MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 21 Juni 2020

KAJIAN TENTANG AHLUL BAIT (DZURRIYAT RASUL) DAN HUKUM DALAM PERNIKAHANNYA


Banyak masyarakat yang bertanya-tanya tentang bagaimana sebenarnya para keturunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ada sekarang ini. Apakah mereka terjaga dari segala dosa sehingga bebas melaksanakan apa saja? Ataukah mereka punya kewajiban yang sama dengan umat Islam lain dalam hal menjaga keilmuan dan sikapnya untuk berusaha patuh dan mengikuti jejak sikap kakeknya, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitabnya Tâjul Arûs, mengutip sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim yang mengadu kepada Allah dalam ayat, 

فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي

“Barangsiapa yang mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku.” (QS Ibrahim: 36) 

Dengan kata lain, siapapun orangnya, tanpa pandang bulu, apabila mengikuti jejak Nabi Ibrahim, baik keluarga ataupun tidak, akan menjadi golongan Nabi Ibrahim. Demikiam halnya dzurriyat rasul (ahlul bait) atau di luar keturunan rasul harus mengikuti sunnah-sunnahnya, jika bertolakbelakang maka tidak layak mengaku ahlul bait.

Oleh karena itu, mengikuti sikap-sikap baik para utusan Allah menjadi penentu. Bisa jadi, ada keluarga Nabi tapi karena tidak mengikuti jejak Nabinya, ia bisa tidak diakui bagian Nabi itu. Begitu pula sebaliknya, bukan keluarga Nabi namun patuh kepada Nabi, ia bisa dianggap menjadi keluarganya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua tergantung pada kepatuhan.

Sebuah kisah perang parit (khandaq)
yang menguatkan penjelasan diatas. Pembuatan parit sebagai strategi perang berawal dari ide sahabat Salman Al-Farisi. Salman adalah sahabat yang patuh, orangnya kuat, idenya cemerlang, akhirnya sahabat Muhajirin dan Anshar masing-masing menganggap Salman bagian diri mereka semua. Begitu pula Rasulullah. Beliau menyahut pengakuan para sahabat dengan mengatakan,

سَلْمَانُ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ

“Salman adalah bagian dari kita, sebagai ahlul bait.” (Al-Mu’jam Al-Kabir Lit Thabrani: 6040). 

Sebagaimana kita ketahui, Salman bukanlah darah daging Rasulullah. Ia juga bukan keturunan suku Quraisy. Ia orang Persia. Walaupun demikian, ia diakui Nabi sebagai ahlul baitnya (keluarga Nabi). Karena apa? Sebab ia beriman lagi patuh. Kuncinya adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan Rasulullah

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang terekam dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud dan beberapa kitab hadits yang lain menceritakan,

 كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُعُودًا، فَذَكَرَ الْفِتَنَ، فَأَكْثَرَ في ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ؟ قَالَ: " هِيَ فِتْنَةُ هَرَبٍ وَحَرَبٍ، ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ، دَخَلُهَا أَوْ دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي، وَلَيْسَ مِنِّي، إِنَّمَا وَلِيِّيَ الْمُتَّقُونَ، ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ، ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً، فَإِذَا قِيلَ انْقَطَعَتْ تَمَادَتْ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ، فُسْطَاطُ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ، وَفُسْطَاطُ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ، إِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ مِنَ الْيَوْمِ أَوْ غَدٍ

“Kita pernah duduk bersama Rasulullah ﷺ. Beliau mengupas tentang aneka macam fitnah (ujian besar di akhir zaman). Beliau menjelaskan panjang lebar tentang fitnah-fitnah itu, hingga beliau menyinggung tentang fitnah ahlas.

Ada seseorang yang bertanya: “Ya Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah ahlas?’

Rasul menjawab:  ‘Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian fitnah sarra’ (karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam perilaku maksiat), yang asapnya dari bawah kedua kaki seseorang dari ahli bait-ku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang aku kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa.

Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk. Setelah itu, fitnah duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.

Jika dikatakan: ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut. Di dalamnya ada seorang pria yang pada pagi harinya beriman, tetapi pada sore harinya men¬jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan.

Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.” (Musnad Ahmad: 6168) 

Menafsiri hadits di atas, Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, dalam karyanya Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih menjelaskan,

(يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي) أَيْ: فِي الْفِعْلِ وَإِنْ كَانَ مِنِّي فِي النَّسَبِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّ تِلْكَ الْفِتْنَةَ بِسَبَبِهِ، وَأَنَّهُ بَاعِثٌ عَلَى إِقَامَتِهَا (" وَلَيْسَ مِنِّي ") أَيْ: مِنْ أَخِلَّائِي أَوْ مِنْ أَهْلِي فِي الْفِعْلِ ; لِأَنَّ لَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِي لَمْ يُهَيِّجِ الْفِتْنَةَ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ}

“Yang dimaksud ‘ia mengaku bagian dariku’ adalah karena secara lahir, kenyataannya memang ia bagian dariku (Nabi Muhammad) dalam sisi nasab. Adapun hasil nyatanya; fitnah tersebut ada karena disebabkan olehnya, dan justru ia malah menjadi pembangkit fitnah tersebut. 

Maka, Rasulullah bersabda ‘Laisa minni’, maksudnya adalah hakekatnya orang tersebut bukanlah ahli baitku (keluargaku). Sebab, apabila ia benar-benar ahli bait-ku, tentu ia tidak berkontribusi pada fitnah tersebut. 

Hal itu mirip dengan firman Allah subhanahu wa ta’a ‘Sesunggunya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik.’.” (Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, [Darul Fikr, Beirut, 2002), juz 8, halaman 3399)

*Hukum Pernikahan Syarifah Dengan Non Srarif/Sayid*

Islam merupakan agama yang sangat menghargai perempuan. Dalam pemaparan kali ini, salah satu contohnya yakni pada pembahasan kafa`ah dalam pernikahan.

Secara definitif, kafa`ah bisa diartikan sebagai kesetaraan derajat suami di hadapan istrinya. Sebagaimana lazimnya seorang ahlul bait laki-laki (Syarif/Sayid) tak ada larangan menikahi non Syarifah/Sayidah, akan tetapi jika hal itu sebaliknya dengan Syarifah/Sayidah yang dianggap tidak kafa'ah jika menikah dengan non Syarif/Sayid meskipun hal ini pun banyak terjadi dan hukum pernikahannya tetaplah sah secara syareat.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 43,

الكفاءة: ويقصد بالكفاءة: مساواة حال الرجل لحال المرأة

“Al-kafa`ah. Yang dimaksud dengan al-kafa`ah ialah kesetaraan kondisi suami terhadap kondisi istri. Dalam syariat Islam, kafa`ah diberlakukan sebagai sesuatu yang “dipertimbangkan” dalam nikah, namun tidak berkaitan dengan keabsahannya. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 47,

فَصْلٌ: فِي الْكَفَاءَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي النِّكَاحِ لَا لِصِحَّتِهِ بَلْ لِأَنَّهَا حَقٌّ لِلْمَرْأَةِ وَالْوَلِيِّ فَلَهُمَا إسْقَاطُهَا

“Pasal tentang kafa`ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah, bukan pada soal keabsahannya, namun hal tersebut merupakan hak calon istri dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya.

Hadits yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i,

فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي

‘… maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku.’ (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim)

Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.

Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh Rasulullah dijawab : ‘Allah belum menurunkan takdir-Nya’. Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi ? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda,

كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري

‘Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku‘. (HR. At-Thabrani)

Al-Baihaqi, At-Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata, ‘Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, ‘Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.’ Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut, 'Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah)’. (HR. Baihaqi dan At-Thabrani)

Sebelum menikah dengan sayidina Ali bin Abi Tholib, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah Subhanallahu wa Ta'ala belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata : ‘Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah’.

Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan :

لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء

‘Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya’.

Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah".

Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur berkata,

بغية المسترشدين
مسألة : شريفة علوية خطبها غير شريف فلا أرى جواز النكاح وإن رضيت ورضي وليها ، لأن هذا النسب الشريف الصحيح لا يسامى ولا يرام ، ولكل من بني الزهراء فيه حق قريبهم وبعيدهم ، وأتى بجمعهم ورضاهم ، وقد وقع أنه تزوّج بمكة المشرفة عربي بشريفة ، فقام عليه جميع السادة هناك وساعدهم العلماء على ذلك وهتكوه حتى إنهم أرادوا الفتك به حتى فارقها ، ووقع مثل ذلك في بلد أخرى ، وقام الأشراف وصنفوا في عدم جواز ذلك حتى نزعوها منه غيرة على هذا النسب أن يستخفّ به ويمتهن ، وإن قال الفقهاء إنه يصح برضاها ورضا وليها فلسلفنا رضوان الله عليهم اختيارات يعجز الفقيه عن إدراك أسرارها ، فسلَّم تسلم وتغنم ، ولا تعترض فتخسر وتندم.

"Jika seorang Syarifah alawiyyah dipinang oleh bukan syarif maka saya tidak berpendapat
bolehnya (sahnya) pernikahan ini, meskipun syarifah tersebut dan walinya ridho, karena nasab yang mulia dan agung ini tidak ada yang dapat menandinginya. Dan setiap keturunan Azzahro' (ahlul bait) satu sama lainnya saling mempunyai hak dalam pernikahan, baik itu kerabat dekat maupun jauh, dan jika ingin menikahinya maka wajib mendapatkan ridho dari mereka semua. Pernah terjadi di Makkah Musyarrofah seorang laki-laki berdarah arab menikahi seorang Syarifah, berita ini didengar oleh para sa'adah (para sayyid) kemudian mereka pun menentang keras pernikahan ini dan para ulama' disana ikut membantu menyelesaikannya kemudian pernikahan ini dibubarkan setelah hampir saja pengantin pria disergap massa, akhirnya ia memilih untuk menceraikan istrinya."

