MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 22 Juni 2018

KESAMAAN AMALIYAH IBADAH MUHAMMADIYAH (MD) DAN NAHDLATUL ULAMA (NU)


*Kitab Fiqih Muhammadiyah Kuno yang Amaliyahnya Sama Persis Nahdliyyin*

Dalam "Kitab Fiqih Jilid III" terbitan Taman Poestaka Muhammadiyah (semacam lembaga pers/penerbitan organisasi) edisi 1343 H. (1925 M), Djokjakarta, ada hal menarik yang perlu Anda baca.

Beberapa poin dalam kitab yang kebanyakan berbahasa Jawa ngoko kuno itu berbeda dengan praktik amalan masyarakat Muhammadiyah yang selama ini dikenal dekat dengan modernisme ritual, anti-bid’ah. Tertulis dalam buku tersebut begini, soal Do’a Qunut dan Raka’at Tarawih dan lainnya. Berikut ini adalah ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah” tersebut, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliyah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:

1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat dan khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).

*Rincian kalimatnya, sampelnya berikut ini:*

"Dene cacahe sunnah ab'adl ono limo, yoiku
1. Moco tahiyat awal ono sak wuse reka'at kapindhone sholat fardlu kejobo fardlu shubuh.
2. Lungguhe tahiyat awal.
3. MOCO DUNGO QUNUT ONO I'TIDAL KANG KAPING PINDHO SABEN-SABEN SHOLAT SUBUH" (Bab Ab'adlus Sholat, hlm. 24-25)

*Terjemah:*
"Adapun jumlah sunnah ab'adl, ada lima.
1. Membaca tahiyat awal sesudah rekaat kedua sholat fardlu, kecuali fardlu shubuh.
2. Duduk tahiyat awal.
3. MEMBACA DOA QUNUT KETIKA I’TIDAL KEDUA DARI SETIAP SHALAT SHUBUH." (Bab Ab'adlus Sholat, hlm. 24-25)

Soal Sholat Tarawih, kitab itu juga menulis begini:
"6. Sholat Tarweh yoiku sholat rung puluh raka'at, saben-saben rung reka'at kudu salam. Wektune ono ing sasi poso saben-saben sak wuse sholat isya'" (Bab Sholat Sunnah, hlm. 51-52)

*Terjemah:*
"6. Sholat tarawih adalah sholat dua puluh raka'at yang tiap dua rekaat harus salam. Waktu (pelaksanaannya) ada di Bulan Puasa tiap-tiap habis sholat Isya'" (Bab Sholat Sunnah, hlm. 50-51)

Pada halaman pendahuluan, juga bertebaran kata Sayyidina, yang, menurut pemahaman umat Muhammadiyah Fanatik, disebut bid'ah. Bahkan kafir, karena kata tersebut bisa bermakna “Tuhan”. Terlalu berlebihan bila disematkan kepada manusia. Apalagi hal itu, menurut Muhammadiyah, tidak diajarkan secara langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ada banyak hal yang membuat pembaca menemukan “sesuatu banget” di luar paradigma umum praktik ritual warga Muhammadiyah. Namun, Anda akan kesulitan membaca bila tanpa menguasai keterampilan Ilmu Arab Pegon. Apalagi sudah banyak yang tidak kelihatan dibaca kalau difotocopy.
Berikut adalah daftar isi “Kitab Fiqih Jilid III” setebal 80 halaman terbitan Taman Poestaka Muhammadiyah 1343 Hijriyah, yang sulit terlacak di kalangan petinggi Muhamadiyah sekalipun:

