MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 22 Maret 2018

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Tiga [3] Wasiat Indah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)



*Khutbah Pertama*

الحمد لله, الحمد لله الذى خلق الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله.

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد

فياأيهاالحاضرون اتقوالله, اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون, وقال الله تعالى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما

*Jama'ah Jum'ah Rahimakumullah*

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kita nikmat Islam dan iman. Nikmat yang besar di dunia dan menjadi penentu kebahagian seseorang di kehidupan yang abadi kelak, apakah seseorang merasakan kenikmatan dan kebahagiaan badi di surga atau sengsar tiada akhir di neraka. Seseorang yang terlahir dalam keadaan Islam, sungguh telah mendapatkan kenikmatan yang agung, bagaimana tidak? Karena seseorang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam terancam dengan neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌ أَوْ نَصْرَانِيٌ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya; tak seorang pun dari umat manusia, baik Yahudi maupun Nasrani yang pernah mendengar tentangku kemudian ia mati tanpa beriman dengan risalahku, kecuali pastilah ia masuk Neraka.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, jamaah sekalian nikmat Islam dan iman benar-benar nikmat yang agung yang patut kita syukuri.

Kemudian shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Khatib mewasiatkan kepada diri khatib pribadi dan kepada jamaah sekalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena takwa adalah wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti dalam firman-Nya

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللهَ

 Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertaqwalah kepada Allah” (QS. An Nisa’: 131)

Jadi jamaah sekalian takwa adalah wasiat Allah kepada seluruh manusia, baik orang-orang terdahulu, sekarang, dan di masa yang akan datang. Demikian juga takwa adalah wasiat orang-orang shalih dari kalangan umat ini.

*Jama'ah Jum'ah Rahimakumullah*

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Ibnu Majah dan yang lainnya, dari hadits Abu Ayub Al-Anshori- radhiyallahu ’anhu– bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, “Beri aku nasehat yang singkat”. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ

“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatlah seperti shalat terakhir, jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta maaf di kemudian hari dan kumpulkan keputus-asaan terhadap apa yang ada pada manusia”.

*Nasehat pertama,* menjaga sholat dan memperbaiki pelaksanaannya

*Nasehat kedua,* menjaga lisan

*Nasehat ketiga,* qona’ah serta menggantungkan hati hanya kepada Allah.

_*Pada wasiat pertama*_, Nabi menasehatkan kepada orang yang melakukan shalat untuk  merasa bahwa shalatnya adalah sholat terakhir baginya. Karena sudah lumrah bahwa perpisahan akan membuat seseorang maksimal dalam berucap dan bertindak, totalitas yang tidak didapati pada keadaan lainnya.

Bila seorang sholat dengan perasaan seakan sholat itu adalah sholat yang terakhir baginya; ia tidak akan bisa sholat lagi setelah ini, tentu ia akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sholat itu. Dia perindah penunaiannya, proposional dalam ruku’, sujud, menunaikan kewajiban-kwajiban serta sunah – sunah sholat dengan sebaik mungkin.

Maka selayaknya seorang mukmin mengingat pesan ini di setiap shalatnya. Lakukanlah sholat seakan sholat itu adalah sholat perpisahan, hadirkan perasaan bahwa itu adalah shalat yang terakhir. Apabila ia merasakan itu maka akan membawanya menunaikan sholat dengan sebaik mungkin.

*Jama'ah Jum'ah Rahimakumullah*

_*Kemudian wasiat kedua*_, tentang menjaga lisan. Karena lisan adalah hal yang paling berbahaya bagi manusia. Saat perkataan belum terucap ia masih dalam kendali pemilik ucapan. Tetapi saat ucapan telah keluar dari lisan, ucapan itulah yang akan menguasainya dan ia menanggung resikonya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan, *“Jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta maaf di kemudian hari.”* Atinya bersungguh-sungguhlah menahan lisanmu dari ucapan yang membuat dirimu harus meminta maaf di kemudian hari.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu,
“Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?”

“Mau ya Nabi Allah.” Jawab Mu’adz.

Kemudian Rasulullah memegang lisan beliau seraya bersabda, “Jagalah ini.”

Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan disiksa juga karena ucapan kita?”

Nabi menjawab,

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ـ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ ـ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِم

“Ah kamu ini, bukankah yang menyebabkan seseorang terjungkal wajahnya di neraka –atau sabda beliau: di atas hidungnya- itu tidak lain karena buah dari ucapan lisan-lisan mereka?!” (HR. Tirmidzi no. 2616).

Kemudian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,

_*“Janganlah mengatakan suatu ucapan yang membuatmu harus minta maaf di kemudian hari.”*_

Pada kalimat ini terdapat ajakan untuk memuhasabah ucapan yang hendak disampaikan, yakni memikirkannya terlebih dahulu. Jika ucapan itu baik maka silahkan sampaikan. Jika tidak, maka tahanlah lisan anda. Atau jika ragu baik atau buruknya ucapan, tahanlah lisan dalam rangka menghindari perkara syubhat, sampai tampak perkara tersebut di hadapan anda. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله واليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).

Betapa banyak orang yang menjatuhkan diri mereka pada kesalahan yang fatal, disebabkan ucapan yang tidak dupertimbangkan.