"Peristiwa serupa juga pernah terjadi didaerah lain para Sa'adah disana pun bangkit menentang, mereka menulis risalah mengenai "Tidak di Perbolehkannya Pernikahan Semacam Ini" dan pengantin wanita pun diambil paksa dari pangkuan pengantin pria mereka melakukan ini semua karena semata-mata ingin membela nasab yang mulia jangan sampai dihinakan atau diremehkan oleh orang. Meskipun sebenarnya fuqoha' menganggap sah pernikahan ini asalkan calon pengantin wanita dan walinya sama-sama ridho untuk melakukannya. Namun para pendahulu kita (ulama' salaf) punya pilihan pendapat yang tidak difahami oleh ahli fiqih karena disana ada rahasia-rahasia yang tidak bisa diungkapkan, terima saja pendapat mereka maka engkau akan selamat dan memperoleh keberuntungan dan jangan sekali-kali menentang sebab engkau akan merugi dan menyesal."

Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in:

‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”

Meskipun demikian perlu juga diketahuo bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menikahkan putri-putri beliau dengan sebagian sahabat yang bukan dari Bani Hasyim. Semisal Utsman bin Affan dan Abul ‘Ash bin Ar Rabi’ radhiallahu’anhum. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu juga menikahkan putrinya dengan Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Demikian juga Sukainah bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah menikah dengan empat orang lelaki yang bukan dari Bani Hasyim. Demikianlah praktek para salaf terdahulu dan hal ini tidak bisa diingkari. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 18 Juni 2020

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Meraih Amalan Hidup Yang Berkualitas)


*Khutbah Pertama*

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ  أَمَرَنَا بِتَرْك الْمَنَاهِيْ وَفِعْل
الطَّاعَاتِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ. اَمَّا بَعْدُ،

فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ:

*Jama'ah Shalat Jum'at Rahimakumullah*

Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan dalam memahami makna hidup ini. Pada umumnya, manusia tidak mengetahui banyak hal tentang makna dari hidup ini, yang diketahui hanyalah realitas yang nampak saja. Makna hidup dalam Islam tak sekadar hanya berjuang untuk mempertahankan hidup, akan tetapi hidup yang berkualitas “memberi kemanfaatan dan pencerahan kepada sesama”.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menuntut hamba-Nya untuk mengerjakan dan memprioritaskan ibadah serta kegiatan yang berkualitas. Sebagaimana firman-Nya di bawah ini,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

"Dialah (Tuhan) yang menjadikan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia Mahaperkasa, lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk : 2).

*Jama'ah Shalat Jum'at Rahimakumullah*

Berkenaan dengan ayat di atas, Tafsir Ibn Katsir menafsirkan kata ‘amalan sebagai amalan yang baik (ahsan) ialah sebaik-baik amal dan bukan sebanyak amal. Artinya, amal yang berkualitas lebih diutamakan ketimbang kuantitas atau banyaknya amalan.

إن الموت أمر وجودي لأنه مخلوق. معنى الآية: أنه أوجد الخلائق من العدم، ليبلوهم ويختبرهم أيهم أحسن عملا؟ كما قال: { كَيْفَ تَكْفُرُونَ  ِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ } [البقرة:28]

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Hatim menjelaskan maksud dari Surat al-Mulk ayat 2. Ayat tersebut mengingatkan bahwa kematian merupakan penunduk manusia. Dengan mengingat kematian orang akan mempersiapkan diri menuju kehidupan di akhirat.

. وقال ابن أبي حاتم: حدثنا أبو زُرْعَة، حدثنا صفوان، حدثنا الوليد، حدثنا خُلَيْد، عن قتادة في قوله: { الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ } قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إن الله أذل بني آدم بالموت، وجعل الدنيا دار حياة ثم دار موت، وجعل الآخرة دار جزاء ثم دار بقاء”. ورواه مَعْمَر، عن قتادة.

Ibnu Hatim berkata; telah meriwayatkan kepada kami Abu Zur’ah, Shofwan telah meriwayatkan kepada kami, al-Walid telah meriwayatkan kepada kami, Khalid telah meriwayatkan kepada kami, dari Qatadah mengenai firman Allah Ta'ala “alladziy khalaqa al-maut wa al-hayaah”.

Lalu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta'ala menundukkan manusia dengan kematian, dan menjadikan dunia sebagai tempat kehidupan, lalu menjadikannya sebagai tempat kematian. Dan Allah Ta'ala menjadikan akherat sebagai negeri pembalasan, dan kemudian negeri yang kekal abadi”.

Dalam ayat tersebut, kata “liyabluwakum” bermakna bahwa Allah Ta'ala menguji kalian (manusia) dengan dibebankannya kewajiban-kewajiban. Sedangkan kata ”ayyukum ahsan ’amalan” bermakna amalan yang paling benar dan ikhlas.

*Jama'ah Shalat Jum'at Rahimakumullah*

Makna ahsan ’amalan adalah perbuatan yang paling benar dan ikhlas ini dijelaskan Imam Fudlail bin 'Iyadh. Beliau mengatakan bahwa ikhlas merupakan kunci sebuah perbuatan akan diterima. Keikhlasan akan melekat pada diri seorang hamba ketika tujuan amalnya adalah Allah semata.

 وقال فضيل بن عياض “أحسن عملا” أخلصه وأصوبه. وقال: العمل لا يقبل حتى يكون خالصًا صوابًا الخالص: إذا كان لله والصواب: إذا كان على السنة.

Berbeda dengan Imam al-Baghawi dalam kitabnya. Beliau menjelaskan bahwa makna ahsanu ’amalan adalah paling baik-baiknya akal, paling wara'nya menjauhi larangan Allag Ta'ala dan paling cepat menjalankan ketaatan kepada-Nya.

 روي عن ابن عمر  مرفوعا: ” أحسن عملا” أحسن عقلا وأورع عن محارم الله، وأسرع في طاعة الله

Imam al-Baghawiy mengatakan, ”Diriwayatkan dari Ibnu ’Umar secara marfu’; bahwasanya, yang dimaksud dengan ”ahsanu ’amalan” (sebaik-baik perbuatan)  adalah sebaik-baik akalnya, se-wara’-wara’nya dari larangan Allah, dan secepat-cepatnya menuju ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya menjelaskan makna penggalan ayat liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan adalah yang paling banyak mengingat kematian, paling baik persiapannya, dan paling takut serta waspada terhadapnya. Lalu Imam al-Qurthuby menambahkan pendapat Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. ketika membaca ayat pertama surah al-Mulk sampai pada redaksi liyabluwakum, lantas bersabda: “Yang paling menjaga diri dari perkara yang diharamkan oleh Allah swt dan yang paling bersegera dalam melakukan ketaatan kepada Allah swt.”

Sedangkan Imam al-Tustari dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim memaknai redaksi liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan sebagai amal yang terjaga dari hal-hal yang sifatnya syubhat (tidak jelas) apalagi haram dan amal yang ikhlas.

Selanjutnya al-Alusi dalam Kitab Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa al-Sab’i al-Matsani, memaparkan kata liyabluwakum bermakna bahwa Allah akan melakukan sesuatu untuk menguji kalian sehingga ia tercapai tujuan untuk mengetahui ayyukum ahsanu ‘amalan. Makna ‘amalan di sini ialah perkara yang mencakup amal hati dan anggota badan.

*Jama'ah Shalat Jum'at Rahimakumullah*

*Pentingnya Menjaga Kualitas Ibadah*

Islam sangat menekankan kualitas dalam setiap hal. Hal ini telah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Sesungguhnya, Allah itu suci lagi bersih dan Allah tidak akan menerima, kecuali yang suci bersih pula.”

Pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat sering kali membawa buah kurma yang baru mereka petik untuk dibawa ke masjid supaya dimakan oleh fakir miskin. Pada suatu hari, salah seorang dari mereka membawa buah kurma dengan kualitas yang rendah ke masjid. Pemberian yang tidak berkualitas ini ditegur oleh Allah melalui firman-Nya dalam Surah al-Baqarah ayat 267,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Wahai mereka yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan sedangkan kamu sendiri enggan mengambilnya kecuali dengan memejamkan mata terhadapnya.  Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Al-Baqarah : 267) Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Hakim.

Tatkala berbicara kualitas, saya teringat akan satu bait syair yang terdapat dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syaikh Muhammad bin Hasan sebagai berikut,

فَإِنَّ فَقِيْهًا وَاحِدًا مُتَوَرِّعًا # أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدِ

"Maka sesungguhnya satu ahli faqih (berilmu) lagi wara’ itu lebih berat bagi syaitan daripada seribu orang yang ahli ibadah."

Syair tersebut mempertegas bahwa satu orang yang berilmu atau berkualitas lagi wara’ (menjaga diri dari perkara syubhat atau tidak jelas) itu lebih berat bagi syaitan untuk menggodanya ketimbang seribu orang yang ahli ibadah.

Dengan demikian, seorang muslim dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas hidupnya sehingga keberadaannya bermakna dan bermanfaat tidak hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'qla, melainkan kepada sesama. Untuk mencapai derajat kebermanfaatan tersebut, maka setiap muslim diwajibkan beribadah, bekerja, berkarya serta berinovasi dalam bingkai amal shalih. Semoga kita semua termasuk golongan hamba-Nya yang ahsanu ‘amalan. Aamiin.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ: أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا  باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ :

فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Rabu, 17 Juni 2020

KAJIAN DAN TANYA JAWAB TENTANG MEMINTA IZIN SUAMI BAGI SEORANG WANITA KARIR


Dalam bingkai rumah tangga, pasangan suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Suami sebagai pemimpin, berkewajiban menjaga istri dan anak-anaknya baik dalam urusan agama atau dunianya, menafkahi mereka dengan memenuhi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya.

Tanggungjawab suami yang tidak ringan diatas diimbangi dengan ketaatan seorang istri pada suaminya. Kewajiban seorang istri dalam urusan suaminya setahap setelah kewajiban dalam urusan agamanya. Hak suami diatas hak siapapun setelah hak Allah dan Rasul-Nya, termasuk hak kedua orang tua. Mentaatinya dalam perkara yang baik menjadi tanggungjawab terpenting seorang istri.