1. Bebuko (Pendahuluan)
2. Sesuci (thaharoh/ bersuci)
3. Banyu (pembagian air bersuci)
4. Najis (yang tidak suci)
5. Batang lan hukume (bangkai dan hukumnya)
6. Istinja’ (bersuci dengan selain air)
7. Sunnah lan mekruhe nekani hajat (sunnah dan makruhnya buang air)
8. Nuceni Najis (membersihkan najis)
9. Hadats (yang jadi penyebab tidak sah shalat)
10. Adus (mandi jinabat)
11. Sunnah lan mekruhe adus (sunnah dan makruhnya mandi jinabat)
12. Adus sunnah (mandi yang disunnahkan)
13. Tayammum (bersuci dengan abu tanah)
14. Ngusap setiyul (mengusap kaos kaki yang sulit dilepas saat wudlu)
15. Haidl dan nifas (haid dan habis melahirkan)
16. Larangane wong kang hadats (larangan orang ber-hadats)
17. Aurat (pemerincian tentang aurat)
18. Qiblat (arah sholat)
19. Ja’al mani’ zalal mani’ (yang terlarang sah sholat karena halangan ketikahalangan itu sirna)
20. Papirangane wektune sholat (pembagian waktu sholat)
21. Al-Adzan wal iqomah (adzan dan iqomat)
22. Ab’adlus Sholat (gerakan dalam sholat namun bukan rukun sholat)
23. Wacan sholat lan maknane (bacaan sholat dan maknanya)
24. Pirangane rukune sholat (pembagian rukun sholat)
25. Sunnate sholat (kesunnahan-kesunnahan sholat)
26. Makruhe sholat (kemakruhan sholat)
27. Batale sholat (batal-batal sholat)
28. Sujud sahwi (sujud ganti ab’adl sholat yang dilupakan)
29. Sitroh (batas garis tempat sholat, gantinya sajadah)
30. Sujud tilawah (sujud karena mendengar/ membaca ayat sajdah)
31. Sujud syukur (sujud karena menerima kenikmatan)
32. Sholat sunnah (macam-macam sholat sunnah)
33. Jama’ah (sholat jama’ah)
34. Qudwah lan masbuq (mengikuti gerakan imam sholat dan ma’mum yang datang terlambat setelah imam baca takbiratul ihram)
35. Imam (memilih imam sholat)
36. Sunnah lan makruhe jama’ah (kesunnahan dan kemakruhan jama’ah)
37. Sholat jumu’ah (sholat jum’at)
38. Syarate jumu’ah (syarat sah jum’atan)
39. Sunnah lan makruhe khutbah (kesunnahan dan kemakruhan khutbahjum’at)
40. Sunnate dino jum’at (kesunnahan-kesunnahan hari Jum’at)
41. Sholat musafir (aturan sholat ketika bepergian)
42. Syarate qoshor (syarat sholat dikompress/ diringkas)
43. Syarate sholat jama’ (syarat dua sholat yang disatukan)
44. Sholat khouf (sholat dalam situasi terancam)
45. Sholat ‘idaini (dua shalat hari raya)
46. Sholat istisqo’ (sholat meminta turunkan hujan)
47. Janazah (mayit yang ada di gendosa)
48. Mulosoro mayit (merawat jenazah)

Sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, KH. Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”. Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.

Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan bahwa KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat.

Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya. "Doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat," kata Yunahar.

Sedangkan jawaban tentang yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan mengapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda? Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

Senin, 11 Juni 2018

KAJIAN TENTANG BAHAYA MENERIMA & MENYEBARKAN BERITA BOHONG (HOAX)


Perkembangan teknologi yang terus menerus semakin pesat membuat media sosial menjadi pilihan utama masyarakat dalam berkomunikasi. Media sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, kemajuan teknologi ini harus dihadapkan dengan kebebasan setiap orang dalam membuat serta membagikan informasi. Dalam kurun waktu setahun belakangan ini, Indonesia dihadapkan dengan maraknya berita hoax di media sosial. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kita sering mendengar desas-desus yang tidak jelas asal-usulnya. Kadang dari suatu peristiwa kecil, tetapi dalam pemberitaannya, peristiwa itu begitu besar atau sebaliknya. Terkadang juga berita itu menyangkut kehormatan seorang muslim. Bahkan tidak jarang, sebuah rumah tangga menjadi retak, hanya karena sebuah berita yang belum tentu benar. Bagaimanakah sikap kita terhadap berita yang bersumber dari orang yang belum kita ketahui kejujurannya?