*Jama'ah Jum'ah Rahimakumullah*

_*Wasiat ketiga berisi ajakan untuk qona’ah,*_ serta menggantungkan hati hanya kepada Allah, dan memupuskan harapan terhadap harta-harta yang di tangan manusia. Beliau bersabda,

وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاس

*“Kumpulkan keputusasaan terhadap apa yang ada pada manusia”*.

Maksudnya bertekatlah dalam hatimu untuk memutuskan asa terhadap apa saja yang di tangan manusia. Jangan gantungkan harapan pada mereka. Jadikanlah pengharapanmu sepenuhnya hanya kepada Allah Jalla wa Jalla. Sebagaimana dengan lisan kita tidak pernah berdoa kecuali kepada Allah, maka hilangkanlah segala pengharapan kepada siapapun kecuali kepada Allah, sehingga pengharapanmu hanya tertuju kepada Allah semata.

Dan sholat adalah penghubung antara dirimu dan tuhanmu. Dalam sholat terdapat pertolongan terbesar untukmu dalam merealisakan sikap ini.

Siapa yang memutus pengharapan terhadap apa yang di tangan manusia, maka hidupnya mulia. Siapa yang hatinya bergantung pada kepada kekayaan manusia, maka hidupnya hina. Dan barangsiapa yang menggantungkan hatinya hanya kepada Allah, tidak mengharap kecuali kepada Allah, tidak meminta hajatnya kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan segala kebutuhan dunia dan akhiratnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya” (QS. Az Zumar 36).

Allah juga berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At Tholaq : 3).

*Jama'ah Jum'ah Rahimakumullah*

Demikianlah 3 wasiat singkat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiga wasiat singkat namun mencakup segala hal, mencakup permasalahan bagaimana hendaknya seseorang mengarungi kehidupan mereka di dunia untuk menjemput kehidupan yang bahagia di akhirat kelak. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menambahkan ketakwaan kepada kita sehingga kita dengan ringan menjalankan kewajiban-kewajiban kita dan enteng untuk meninggalkan segala yang Dia larang. Dan semoga Allah membimbing kita agar menjadi pribadi-pribadi yang beraklak mulia. Amin ya Rabbal ‘alamin.

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

*Khutbah Kedua*

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِمًا. أَمَّا بَعْدُ:

فيا عباد الله اوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون. فقد قال الله تعالى فى القرأن العظيم: إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلَّونَ عَلَى الَّنِبْيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. أَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُواْ رَبَّنَا إِنَّكّ رَؤُوْفُ رَّحِيْمٌ

اَللَّهُمَّ افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نًافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبِلاً

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ والحمد لله رب العالمين.

عباد الله، أن الله يأمر بالعدل والاحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون. فاذكروا الله يذكركم واشكرواه على نعامه يزدكم ولذكروا الله اكبر.

Kamis, 08 Maret 2018

KAJIAN TENTANG SHALAWAT KEPADA SELAIN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Shalawat merupakan bentuk kata jama' (plural) yang berasal dari bahasa Arab: ( الصلوات )‎, bentuk kata tunggalnya adalah kata shalat (الصلاة‎) yang berarti berdoa atau mendoakan. Membaca shalawat dalam kerangka agama adalah mendoakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan tambahan rahmat, kemuliaan, kehormatan dari Allah Ta'ala. Dan perintah untuk melaksanakan shalawat dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Ahzab ayat 56,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيما

"Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya." (QS Al-Ahzab: 56)

Kalau kita bershalawat dengan kalimat “shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyina Muhammad”, semoga shalawat dan salam dari Allah kepada Nabi kita Muhammad, apa maksudnya?

Imam Nawawi Al-Bantani rahimahullah (lahir tahun 1815, meninggal dunia tahun 1898) berkata bahwa yang dimaksud “shalawat dari Allah” adalah semoga Allah menambahkan kemuliaan. Sedangkan “salam” yang dimaksud adalah semoga Allah memberikan penghormatan yang tinggi dan derajat yang mulia. (Lihat Kasyifah As-Saja Syarh Safinah An-Najaa, hlm. 29)

Video viral yang beredar di dunia maya (dumai) tentang ritual kebangsaan yang telah di lakukan  paguyuban Sawunggaling sempat menggegerkan masyarakat Surabaya dan para netizen. Video yang berdurasi 5 menit 47 detik dan ada juga berdurasi 57 detik yang di beri judul *Shalawat Pancasila* tersebut mengundang berbagai kontroversi di kalangan masyarakat. Kegiatan tersebut diadakan di aula makam Joko Berek atau Raden Sawunggaling yang ada di Lidah Wetan 3, Kecamatan Lakasantri, Kota Surabaya, Jawa Timur. Kemudian muncul berikutnya video Shalawat Merah Putih, bagaimana hukumnya?

Sebagian pendapat mengatakan dan mengecam bahwa shalawat pancasila dan shalawat merah putih dan sejenisnya adalah hal yang dilarang dan termasuk mengada-adakan shalawat. Sementara yang lain berargumen bahwa hal tersebut dibolehkan karena dimaksudkan untuk berdoa dengan berdalih sebagaimana firman Allah Ta'ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah : 103)

عن عبد الله بن أبي أوفى قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذا أتاه قوم بصدقتهم،قال: “اللهم ! صل عليهم” فأتاه أبي – أبو أوفى – بصدقته، فقال: “اللهم ! صل على آل أبي أوفى”.

