MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 20 Desember 2011

SEJARAH NATAL MENURUT AL-QUR’AN




Kata natal berasal dari bahasa Latin yang berarti lahir. Namun secara istilah natal berarti upacara yang dilakukan oleh umat Kristiani untuk memperingati hari kelahiran Isa Al-Masih, yang mereka sebut dengan Tuhan Yesus.

Peringatan Natal baru tercetus antara tahun 325-254 SM oleh Paus Liberus yang ditetapkan pada tanggal 25 Desember, sekaligus sebagai momentum penyembahan Dewa Matahari, yang kadang juga diperingati pada tanggal 6 Januari, 28 April, 18 Mei, atau 18 Oktober. Kemudian, oleh Kaisar Konstantin tanggal 25 Desember tersebut akhirnya disahkan sebagai hari kelahiran Yesus.

Untuk menyikap tabir Natal yang diperingati pada tanggal 25 Desember yang diyakini sebagai hari kelahiran Yesus, marilah kita simak apa yang diberitakan oleh Bibel (injil) tentang kelahiran Yesus, sebagaimana yang dijelaskan dalam Injil Lukas (2): 1-8 dan Injil Matius (2): 1 dan 10-11 (Adapun Injil Markus dan Yohanes tidak menuliskan kisah kelahiran Yesus).

Bibel (Injil) Lukas (2): 1-8 berbunyi, ” Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh untuk mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah pendaftaran pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri masing-masing di kotanya. Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud, supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung. Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang sedang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. “

Bibel (Injil) Matius (2): 1 dan 10-11 berbunyi, “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman Herodus datangalah orang-orang Majus dari Timur ke Yerussalem. Ketika mereka melihat bintang itu sangat bersuka citalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat anak itu bersama maria, ibunya.”

Wahai saudaraku, perhatikanlah isi kedua Bibel di atas, terutama kata atau kalimat yang bergaris bawah dan dicetak tebal. Maka, dapat kita ketahui bahwa terdapat pertentangan yang cukup jelas antara kedua Bibel tersebut dalam menjelaskan kelahiran Yesus. Pada Bibel Lukas dijelaskan bahwa Yesus lahir pada zaman Kaisar Agustus, sedangkan Bibel Matius pada zaman Herodus. Mana yang benar Nich???

Kemudian, kalau kita pahami isi Bibel di atas, maka akan kita ketahui bahwa pada hakikatnya kedua Bibel tersebut dengan sendirinya telah menolak mentah-mentah kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember. Percaya tidak…!

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ” Maka rasa sakit akan melahirkan memaksa ia (Maryam) bersandar pada pangkal pohon kurma, ia berkata, ’Aduhai, alangkah baik aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan.’ Maka Malaikat Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ’Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.’ Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” [QS. Maryam (19): 23-25]

So (jadi), menurut Al-Qur’an bahwa Isa Al-Masih dilahirkan pada musim panas disaat pohon-pohon kurma berbuah dengan lebatnya.

Tidak berlebihan jika kita coba meminjam pendapat sarjana Kristen bernama Dr. Arthur S. Peak. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya Yesus lahir dalam bulan Elul (Bulan Yahudi), bersamaan dengan bulan Agustus sampai September. [Lihat Sholeh A. Nahdi, Bibel dalam Timbangan, hal. 32]

Kemudian, tidak salah juga jika mengutip tulisan Dr. Charles Franciss Petter yang mengatakan, “…Kesulitan menentukan tanggal kelahiran Yesus, kehidupannya, kematiannya terpaksa ditimbulkan kembali karena adanya keterangan-keterangan yang banyak terdapat dalam gulungan-gulungan Essene (yang terdapat di gua Qamran…” [Lihat Dr. Charles Franciss Petter, The Lost of Jesus Revealed , hal 119]

Ternyata antara pemahaman yang beredar di kalangan umat Kristen tentang kelahiran Yesus, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bibel tidaklah menunjukkan suatu kepastian, sehingga banyak dari ilmuwan-ilmuwan mereka yang mengatakan bahwa Yesus lahir pada tahnu 8 SM, tahun 6 SM, dan tahun sesudah Masehi. [Lihat Irena Handono, Perayaan Natal 25 Desember: Antara Dogma dan Toleransi, hal. 25]

Benarkah Nabi Isa as lahir tanggal 25 Desember?