Allah Ta'ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [QS. Al-Hujurat : 6].

Dalam ayat ini, Allah melarang hamba-hambanya yang beriman berjalan mengikut desas-desus. Allah menyuruh kaum mukminin memastikan kebenaran berita yang sampai kepada mereka. Tidak semua berita yang didapat itu benar dan sesuai dengan fakta. Ingatlah, musuh-musuh kita senantiasa mencari kesempatan untuk menguasai. Maka wajib atas kita untuk selalu waspada, hingga kita bisa mengetahui orang yang hendak menebarkan berita yang tidak benar.

Jika Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti”

Maksudnya, janganlah kalian menerima (begitu saja) berita dari orang fasik, sampai kalian mengadakan pemeriksaan, penelitian dan mendapatkan bukti kebenaran berita itu.

(Dalam ayat ini) Allah memberitahukan, bahwa orang-orang fasik itu pada dasarnya (jika berbicara) dia dusta, akan tetapi kadang ia juga benar. Karenanya, berita yang disampaikan tidak boleh diterima dan juga tidak ditolak begitu saja, kecuali setelah diteliti. Jika benar sesuai dengan bukti, maka diterima dan jika tidak, maka ditolak.

Kemudian Allah Ta'ala menyebutkan illat (sebab) perintah untuk meneliti dan larangan untuk mengikuti berita-berita tersebut dengan lanjutan firman-Nya,

أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ

“Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya”.

فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS. Al-Hujurat : 6]

Sungguh, betapa semua kaum muslimin memerlukan ayat ini, untuk mereka baca, renungi, lalu beradab dengan adab yang ada padanya. Betapa banyak fitnah yang terjadi akibat berita bohong yang disebarkan orang fasiq yang jahat! Betapa banyak darah yang tertumpah, jiwa yang terbunuh, harta yang terampas, kehormatan yang terkoyakkan, akibat berita yang tidak benar! Berita yang dibuat oleh para musuh Islam dan musuh umat ini. Dengan berita itu, mereka hendak menghancurkan persatuan umat ini, mencabik-cabiknya dan mengobarkan api permusuhan diantara umat Islam.

Betapa banyak dua saudara berpisah disebabkan berita bohong! Betapa banyak suami-istri berpisah karena berita yang tidak benar! Betapa banyak kabilah-kabilah, dan kelompok-kelompok saling memerangi, karena terpicu berita bohong!

Wajib atas kaum muslimin untuk waspada dan mewaspadai musuh-musuh mereka. Dan hendaklah kaum muslimin mengetahui, bahwa para musuh mereka tidak pernah tidur (tidak pernah berhenti) membuat rencana dan tipu daya terhadap kaum muslimin. Maka wajiblah atas mereka untuk senantiasa waspada, sehingga bisa mengetahui sumber kebencian, dan bagaimana rasa saling bermusuhan dikobarkan oleh para musuh.

Sesungguhnya keberadaan orang-orang munafiq di tengah kaum muslimin dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar. Akan tetapi yang lebih berbahaya, ialah keberadaan orang-orang mukmin berhati baik yang selalu menerima berita yang dibawakan orang-orang munafiq. Mereka membuka telinga lebar-lebar mendengarkan semua ucapan orang munafiq, lalu mereka berkata dan bertindak sesuai berita itu. Mereka tidak peduli dengan bencana yang ditimpakan kepada kaum muslimin akibat mengekor orang munafiq.

Al Qur’an telah mencatatkan buat kita satu bencana yang pernah menimpa kaum muslimin, akibat dari sebagian kaum muslimin yang mengekor kepada orang-orang munafiq yang dengki, sehingga bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang sebelum kita.