Dari Abdullah bin Abi Aufa ra berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila datang kepada beliau satu kaum yang menunaikan zakatnya, beliau berdoa: “Ya Allah, berilah ampunan atas mereka.” Hingga datanglah  ayahku –Abu Aufa- dengan membawa zakat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun  berdoa: “Ya Allah, berilah ampunan atas Abi Aufa..”

*Takhrij Hadits*

Hadits ini Muttafaqun ‘alaihi, disepakati keshahihannya oleh As-Syaikhan.

Imam Bukhari mengeluarkan dalam Shahih-nya Bab Shalatul Imam Wa du’auhu lishahibish-Shadaqah (Bab Imam bershalawat dan mendoakan orang yang bersedekah) no.1497, juga beliau riwayatkan dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/1/24). Adapun Muslim, beliau keluarkan dalam Shahih-nya (2/756 no.1078).

Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (no.1590), An-Nasa’i (5/31), Ibnu Majah (no.1796), At-thayalisi (no. 819), Ahmad (4/353, 355, 381, 383), At-Thahawi dalam Musykilul Atsar (4/162) dan lainnya melalui banyak jalan dari Syu’bah bin Hajjaj dari ‘Amr bin Murrah dari Abdullah bin Abi Aufa ra

Abdullah bin Abi Aufa ra dan ayahnya Abu Aufa  – Alqomah bin khalid Al-Harits Al-Aslami ra – keduanya shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyaksikan perjanjian Hudaibiyyah (6 H) dan berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat itu pada bai’at Ridhwan.

Lantas apa hukum mendoakan muzakki sebagaimana QS. Al-Ahzab ayat 33 diatas, wajibkah sebagaimana dzahir perintah dalam ayat atau mustahab? Imam Al-Baghawi rahimahullah (516 H) dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil, menukil adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Kata beliau: “Ulama berselisih pendapat tentang wajibnya imam mendoakan (muzakki) ketika mengambil zakat(nya). Sebagian berkata: wajib, sebagian lainnya berkata sunnah, sebagian mereka mewajibkannya pada sedekah yang wajib dan menganggapnya sunnah pada sedekah tathawwu’, sebagian lagi berpendapat: wajib atas imam adapun fuqoro yang menerima zakat hukumnya sunnah (mendoakan) bagi yang memberikan. Tafsir Al-Baghawi (2/323)

Jumhur ulama berpendapat bahwa doa tersebut hukumnya mustahab (sunnah). Berkata An-Nawawi rahimahullah: “Dan yang masyhur dalam madzhab kami (Syafi’iyyah) demikian pula madzhab ulama seluruhnya bahwasannya mendoakan orang yang membayar zakatnya adalah sunnah dan tidak wajib. Lain halnya dengan ahli zhahir. Mereka berkata: “ (Mendoakan Muzakky hukumnya) Wajib.” … mereka bersandar pada perintah dalam ayat.

(Menanggapi pendapat ahli dzahir) jumhur berkata: “Perintah (dalam ayat ini) menurut kami adalah sunnah –dengan alasan- bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal ra. dan selainnya untuk mengambil zakat beliau tidak perintahkan mereka untuk mendoakan (orang yang berzakat) …. (Al-Minhaj)

Penggalan ayat terkait baca shalawat (do'a) kepada selain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut Imam Ibnu Katsir,

وقوله : ( وصل عليهم ) أي : ادع لهم واستغفر لهم ، كما رواه مسلم في صحيحه ، عن عبد الله بن أبي أوفى قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتي بصدقة قوم صلى عليهم ، فأتاه أبي بصدقته فقال : " اللهم صل على آل أبي أوفى " وفي الحديث الآخر : أن امرأة قالت : يا رسول الله ، صل علي وعلى زوجي . فقال : " صلى الله عليك ، وعلى زوجك " .

Firman Allah Ta'ala,

{وَصَلِّ عَلَيْهِمْ}

"... dan berdoalah untuk mereka." (At-Taubah: 103)

Maksudnya, berdoalah untuk mereka dan mohonkanlah ampunan buat mereka.

Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya telah meriwayatkan melalui Abdullah ibnu Abu Aufa yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menerima zakat dari suatu kaum, maka beliau berdoa untuk mereka. Lalu datanglah ayahku (perawi) dengan membawa zakatnya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa,

“اللَّهُمَّ صَل عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى”

"Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa."

Di dalam hadits lain disebutkan bahwa seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, mendoalah untuk diriku dan suamiku.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa,

“صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكِ، وَعَلَى زَوْجِكِ”

“Semoga Allah merahmati dirimu juga suamimu.”

*Pendapat Ulama dalam masalah ini*

(بابُ الصَّلاة على الأنبياءِ وآلهم تبعاً لهم صلى الله عليه وسلم)

أجمعوا على الصلاة على نبيّنا محمّدٌ صلى الله عليه وسلم، وكذلك أجمع من يُعتدّ به على جوازها واستحبابها على سائر الأنبياء والملائكة استقلالاً.