Dalam beberapa kasus sering terjadi kesalahpahaman terkait masalah meminta izin suami bagi seorang wanita karir, apakah setiap kali harus meminta izin ataukah cukup sekali saja disaat seorang suami memberikan izin untuk istrinya berkarir dan bekerja di luar rumah sebagaimana pertanyaan berikut.

*Pertanyaan:*

Assalamu'alaikum Pak Ustadz saya mau bertanya, apakah istri wajib izin sama suami jika hendak beraktifitas bekerja sementara suami mengizinkan saya bekerja dan apakah seorang istri juga harus izin suami jika keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan? Trim’s

*Jawab:*

Wa'alaikumussalam wr.wb.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Allah perintahkan agar para wanita lebih banyak tinggal di dalam rumah. Karena rumah adalah hijab yang paling syar’i baginnya. Allah berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

"Tetaplah tinggal di rumah kalian, dan jangan melakukan tabarruj seperti tabarruj jahiliyah yang dulu." (QS. al-Ahzab: 33)

Allah gandengkan perintah untuk banyak tinggal di rumah dengan larangan melakukan tabarruj. Karena umumnya, wanita akan lebih rentan melakukan tabarruj jika dia sudah sering keluar rumah.

Karena itu, para wanita diperintah untuk banyak tinggal di dalam rumah. Dan ketika hendak keluar rumah, mereka harus meminta izin kepada suaminya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ yakni tetaplah kalian berdiam dalam rumah kalian, jangan kalian keluar tanpa ada kebutuhan.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 6/245)

Walaupun pembicaraan dalam ayat di atas ditujukan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun juga mengena pada wanita-wanita mukminah lainnya, sebagaimana kata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat 32—34 dari surah al-Ahzab, “Ini merupakan adab yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan ke pada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan wanita-wanita umat ini mengikuti mereka dalam adab tersebut.”

Dengan demikian, hukum asalnya wanita itu berdiam di dalam rumah. Ia baru diperkenankan keluar bila ada kebutuhan atau memang suami mengizinkan istrinya untuk bekerja di luar rumah. Ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha:

خَرَجَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ –بَعْدَ مَا ضُرِبَ الْحِجَابُ– وَكَانَتِ امْرَأَةٌ جَسِيْمَةٌ لاَ تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا، فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ: يَا سَوْدَةُ، أَمَا وَاللهِ، مَا تَخْفِيْنَ عَلَيْنَا، فَانْظُرِيْ كَيْفَ تَخْرُجِيْنَ. قَالَ: فَانْكَفَأَتْ رَاجِعَةً، وَرَسُوْلُ اللهِ فِي بَيْتِي وَإِنَّهُ لَتَعَشَّى وَفِي يَدِهِ عَرْقٌ. فَدَخَلَتْ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي خَرَجْتُ لِبَعْضِ حَاجَتِي، فَقَالَ لِي عُمَرُ كَذَا وَكَذَا. قَاَلتْ: فَأَوْحىَ اللهُ إِلَيْهِ ثُمَّ رُفِعَ عَنْهُ وَإِنَّ الْعَرْقَ فِي يَدِهِ مَا وَضَعَهُ. فَقَالَ: إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ.

Saudah bintu Zam’ah keluar rumah (pada suatu malam) guna menunaikan hajatnya—setelah diturunkannya perintah hijab—. Dia seorang wanita yang berpostur tinggi besar, tidak samar bagi orang yang mengenalinya.

Ketika itu, ‘Umar ibnul Khaththab melihatnya. Ia (‘Umar) pun berkata, “Wahai Saudah, ketahuilah, demi Allah! Engkau tidak tersembunyi bagi kami (kami dapat mengenalimu), lihatlah bagaimana dengan keluarmu dari rumah.”

Saudah pun kembali pulang. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumahku. Beliau tengah makan malam. Tangan beliau memegang tulang (yang telah dimakan dagingnya). Masuklah Saudah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tadi keluar untuk memenuhi sebagian hajatku maka Umar berkata kepadaku ini dan itu.”

Saat itu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian selesai dalam keadaan tulang masih di tangan beliau dan belum diletakkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah diizinkan bagi kalian untuk keluar rumah guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian.” (HR. al-Bukhari no. 4795 dan Muslim)

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Pemahaman hadits ini adalah diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan tindakan terkait kepentingan mereka yang mereka memiliki hajat di dalamnya.” (Fathul Bari, 1/328)

Hadits ini juga menunjukkan diizinkannya para wanita keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Pengizinan ini dalam rangka menghindarkan kesempitan/kesulitan dan menghilangkan keberatan. (Fathul Bari, 8/674)

Walaupun wanita diizinkan keluar rumah saat bekerja atau saat ada kebutuhan, namun ia tidak boleh seenaknya keluar, karena keluarnya dirinya bisa menjadi sebab fitnah. Oleh karena itu, ia harus memperhatikan adab-adab syar’i bagi wanita ketika keluar rumah seperti berhijab, tidak memakai wangi-wangian, menjaga rasa malu, dan segera kembali setelah hajat tertunaikan. Apabila ia punya wali, ia harus meminta izin kepada walinya, misalnya anak perempuan meminta izin kepada ayahnya. Adapun seorang istri, ia harus meminta izin kepada suaminya dan ini termasuk salah satu hak suami yang harus dipenuhi istrinya.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

"Apabila istri kalian meminta izin kepada kalian untuk berangkat ke masjid malam hari, maka izinkanlah…" (HR. Ahmad 5211, Bukhari 865, dan Muslim 1019)

Al-Hafidz Ibnu Hajar memberikan catatan untuk hadis ini,

قال النووي واستدل به على أن المرأة لا تخرج من بيت زوجها إلا بإذنه

"An-Nawawi mengatakan, hadits ini dijadikan dalil bahwa wanita tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya." (Fathu Bari, 2/347).

Ketika Aisyah sakit dan ingin ke rumah bapaknya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau minta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَتَأْذَنُ لِى أَنْ آتِىَ أَبَوَىَّ

“Apakah anda mengizinkan aku untuk datang ke rumah bapakku?” (HR. Bukhari 4141 & Muslim 7169)

Kecuali dalam kondisi terpaksa, yang mengharuskan wanita keluar rumah, tanpa harus meminta izin suami karena kesulitan jika harus meminta izin kepadanya.

Musthafa ar-Ruhaibani mengatakan,

ويحرم خروج الزوجة بلا إذن الزوج أو بلا ضرورة ، كإتيانٍ بنحو مأكل ; لعدم من يأتيها به

"Seorag istri diharamkan untuk keluar tanpa izin suami, kecuali karena alasan darurat. Seperti membeli makanan, karena tidak ada yang mengantarkan makanan kepadanya." (Mathalib Ulin Nuha, 5/271)

Dan izin tidak harus dilakukan berulang. Istri bisa minta izi umum untuk akvitas tertentu, misalnya semua aktivitas antar jemput anak, atau ke warung terdekat atau pergi ke tempat kajian muslimah, atau semacamnnya. Dengan ini, istri tidak perlu mengulang izin untuk melakukan aktivitas yang sudah mendapat izin umum dari suami.

Semua ketentuan yang telah Allah tetapkan di atas sama sekali bukan bertujuan membatasi ruang gerak para wanita, merendahkan harkat dan martabatnya, sebagaimana yang didengungkan oleh orang-orang kafir tentang ajaran Islam. Semua itu adalah syariat Allah yang sarat dengan hikmah. Dan hikmah dari melaksanakan dengan tulus semua ketetapan Allah di atas adalah berlangsungnya bahtera rumah tangga yang harmonis dan penuh dengan kenyamanan. Ketaatan pada suami pun dibatasi dalam perkara yang baik saja dan sesuai dengan kemampuan. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita semua keluarga yang barakah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud memberi jawaban semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 08 Juni 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGABUNGKAN NIAT PUASA SUNNAH DENGAN QADHA' PUASA WAJIB


Niat merupakan hal yang sangat penting bagi setiap hal. Khususnya dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena dengan niat dapat dibedakan antara aktivitas biasa dengan aktivitas yang bernilai ibadah.

Seperti duduk di dalam masjid, adat kebiasaan orang adalah duduk untuk beristirahat. Tetapi ketika sudah diniati ibadah maka duduknya di dalam masjid bergeser istilah menjadi i’tikaf dan bernilai ibadah, bukan istirahat biasa.

Lebih lanjut, piranti penting yang harus ada di dalam niat adalah ikhlas. Ikhlas adalah memurnikan amal hanya karena Allah Ta'ala dan menyelamatkan amal dari beragam nafsu yang dapat merusaknya.

Adapun pengertian ikhlas di dalam bab fiqh adalah memurnikan niat untuk satu ibadah. Oleh karena itu, maka men-tasyrik niat adalah menjadikan tidak sahnya niat. Tasyrik adalah mencampur niat antara ibadah dengan yang lain.

Namun, tidak diperbolehkannya mencampur niat tersebut tidak berlaku dalam beberapa ibadah. Misalnya niat salat tahiyatul masjid dicampur dengan salat sunah qabliyah hukumnya adalah sah. Keterangan tersebut sebagaimana disebutkan oleh imam Abu bakar al Ahdali dalam kitab Qawaid Fiqhiyah al Faraid al Bahiyyah

وَاعْتُبِرَ الْإِخْلاَصُ فِيْ الْمَنْوِيْ فَلَا # تَصِحُّ بِالتَّشْرِيْكِ فِيْمَا نُقِلَا

وَاسْتُثْنِيَتْ أَشْيَاءُ كَالتَّحِيَّةِ # مَعْ غَيْرِهَا تَصِحُّ فِيْهَا النِّيَّةُ

"Diharuskan ikhlas di dalam niat maka tidak sah niat dengan tasyrik sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Terkecuali beberapa perkara sebagaimana salat tahiyatul masjid dicampur dengan lainnya maka niatnya berhukum sah."

