jenis-jenis belalang, maka kami katakan dhab bukanlah hewan buas dan tidak pula membahayakan, berbeda sekali dengan biawak yang sudah kita kenal.

Dhab tidak suka dengan air, berbeda sekali dengan biawak yang jago berenang dan menyelam dalam mencari mangsa sehingga terkenal menjadi musuh para petani ikan.

Dikatakan pula bahwa dhab tidak meminum air secara langsung. Dhab hanya meminum embun dan air yang terdapat di udara yang dingin. Apabila Orang Arab menggambarkan keengganannya dalam melakukan seseuatu maka mereka berkata: “لا افعل كذا حتى يرد الضب الماء”/ Aku tidak akan melakukannya sampai dhab mendatangi air.

Dhab tidak pernah keluar dari lubangnya selama musim dingin. Dikatakan pula bahwasannya umur dhab bisa mencapai 700 tahun.

6. Hubungannya dengan biawak

Dhab merupakan salah satu hewan yang kerap menjadi mangsa kedzaliman biawak.

7. Bangsa Arab memandang dhab

Orang arab suka memburu dhab dan menyantapnya sebagai makanan namun mereka merasa jijik terhadap biawak dan menggolongkannya ke dalam hewan yang menjijikan.

Dari beberapa ciri hewan dhab sebagaimana yang kami sebutkan diatas, memang ada kemiripan bentuk tubuh antara dhab dengan biawak, namun pada banyak hal terdapat banyak sekali perbedaan antara kedua hewan tersebut, yang paling menonjol adalah pada makanannya, dimana dhab merupakan hewan yang jinak(tidak buas) memakan makanan yang bersih dan tidak menjijikan berbeda sekali dengan biawak yang merupakan hewan buas dan pemangsa serta memakan makanan yang menjijikkan. Diantara makanan biawak adalah bangkai, ular, musang, kelelawar, kala jengking, kodok, kadal, tikus, dan hewan kotor lainnya.

Selain merupakan hewan yang menjijikkan, biawak juga merupakan hewan yang licik dan zhalim. Abdul Lathif Al-Baghdadi menyebutkan bahwa diantara kelicikkan dan kedzaliman biawak adalah bahwa biawak suka merampas lubang ular untuk ditempatinya dan tentunya sebelumnya dia membunuh dan memakan ular tersebut, selain itu biawak juga suka merebut lubang dhab, padahal kuku biawak lebih panjang dan lebih mudah untuk digunakan membuat lubang. Karena kedzalimannya, orang-orang Arab sering mengungkapkan: “Dia itu lebih zhalim daripada biawak”.

Kesimpulan

- Dhab merupakan hewan yang halal untuk dimakan. - Dhab berbeda dengan biawak. Sebenarnya kalau kita mau membuka kamus kita akan dapati bahwa biawak dalam bahasa arab disebut warol (الوَرَلُ), bukan dhab(الضَّبّ). - Biawak haram dimakan dikarenakan: - Biawak merupakan hewan yang menjijikkan (khabits) - Biawak merupakan hewan buas - Para ulama mutaqaddimin telah mengharamkan biawak. Para ulama mutaakhirin dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah telah menegaskan tentang kejelasan haramnya biawak. Wallohu A’lam.

Maraji' :

- Lisaanul ‘Arab Li Muhammad Ibni Mandzur Al-Anshari. Daar Shaadir, Beirut (Juz I dan Juz XI).
- Hayaatul Hayawaan Al-Kubra Li Muhammad Ibni Musa Ad-Damiri. Daarul KutubAl-Ilmiyah, Beirut (Juz II)
- Haasyiyatus Syarqaawii ‘Ala Tuhfatit Thulaab Li Abdillah Ibni Hijaazi Asy-Syafi’i (Pdf

MTA MENGHALALKAN BIAWAK, MEREKA MENYAMAKAN DHOB DENGAN BIAWAK



http://brosur.mta.or.id/. Ahad, 04 September 2011/06 Syawwal 1432 Brosur No. : 1569/1609/IF