وأما غيرُ الأنبياء، فالجمهور على أنه لا يُصلّى عليهم ابتداء، فلا يقال: أبو بكر صلى الله عليه وسلم.واختُلف في هذا المنع، فقال بعض أصحابنا: هو حرام، وقال أكثرهم: مكروه كراهة تنزيه، وذهب كثير منهم إلى أنه خلاف الأوْلَى وليس مكروهاً، والصحيحُ الذي عليه الأكثرون أنه مكروه كراهة تنزيه لأنه شعار أهل البدع، وقد نُهينا عن شعارهم.والمكروه هو ما ورد فيه نهيٌ مقصود ,
.قال أصحابنا: والمعتمدُ في ذلك أن الصَّلاةَ صارتْ مخصوصةً في لسان السلف بالأنبياء صلواتُ الله وسلامُه عليهم، كما أن قولنا: عزَّ وجلَّ، مخصوصٌ بالله سبحانه وتعالى، فكما لا يُقال: محمد عزَّ وجلَّ - وإن كان عزيزاً جليلاً - لا يُقال: أبو بكر أو عليّ صلى الله عليه وسلم وإن كان معناه صحيحاً.واتفقوا على جواز جعل غير الأنبياء تبعاً لهم في الصلاة، فيُقال: اللَّهمّ صل على محمد وعلى آل محمد، وأصحابه، وأزواجه وذرِّيته، وأتباعه، للأحاديث الصحيحة في ذلك، وقد أُمرنا به في التشهد، ولم يزل السلفُ عليه خارج الصلاة أيضاً.وأما السلام، فقال الشيخ أبو محمد الجوينيُّ من أصحابنا: هو في معنى الصلاة، فلا يُستعمل في الغائب، فلا يفرد به غير الأنبياء، فلا يُقال: عليّ عليه السلام، وسواء في هذا الأحياء والأموات.وأما الحاضر، فيُخاطب به فيقال: سلام عليكَ، أو: سلام عليكم، أو: السَّلام عليكَ، أو: عليكم، وهذا مجمع عليه، وسيأتي إيضاحه في أبوابه إن شاء الله تعالى

*Pembacaan Shalawat Kepada Para Nabi dan Keluarganya.*

Para ulama' sepakat terhadap bacaan shalawat atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para ulama juga sepakat terhadap shalawat yang dianggap atas kebolehan dan kesunnahannya bershalawat atas para Nabi dan para Malaikat secara mandiri.

Sedangkan untuk selain para Nabi maka tidak diucapkan shalawat atas mereka secara permulaan (maksudnya : mandiri). Maka tidak boleh diucapkan "Abu Bakar shallallahu alaihi wa sallam". Dan diperselisihkan tetang makna "pelarangan bacaan shalawat mandiri" ini:

- Sebagian Ashab kami (Syafi'iyyah) berpendapat : haram.
- Mayoritas Ashab kami berpendapat : makruh tanzih.
- Sebagian besar dari mereka berpendapat : khilaful aula (menyelisihi yang lebih utama) bukan makruh.

Pendapat yang shahih yang diutarakan mayoritas ulama' hukumnya makruh tanzih karena hal tersebut merupakan syi'arnya golongan ahli bid'ah. Dan kita sungguh dilarang menyebarkan syi'ar mereka. Dan hukum makruh itu sesuatu yang larangan yang dimaksud telah warid (datang).

Sebagian Ashab kami berkata : Pendapat yang mu'tamad mengenai hal tersebut bahwa sesungguhnya "shalawat" itu sesuatu yang dikhususkan dalam ucapan ulama' salam untuk para Nabi shalawatullohi wa salamuhu alaihim. Sebagaimana ucapan kita "azza wa jalla" dikhususkan untuk Allah subhanahu wa ta'ala.

Maka sebagaimana tidak boleh diucapkan : "Muhammad azza wa jalla" - meskipun beliau azizan wa jalilan - maka tidak diucapkan: "Abu Bakar atau Ali shallallahu alaihi wa sallam" meskipun maknanya benar para ulama sepakat atas kebolehan menjadikan selain para Nabi diikutkan pada para Nabi dalam bacaan shalawat. Maka diucapkan : "Allahumma shalli ala Muhammadin wa âli Muhammadin, wa ashabihi, wa azwajihi wadzurriyyatihi wa atba'ihi."  Karena terdapat hadits-hadits yang shohih tentang hal tersebut.

Dan sungguh kita diperintah membaca demikian dalam bertasyahud. Dan juga tidak henti-hentinya ulama' salaf bersholawat demikian di luar sholat. Sedangkan mengenai salam, Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Juwaini yang termasuk Ashab kami berkata: Salam itu semakna dengan shalawat, maka tidak boleh digunakan untuk orang yang ghoib, selain para Nabi tidak boleh disendirikan dengan salam. Maka tidak boleh diucapkan : "Ali alaihis salam." baik dalam permasalahan ini untuk orang-orang yang hidup ataupun yang sudah meninggal.

Adapun untuk orang yang hadir, maka menggunakan dhomir mukhotthob/dikhitobi, sehingga diucapkan : "Salamun alaik.", "Salamun alaikum.", as Salamu alaik." atau "as Salamu 'alaikum." dan hal ini merupakan hal yang disepakati oleh para ulama'. Dan penjelasan mengenai ini akan datang dalam bab-babnya insya Allahu Ta'ala.

Terkait video viral shalawat pancasila  menurut Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Mutawakkil Alallah, mengaku belum mengetahui latar belakang munculnya peristiwa itu.

Ia mengatakan jika lirik asli shalawat itu sudah ada di era Rosulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni; Shallallahu ‘ala Muhammad. Sementara iramanya baru ada di zaman Walisongo.