Seseorang yang memiliki utang puasa Ramadan dianjurkan untuk mengqadha segera utang puasanya. Setelah utang puasa Ramadhannya terbayar, maka ia boleh melanjutkannya dengan puasa sunah Syawal, puasa senin kamis atau puasa sunnah lainnya.

ولو صام في شوال قضاء أو نذرا أو غير ذلك ، هل تحصل له السنة أو لا ؟ لم أر من ذكره ، والظاهر الحصول. لكن لا يحصل له هذا الثواب المذكور خصوصا من فاته رمضان وصام عنه شوالا ؛ لأنه لم يصدق عليه المعنى المتقدم ، ولذلك قال بعضهم : يستحب له في هذه الحالة أن يصوم ستا من ذي القعدة لأنه يستحب قضاء الصوم الراتب ا هـ

“Kalau seseorang mengqadha puasa, berpuasa nadzar, atau berpuasa lain di bulan Syawal, apakah mendapat keutamaan sunah puasa Syawal atau tidak? Saya tidak melihat seorang ulama berpendapat demikian, tetapi secara zhahir, mendapat (keutamaan puasa syawal). Tetapi memang ia tidak mendapatkan pahala yang dimaksud dalam hadits khususnya orang luput puasa Ramadhan dan mengqadhanya di bulan Syawal karena puasanya tidak memenuhi kriteria yang dimaksud. Karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa dalam kondisi seperti itu ia dianjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Dzul qa’dah sebagai qadha puasa Syawal,” (Lihat Al-Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Marifah, cetakan pertama, 1997 M/1418 H, juz I, halaman 654).

Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan,

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ”

Dari Abu Ayyub Al Anshari berkata, bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka bagai berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim)

Kalau pun ia tidak melanjutkan pembayaran utang puasa wajibnya dengan puasa sunah Syawal, ia tetap dinilai mengamalkan sunah puasa Syawal meski tidak mendapatkan ganjaran seperti yang disebutkan di dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Adapun mereka yang tidak berpuasa Ramadhan tanpa uzur diharamkan untuk mengamalkan puasa sunah Syawal. Mereka wajib mengqadha segera utang puasanya. Sedangkan mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur tertentu, makruh mengamalkan puasa sunah Syawal.

وَقَضِيَّةُ كَلَامِ التَّنْبِيهِ وَكَثِيرِينَ أَنَّ مَنْ لَمْ يَصُمْ رَمَضَانَ لِعُذْرٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ صِبًا أَوْ جُنُونٍ أَوْ كُفْرٍ لَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ . قَالَ أَبُو زُرْعَةَ : وَلَيْسَ كَذَلِكَ : أَيْ بَلْ يُحَصِّلُ أَصْلَ سُنَّةِ الصَّوْمِ وَإِنْ لَمْ يُحَصِّلْ الثَّوَابَ الْمَذْكُورَ لِتَرَتُّبِهِ فِي الْخَبَرِ عَلَى صِيَامِ رَمَضَانَ . وَإِنْ أَفْطَرَ رَمَضَانَ تَعَدِّيًا حَرُمَ عَلَيْهِ صَوْمُهَا. وَقَضِيَّةُ قَوْلِ الْمَحَامِلِيِّ تَبَعًا لِشَيْخِهِ الْجُرْجَانِيِّ ( يُكْرَهُ لِمَنْ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِالصَّوْمِ كَرَاهَةُ صَوْمِهَا لِمَنْ أَفْطَرَهُ بِعُذْرٍ

“Masalah di Tanbih dan banyak ulama menyebutkan bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur, perjalanan, masih anak-anak, masih kufur, tidak dianjurkan puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Abu Zur‘ah berkata, tidak begitu juga. Ia tetap dapat pahala sunah puasa Syawal meski tidak mendapatkan pahala yang dimaksud karena efeknya setelah Ramadhan sebagaimana tersebut di hadits. Tetapi jika ia sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa uzur, maka haram baginya puasa sunah. Masalah yang disebutkan Al-Mahamili mengikuti pandangan gurunya, Al-Jurjani. (Orang utang puasa Ramadhan makruh berpuasa sunah, kemakruhan puasa sunah bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur),” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan ketiga, 2003 M/1424 H, juz III, halaman 208).

Salah satu niat yang diperbolehkan untuk dicampur dengan niat lain dalam satu ibadah adalah puasa sunah Syawwal, Arafah, Senin Kamis atau puasa sunnah lainnya yang digabungkan dengan niat puasa qadha' atau nadzar. Puasa Syawal atau Arafah berhukum sunah dan puasa qadha' atau nadzar berhukum wajib, maka niatnya tidak batal, dan kedua-duanya baik puasa sunnah maupun puasa qadha' atau nadzarnya sah.

Jadi dia melakukan satu puasa, namun ia mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni puasa sunah Arafah dan puasa wajib qada. Hal ini disebutkan di dalam Al-Tsamaratul Mardliyyah karya M. Yahya Khusnan Manshur (Jombang: Pustaka al Muhibbin, 2009, hal. 35-36).

أن ينوي مع العبادة المفروضة عبادة أخرى. ما لا يقتضي البطلان ويحصلان معا. نوى بغسله الجنابة والجمعة، صام يوم عرفة مثلا قضاء أو نذرا نوى معه الصوم بعرفة.

Di dalam kitab Fathul Mu’in (Surabaya: Nurul Huda, h. 59) karya Imam Zainuddin al Malibari juga menyebutkan bahwa mayoritas ulama muta’khirin telah menfatwakan bahwa sampainya pahala puasa Arafah yang disertai dengan puasa fardhu.

Demikian halnya Al-‘Allamah Abu Zur’ah Al-‘Iraqi rahimahullah berkata,

يحصل أصل سنة الصوم وإن لم يحصل الثواب المذكور ؛ لترتبه في الخبر على صيام رمضان ، وإن أفطر رمضان تعديًا حَرُم عليه صومها

“(Bagi yang mendahulukan puasa Syawal dari qadha puasa), ia akan mendapatkan pahala pokok sunnah puasa walaupun tidak mendapatkan pahala sempurna setahun penuh. Karena hadits menyebutkan mesti mendahulukan puasa Ramadhan. Namun jika qadha’ puasa karena tidak berpuasa tanpa uzur, maka haram baginya berpuasa Syawal.”

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyertakan niat antara puasa sunah dengan puasa fardhu tidak dilarang. Keduanya masing-masing dianggap dan sampai pahalanya.

Oleh karena itu, jika seseorang puasa Ramadhan, maka boleh baginya setiap hari Senin dan Kamis menggabungkan niat qadha' puasa Ramadhan dengan puasa Senin atau Kamis. Bahkan ketika tanggal 13, 14 dan 15, maka boleh baginya berniat puasa Ramadhan dan puasa ayyamul bidh sekaligus niat puasa Senin atau Kamis.

Dalam hal ini dibedakan antara sahnya ibadah dan konsekuensi pahala.

*Pertama:* Dari sisi sahnya ibadah, siapa yang berpuasa dengan dua niatan, maka puasanya sah. Ia mendapatkan pahala pokok puasa.

*Kedua:* Dari sisi pahala, ia tidak mendapatkan pahala puasa Syawal (setahun penuh berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaratkan berpuasa Ramadhan dulu lalu berpuasa Syawal.

Dalam madzhab Syafii, menggabungan dua niat ada beberapa bentuk sebagai berikut.

*Bentuk pertama:* menggabungkan dua niat, yakni niat qadha’ dan niat puasa enam hari Syawal, maka pahala qadha’ dan pahala sunnah enam hari Syawal tetap dapat. Demikian ada kesamaan antara pendapat Imam Ar-Ramli dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

*Bentuk kedua:* hanya berniat qadha’, sedangkan puasa Syawal diniatkan untuk ditunda setelah qadha’, maka pahala yang diperoleh hanya qadha’ saja, sedangkan pahala puasa enam hari di bulan Syawal tidak didapatkan. Dalam hal ini, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ar-Ramli bersepakat.

*Bentuk ketiga:* hanya berniat qadha’, namun tidak berniat puasa Syawal setelah qadha’, maka pahala yang diperoleh adalah pahala qadha’ dan mendapatkan pahala puasa sunnah enam hari Syawal sebagai jaminan (dhamnan). Karena maksudnya adalah menyibukkan diri dengan puasa pada bulan Syawal. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan untuk bentuk ini, ia hanya mendapatkan pahala qadha’ sebagaimana yang diniatkan.

*Kesimpulannya,* siapa yang menginginkan pahala sempurna seperti puasa setahun penuh, hendaklah ia mendahulukan menunaikan qadha’ puasa dari puasa sunnah Syawal. Adapun mengggabungkan niat puasa Syawal dan niat qadha’, atau mendahulukan puasa Syawal dari qadha’, puasanya sah, namun pahala sempurna (puasa setahun penuh) tidaklah diperoleh. Jika ingin mendapatkan pahala puasa setahun penuh, lakukanlah qadha’ puasa lalu diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

TANYA JAWAB MENERIMA TAMU


*Pertanyaan:*

Assalamu'alaikum tanya tadz, bagaimana sikap istri kalau ada tamu pria ke rumah sedangkan suami lagi tidak ada?

HP : +6288290736xxx

*Jawaban:*

Wa'alaikumussalam wr.wb.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Tidak ada larangan bagi istri untuk menerima tamu laki-laki saat suaminya tidak di rumah selama tidak terjadi khalwat atau fitnah di dalamnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa suatu ketika Rasulullah pergi bersama Abu Bakar dan Umar mengunjungi kebun Abu Haitsam, namun mereka tidak mendapatinya dan kedatangan mereka justru disambut oleh istri Abu Haitsam.