Halal Haram dalam Islam (ke-7)

16. Beberapa binatang yang para shahabat memakannya, sedangkan Nabi SAW tidak melarang.

1. Dlabb (biawak)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: الضَّبُّ لَسْتُ آكُلُهُ وَ لاَ اُحَرّمُهُ. البخارى 6: 231

Dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Biawak itu aku tidak mau memakannya, tetapi aku tidak mengharamkannya”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 231]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ اَكْلِ الضَّبّ، فَقَالَ: لَا آكُلُهُ وَ لَا اُحَرّمُهُ. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, "Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai makan daging biawak, maka beliau menjawab: "Saya tidak memakannya, tetapi tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1542]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص وَ هُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ عَنْ اَكْلِ الضَّبّ، فَقَالَ: لَا آكُلُهُ وَ لَا اُحَرّمُهُ. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu Umar dia berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang daging biawak saat beliau di atas mimbar. Beliau menjawab: "Saya tidak memakannya dan juga tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1542]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ اَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ، وَ اُتُوْا بِلَحْمِ ضَبّ فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيّ ص اِنَّهُ لَحْمُ ضَبّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: كُلُوْا فَاِنَّهُ حَلاَلٌ وَ لَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW dahulu ketika bersama dengan para sahabatnya, termasuk di dalamnya adalah Sa'ad. Lalu dihidangkan daging biawak untuk mereka. Lalu seorang wanita diantara istri-istri Nabi SAW menyeru, "Itu adalah daging biawak”. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Makanlah karena daging biawak itu halal, namun bukan makanan yang biasa saya makan”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1541]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: دَخَلْتُ اَنَا وَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَاُتِيَ بِضَبّ مَحْنُوْذٍ، فَاَهْوَى اِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النّسْوَةِ اللاَّتِي فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ اَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا يُرِيْدُ اَنْ يَأْكُلَ، فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقُلْتُ اَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَنْظُرُ. مسلم 3: 1543

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, "Saya dan Khalid bin Walid bersama-sama dengan Rasulullah SAW datang ke rumah Maimunah, lalu ia hidangkan kepada kami daging biawak yang telah dibakar, Rasulullah SAW lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil daging tersebut, tiba-tiba sebagian dari wanita yang berada di rumah Maimunah berkata, "Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang akan beliau makan”. Karena itu Rasulullah SAW lalu menarik tangannya. Lantas saya bertanya, "Apakah daging tersebut haram wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Tidak, tetapi karena ia tidak ada di negeri kaumku, maka saya merasa jijik untuk memakannya”. Khalid berkata, "Lalu saya ambil daging tersebut dan saya makan, sedangkan Rasulullah SAW melihat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

عَنْ اَبِي اُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ اْلاَنْصَارِيّ اَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ اَخْبَرَهُ اَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَيْفُ اللهِ اَخْبَرَهُ اَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص عَلَى مَيْمُوْنَةَ زَوْجِ النَّبِيّ ص وَ هِيَ خَالَتُهُ وَ خَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ، فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوْذًا قَدِمَتْ بِهِ اُخْتُهَا حُفَيْدَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مِنْ نَجْدٍ، فَقَدَّمَتِ الضَّبَّ لِرَسُوْلِ اللهِ ص، وَ كَانَ قَلَّمَا يُقَدَّمُ اِلَيْهِ طَعَامٌ حَتَّى يُحَدَّثَ بِهِ وَ يُسَمَّى لَهُ، فَاَهْوَى رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ اِلَى الضَّبّ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْ النّسْوَةِ الْحُضُوْرِ اَخْبِرْنَ رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ، قُلْنَ: هُوَ الضَّبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ: اَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ يَنْظُرُ فَلَمْ يَنْهَنِي. مسلم 3: 1543

Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif Al-Anshariy bahwa Abdullah bin ‘Abbas pernah mengkhabarkan kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang di juluki dengan pedang Allah, mengkhabarkan kepadanya; bahwa dia bersama dengan Rasulullah SAW datang kepada Maimunah isteri Nabi SAW (dia adalah bibinya Khalid dan juga bibinya Ibnu ‘Abbas) lantas dia mendapati di situ daging biawak yang telah di bakar, oleh-oleh dari saudara perempuannya yaitu Hufaidah binti Al Harits dari Najd, lantas daging biawak tersebut disuguhkan kepada Rasulullah SAW. Dan jarang sekali beliau disuguhi makanan sehingga beliau diberitahu terlebih dahulu nama makanan yang disuguhkan. Kemudian ketika Rasulullah SAW akan mengambil daging biawak tersebut, seorang wanita dari beberapa wanita yang ikut hadir berkata, "Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang kalian suguhkan!" Kami (para wanita) berkata, "Itu daging biawak, wahai Rasulullah !". Lalu Rasulullah SAW menarik tangannya. Khalid bin Walid lalu bertanya, "Ya Rasulullah, apakah daging biawak itu haram ?". Beliau menjawab, "Tidak, namun makanan itu tidak ada di negeri kaumku, maka aku tidak mau memakannya”. Khalid berkata, "Lantas aku ambil daging tersebut dan aku makan, sedangkan Rasulullah melihatku dan tidak melarang”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ: اَهْدَتْ خَالَتِي اُمُّ حُفَيْدٍ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص سَمْنًا وَ اَقِطًا وَ اَضُبًّا، فَاَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ الْاَقِطِ وَ تَرَكَ الضَّبَّ تَقَذُّرًا، وَ اُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص، وَ لَوْ كَانَ حَرَامًا مَا اُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص. مسلم 3: 1545

Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata; saya mendengar Ibnu ‘Abbas berkata, "Bibiku, Ummu Hufaid pernah menghadiahkan minyak samin, keju dan daging biawak kepada Rasulullah SAW, lalu beliau memakan minyak samin dan keju, dan tidak memakan daging biawak, karena merasa jijik. Namun daging biawak tersebut dihidangkan di atas meja makan Rasulullah SAW, seandainya hal itu haram, tentu tidak dihidangkan di meja makan Rasulullah SAW”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1545]

KETAHUILAH BAHWA DHOB ITU BUKAN BIAWAK

Perbedaan Dhab dan Biawak

Untuk membedakan antara kedua hewan tersebut rasanya saya hanya perlu menjelaskan ciri-ciri atau karakteristik hewan dhab saja dikarenakan insya Allah mayoritas dari kita sudah mengenal siapa itu biawak. Berikut karakteristik hewan dhab menurut para ulama:

1. Bentuk tubuhnya

Bentuk tubuh dhab hampir mirip dengan biawak, bunglon dan tokek. Ukuran tubuhnya lebih kecil dari biawak.

Dhab itu berekor kasar (mirip duri duren kalau menurut saya), kesat dan bersisik. Ekornyapun tidak terlalu panjang berbeda dengan biawak. Dhab jantan memiliki dua dzakar dan dhab betina memiliki dua vagina.

2. Warnanya

warna tubuhnya mirip dengan warna tanah, berdebu kehitam-hitaman (غُبْرَة مُشْرَبةٌ سَواداً), apabila telah gemuk maka dadanya menjadi berwarna kuning.

3. Makanannya

- Rerumputan
- Jenis-jenis belalang
- Dhab tidak memangsa dan memakan hewan lain(selain belalang), bahkan Ibnu Mandzur mengatakan bahwa dhab tidak mau memakan kutu.

4. Tempat Hidupnya

Dhab hanya tinggal digurun pasir. Mereka tidak bisa tinggal dirawa-rawa seperti halnya biawak.