"Artinya, Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Muhammad," ujar beliau.

Sementara dalam video yang diunggah oleh akun Facebook Media Oposisi ini, liriknya diubah menjadi Shalallah 'ala Pancasila, shalallah 'ala Indonesia, shalallah 'ala Nusantoro.

"Kalau diubah seperti itu artinya menjadi Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Pancasila. Saya ndak berani menilai, tergantung niatnya bagaimana, maksudnya apa," kata beliau. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

Rabu, 07 Maret 2018

KAJIAN TENTANG NIQAB UNTUK WANITA



Definisi niqab adalah
 النِّقَابُ هو مَا تَجْعَلُهُ الْمَرْأَةُ عَلَى أَنْفِهَا أَوْ وَجْهِهَا تَتَسَتَّرُ بِهِ
"Sesuatu yang dijadikan sebagai penutup mulut dan wajah wanita." (Mu'jam 'Arabi).

Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita shahabiyah. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.

Membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian shahabiyah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur : 31)

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al Ahzab : 59)

*Riwayat Hadits tentang wajah wanita*

Ibnu Abbas ra. berkata.

أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl bin Abbas……kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya……[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaithan (menggoda) keduanya.” [HR Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya].

Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).

Ibnu Hazm berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekwensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehinga beliau khawatir fitnah menimpanya.

Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl.

Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” [Fathul Bari XI/8]

Sahl bin Sa’d ra. berkata.

أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…

Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada anda.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya…….” [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya].

Ketika Fathimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,

أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …

Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…[HR Muslim].

Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau n khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Kartena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. [Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]

Atha bin Abi Rabah ra. berkata,

قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا

Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni sorga?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan sorga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. [HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad]

Ibnu Abbas ra. berkata,

كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )

Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian orang laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat), وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ [HR Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya].

Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.

Ibnu Mas’ud berkata

رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu mempesona beliau, maka beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapapun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu. [HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi].

*Hukum Menutup Wajah Wanita Menurut 4 Imam Madzab*

*Madzhab Hanafi*

Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Imam Asy Syaranbalali berkata:

وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار

“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah.

*Madzhab Maliki*

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Imam Az Zarqaani berkata:

وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني

“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176).

Imam Al Qurthubi berkata:

قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها

“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229).

*Madzhab Syafi’i*

Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Di kalangan madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.

وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل : هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى

“Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).

Imam Asy Syarwani berkata:

إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة

“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112).

*Madzhab Hambali*

Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر

“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)

*Istilah-istilah yang ada  kaitannya dengan niqab*

1.Al Khimar (الخمار)

Ini adalah nama kain yang digunakan untuk menutup bagian kepala bagi wanita. Berdasarkan firman Allah Ta'ala di dalam Al-Qur'an surah An-Nur ayat 31:  وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ Maksudnya: dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka. Kaitan di antara niqab dan khimar ialah niqab digunakan untuk menutup wajah, sementara khimar digunakan untuk menutup kepala. Kedua-duanya merupakan pakaian muslimah.

2. Al Hijab (الحجاب)

Ini merupakan nama bagi kain yang digunakan untuk menutup keseluruhan tubuh wanita tersebut.

3. Al Burqa' (البرقع)

Ini merupakan nama bagi kain yang digunakan untuk menutup keseluruhan wajah wanita. Menurut Ibn Manzhur, pengarang kitab Lisan al-Arab, "Terdapat sedikit ruang untuk memperlihatkan mata bagi burqa’". Jika kita mengambil dengan ta'rif yang diberikan oleh Ibn Manzhur maka ianya sama maksud dengan niqab.

4. Al Litsam (اللثام)

Ini merupakan nama bagi kain yang digunakan untuk menutup bahagian mulut. Kaitan di antara niqab dan al-Litsam ialah, niqab digunakan untuk menutup keseluruhan wajah kecuali kedua mata. Sementara al-Litsam juga digunakan untuk menutup bagian mulut dan ke bawah.

*KESIMPULAN*

1. Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian sahabiyyat (para wanita sahabat). Sehingga merupakan sesuatu yang disyari’atkan dan keutamaan.

2. Membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiyyat. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.

3. Seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya atau pun yang belum memakai niqab.

4. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu juga kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

Senin, 05 Maret 2018

KAJIAN TENTANG SIFAT ORANG FASIQ ADALAH MENCELA MUSLIM LAINNYA



أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَا يَسْتَوُونَ (18) أَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلًا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (19) وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا وَقِيلَ لَهُمْ ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ (20)

“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq? Mereka tidak sama. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya.” (QS. As-Sajdah : 18-20)

*Makna Fasiq Secara Bahasa*

Imam Abu Ja’far At-Thabari menerangkan, “Makna kata ‘fasiq’ secara bahasa, dalam dialek masyarakat Arab adalah الخروجُ عن الشيء (keluar dari sesuatu). Karena itu, tikus gurun dinamakan fuwaisiqah [Arab: فُوَيْسِقة] karena dia sering keluar dari tempat persembunyiannya. Ulama mengatakan,

الفاسق هو الخارج عن طاعة الله ورسوله

"Fasiq adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya."