Dalam kajian tersebut ditegaskan bahwa telah terjadi kesalahan sejarah dan penyelewengan literatur dalam kitab injil yang menunjukkan bahwa Nabi Isa as lahir pada tanggal 25 Desember.

Kelahiran Nabi Isa as.

Padahal dalam Injil Lucas menjelaskan bahwa Nabi Isa as lahir pada masa musim gugur, yakni sekitar pada bulan Maret.

Sebagai rujukan atau landasan, Al-Qur'an juga menjelaskan bahwa Nabi Isa as lahir di bawah pohon kurma yang saat itu banyak buahnya. Hal ini berarti Nabi Isa as lahir pada musim gugur.

Perhatikan ayat berikut ini,

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا ٢٢

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” [QS. Maryam: 22]

فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا ٢٣

Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". [QS. Maryam: 23]

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا ٢٤

Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” [QS. Maryam: 24]

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ٢٥

dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,” [QS. Maryam: 25]

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ٢٦

Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". [QS. Maryam: 26]

Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa kelahiran Nabi Isa as adalah bukan 25 Desember, melainkan pada musim gugur kurma, karena Maryam mengambil kurma untuk makanan mereka berdua.

Tidak dijelaskan secara detail kapan Nabi Isa as lahir, namun dar literatur dan kitab Injil menyatakan bahwa Nabi Isa as lahir sekitar bulan Maret, musim gugur. Rakyat Konstantinopel memperingati kelaharian Isa dengan menyembah dewa matahari pada musim gugur.

Akan tetapi, Paulus Liberus di Roma pada abad ke-4 Masehi mengubah literatur Injil dengan menyebutkan Yesus lahir pada 25 Desember. Hal itu diperuntukkan untuk menyatukan umat Kristen dan Katolik dalam perayaan Natal, karena sesungguhnya perayaan Natal itu sendiri merupakan budaya dari umat Katolik Roma pada masa Kaisar Konstantinopel.

Kaisar Konstantin melakukan persembahan dan perayaan untuk menyembah dewa matahari pada musim gugur, kemudian diikuti oleh rakyat yang akhirnya dikenal dengan Natal.

Jadi, dalam Al Qur'an telah menunjukkan bahwa Hari Natal, Hari Kelahiran Nabi Isa as bukan tanggal 25 Desember, melainkan pada musim gugur kurma, yakni sekitar bulan Maret. Wallahu A'lam.

Kamis, 01 Desember 2011

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN



[KITAB MAFAHIM YUJIB AN TUSHOHHAH]

[Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani]           


مفاهيم يجب أن تصحح
لسليل بيت العلم والتقى الدكتور محمد علوي المالكي الحسني
خادم العلم الشريف بالبلد الحرام
الناشر: دار جوامع الكلم الدراسة القاهرة