5. Sifatnya

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dhobb tidak memangsa hewan lain kecuali hanya jenis-jenis belalang, maka kami katakan dhab bukanlah hewan buas dan tidak pula membahayakan, berbeda sekali dengan biawak yang sudah kita kenal.

Dhab tidak suka dengan air, berbeda sekali dengan biawak yang jago berenang dan menyelam dalam mencari mangsa sehingga terkenal menjadi musuh para petani ikan.

Dikatakan pula bahwa dhab tidak meminum air secara langsung. Dhab hanya meminum embun dan air yang terdapat di udara yang dingin. Apabila Orang Arab menggambarkan keengganannya dalam melakukan seseuatu maka mereka berkata: “لا افعل كذا حتى يرد الضب الماء”/ Aku tidak akan melakukannya sampai dhab mendatangi air.

Dhab tidak pernah keluar dari lubangnya selama musim dingin. Dikatakan pula bahwasannya umur dhab bisa mencapai 700 tahun.

6. Hubungannya dengan biawak

Dhab merupakan salah satu hewan yang kerap menjadi mangsa kedzaliman biawak.

7. Bangsa Arab memandang dhab

Orang arab suka memburu dhab dan menyantapnya sebagai makanan namun mereka merasa jijik terhadap biawak dan menggolongkannya ke dalam hewan yang menjijikan.

Dari beberapa ciri hewan dhab sebagaimana yang kami sebutkan diatas, memang ada kemiripan bentuk tubuh antara dhab dengan biawak, namun pada banyak hal terdapat banyak sekali perbedaan antara kedua hewan tersebut, yang paling menonjol adalah pada makanannya, dimana dhab merupakan hewan yang jinak(tidak buas) memakan makanan yang bersih dan tidak menjijikan berbeda sekali dengan biawak yang merupakan hewan buas dan pemangsa serta memakan makanan yang menjijikkan. Diantara makanan biawak adalah bangkai, ular, musang, kelelawar, kala jengking, kodok, kadal, tikus, dan hewan kotor lainnya.

Selain merupakan hewan yang menjijikkan, biawak juga merupakan hewan yang licik dan zhalim. Abdul Lathif Al-Baghdadi menyebutkan bahwa diantara kelicikkan dan kedzaliman biawak adalah bahwa biawak suka merampas lubang ular untuk ditempatinya dan tentunya sebelumnya dia membunuh dan memakan ular tersebut, selain itu biawak juga suka merebut lubang dhab, padahal kuku biawak lebih panjang dan lebih mudah untuk digunakan membuat lubang. Karena kedzalimannya, orang-orang Arab sering mengungkapkan: “Dia itu lebih zhalim daripada biawak”.

Kesimpulan

- Dhab merupakan hewan yang halal untuk dimakan. - Dhab berbeda dengan biawak. Sebenarnya kalau kita mau membuka kamus kita akan dapati bahwa biawak dalam bahasa arab disebut warol (الوَرَلُ), bukan dhab(الضَّبّ). - Biawak haram dimakan dikarenakan: - Biawak merupakan hewan yang menjijikkan (khabits) - Biawak merupakan hewan buas - Para ulama mutaqaddimin telah mengharamkan biawak. Para ulama mutaakhirin dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah telah menegaskan tentang kejelasan haramnya biawak. Wallohu A’lam.

Maraji' :

- Lisaanul ‘Arab Li Muhammad Ibni Mandzur Al-Anshari. Daar Shaadir, Beirut (Juz I dan Juz XI).
- Hayaatul Hayawaan Al-Kubra Li Muhammad Ibni Musa Ad-Damiri. Daarul KutubAl-Ilmiyah, Beirut (Juz II)
- Haasyiyatus Syarqaawii ‘Ala Tuhfatit Thulaab Li Abdillah Ibni Hijaazi Asy-Syafi’i (Pdf