*Makna Fasiq secara Terminologi*

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang fasiq adalah orang yang melanggar perintah Allah yang telah diperintahkan kepada mereka. Berdasarkan terjemah tafsiriyah dari Surah al-Baqarah ayat 26-27, *Orang fasiq adalah mereka yang telah memutuskan hubungan kerabat yang Allah perintahkan untuk diperlihara dan yang mengajak berbuat kerusakan di muka bumi.* Mereka itulah orang-orang yang jauh dari rahmat Allah.

Allah Ta'ala berfirman,

..... وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ. ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَـٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦۤ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡخَـٰسِرُونَ

"..... Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasiq, [yaitu] orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah [kepada mereka] untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi." (Q.S. Al-Baqarah : 26-27).

Orang fasiq adalah orang yang melanggar perintah Allah yang telah diberikan kepada mereka, yang memutuskan hubungan kerabat yang Allah perintahkan untuk diperlihara dan yang mengajak berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang jauh dari rahmat Allah. Demikian pula orang munafik dan orang kafir disebut orang fasik. Karena dua orang ini telah keluar dari ketaatan kepada Allah.

Di dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim diceritakan sebuah hadits dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال : خَمْسٌ مِنْ الدَّوَابِّ كُلُّهُنَّ فَاسِقٌ , يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ : الْغُرَابُ , وَالْحِدَأَةُ , وَالْعَقْرَبُ , وَالْفَأْرَةُ , وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ .
وَلِمُسْلِمٍ : بِقَتْل خَمْس فَوَاسِق فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ

"Ada lima jenis binatang perusak (fawasiq = فواسق) yang boleh dibunuh (baik di tanah halal maupun di tanah haram), yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing gila." (HR. Bukhari Muslim)

*Hadits Tentang Sifat Orang Fasiq*

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Ammar] telah menceritakan kepada kami [Isa bin Yunus] telah menceritakan kepada kami [Al A'masy] dari [Syaqiq] dari [Ibnu Mas'ud] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: *"Mencela orang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran."* (HR. Ibnu Majah No.3929).

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الْأَسْدِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Hasan Al Asdi] telah menceritakan kepada kami [Abu Hilal] dari [Ibnu Sirin] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: *"Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran."* (HR. Ibnu Majah No.3930).

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Muhammad] telah menceritakan kepada kami [Waki'] dari [Syarik] dari [Abu Ishaq] dari [Muhammad bin Sa'd] dari [Sa'ad], dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: *"Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran."* (HR. Ibnu Majah No.3931).

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

*"Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran."* (HR. Bukhari Muslim)

Para ulama menjelaskan dalam hadits ini, bahwasanya: سِبَابُ الْمُسْلِمِ (mencela seorang muslim) merupakan kefasikan dan para ulama membedakan antara "sab" dan "Sibab".

√ Kalau sab (sabun) dalam bahasa arab artinya mencela salah seorang muslim dengan aib yang memang ada pada dirinya.

√ Sedangkan Sibab lebih parah lagi, yaitu mencela seorang muslim dengan tidak mempedulikan lagi apakah aib tersebut ada pada seorang muslim tersebut atau tidak, maka ini merupakan kefasikan.

Seharusnya seorang muslim menutup aib saudaranya, bukan malah mengumbarnya, apalagi menuduhnya dengan aib yang tidak ada pada dirinya. Maka dia telah menjadi seorang yang fasik.

Para ulama menyatakan, kecuali orang yang memang telah melepaskan pakaian rasa malunya. Dia menampakkan maksiatnya, menggembar-gemborkan kerusakannya. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىً إلاَّ المُجَاهِرُن

*"Seluruh umatku selamat (dimaafkan) kecuali orang-orang yang menampakkan."* (HR. Muttafaq 'Alaih)

Orang yang menampakkan kemaksiatannya (misalnya) di media, di televisi, bangga dengan maksiat yang dilakukannya, maka untuk orang seperti ini tidak menjadi masalah karena dia sendiri telah mengumbar aibnya. Mencela orang yang seperti ini tidak termasuk fasik.

Yang dilarang adalah mencela seorang muslim yang zhahirnya adalah baik. Tidak boleh kita cela, bahkan kita berusaha menutup aibnya jika kita mengetahui. Terlebih lagi mencela dengan yang tidak ada pada dirinya.

Kemudian yang kedua, kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya,

وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

"Memeranginya adalah kekufuran."

Qital yaitu memerangi, memerangi seorang muslim yang lain merupakan kekufuran.

Dan tatkala Nabi menamakan perbuatan tersebut dengan kekufuran berarti ini lebih besar lagi tingkatannya daripada sekedar kefasikan. Berarti dosanya lebih besar.

Apalagi sampai membunuh seorang muslim tersebut, karena memerangi seorang muslim akan mengantarkan kepada membunuhnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala  telah berfirman dalam Al Quran:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً

"Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka Jahannam, dia kekal dalam neraka Jahannam tersebut dan Allah murka kepadanya dan Allah melaknatnya dan Allah menyiapkan baginya adzab yang pedih." (QS. An-Nisa : 93)

Ini adalah ancaman yang besar bagi orang yang memerangi seorang muslim, bahkan bisa jadi sampai membunuhnya. Karena seorang muslim darahnya adalah sangat terhormat.

Sampai-sampai Nabi bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.

*"Hilangnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim."* (HR. An-Nasa`i)

*Kenapa?*

Karena seorang muslim mengucapkan "'La ilaha illallah" bersaksi bahwa tidak ada sesembahan selain Allah, bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dia bertasbih, berdzikir, beristighfar, dan orang ini dibunuh.