موقف الشيخ محمد بن عبد الوهاب
وقد وقف الشيخ محمد بن عبد الوهاب رحمه الله في هذا الميدان موقفاً عظيماً ، قد يستنكره كثير ممن يدعي أنه منسوب إليه ومحسوب عليه ، ثم يكيل الحكم بالتكفير جزافاً لكل من خالف طريقته ونبذ فكرته ، وها هو الشيخ محمد ابن عبد الوهاب ينكر كل ما ينسب إليه من هذه التفاهات والسفاهات والافتراءات فيقول ضمن عقيدته في رسالته الموجهة لأهل القصيم قال : ثم  لا يخفى عليكم أنه بلغني أن رسالة سليمان بن سحيم قد وصلت إليكم وأنه قبلها وصدقها بعض المنتمين للعلم في جهتكم ، والله يعلم أن الرجل افترى عليَّ أموراً لم أقلها ولم يأت أكثرها على بالي .
فمنها : قوله : إني مبطل كتب المذاهب الأربعة ، وإني أقول : إن الناس من ستمائة سنة ليسوا على شيء ، وإني أدعي الاجتهاد ، وإني خارج عن التقليد ، وإني أقول : إن اختلاف العلماء نقمة ، وإني أكفر من توسل بالصالحين ، وإني أكفر      البوصيري لقوله : يا أكرم الخلق ، وإني أقول : لو أقدر على هدم قبة رسول الله    لهدمتها ، ولو أقدر على الكعبة لأخذت ميزابها وجعلت لها ميزاباً من خشب ، وإني أحرم زيارة قبر النبي ، وإني أنكر زيارة قبر الوالدين وغيرهما ، وإني أكفر   من حلف بغير الله ، وإني أكفر ابن الفارض وابن عربي ، وإني أحرق دلائل الخيرات وروض الرياحين ، وأسميه روض الشياطين .
جوابي عن هذه المسائل : أن أقول : سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ ، وقبله من بهت محمداً صلى الله عليه وسلم أنه يسب عيسى بن مريم ، ويسب الصالحين ، فتشابهت قلوبهم بافتراء الكذب ، وقول زور . قال تعالى : إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ الآية ، بهتوه صلى الله عليه وسلم بأنه يقول : إن الملائكـة وعيسى وعزيراً في النار ، فأنزل الله في ذلك : إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ  .
أنظر الرسالة الأولى من الرسائل الشخصية ضمن مجموعة مؤلفات الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب المنشورة باهتمام جامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية .

SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ‘ABDUL WAHHAB MENYANGKUT
PENGKAFIRAN      

Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab Rahimahullah memiliki sikap mulia dalam hal
pengkafiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai berikut:

“Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku”.

“Diantaranya ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar. Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orangorang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya: “Wahai Makhluk paling mulia”. “Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin”.

”Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah firman allah :

سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Artinya : "Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar."
(Q.S. An-Nuur : 16)

Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah berfirman :

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ
"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah." (Q.S. An-Nahl : 105)

Kafir Quraisy melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ 
"Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, Mereka itu dijauhkan dari neraka."(Q.S. Al-Anbiyaa` : 101)

رسالة مهمة أخرى للشيخ في الموضع 
هذه رسالة أرسلها الشيخ محمد بن عبد الوهاب إلى السويدي عالم من أهل العراق ، وكان قد أرسل له كتاباً وسأله عما يقول الناس فيه ، فأجابه بهذه الرسالة : قال فيها :
إن إشاعة البهتان بما يستحي العاقل أن يحكيه فضلاً عن أن يفتريه مما قلتم : أنني أكفر جميع الناس إلا من اتبعني ، ويا عجباً كيف يدخل هذا في عقل عاقل ، وهل يقول هذا مسلم ؟  وما قلتم : لو أنني أقدر على هدم قبة النبي صلى الله عليه وسلم لهدمتها ، وفي دلائل الخيرات وحرمته ، وأنهى عن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم بأي النظم كان ، فهذا من البهتان ، والمسلم لا يظن من قلبه أجلّ من كتاب الله .
وفي صحيفة 64 من نفس الكتاب قال رحمه الله : وما قلتم : أنني أكفر من توسل بالصالحين ، وأكفر البوصيري لقوله : يا أكرم الخلق ، وأنكر زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم، وأنكر زيارة قبور الوالدين وغيرهم ، وأكفر من حلف بغير الله .
جوابي على ذلك أقول : سبحانك هذا بهتان عظيم .
أنظر القسم الخامس الرسائل الشخصية ص37 من مجموعة مؤلفات الشيخ -.