Dalam jalur riwayat lain dikisahkan bahwa Rasulullah keluar bersama Abu Bakar dan Umar lantaran lapar, kemudian mereka mendatangi salah satu sahabat anshar namun ia tidak ada di rumah karena sedang mengambil air untuk keluarganya. Dan akhirnya kedatangan mereka disambut oleh istrinya sampai suaminya datang. [Imam An-Nawâwi, Shahih Al-Bukari, hadits 2642]

Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwa hadits ini mengajarkan bagaimana cara memuliakan tamu. Dengan menyambut dan mengucapkan, “Selamat datang,” menampakkan kebahagiaan dengan kedatangannya serta memperlakukan mereka sebagai bagian dari keluarga sendiri. Riwayat di atas juga menjelaskan bolehnya mendengar suara wanita asing serta mengulangi percakapan dengannya karena sebuah kebutuhan dan seorang istri boleh memberi izin kepada laki-laki asing masuk ke rumah suaminya asalkan laki-laki asing tersebut sudah dipastikan tidak berkhalwat atau terjadi fitnah.

Selain itu, setidaknya ada orang ketiga bersama tamu laki-laki tersebut atau bersama sang istri untuk menghilangkan fitnah khalwat. Baik orang ketiga itu laki-laki atau perempuan, dan disyaratkan ia sudah baligh dan berakal. Beliau juga menjelaskan bahwa laki-laki asing yang berduaan dengan perempuan asing tanpa ada orang ketiga maka para ulama telah bermufakat atas keharamannya. Begitu juga bila yang bersamanya adalah orang yang belum memiliki rasa malu, yaitu anak-anak, maka keberadaannya tidak dianggap. [Ibnu Hajar, Fathul Bâri, syarah hadits 2642]

Sesungguhnya rumah keluarga adalah rumah kemuliaan dan kehormatan. Allah perintahkan kedua suami istri saling menjaganya. Terutama istri, yang secara khusus Allah perintahkan agar menjaga amanah di rumah suaminya. Karena istri adalah rabbatul bait (ratu di rumah suaminya), yang bertugas menjaga rumah suaminya.

Diantara ciri wanita shalihah, Allah sebutkan dalam al-Quran,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

"Sebab itu wanita yang salehah, adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka." (QS. An-Nisa' : 34).

Dan upaya wanita menjaga kehormatan dirinya, harta suaminya, dan rumahnya, merupakan hak suami yang menjadi kewajiban istri.

Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, dalam haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan dalam khutbahnya,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُم أَخَذتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ، وَاستَحلَلتُم فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَلَكُم عَلَيهِنَّ أَلَّا يُوطِئنَ فُرُشَكُم أَحَدًا تَكرَهُونَهُ، فَإِن فَعَلنَ ذَلك فَاضرِبُوهُنَّ ضَربًا غَيرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيكُم رِزقُهُنَّ وَكِسوَتُهُنَّ بِالمَعرُوفِ

Bertaqwalah kepada Allah terkait hak istri-istri kalian. Kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah, dan kalian halal berhubungan dengan mereka karena Allah halalkan melalui akad. Hak kalian yang menjadi kewajiban mereka, mereka tidak boleh memasukkan lelaki di rumah. Jika mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Sementara mereka punya hak disediakan makanan dan pakaian dengan cara yang wajar, yang menjadi kewajiban kalian. (HR. Muslim 1218).

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah,

من حقّ الزّوج على زوجته ألاّ تأذن في بيته لأحد إلاّ بإذنه ، لما ورد عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أنّ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم قال : ( لَا يَحِلُّ لِلْمَرأَةِ أَن تَصُومَ وَزَوجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذنِهِ ، وَلَاْ تَأْذَن فِي بَيتِهِ إِلاّ بِإِذنِهِ ) رواه البخاري ( 4899 ) ومسلم ( 1026 ) .

Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya, dia tidak boleh mengizinkan seorangpun masuk rumah, kecuali dengan izin suaminya. Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi wanita untuk puasa sunah, sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan izin suaminya. Dan istri tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari 4899 & Muslim 1026).

ونقل ابن حجر عن النّوويّ قوله : “في هذا الحديث إشارة إلى أنّه لا يُفتات على الزّوج بالإذن في بيته إلاّ بإذنه ، وهو محمول على ما لا تعلم رضا الزّوج به ، أمّا لو علمت رضا الزّوج بذلك فلا حرج عليها

Ibnu Hajar menukil keterangan dari an-Nawawi mengenai hadits ini, Bahwa dalam hadits ini terdapat isyarat, bahwa istri tidak boleh memutuskan sendiri dalam memberi izin masuk rumah, kecuali dengan izin suami. Dan ini dipahami untuk kasus yang dia tidak tahu apakah suami ridha ataukah tidak. Namun jika dia yakin suami ridha dengan keputusannya, tidak menjadi masalah baginya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 30/125).

Sebagai contoh, tamu yang tidak perlu izin dari suami, tamu dari kerabat suami atau kerabat istri. Mereka bisa dipersilahkan masuk, selama masih mahram dengan istri.

Ketika datang tamu asing, bukan keluarga suami maupun istri, sementara suami tidak ada di rumah, istri tidak boleh mengizinkan masuk tamu itu.

Jika tamu menyampaikan salam, istri cukup menjawab salamnya dengan pelan dari dalam tanpa membukakan pintu.

Jika tamu menyadari ada penghuni di dalam, dan dia minta izin masuk, cukup sampaikan bahwa suami tidak di rumah dan tidak boleh diizinkan masuk. Wallahu a'lam

Demikian jawaban Asimun Ibnu Mas'ud semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 06 Juni 2020

KAJIAN TENTANG MEMILIH SUAMI IDAMAN DAN MENJADI ISTRI IDAMAN


 (Artikel Request Akhwat)

Masalah pernikahan mendapat perhatian yang sangat khusus dalam ajaran Islam.  Sebelum menikah, seorang Muslimah dianjurkan untuk memperhatikan kriteria dan kualitas calon suami yang akan menjadi pendamping hidupnya hingga akhir hayat.

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, seperti dikutip dalam kitab Makarim al-Akhlaq, mengajarkan kaum Muslimah agar memperhatikan kriteria laki-laki calon suaminya.

Punya pasangan hidup adalah fitrah manusia. Tentu, setiap wanita ingin bersanding dengan pria idaman.

Tetapi, pria idaman bagi wanita tentu berbeda-beda. Ini karena kaum hawa punya kriteria sendiri tentang seperti apa pria yang bisa membuatnya jatuh cinta.

Meski demikian, Islam juga memiliki kriteria mengenai seperti apa suami idaman. Apa sajakah itu?

*Pertama:* Suami memahami agama sehingga menjadi imam terbaik bagi keluarga di rumah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

Apabila ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, yang meminang putri kalian, nikahkan dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (HR. Turmudzi 1084, Ibn Majah 1967 Hadits hasan)

Dalam hadits dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari, no. 71 dan Muslim, no. 1037)

Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Dapat disimpulkan dari hadits tersebut bahwa siapa yang tidak memahami agama, enggan mempelajari dasar-dasar Islam dan cabang-cabangnya, maka ia diharamkan untuk mendapatkan kebaikan.” (Fath Al-Bari, 1: 165)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Siapa yang tidak belajar agama, maka tidak akan mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, siapa yang ingin dapat kebaikan, maka ia akan dipahamkan dalam agama. Siapa yang dipahamkan dalam agama, maka ia telah diinginkan jadi baik jika memang ia memahami ilmu agama itu sambil diamalkan. Jika ia jadikan ilmu hanya sebagai wacana saja, ia tidaklah disebut faqih (paham) dan tidak mendapatkan kebaikan. Karenanya faqih (paham agama sambil diamalkan, pen.) merupakan syarat untuk mendapatan kebaikan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:243)

*Kedua:* Suami peduli pada kebagusan agama istri dan anaknya, bukan terus memenuhi kepentingan dunianya saja.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At- Tahrim: 6)

Adh-Dhahak dan Maqatil mengenai ayat di atas,

حَقُّ عَلَى المسْلِمِ أَنْ يُعَلِّمَ أَهْلَهُ، مِنْ قُرَابَتِهِ وَإِمَائِهِ وَعَبِيْدِهِ، مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيْهِمْ، وَمَا نَهَاهُمُ اللهُ عَنْهُ

“Menjadi kewajiban seorang muslim untuk mengajari keluarganya, termasuk kerabat, sampai pada hamba sahaya laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (HR. Ath-Thabari, dengan sanad shahih dari jalur Said bin Abi ‘Urubah, dari Qatadah. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:321)

Kepala rumah tangga yang baik mengajak anaknya untuk shalat sebagaimana yang suri tauladan kita perintahkan,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ

“Perhatikanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Jika mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka enggan, pukullah mereka.” (HR. Abu Daud, no. 495; Ahmad, 2: 180 hadits shahih).

Coba perhatikan nikmatnya jika rumah tangganya dibina dengan agama. Sungguh nikmat dan seuju. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh suami-istri untuk shalat malam bareng,

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (HR. Abu Daud, no. 1450; An-Nasa’i, no. 1611 hadits hasan).

*Ketiga:* Memberi nafkah kepada keluarga dengan baik.

Dari Mu’awiyah Al-Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah.” (HR. Abu Daud, no. 2142 hadits hasan shahih).

*Besaran nafkah itu seperti apa?*

Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

Abul ‘Abbas rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 34: 83)

*Bagaimana jika suami tidak memberi nafkah?*

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ

“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)

*Keempat:* Berusaha meluangkan waktu untuk istri dan anak

Lihatlah bagaimanakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meluangkan waktu untuk istrinya.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita,

أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».

Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud, no. 2578 dan Ibnu Majah, no. 1979 hadits shahih).

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup-nutupi pandanganku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda” (HR. Bukhari, no. 5236 dan Muslim, no. 892)

*Kelima:* Banyak memaklumi kekurangan satu sama lain dan terus memperbaiki diri

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si pria tidak menyukai suatu akhlak pada si wanita, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridhai.” (HR. Muslim, no. 1469)

*Keenam:* Suami punya kewajiban memenuhi hajat istri

Ada kisah Abu Darda’ dan Salman yang dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut,

Nabi–shallallahu ‘alaihi wa sallam–telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya, Ummu Darda’, dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. “Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’,

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan badan), dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri). Maka berilah porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari, no. 968).