Oleh karenanya, jangankan membunuh seorang muslim, sementara membunuh seorang kafir dzimmi yang mempunyai perjanjian damai saja maka dia terancam.

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

*"Barang siapa yang membunuh orang kafir yang mempunyai perjanjian damai maka dia tidak akan mencium bau surga."* (HR. Bukhari).

Namun para ulama menjelaskan, kufur di sini bukan berarti kufur akbar (keluar dari agama), tidak. Tapi "kufrun duuna kufrin", kufur asghar (kufur kecil), tidak sampai pada derajat kufur akbar.

Intinya, Ikhwan dan Akhwat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,

Kita seorang muslim dilarang untuk berakhlak buruk, mencaci-maki seorang muslim yang lain, apalagi sampai memeranginya, apalagi sampai membunuhnya, Na'udzubillahi Min Dzalik.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga darah kaum muslimin dan menyatukan hati-hati kaum muslimin.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 01 Maret 2018

EDISI KHUTHBAH JUM'AT (Bahaya Menerima Dan Menyebarkan Berita Hoax/Bohong)


*Khutbah Pertama*

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَه. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيِّدنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعد :

فياأيها الناس, اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون.

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

*Ma'asyiral Muslimin Wa Zumratal Mu'minin Jama'ah Jum'ah Rahimakumullah*

Perkembangan teknologi yang terus menerus semakin pesat membuat media sosial menjadi pilihan utama masyarakat dalam berkomunikasi. Media sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, kemajuan teknologi ini harus dihadapkan dengan kebebasan setiap orang dalam membuat serta membagikan informasi. Dalam kurun waktu setahun belakangan ini, Indonesia dihadapkan dengan maraknya berita hoax di media sosial. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kita sering mendengar desas-desus yang tidak jelas asal-usulnya. Kadang dari suatu peristiwa kecil, tetapi dalam pemberitaannya, peristiwa itu begitu besar atau sebaliknya. Terkadang juga berita itu menyangkut kehormatan seorang muslim. Bahkan tidak jarang, sebuah rumah tangga menjadi retak, hanya karena sebuah berita yang belum tentu benar. Bagaimanakah sikap kita terhadap berita yang bersumber dari orang yang belum kita ketahui kejujurannya?

Allah Ta'ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [QS. Al-Hujurat : 6].

Dalam ayat ini, Allah melarang hamba-hambanya yang beriman berjalan mengikut desas-desus. Allah menyuruh kaum mukminin memastikan kebenaran berita yang sampai kepada mereka. Tidak semua berita yang didapat itu benar dan sesuai dengan fakta. Ingatlah, musuh-musuh kita senantiasa mencari kesempatan untuk menguasai. Maka wajib atas kita untuk selalu waspada, hingga kita bisa mengetahui orang yang hendak menebarkan berita yang tidak benar.

Jika Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti”

Maksudnya, janganlah kalian menerima (begitu saja) berita dari orang fasik, sampai kalian mengadakan pemeriksaan, penelitian dan mendapatkan bukti kebenaran berita itu.

(Dalam ayat ini) Allah memberitahukan, bahwa orang-orang fasik itu pada dasarnya (jika berbicara) dia dusta, akan tetapi kadang ia juga benar. Karenanya, berita yang disampaikan tidak boleh diterima dan juga tidak ditolak begitu saja, kecuali setelah diteliti. Jika benar sesuai dengan bukti, maka diterima dan jika tidak, maka ditolak.

Kemudian Allah Ta'ala menyebutkan illat (sebab) perintah untuk meneliti dan larangan untuk mengikuti berita-berita tersebut dengan lanjutan firman-Nya,

أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ

“Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya”.

فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS. Al-Hujurat : 6]

*Hadirin Jama'ah Jum'at Rahimakumullah*

Sungguh, betapa semua kaum muslimin memerlukan ayat ini, untuk mereka baca, renungi, lalu beradab dengan adab yang ada padanya. Betapa banyak fitnah yang terjadi akibat berita bohong yang disebarkan orang fasiq yang jahat! Betapa banyak darah yang tertumpah, jiwa yang terbunuh, harta yang terampas, kehormatan yang terkoyakkan, akibat berita yang tidak benar! Berita yang dibuat oleh para musuh Islam dan musuh umat ini. Dengan berita itu, mereka hendak menghancurkan persatuan umat ini, mencabik-cabiknya dan mengobarkan api permusuhan diantara umat Islam.

Betapa banyak dua saudara berpisah disebabkan berita bohong! Betapa banyak suami-istri berpisah karena berita yang tidak benar! Betapa banyak kabilah-kabilah, dan kelompok-kelompok saling memerangi, karena terpicu berita bohong!

Wajib atas kaum muslimin untuk waspada dan mewaspadai musuh-musuh mereka. Dan hendaklah kaum muslimin mengetahui, bahwa para musuh mereka tidak pernah tidur (tidak pernah berhenti) membuat rencana dan tipu daya terhadap kaum muslimin. Maka wajiblah atas mereka untuk senantiasa waspada, sehingga bisa mengetahui sumber kebencian, dan bagaimana rasa saling bermusuhan dikobarkan oleh para musuh.