RISALAH PENTING LAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM MASALAH PENGKAFIRAN

Risalah ini dikirimkan kepada As-Suwaidi, seorang ulama Iraq. Sebelumnya As-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh menjawab dalam risalahnya:

”Tersebarnya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan demikian?” “Dan apa yang kalian katakan : Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, niscaya saya akan merealisasikannya, membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkataan-perkataan ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi Al-Qur’an.”

Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh berkata : "Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, mengkafirkan Bushiri karena ungkapannya : Wahai makhluk paling mulia, mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, kuburan kedua orang tua dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman Allah:

سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
"Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar."(Q.S. An-Nuur : 16)

[Lihat: Bagian kelima Ar-Rosail Asy-Syakhshiyah hal. 37 dari ensiklopedi kitab karangan Muhammad bin Abdul Wahhab]

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر 
إعلم أنّ كراهة المسلمين ومقاطعتهم ومدابرتهم محرّمة وكان سباب المسلم فسوقاً وقتاله كفراً إذا استحل .
وكفى رادعاً في هذا الباب حديث خالد بن الوليد رضي الله عنه في سريته إلى بني جذيمة يدعوهم إلى الإسلام ، فلما انتهى إليهم تلقوه ، فقال لهم : أسلموا ، فقالوا : نحن قوم مسلمون ، قال : فألقوا سلاحكم وانزلوا ، قالوا : لا والله ما بعد وضع السلاح إلا القتل ما نحن بآمنين لك ولا لمن معك ، قال خالد فلا أمان لكم إلا أن تنزلوا فنزلت فرقة منهم وتفرقت بقية القوم
وفي رواية انتهى خالد إلى القوم فتلقوه ، فقال لهم ما أنتم أي : أمسلمون ؟ أم كفار ؟ قالوا : مسلمون قد صلينا وصدقنا بمحمد صلى الله عليه وسلم وبنينا المساجد في ساحتنا وأذنا فيها ، وفي لفظه لم يحسنوا أن يقولوا : أسلمنا ، فقالوا: صبأنا صبأنا ، قال فما بال السلاح عليكم ؟ قالوا : إن بيننا وبين قوم من العرب عداوة فخفنا أن تكونوا هم فأخذنا السلاح ، قال : فضعوا السلاح فوضعوا، فقال : استأسروا فأمر بعضهم فكتف بعضاً وفرقهم في أصحابه فلما كان السحر نادى منادي خالد : من كان معه أسير فليقتله ، فقتل بنو سليم من كان معهم  وامتنع المهاجرون والأنصار رضي الله عنهم ، وأرسلوا أسراهم فلما بلغ النبي صلى الله عليه وسلم ما فعل خالد ، قال : اللهم إني أبرأ إليك مما صنع خالد ، قال ذلك مرتين .
وقد يقال أن خالداً فهم أنهم قالوا ذلك على سبيل الأنفة وعدم الانقياد إلى الإسلام وإنما أنكر عليه صلى الله عليه وآله وسلم العجلة وعدم التثبت في أمرهم قبل أن يعلم المراد من قولهم صبأنا ، وقد قال عليه الصلاة والسلام نعم عبد الله أخو العشيرة خالد بن الوليد سيف من سيوف الله سله الله على الكافرين والمنافقين .
وكذلك قصة أسامة بن زيد حب رسول الله وابن حبه فيما رواه عنه البخاري عن أبي ظبيان قال : سمعت أسامة بن زيد يقول : بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الحرقة ، فصبحنا القوم فهزمناهم ولحقت أنا ورجل من الأنصار رجلاً منهم ، فلما غشيناه قال : لا إله إلا الله ، فكف الأنصاري عنه وطعنته  برمحي حتى قتلته ، فلما قدمنا بلغ النبي صلى الله عليه وآله وسلم  ، فقال :  يا أسامة ! أقتلته بعدما قال : لا إله إلا الله ، قلت : كان متعوذاً ، فما زال يكررها حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت ذلك اليوم ، وفي رواية أخرى أن رسول     الله صلى الله عليه وسلم قال له : ألا شققت على قلبه ، فتعلم أصادق أم كاذب  قال أسامة : لا أقاتل أحداً يشهد أن لا إله إلا الله .
وقد سئل علي رضي الله عنه عن المخالفين له من الفرق أكفار هم ؟  قال : لا ، إنهم من الكفر فروا ، فقيل : أمنافقون هم ؟ فقال : لا ، إن المنافقين لا يذكرون الله إلا قليلاً ، وهؤلاء يذكرون الله كثيراً ، فقيل : أي شيء هم ؟  قال : قوم أصابتهم الفتنة فعموا وصمُّوا .

MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ DAN MEMERANGINYA ADALAH TINDAKAN KUFUR

Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.

Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak pemahaman harfiah (literal) dari judul di atas. Saat Khalid tiba di tempat mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah agama Islam!”. “ Kami adalah kaum muslimin,” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian dan turunlah.” Lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan orang-orang yang bersama kamu.” Jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya sebagian kaum menuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai-berai.

Dalam riwayat lain redaksinya sebagai berikut : Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamnaa (Kami berserah diri), akhirnya mereka mengatakan Shoba’naa. Shoba’naa. “ Buat apa senjata yang kalian bawa?, tanya Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.

Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “ Ya Allah, saya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan Shoba’naa dengan angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah adalah ketergesa-gesaan dan ketidak hati-hatiannya dalam menangani kasus ini sebelum mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan  Shoba’naa. Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengatakan :

 Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara kabilah Quraisy ; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.

Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abi Dzibyan. Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengirim kami ke desa Al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan.

Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshor mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau pun berkata, “ Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan Laa Ilaaha illallah?!” “Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.

Sayyidina Ali ra. pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir ?”, “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah”. “Terus siapakah mereka?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan tuli”, jawab Ali. Wallohu a’lam bish-Showab

Rabu, 30 November 2011

Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari




Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى

HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah

قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر

Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-

لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى

Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-


  Cetakan Dar Anshar Mesir Edisi Doktor Fawqiyah Husein Mahmud [Al-Ibanah dgn cetakan sama yg terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dgn Edisi Syeikh Zahid Al-Kautsari, seorang ulama pada masa Khilafah Utsmaniyah].

 Cetakan Maktabah Muayyad Al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerjasama dgn Maktabah Dar Al-Bayan Suriah Edisi Basyir Muhammad Uyun




    Cetakan Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah Lebanon Edisi Abdullah Mahmud Muhammad Umar


Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah

Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.

Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.

Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?

Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî

Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;

1.       Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
2.       Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
3.       Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

  Cetakan Dar Anshar

Cetakan Maktabah Muayyad



Cetakan Dar Al-Kutub


-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.105 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.97;

استواءً يليق به من غير طول الاستقرار

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.

 Cetakan Dar Anshar



         Cetakan Maktabah Muayyad




           Cetakan Dar Al-Kutub


* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100;

استواءً منزها عن الحلول والاتحاد

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl. Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.

Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ.

الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع

Begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13, hal.461.


         Cetakan Dar Anshar



         Cetakan Maktabah Muayyad




               Cetakan Dar Al-Kutub


* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut. Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu‘aththilah.

Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî, Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî, al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.

Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.
Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.

Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?

Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb

1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;

Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.

2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;

Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.

Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.

3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;

Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.

Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.
Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)

1.       Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
2.       Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
3.       Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
4.       Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
5.       Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
6.       Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
7.       Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
8.      Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
9.       Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
10.   Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.
11.     
Daftar Pustaka

1.       Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
2.       Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
3.       Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
4.       Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
5.       Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
6.       Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
7.       Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
8.      Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
9.       Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.

Wallohu a'lam bish-Showab. Semoga bermanfaat. Aamiin

 Oleh:  Jundu Muhammad