MTA MENGHALALKAN BIAWAK, MEREKA MENYAMAKAN DHOB DENGAN BIAWAK



http://brosur.mta.or.id/. Ahad, 04 September 2011/06 Syawwal 1432 Brosur No. : 1569/1609/IF

Halal Haram dalam Islam (ke-7)

16. Beberapa binatang yang para shahabat memakannya, sedangkan Nabi SAW tidak melarang.

1. Dlabb (biawak)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: الضَّبُّ لَسْتُ آكُلُهُ وَ لاَ اُحَرّمُهُ. البخارى 6: 231

Dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Biawak itu aku tidak mau memakannya, tetapi aku tidak mengharamkannya”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 231]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ اَكْلِ الضَّبّ، فَقَالَ: لَا آكُلُهُ وَ لَا اُحَرّمُهُ. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, "Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai makan daging biawak, maka beliau menjawab: "Saya tidak memakannya, tetapi tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1542]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص وَ هُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ عَنْ اَكْلِ الضَّبّ، فَقَالَ: لَا آكُلُهُ وَ لَا اُحَرّمُهُ. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu Umar dia berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang daging biawak saat beliau di atas mimbar. Beliau menjawab: "Saya tidak memakannya dan juga tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1542]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ اَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ، وَ اُتُوْا بِلَحْمِ ضَبّ فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيّ ص اِنَّهُ لَحْمُ ضَبّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: كُلُوْا فَاِنَّهُ حَلاَلٌ وَ لَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي. مسلم 3: 1542

Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW dahulu ketika bersama dengan para sahabatnya, termasuk di dalamnya adalah Sa'ad. Lalu dihidangkan daging biawak untuk mereka. Lalu seorang wanita diantara istri-istri Nabi SAW menyeru, "Itu adalah daging biawak”. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Makanlah karena daging biawak itu halal, namun bukan makanan yang biasa saya makan”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1541]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: دَخَلْتُ اَنَا وَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَاُتِيَ بِضَبّ مَحْنُوْذٍ، فَاَهْوَى اِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النّسْوَةِ اللاَّتِي فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ اَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا يُرِيْدُ اَنْ يَأْكُلَ، فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقُلْتُ اَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَنْظُرُ. مسلم 3: 1543

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, "Saya dan Khalid bin Walid bersama-sama dengan Rasulullah SAW datang ke rumah Maimunah, lalu ia hidangkan kepada kami daging biawak yang telah dibakar, Rasulullah SAW lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil daging tersebut, tiba-tiba sebagian dari wanita yang berada di rumah Maimunah berkata, "Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang akan beliau makan”. Karena itu Rasulullah SAW lalu menarik tangannya. Lantas saya bertanya, "Apakah daging tersebut haram wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Tidak, tetapi karena ia tidak ada di negeri kaumku, maka saya merasa jijik untuk memakannya”. Khalid berkata, "Lalu saya ambil daging tersebut dan saya makan, sedangkan Rasulullah SAW melihat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

عَنْ اَبِي اُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ اْلاَنْصَارِيّ اَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ اَخْبَرَهُ اَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَيْفُ اللهِ اَخْبَرَهُ اَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص عَلَى مَيْمُوْنَةَ زَوْجِ النَّبِيّ ص وَ هِيَ خَالَتُهُ وَ خَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ، فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوْذًا قَدِمَتْ بِهِ اُخْتُهَا حُفَيْدَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مِنْ نَجْدٍ، فَقَدَّمَتِ الضَّبَّ لِرَسُوْلِ اللهِ ص، وَ كَانَ قَلَّمَا يُقَدَّمُ اِلَيْهِ طَعَامٌ حَتَّى يُحَدَّثَ بِهِ وَ يُسَمَّى لَهُ، فَاَهْوَى رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ اِلَى الضَّبّ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْ النّسْوَةِ الْحُضُوْرِ اَخْبِرْنَ رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ، قُلْنَ: هُوَ الضَّبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ: اَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ يَنْظُرُ فَلَمْ يَنْهَنِي. مسلم 3: 1543

Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif Al-Anshariy bahwa Abdullah bin ‘Abbas pernah mengkhabarkan kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang di juluki dengan pedang Allah, mengkhabarkan kepadanya; bahwa dia bersama dengan Rasulullah SAW datang kepada Maimunah isteri Nabi SAW (dia adalah bibinya Khalid dan juga bibinya Ibnu ‘Abbas) lantas dia mendapati di situ daging biawak yang telah di bakar, oleh-oleh dari saudara perempuannya yaitu Hufaidah binti Al Harits dari Najd, lantas daging biawak tersebut disuguhkan kepada Rasulullah SAW. Dan jarang sekali beliau disuguhi makanan sehingga beliau diberitahu terlebih dahulu nama makanan yang disuguhkan. Kemudian ketika Rasulullah SAW akan mengambil daging biawak tersebut, seorang wanita dari beberapa wanita yang ikut hadir berkata, "Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang kalian suguhkan!" Kami (para wanita) berkata, "Itu daging biawak, wahai Rasulullah !". Lalu Rasulullah SAW menarik tangannya. Khalid bin Walid lalu bertanya, "Ya Rasulullah, apakah daging biawak itu haram ?". Beliau menjawab, "Tidak, namun makanan itu tidak ada di negeri kaumku, maka aku tidak mau memakannya”. Khalid berkata, "Lantas aku ambil daging tersebut dan aku makan, sedangkan Rasulullah melihatku dan tidak melarang”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ: اَهْدَتْ خَالَتِي اُمُّ حُفَيْدٍ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص سَمْنًا وَ اَقِطًا وَ اَضُبًّا، فَاَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ الْاَقِطِ وَ تَرَكَ الضَّبَّ تَقَذُّرًا، وَ اُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص، وَ لَوْ كَانَ حَرَامًا مَا اُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص. مسلم 3: 1545

Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata; saya mendengar Ibnu ‘Abbas berkata, "Bibiku, Ummu Hufaid pernah menghadiahkan minyak samin, keju dan daging biawak kepada Rasulullah SAW, lalu beliau memakan minyak samin dan keju, dan tidak memakan daging biawak, karena merasa jijik. Namun daging biawak tersebut dihidangkan di atas meja makan Rasulullah SAW, seandainya hal itu haram, tentu tidak dihidangkan di meja makan Rasulullah SAW”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1545]

KETAHUILAH BAHWA DHOB ITU BUKAN BIAWAK

Perbedaan Dhab dan Biawak

Untuk membedakan antara kedua hewan tersebut rasanya saya hanya perlu menjelaskan ciri-ciri atau karakteristik hewan dhab saja dikarenakan insya Allah mayoritas dari kita sudah mengenal siapa itu biawak. Berikut karakteristik hewan dhab menurut para ulama:

1. Bentuk tubuhnya

Bentuk tubuh dhab hampir mirip dengan biawak, bunglon dan tokek. Ukuran tubuhnya lebih kecil dari biawak.

Dhab itu berekor kasar (mirip duri duren kalau menurut saya), kesat dan bersisik. Ekornyapun tidak terlalu panjang berbeda dengan biawak. Dhab jantan memiliki dua dzakar dan dhab betina memiliki dua vagina.

2. Warnanya

warna tubuhnya mirip dengan warna tanah, berdebu kehitam-hitaman (غُبْرَة مُشْرَبةٌ سَواداً), apabila telah gemuk maka dadanya menjadi berwarna kuning.

3. Makanannya

- Rerumputan
- Jenis-jenis belalang
- Dhab tidak memangsa dan memakan hewan lain(selain belalang), bahkan Ibnu Mandzur mengatakan bahwa dhab tidak mau memakan kutu.

4. Tempat Hidupnya

Dhab hanya tinggal digurun pasir. Mereka tidak bisa tinggal dirawa-rawa seperti halnya biawak.