*Ketujuh:* Tidak banyak curiga pada istri

Inilah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar suami tidak terlalu penuh curiga ketika ia meninggalkan istrinya lalu datang dan ingin mengungkap aib-aibnya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ

“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya.” (HR. Bukhari, no. 5246 dan Muslim, no. 715).

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari kesalahannya.” (HR. Muslim no. 715).

Hadits semacam ini kata Al-Muhallab adalah dalil yang menunjukkan terlarang mencari-cari kesalahan dan kelengahan istri karena ini adalah bagian dari fitnah dan termasuk berburuk sangka padanya (Lihat Syarh Al-Bukhari li Ibni Batthol, 13:372, Asy-Syamilah).

*Delapan:* Lugu dengan keluarga dan tidak keras

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan wanita seperti al-Qawarir (gelas kaca). Fisiknya, dan hatinya lemah, sangat mudah pecah. Kecuali jika disikapi dengan hati-hati. Karena itu, tidak ada wanita yang suka disikapi keras oleh siapapun, apalagi suaminya. Maka sungguh malang ketika ada wanita bersuami orang keras. Dia sudah lemah, semakin diperparah dengan sikap suaminya yang semakin melemahkannya.

Sebaliknya, keluarga yang berhias lemah lembut, tidak suka teriak, tidak suka mengumpat, apalagi keluar kata-kata binatang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan menyertai sesuatu maka dia akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan semakin memperburuknya.” (HR. Muslim 2594, Abu Daud 2478, dan yang lainnya).

*Persiapan Khusus Sebagai Calon Istri*

Hal ini karena seorang istri lah yang akan menjadi pendorong bagi suami untuk memperoleh rida Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan kepribadian dan budi pekerti yang ia miliki. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ رواه ابن ماجة

"Tidak ada perkara yang lebih baik bagi seorang mukmin setelah bertakwa kepada Allah daripada istri yang salihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila ia memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah maka ia melakukannya, dan apabila ia pergi maka dengan tulus ia menjaga diri dan hartanya." (HR. Ibn Majah)

Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:

*Pertama:* Bersedia taat kepada suami

Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisa: 34)

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.

وَقَدَ رُوِيَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ الَّتِيْ تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ رواه البيهقي

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata; dikatakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Perempuan mana yang paling baik?' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "yang membahagiakan jika dipandang, yang taat apabila diperintah dan tidak menyalahi baik atas dirinya dan harta suaminya dengan sesuatu yang dibenci”. (HR. Al-Baihaqi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Hadits shahih)

Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.

*Kedua:* Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya

Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'” (QS. Al Ahzab: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤسهن كأسنة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا

“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang, kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Maka jadilah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.

*Ketiga:* Memiliki nasab yang baik sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

تَخَيَّرُوْا لِنُطَفِكُمْ فَانْكِحُوا اْلأَكْفَاءَ وَأَنْكِحُوْا إِلَيْهِمْ رواه أحمد

“Pilihlah tempat kalian menanamkan air mani atau benihmu, nikahilah perempuan yang sekufu' (sepadan) dan nikahkanlah dengan mereka”. (HR. Ahmad)

*Keempat:* Ifah (mampu menjaga diri). Sebagaimana riwayat ‘Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik dalam Musnad Firdaus, beliau berkata;

خَيْرُ نِسَائِكُمْ الْعَفِيْفَةُ

“Sebaik-baik perempuan kalian adalah yang mampu menjaga diri”.

*Kelima:* Mempunyai paras yang menyejukkan hati saat dipandang. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

خَيْرُ فَائِدَةٍ اِسْتَفَادَهَا الْمُسْلِمُ بَعْدَ اْلِإسْلَامِ اِمْرَأَةٌ جَمِيْلَةٌ تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَهَا وَتَحْفَظُهُ إِذَا غَابَ عَنْهَا فِيْ مَالِهِ وَنَفْسِهَا رواه ابن أبي شيبة

“Sebaik-baiknya manfaat yang bisa diperoleh oleh seorang muslim setelah keislamannya adalah perempuan cantik yang apabila dilihat mampu membahagiakan, apabila diperintah ia taat dan apabila  jauh dari suaminya ia mampu menjaga harta dan dirinya”. (HR. Abu Syaibah)

*Keenam:* Tidak mempunyai sifat cemburu yang berlebihan. Karena sifat tersebut akan membuat dirinya akan selalu berburuk sangka terhadap suaminya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَا نَتَزَوَّجُ مِنْ نِسَاءِ أَنْصَارٍ؟ قَالَ: إِنَّ فِيْهِمْ لَغَيْرَةً شَدِيْدَةً رواه النسائي

“Dari Anas ra berkata; mereka bertanya; wahai Rasulullah saw, apakah kami boleh menikahi perempuan-perempuan anshar? Rasulullah saw menjawab: sesungguhnya mereka mempunyai rasa cemburu yang berlebihan”. (HR. An-Nasa'i)

*Ketujuh:* Mempunyai perangai yang baik. Karena perangai baik merupakan perhiasan yang kekal sedangkan kecantikan akan fana. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَحَبَّكُمْ إِلَى اللهِ وَأَقْرَبَكُمْ مِنِّي أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَى اللهِ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُوْنَ الْمُتَشَدِّقُوْنَ رواه ابن حبان

“Sesungguhnya diantara kalian yang paling dicintai Allah dan paling dekat denganku adalah yang paling baik akhlaknya dan sesungguhnya yang paling dibenci Allah diantara kalian dan paling jauh dariku adalah yang banyak bicara, sering merendahkan orang lain dan tidak mau kalah saat berbicara”. (HR. Ibnu Hibban)

Demikianlah kriteria memilih calon suami dan menjadi calon istri yang semestinya jadi idaman. Namun kriteria ini baru sebagian saja. Akan tetapi, kriteria ini semestinya yang dijadikan prioritas.

Intinya, jika seorang wanita ingin mendapatkan suami idaman, itu semua kembali pada dirinya. Ingatlah: ”Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik”. Jadi, hendaklah seorang pria atau wanita mengoreksi diri masing-masing, sudahkah dia menjadi pria atau wanita idaman, niscaya apa yang ia idam-idamkan di atas insya Allah menjadi pendampingnya. Inilah kaedah umum yang mesti diperhatikan.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga penuh berkah dan manfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG USIA NABI IBRAHIM SAAT BERKHITAN



Selain sudah menjadi sebuah tradisi, khitan atau sunat juga merupakan salah satu perintah dalam agama Islam khususnya bagi kaum laki-laki. Jumhur ulama bersepakat bahwa khitan bagi laki-laki hukumnya adalah wajib, sedangkan bagi perempuan hukumnya sunah.

Al-Khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan khifadh. (Lisanul Arab (13/137), Tartibul Qamus (2/15)

Adapun dalam istilah syariat, dimaksudkan dengan memotong kulit yang menutupi kepala zakar bagi laki-laki, atau memotong daging yang menonjol di atas vagina, disebut juga dengan klitoris bagi wanita. (Tharhut Tatsrib, Iraqi (2/75), Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/340)

Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim 'alaihis sallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai “kalimat” (perintah dan larangan). Beliau 'alaihis sallam telah menjalankan perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai panutan dan imam seluruh alam. Dalam surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim”. (QS. Al-Baqarah : 124).

Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis”. (HR. Muslim dalam Minhaj (1/541) dan Bukhari dalam Fathul Bari (10/334)

Yang pertama kali berkhitan adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Dan banyak riwayat serta penjelasan ‘Ulama tentang hal itu.

ذَكر بعض الفقهاء: أن أول من ختن من الرجال إبراهيمُ صلى الله عليه وسلم ومِن الإناث هاجر – رضي الله تعالى عنها

Disebutkan oleh sebagian ‘Ulama; “Sejatinya yang pertama kali di-khitan dari kalangan laki-laki adalah (Nabi) Ibrahim shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang pertama kali dikhitan dari kalangan wanita adalah Hajar radhiallahu ‘anha” (Tuhfatul Muhtaj 9/199)

Diantara dalil yang mendukung adalah apa yang dinukil oleh Imam Malik dalam Muwatho’

ما رواه مالك في الموطأ، قال: عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب أنه قال: كان إبراهيم صلى الله عليه وسلم أول الناس ضيَّف الضيف، وأول الناس اختتن، وأول الناس قص الشارب، وأول الناس رأى الشيب، فقال: يا رب، ما هذا؟ فقال الله – تبارك وتعالى -: وقار يا إبراهيم، فقال: رب زدني وقارًا

Sa’id bin Musayyab rahimahullah mengatakan, Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang menjamu tamu, orang pertama yang berkhitan, orang pertama yang mencukur kumis, dan orang pertama yang beruban (melihat uban). (Al-Muwatho’ 2/922, Qashash Al-Anbiya' hal.223)

Ibnu ‘Adiy pun menukilkan dalam kitabnya 2 hadits yang saling mendukung;

إن إبراهيم أول من أضاف الضيف، وأول من قص الشارب، وأول من رأى الشيب، وأول من قص الأظافر، وأول من اختتن بقدومه ابن عشرين ومائة سنة

Sejatinya Nabi Ibrohim adalah orang pertama yang menjamu tamu, orang pertama yang memotong kumis, orang pertama yang beruban, orang pertama yang memotong kuku, orang pertama yang berkhitan saat beliau berusia 120 tahun. (Al-Kamil li Ibni ‘Adiy 4/194)

كان إبراهيم أول من اختتن، وهو ابن عشرين ومائة سنة، فاختتن بالقدوم، ثم عاش بعد ذلك ثمانين سنة

Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang dikhitan, dan usianya kala itu 120 tahun, ia dikhitan dengan menggunakan qodum (sejenis pisau), lalu hidup setelahnya selama 80 tahun. (Al-Kamil li Ibni ‘Adiy
4/183)

Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Qodum di sini adalah alat untuk memotong kayu (kapak) atau suatu nama daerah di Syam. (Lihat Fiqh Sunnah, 1/37)

Namun 2 hadits diatas secara sanad dilemahkan oleh sebagian ‘Ulama. Sedangkan yang shahih adalah riwayat Abu Hurairah dalam Shahih Bukhari, namun tidak dengan lafal orang pertama yang berkhitan,

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ

“(Nabi) Ibrahim berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau khitan dengan menggunakan sejenis pisau” (HR Bukhari no.5824)

Namun Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya tentang kesepakatan para ‘Ulama;

وقال القرطبي: أجمع العلماء على أن إبراهيم أول من اختتن

“Para ‘Ulama telah bersepakat bahwa Nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salam adalah orang yang pertama kali di-khitan” (Tafsir Al-Qurthubi 2/98)

Ibnu Abdil Barr pun juga menjelaskan tentang kesepakatan para ‘Ulama bahwa (Nabi) Ibrahim ‘alaihis salam sebagai orang pertama yang di-khitan (At-Tamhid 21/59)

Khitan sebetulnya adalah merupakan suatu ajaran yang sudah ada semenjak Islam belum lahir, dalam kitab Mugni al-Muhtaj dikatakan bahwa orang laki-laki yang pertama kali melakukan khitan adalah Nabi Ibrahim as. Dan orang wanita yang melakukan khitan pertama kali adalah Siti Hajar istri Nabi Ibrahim as. (Muhammad al-Khatib as-Syarbini, Mughni al Muhtaj Ila Ma’rifat al Ma’ani al Fadhul Minhaj , Juz V,  Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah ,1995, hal. 540). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

http://mwcnucipayung.blogspot.com/2018/02/dalil-quran-dan-sunnah-hadits-tentang.html

KAJIAN TENTANG 4 NABI DARI 25 NABI DAN RASUL YANG KETURUNAN ARAB



Ternyata selama ini ada sebagian umat islam beranggapan bahwa para nabi itu semua berasal dari Arab. Mungkin timbul di benak kita pertanyaan “Mengapa harus Arab?” dan benarkah semua nabi berasal dari Arab?

Nabi dan rasul yang kita kenal itu sedikit sekali dibandingkan dengan jumlah mereka sesungguhnya. Dan 25 nabi dan rasul itu hanyalah mereka yang namanya disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim secara jelas. Meski di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT menyebutkan beberapa orang yang sebenarnya nabi tapi tidak disebutkan siapa nama mereka.

Misalnya di dalam surat Al-Kahfi, orang itu hanya disebutkan sebagai hamba yang shalih tanpa disebutkan identitasnya atau namanya. Para mufassir mengatakan bahwa hamba yang shalih itu adalah nabi Khidhr ‘alaihis salam.

Di antara hikmah Allah Ta’ala terhadap generasi sebelum kita, Dia mengutus seorang rasul sebagai pemberi peringatan. Karena bagian dari keadilan Allah, Dia tidak akan menyiksa seorang pun diantara makhluk-Nya, kecuali setelah disampaikan dakwah kepada mereka. Karena itulah hujjah (alasan pembenar) bagi Allah untuk memberikan balasan, baik pahala maupun hukuman bagi para hamba-Nya. Allah berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Aku tidak akan memberi siksaan, sampai Aku mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15)

Semua kelompok umat manusia yang pernah Allah ciptakan di muka bumi ini, telah mendapati dakwah seorang nabi atau rasul sebagai pemberi peringatan. Meskipun secara individu, tidak semua orang pernah mendengar dakwah rasul.

Allah berfirman,

وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ

“Tidak ada satupun umat, melainkan di lingkungan mereka telah ada sang pemberi peringatan.” (QS. Fathir: 24)

Karena itulah, dalam sejarah manusia, jumlah nabi dan rasul yang telah Allah utus sangat banyak.

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, berapakah jumlah rasul?” Beliau menjawab,

ثلاثمائة وبضعة عشر جمّاً غفيرا

“Sekitar tiga ratus belasan orang. Banyak sekali.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.129).

Kemudian dalam riwayat Abu Umamah, bahwa Abu Dzar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berapa jumlah persis para nabi.” Beliau menjawab,

مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا

“Jumlah para nabi 124.000 orang, 315 diantara mereka adalah rasul. Banyak sekali.” (HR. Ahmad no. 22288)

Dengan demikian, bisa kita gambarkan bahwa kalau yang kita kenal ini baru sekitar 25-an orang Nabi, maka selain mereka itu, ternyata masih ada begitu banyak nabi dan rasul sepanjang zaman. Jumlah yang sampai 124.000 itu tentu saja sangat banyak untuk bisa mengcover seluruh komunitas umat manusia, di mana pun mereka berada.

Islam memang lahir di tanah Arab. Begitupun dengan agama-agama samawi yang lain, lahir di negeri-negeri yang kini dikenal dengan negara-negara Arab atau Timur Tengah. Namun sebetulnya, hanya empat (4) dari 25 nabi yang berdarah Arab. Siapakah keempat nabi berdarah arab tersebut?

1. Nabi Muhammad

Sudah pasti nabi kita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan keturunan bangsa Arab. Beliau bahkan lahir dari kaum terbaik Bangsa Arab, yakni Kaum Quraisy. Beliau pula lahir dari bani terbaik di antara kaum terbaik, yakni Bani Hasyim.

Kaum Quraisy merupakan bangsa Arab yang paling elit, paling cerdas, paling bagus Bahasa Arab-nya. Mereka lah penguasa kota Makkah, penjaga ka’bah, pengurus jamaah haji, pemimpin perang. Setelah Islam datang, posisi kepemimpinan tak pernah berubah. Rasulullah pula menyebutkan bahwa salah satu syarat pemimpin ialah berasal dari Kaum Quraisy.

2. Nabi Hud

Beliaulah nabi pertama dari Bangsa Arab. Nabi Hud bahkan telah menggunakan Bahasa Arab, padahal ia hidup sekian abad sebelum masehi. Ia merupakan keturunan Nuh, dari jalur Sam. Lebih tepatnya, Nabi Hud adalah cicit dari Sam bin Nuh.

Nabi Hud berasal dari Kabilah ‘Aad yang tinggal di sebuah negeri bernama Al-Ahqaf (kini berada di antara Yaman dan Oman). Kaum tersebut menempati desa Mughiith yang merupakan lembah dari perbukitan Asy-Syahar yang memanjang di sepanjang laut. Kabilah ‘Aad bernenek moyang ‘Aad bin ‘Aush bin Sam bin Nuh.

Kaum ‘Ad merupakan bangsa Arab dengan teknologi modern kala itu. Mereka memiliki arsitektur yang megah dengan memahat bukit menjadi bangunan-bangunan tinggi. Sayangnya, mereka sombong dan enggan menyembah Allah. Karena itulah, Nabi Hud di utus di tengah-tengah mereka untuk menunjukkan jalan yang lurus.

Kaum ‘Aad merupakan salah satu kaum Arab yang musnah dan tak ada lagi di masa kini. Pasalnya, mereka mengingkari Allah dan utusan-Nya. Azab berupa awan panas mendatangi mereka selama 8 hari 7 malam hingga mereka semua binasa.

3.  Nabi Shalih

Generasi setelah Nabi Hud, yakni Nabi Shalih. Sang nabi bermukjizat unta ajaib tersebut juga berasal dari Bangsa Arab. Beliau ‘alaihissalam berasal dari Kaum Tsamud. Inilah kaum berteknologi canggih di masa itu, pengganti Kaum ‘Aad. Kaum ini merupakan keturunan Nabi Nuh dari Iram bin Sam bin Nuh.

Kaum Tsamud tinggal di daerah bebatuan antara Hijaz dan Tabuk. Nabi Shalih merupakan pemuda Tsamud yang kemudian diutus untuk mendakwahi kaumnya para penyembah berhala. Namun Nabi Shalih mendapat pertentangan dari kaumnya. Sebagaimana Kaum ‘Aad, Kaum Tsamud pun akhirnya binasa. Suara keras mengguntur dari langit hingga mereka semua tergeletak mati.

4.Nabi Syu’aib

Adapun nabi keempat yang juga berdarah Arab yakni Nabi Syu’aib. Beliau berasal dari kaum Madyan, yakni orang-orang Arab yang tinggal di sebuah negeri bernama Madyan. Negeri tersebut terletak di daerah Ma’an yang berada di tepian Hijaz dekat dengan laut di ujung Syam (sekarang Suriah, Palestina).

Bangsa Arab dikenal dengan lisannya, atau kaum yang gemar sastra dan berbahasa indah. Nabi Syu’aib merupakan nabi yang fasih, berbobot ucapannya, dan tinggi sastra. Rasulullah bahkan menjuluki Nabi Syu’aib sebagai Khatibul Anbiyaa’ (juru bicara para nabi).

Nabi Syu’aib diutus untuk kaumnya, Madyan. Namun seperti nabi-nabi pendahulunya, Nabi Syu’aib pun mendapat penolakan dari kaumnya. Di ujung dakwah sang nabi, Madyan pun tetap menolak hingga akhirnya mereka semua binasa akibat azab berupa gempa yang mengerikan.

Demikian empat nabi yang berasal dari Bangsa Arab.

وذكر فى حديث عن أبى ذر الغفارى قال أنه سمع النبى محمد يقول فى ذكر الأنبياء والمرسلين: "منهم أربعة من العرب: هود، وصالح، وشعيب، ونبيك يا أبا ذر".

Rasulullah pernah menyebutnya kepada shahabat Abu Dzar Al-Ghifary. Beliau berkata kepada sang shahabat, “Ada 4 nabi dari arab, yaitu Hud, Shaleh, Syuaib, dan nabimu ini, wahai Abu Dzar.” (HR. Ibnu Hibban).