Sesungguhnya keberadaan orang-orang munafiq di tengah kaum muslimin dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar. Akan tetapi yang lebih berbahaya, ialah keberadaan orang-orang mukmin berhati baik yang selalu menerima berita yang dibawakan orang-orang munafiq. Mereka membuka telinga lebar-lebar mendengarkan semua ucapan orang munafiq, lalu mereka berkata dan bertindak sesuai berita itu. Mereka tidak peduli dengan bencana yang ditimpakan kepada kaum muslimin akibat mengekor orang munafiq.

*Hadirin Jama'ah Jum'at Rahimakumullah*

Al Qur’an telah mencatatkan buat kita satu bencana yang pernah menimpa kaum muslimin, akibat dari sebagian kaum muslimin yang mengekor kepada orang-orang munafiq yang dengki, sehingga bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang sebelum kita.

Dalam Lintasan Sejarah Islam, Hoax pernah terjadi dalam banyak peristiwa, antara lain:

1. Nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa Sallam dan keluarganya pernah menjadi korban hoax, ketika istri beliau, Aisyah Radliyallahu 'anha, dituduh selingkuh, dan beritanya menjadi ‘viral’ di Madinah. Peristiwa itu dalam sejarah dinamakan hadits al-Ifki. Berita bohong ini menimpa istri Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam ‘Aisyah Radliyallahu Anha. Ummul Mu’minin, setelah perang dengan Bani Mushtaliq pada bulan Sya’ban 5 H. Peperangan ini diikuti kaum munafik, dan turut pula ‘Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. ‘Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa ‘Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah ‘Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan bin Mu’aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, isteri Rasul!” ‘Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesarkannya, maka fitnahan atas ‘Aisyah Radliyallahu Anha. itu pun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslimin.

Akhirnya Allah Ta'ala mengklarifikasi berita itu, dengan menurunkan firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Nur,

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ. لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ. [النور/:11-12]

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. An-Nuur : 11-12)

2. Khalifah Utsman bin Affan tewas ditikam seorang penghafal Al-Quran yang termakan hoax (fitnah) bahwa sang khalifah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Peristiwa penikaman ini terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 35 H./656 M. Nama pelakunya Al-Ghafiqi.

3. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh Abdurrahman bin Muljam seorang Khawarij, yang memfitnahnya sebagai penista hukum Al-Quran karena ingin damai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, mereka menuduh beliau telah meninggalkan hukum Allah.

4. Di era demokrasi sekarang ini, banyak hoax di medsos, mengancam pilar persatuan dan kerukunan umat islam dan masyarakat Indonesia khususnya. Bahkan The Arab Spring; الثورات العربية, demo, perang saudara, dan pertumpahan darah yang berujung tumbangnya beberapa negara di kawasan Timur Tengah, adalah (diduga) akibat virus hoax yang disebarkan melalui medsos.

*Hadirin Jama'ah Jum'at Rahimakumullah*

Pada dasarnya ucapan itu diterima dengan telinga, bukan dengan lisan. Akan tetapi Allah ungkapkan tentang cepatnya berita itu tersebar di tengah masyarakat. Seakan-akan kata-kata itu keluar dari mulut ke mulut tanpa melalui telinga, dilanjutkan ke hati yang memikirkan apa yang didengar, selanjutnya memutuskan boleh atau tidak berita itu disebar luaskan. Allah Ta'ala berfirman,

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّالَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ

““(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan
Kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. [QS. An-Nur : 15].

Allah mendidik kaum mukminin dengan adab ini. Mengajarkan kepada mereka cara menghadapi berita serta cara memberantasnya, sehingga tidak tersebar di masyarakat. Setelah itu Allah mengingatkan kaum mukminin, agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak mereka diketahui. Allah juga mengingatkan mereka, agar tidak mengekor kepada para pendusta penebar berita bohong.

عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ." (صحيح مسلم - ج 1 / ص 15)

“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta tatkala menceritakan semua yang ia dengarkan (tanpa tabayun/klarifikasi).” (HR. Muslim).

*Hadirin Jama'ah Jum'at Rahimakumullah*

Majelis Ulama Indonesia atau MUI telah merilis fatwa tentang haramnya menyebar berita hoax. Hukum haram ini terdapat pada Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.

Memproduksi, menyebar dan atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan atau khalayak hukumnya haram, demikian salah satu poin dari Fatwa MUI.

Jadi, apabila kita menerima berita atau konten di media sosial hendaklah kita teliti dahulu jangan langsung percaya apalagi mengshare kemana-mana. Karena bila kita tidak teliti terhadap hoax, maka kita bisa jadi salah satu penyebar dosa kebohongan. Cerdaslah dalam bermedia sosial dan semoga Allah Ta'ala senantiasa membimbing kita ke jalan yang diridhoi-Nya. Aamiin

بارك الله لي ولكم فى القران العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا وأَسْتَغْفِرُ اللهَ العظيم لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُالرحيم.

*Khutbah Kedua*

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِمًا. أَمَّا بَعْدُ: إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلَّونَ عَلَى الَّنِبْيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. أَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُواْ رَبَّنَا إِنَّكّ رَؤُوْفُ رَّحِيْمٌ

اَللَّهُمَّ افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نًافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبِلاً

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ والحمد لله رب العالمين.

عباد الله، أن الله يأمر بالعدل والاحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون. فاذكروا الله يذكركم واشكرواه على نعامه يزدكم ولذكروا الله اكبر.