5. Sifatnya

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dhobb tidak memangsa hewan lain kecuali hanya jenis-jenis belalang, maka kami katakan dhab bukanlah hewan buas dan tidak pula membahayakan, berbeda sekali dengan biawak yang sudah kita kenal.

Dhab tidak suka dengan air, berbeda sekali dengan biawak yang jago berenang dan menyelam dalam mencari mangsa sehingga terkenal menjadi musuh para petani ikan.

Dikatakan pula bahwa dhab tidak meminum air secara langsung. Dhab hanya meminum embun dan air yang terdapat di udara yang dingin. Apabila Orang Arab menggambarkan keengganannya dalam melakukan seseuatu maka mereka berkata: “لا افعل كذا حتى يرد الضب الماء”/ Aku tidak akan melakukannya sampai dhab mendatangi air.

Dhab tidak pernah keluar dari lubangnya selama musim dingin. Dikatakan pula bahwasannya umur dhab bisa mencapai 700 tahun.

6. Hubungannya dengan biawak

Dhab merupakan salah satu hewan yang kerap menjadi mangsa kedzaliman biawak.

7. Bangsa Arab memandang dhab

Orang arab suka memburu dhab dan menyantapnya sebagai makanan namun mereka merasa jijik terhadap biawak dan menggolongkannya ke dalam hewan yang menjijikan.

Dari beberapa ciri hewan dhab sebagaimana yang kami sebutkan diatas, memang ada kemiripan bentuk tubuh antara dhab dengan biawak, namun pada banyak hal terdapat banyak sekali perbedaan antara kedua hewan tersebut, yang paling menonjol adalah pada makanannya, dimana dhab merupakan hewan yang jinak(tidak buas) memakan makanan yang bersih dan tidak menjijikan berbeda sekali dengan biawak yang merupakan hewan buas dan pemangsa serta memakan makanan yang menjijikkan. Diantara makanan biawak adalah bangkai, ular, musang, kelelawar, kala jengking, kodok, kadal, tikus, dan hewan kotor lainnya.

Selain merupakan hewan yang menjijikkan, biawak juga merupakan hewan yang licik dan zhalim. Abdul Lathif Al-Baghdadi menyebutkan bahwa diantara kelicikkan dan kedzaliman biawak adalah bahwa biawak suka merampas lubang ular untuk ditempatinya dan tentunya sebelumnya dia membunuh dan memakan ular tersebut, selain itu biawak juga suka merebut lubang dhab, padahal kuku biawak lebih panjang dan lebih mudah untuk digunakan membuat lubang. Karena kedzalimannya, orang-orang Arab sering mengungkapkan: “Dia itu lebih zhalim daripada biawak”.

Kesimpulan

- Dhab merupakan hewan yang halal untuk dimakan. - Dhab berbeda dengan biawak. Sebenarnya kalau kita mau membuka kamus kita akan dapati bahwa biawak dalam bahasa arab disebut warol (الوَرَلُ), bukan dhab(الضَّبّ). - Biawak haram dimakan dikarenakan: - Biawak merupakan hewan yang menjijikkan (khabits) - Biawak merupakan hewan buas - Para ulama mutaqaddimin telah mengharamkan biawak. Para ulama mutaakhirin dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah telah menegaskan tentang kejelasan haramnya biawak. Wallohu A’lam.

Maraji' :

- Lisaanul ‘Arab Li Muhammad Ibni Mandzur Al-Anshari. Daar Shaadir, Beirut (Juz I dan Juz XI).
- Hayaatul Hayawaan Al-Kubra Li Muhammad Ibni Musa Ad-Damiri. Daarul KutubAl-Ilmiyah, Beirut (Juz II)
- Haasyiyatus Syarqaawii ‘Ala Tuhfatit Thulaab Li Abdillah Ibni Hijaazi Asy-Syafi’i (Pdf