Lebih rinci, meski ada empat nabi dari Bangsa Arab, tiga Nabi selain Rasulullah merupakan bangsa Arab Al-‘Aribah. Yaitu orang-orang Arab yang ada sebelum Nabi Ismail. Adapun Rasulullah merupakan Al Arab Al-Musta’ribah, yakni orang-orang Arab keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim.

Secara garis keturunan, Nabi Ismail bukanlah orang Arab. Namun beliau ‘alaihis salam hidup bersama bangsa Arab sejak bayi. Beliau menikahi wanita dari Kabilah Jurhum dan belajar bahasa budaya Arab dari kabilah tersebut. Kabilah Jurhum merupakan salah satu kabilah Al Arab Al ‘Aribah. Selain itu, Nabi Ismail merupakan keturunan campuran. Dari jalur ayah, yakni Nabi Ibrahim merupakan orang Babilonia, sementara ibunya, Hajar, merupakan wanita Mesir.

Hal ini berbeda dengan adik Nabi Ismail, yakni Nabi Ishaq bin Ibrahim. Ishaq yang merupakan kakek dari Bani Israil itu merupakan putra dari Sarah yang sama-sama berasal dari Babilonia sebagaimana Nabi Ibrahim.

Dari asal muasal inilah kemudian akan diketahui mengapa Yahudi dan Nasrani enggan mengimani Rasulullah. Alasannya, yakni karena Nabi Muhammad merupakan bangsa Arab keturunan Ismail, bukan bangsa Bani Israil keturunan Ishaq. Sementara Yahudi dan Nasrani, Nabi Musa dan Nabi Isa, merupakan keturunan Bani Israil.

Dari Kaum Bani Israil inilah sebagian besar nabi lahir. Di antaranya Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Ayub, Nabi Musa, Nabi Harun, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Ilyas, Nabi Ilyasa, dan Nabi Isa. Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

(Sumber: Qashashul Anbiya’ karya Al-Hafizh Ibnu Katsir)

Kamis, 04 Juni 2020

KAJIAN TENTANG CURHAT KEPADA SELAIN ALLAH TA'ALA, BOLEHKAH?


Semua orang pasti pernah merasakan sesuatu yang tidak diinginkan. Semua orang juga pasti mempunyai masalah dan problem kehidupan. Di saat tertentu orang hidup bahagia dan senang, di saat yang lain pula boleh jadi sedih dan pilu. Dan ini adalah sunnatullah.

Dalam menyikapi masalah kehidupannya, orang memiliki beragam tindakan untuk memecahkannya. Ada yang mencurahkan perasaan dan uneg-unegnya kepada keluarga, teman, atau bahkan kepada benda-benda mati. Apalagi sering dijumpai tidak sedikit orang yang apabila mempunyai problem, selalu ia curhatkan di jejaring sosial seperti facebook, WhatsApp atau twitter sehingga semua manusia mengetahuinya.

Ada pula seseorang yang status upated-nya adalah kegalauan hidup, seakan-akan tiada hari tanpa kesedihan. Semua yang ditulisnya adalah situasi mengerikan dalam hidupnya. Masalah-masalah kepada teman, guru, orangtua, atau bahkan masalah rumah tangga pun diceritakannya di sana. Tak peduli apakah itu aib atau bukan.

Memang mencurahkan segala isi hati atau yang lebih dikenal dengan istilah “curhat”, merupakan suatu hal yang mungkin pernah atau sering kita lakukan. Hal tersebut diyakini sebagai solusi ketika diri sudah merasa tidak sanggup lagi menahan masalah kehidupan yang sedang dialaminya. Atau, “curhat” ini memang tidak selalu menceritakan masalah, bisa juga kebahagiaan atau hal lainnya yang memang menurut orang yang menyampaikannya penting untuk diceritakan kepada karibnya.

Namun, ternyata ada hal penting yang harus diperhatikan, sebagai seorang muslim, kita dianjurkan untuk tidak sembarang berkeluh kesah atau menceritakan permasalahan hidup kepada makhluk. Pun, jika memang mendesak, diperbolehkan untuk menanyakan solusi dari permasalahantersebut kepada ahli agama. Itupun dalam catatan, kontek dari masalah yang diceritakan terkait dengan hukum, tidak berisi curahan hati yang tidak-tidak atau berisi ungkapan emosi semata.

Tapi, solusi terbaik ketika kita dihadapkan pada suatu permasalahan adalah dengan mengadukannya kepada Allah Ta’ala, Dia menyukai hamba yang suka mengeluh dengan berdoa kepada-Nya seraya menunjukkan kelemahan, kehinaan, dan ketidakmampuan sang hamba di hadapan-Nya.

Ketahuilah sebagai contoh bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihis salam ketika menghadapi kesedihan berupa kehilangan putranya, Yusuf, sehingga anak-anaknya yang lain mengiranya akan bertambah sakit dan sedih. Maka dengarlah jawaban Nabi Ya’qub yang perlu diteladani setiap muslim,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُوْ بثّيْ وَ حُزْنِيْ إِلَى اللهِ

“Dia (Ya’qub) menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf: 86)

Benar saja, jika seseorang menampakkan dan mengadukan kesedihan serta kesulitan kepada manusia, maka hal itu tidak meringankan kesedihan terdebut. Namun apabila seseorang mengadukan kesedihan itu kepada Allah, itu lah yang akan bermanfaat baginya. Bagaimana tidak? Sedangkan Allah Ta’ala telah menjanjikan hal itu dalam sejumlah firman-Nya. Jika Anda berkehendak, bacalah dan renungkanlah beberapa firman Allah ini,

وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” [QS Al-Baqarah: 186]

Perhatikanlah ayat ini. Di dalam Al-Qur'an yang biasa memakai uslub soal-jawab, biasanya setelah disebutkan pertanyaan akan diikuti dengan kata-kata قُلْ (katakanlah), seperti dalam QS. Al Baqarah: 189, 215, 217, dan banyak lagi. Namun dalam ayat ini, Allah tidak menggunakan kata-kata قُل (katakanlah), namun langsung menjawabnya, “فَإِنِّى قَرِيْبٌ أُجِيْبُ …إلخ.” Ini menunjukkan bahwa kedekatan dan janji Allah itu benar-benar nyata.

Perhatikan juga firman Allah Ta’alaa berikut,

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan” (QS. An-Naml : 62)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِيَسْأَلَ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ

“Hendaknya salah seorang dari kalian meminta kepada Rabb-Nya seluruh kebutuhannya (hajatnya) bahkan sampai untuk memperbaiki tali sandalnya jika terputus.” (HR At-Thirmidzi)

Allah Ta’alaa pun dalam firman-Nya  mengisahkan tentang permohonan Nabi Musa ‘alaihis salam yang kelaparan,

وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ (٢٢)وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (٢٣)فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

“Dan tatkala Nabi Musa menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar”. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian Dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (QS Al-Qoshos : 22-24)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,

سَارَ مُوْسَى مِنْ مِصْرَ إِلَى مَدْيَنَ، لَيْسَ لَهُ طَعَامٌ إِلاَّ الْبَقْلَ وَوَرَقَ الشَّجَرِ، وَكَانَ حَافِيًا فَمَا وَصَلَ مَدْيَنَ حَتَّى سَقَطَتْ نَعْلُ قَدَمِهِ. وَجَلَسَ فِي الظَّلِّ وَهُوَ صَفْوَةُ اللهِ مِنْ خَلْقِهِ، وَإِنَّ بَطْنَهُ لاَصِقٌ بِظَهْرِهِ مِن الْجُوْعِ…وَإِنَّهُ لَمُحْتَاجٌ إِلَى شَقِّ تَمْرَةٍ

“Nabi Musa berjalan dari negeri Mesir menuju negeri Madyan, ia tidak memiliki makanan kecuali mentimun dan daun-daun pohon. Ia tidak memakai alas kaki, karena tatkala sampai di negeri Madyan sendalnya putus. Lalu ia duduk dibawah rindangan pohon –padahal ia adalah orang yang dipilih Allah- dan perutnya telah menempel dengan punggungnya karena saking laparnya,… Dan sesungguhnya ia sangat membutuhkan sepenggal butir kurma” (Tafsir Ibnu Katsir 6/227)

Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam dengan tanpa ragu-ragu memohon dan berdoa kepada Allah karena kelaparan. Bukankah dalam hadits qudsi Allah berfirman :

يَا عِبَادِي! كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ؛ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أُطْعِمْكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, kalian seluruhnya lapar kecuali yang Aku berikan makanan kepadanya, maka mintalah makanan kepadaku niscaya Aku akan berikan kepada kalian.” (HR Muslim no 2577)

Seseorang hendaknya tidak ragu-ragu untuk menunjukkan kebutuhannya dan kehinaannya kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai hal tersebut nampak pada hamba-hambaNya. As-Syaikh As-Si’di berkata

استِحْبَابُ الدُّعَاءِ بِتَبْيِيْنِ الْحَالِ وَشَرْحِهَا، وَلَوْ كَانَ اللّهُ عَالِمًا لَهَا، لِأَنَّهُ تَعَالَى، يُحِبُّ تَضَرُّعَ عَبْدِهِ وَإِظْهَارَ ذُلِّهِ وَمَسْكَنَتِهِ

“Disunnahkan berdoa dengan menjelaskan kondisi kesulitan yang dihadapi, meskipun Allah mengetahui kondisi tersebut, karena Allah ta’aala menyukai perendahan hamba dan sang hamba yang menunjukkan kehinaan dan kelemahannya.” (Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan hal 618)

Maka, berdasarkan uraian tersebut, lebih baik kita belajar untuk merahasiakan kesulitan ataupun permasalahan dari makhluk. Karena, manusia belum tentu mempunyai solusi dan tidak terjamin rahasia itu akan terjaga. Tetapi, berbeda halnya ketika kita berkeluh kesah kepada Allah Ta’alaa atau langsung kepada ahli ilmunya. Jangan sampai, perbuatan kita menjerumuskan kita sendiri ke dalam jurang kehinaan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*