Dalam Lintasan Sejarah Islam, Hoax pernah terjadi dalam banyak peristiwa, antara lain:

1. Nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa Sallam dan keluarganya pernah menjadi korban hoax, ketika istri beliau, Aisyah Radliyallahu 'anha, dituduh selingkuh, dan beritanya menjadi ‘viral’ di Madinah. Peristiwa itu dalam sejarah dinamakan hadits al-Ifki. Berita bohong ini menimpa istri Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam ‘Aisyah Radliyallahu Anha. Ummul Mu’minin, setelah perang dengan Bani Mushtaliq pada bulan Sya’ban 5 H. Peperangan ini diikuti kaum munafik, dan turut pula ‘Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. ‘Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa ‘Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah ‘Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan bin Mu’aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, isteri Rasul!” ‘Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesarkannya, maka fitnahan atas ‘Aisyah Radliyallahu Anha. itu pun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslimin.

Akhirnya Allah Ta'ala mengklarifikasi berita itu, dengan menurunkan firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Nur,

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ. لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ. [النور/:11-12]

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. An-Nuur : 11-12)

2. Khalifah Utsman bin Affan tewas ditikam seorang penghafal Al-Quran yang termakan hoax (fitnah) bahwa sang khalifah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Peristiwa penikaman ini terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 35 H./656 M. Nama pelakunya Al-Ghafiqi.

3. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh Abdurrahman bin Muljam seorang Khawarij, yang memfitnahnya sebagai penista hukum Al-Quran karena ingin damai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, mereka menuduh beliau telah meninggalkan hukum Allah.

4. Di era demokrasi sekarang ini, banyak hoax di medsos, mengancam pilar persatuan dan kerukunan umat islam dan masyarakat Indonesia khususnya. Bahkan The Arab Spring; الثورات العربية, demo, perang saudara, dan pertumpahan darah yang berujung tumbangnya beberapa negara di kawasan Timur Tengah, adalah (diduga) akibat virus hoax yang disebarkan melalui medsos.

Pada dasarnya ucapan itu diterima dengan telinga, bukan dengan lisan. Akan tetapi Allah ungkapkan tentang cepatnya berita itu tersebar di tengah masyarakat. Seakan-akan kata-kata itu keluar dari mulut ke mulut tanpa melalui telinga, dilanjutkan ke hati yang memikirkan apa yang didengar, selanjutnya memutuskan boleh atau tidak berita itu disebar luaskan. Allah Ta'ala berfirman,

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّالَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ

““(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan
Kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. [QS. An-Nur : 15].

Allah mendidik kaum mukminin dengan adab ini. Mengajarkan kepada mereka cara menghadapi berita serta cara memberantasnya, sehingga tidak tersebar di masyarakat. Setelah itu Allah mengingatkan kaum mukminin, agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak mereka diketahui. Allah juga mengingatkan mereka, agar tidak mengekor kepada para pendusta penebar berita bohong.

عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ." (صحيح مسلم - ج 1 / ص 15)

“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta tatkala menceritakan semua yang ia dengarkan (tanpa tabayun/klarifikasi).” (HR. Muslim).

Majelis Ulama Indonesia atau MUI telah merilis fatwa tentang haramnya menyebar berita hoax. Hukum haram ini terdapat pada Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.

Memproduksi, menyebar dan atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan atau khalayak hukumnya haram, demikian salah satu poin dari Fatwa MUI.

Jadi, apabila kita menerima berita atau konten di media sosial hendaklah kita teliti dahulu jangan langsung percaya apalagi mengshare kemana-mana. Karena bila kita tidak teliti terhadap hoax, maka kita bisa jadi salah satu penyebar dosa kebohongan. Cerdaslah dalam bermedia sosial dan semoga Allah Ta'ala senantiasa membimbing kita ke jalan yang diridhoi-Nya. Aamiin

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 10 Juni 2018

EDISI KHUTBAH 'IDUL FITRI 1439 H (Dua Tujuan Utama Di Hari Raya)


*أَلسَّلاَمَ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِِ وَبَرَكَاتُهَ*

اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرَا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرَا وَسُبْحَانِ للهِ بُكْرَةَ وَاَصِيْلا َ. اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ.

انَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اُوْصِيكُمْ عِبَادَ اللهِ وَاِيآيَ بِتَقْوَي اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ .  اَمَا بَعْدُ
وَقآَلَ اَللهُ تَعَآلَي فِى ا لْقُرْآنِ الْكَرِيم  اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيِطآَنِ الرَّجِيم بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ:  َيَآيُّهَا اّلَذِيْنَ أَمَنُوْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الّصِآَمُ كَماَ كُتِبَ عَلَي الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (اَلْبَقَرَةُ : ١٨٣)

قال الله تعالى: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

*اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. وَللهِ الْحَمْدُ.*

Bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan limpahan nikmat kepada kita semua. Terutama nikmat Islam kesehatan dan kecukupan, tanpa tiga nikmat tersebut kita akan kesulitan melaksanakan amal ibadah.

*Ma'asyiral muslimin wal muslimat Rohimakumullah.*

*اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. وَللهِ الْحَمْدُ.*

Hari ini jutaan umat muslim di berbagai belahan dunia tengah bergembira mengumandangkan Takbir, Tahmid dan Tahlil sebagai wujud syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka bergembira menyambut datangnya hari kemenangan. Namun ketahuilah Allah tidak menjadikan hari raya besar ini kecuali dua tujuan yang agung.

*Pertama,* agar manusia bersyukur dan bertakbir memuji Allah Ta'ala atas segala nikmat yang telah diberikan selama bulan Ramadhan. Yang mana pada bulan puasa kita telah dimudahkan dalam melaksanakan ibadah puasa, mengamalkan shalat malam, membaca Al-Qur'an, berangkat shalat subuh lebih awal dan lain sebagainya.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al Baqarah: 185)

*Kedua,* agar umat Islam merayakan hari kemenangan ini dengan rasa bahagia dan senang, namun masih dalam batas-batas syariat Islam. Berpakaian sesuai syariat, berakhlak karimah dan tidak berlebihan dalam menghamburkan harta (mubadzir).

Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS Al-‘Araf: 31).

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا

"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus" (QS. Al Maidah: 77)

Itulah dua tujuan Allah menjadikan hari raya Idul Fitri untuk kaum muslimin. Jama'ah yang ada di sini wajib memperhatikan dan menjaganya supaya Idul Fitri kita lebih berkah berbuah pahala.

*اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. وَللهِ الْحَمْدُ.*

Sungguh bulan Ramadhan adalah musim yang sangat agung untuk membiasakan diri dalam ketaatan dan berlomba lomba dalam kebaikan. Akan tetapi sekarang Ramadhan telah meninggalkan kita dan ia akan menjadi saksi di hadapan Allah Ta'ala atas segala yang telah kita lakukan di bulan tersebut. Tidak ada yang tersisa sedikitpun dari bulan Ramadan kecuali catatan amal yang akan diperlihatkan pada hari kiamat nanti.

Ibarat seorang pedagang yang telah menyelesaikan perniagaannya, dia akan menghitung berapa keuntungan dan kerugian yang ia dapatkan. Begitu pula dengan kita hari ini, setelah menyelesaikan rutinitas ibadah puasa kini saatnya bermuhasabah dan merenung apakah amalan kita di bulan puasa diterima Allah atau tidak.

*Ma'asyiral mislimin wal muslimat Rahimakumullah,*

*اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. وَللهِ الْحَمْدُ.*

Ketahuilah bahwa diterima atau tidaknya suatu amalan ditandai oleh amal shalih yang berkelanjutan. Ada sebuah ungkapan yang disampaikan oleh para ulama seperti Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Qur'an Al-Azhim di tafsir surat Al-Lail, diungkapkan juga oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Lathaif Al Ma'arif,

إِنَّ مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةَ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ بَعْدَهَا

"Sesungguhnya diantara balasan amalan kebaikan adanya kebaikan selanjutnya dan diantara balasan amalan keburukan adanya amalan kejelekan setelahnya."

*اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. وَللهِ الْحَمْدُ.*

*Jama'ah halat 'Id Rahimakumullah...*

Sungguh kerugian besar jika amal ibadah kita tidak diterima, dosa dosa tidak diampuni tapi ternyata bulan depan tidak bisa menjumpai bulan puasa lagi. Inilah yang membuat para ulama khawatir. Kebanyakan mereka selalu mengungkapkan rasa khawatir dan sedih saat berpisah dengan bulan Ramadhan.

Salah satunya Ibnu Rajab rahimahullah beliau mengatakan,

كَيْفَ لاَ تَجْرِى لِلْمُؤْمِنِ عَلَى فِرَاقِهِ دُمُوْع وَ هُوَ لاَ يَدْرِي هَلْ بَقِيَ لَهُ فِي عُمْرِهِ إِلَيْهِ رُجُوْع

"Bagaimana mungkin air mata seorang mukmin tidak berlinang kala berpisah dengan bulan Ramadhan. Sementara dia tidak mengetahui tersisa dari umurnya untuk kembali bertemu dengannya."

Berkata juga sebagian ulama salaf lainnya,

لَوۡ أَعۡلَمُ اَنَّ اللّهَ تَقَبَّل مِنِّيۡ مِثۡقَالَ حَبَّةٍ مِنۡ خَرۡدَلٍ لَتَمَنَّيۡتُ المَوۡت

"Seandainya aku tahu bahwa Allah menerima amalanku walau seberat biji khordzal (biji yg sangat kecil seperti biji sawi), pasti aku akan berangan kematian"

Oleh sebab itu Ramadhan kemarin harus bisa memberi perubahan pada diri kita masing-masing ke arah yang lebih baik. Selalu istiqomah dalam beribadah dan tidak mengerjakan kemaksiatan selepas bulan Ramadhan.

Sungguh tidak ada yang tahu apakah kita masih bertemu dengan Ramadan Ramadan berikutnya. Sungguh kita juga tidak tahu apakah masih bisa sujud, ruku, menangis di malam malam bulan Ramadan.

Mari di hari kemenangan ini kita buka lembaran baru. Bersiap menghadapi tantangan baru yang akan hadir kembali. Sebab belenggu-belenggu setan telah terlepas. Membuat para pelaku maksiat kembali leluasa melancarkan godaan-godaannya. Jadilah muslim yang istiqamah.

*اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. وَللهِ الْحَمْدُ.*

Kepada para ibu-ibu sekalian, ketahuilah saat khutbah 'Id, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberikan nasehat khusus untuk para wanita. Di dalam hadits sahabat Jabir bin Abdullah rdhiyallahu 'anhu, diceritakan Nabi mendekat ke arah jama'ah wanita. Kemudian beliau menasehati dan mengingatkan wanita seraya bersabda,

تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّم

"Hendaknya kalian (para wanita) bersedekah, sesungguhnya kalian adalah mayoritas bahan bakar (penghuni) neraka Jahannam"

Mendengar nasihat nabi tersebut, salah seorang wanita berdiri dengan kedua pipinya kehitaman dan bertanya, "Kenapa wahai Rasulullah?"

Maka nabi menjawab,

لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْر

"Karena kalian sering mengeluh dan banyak mengingkari kebaikan suami". [HR. Muslim: 885]

Untuk itu buat para wanita, janganlah mengingkari kebaikan suami, jangan pula mengeluh kepada suami, mengeluh tentang keadaan suami. Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah sementara dan penuh dengan kesulitan.

Ingatlah suami kalian adalah surga atau neraka kalian. Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ أَوْ نَارُكِ

"Sesungguhnya suamimu adalah Surgamu atau Nerakamu" (HR. Ahmad)

Apabila engkau mendapati suamimu ridho kepadamu dan melihat engkau sebagai istri yang sabar serta tabah dalam menjalani kehidupan dalam berkeluarga, maka sesungguhnya engkau sedang membuka pintu surga lebar lebar.

*اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. وَللهِ الْحَمْدُ.*

Sebelum kami akhiri kembali mengingatkan agar meluruskan niat dalam berhari raya. Perbanyak syukur, tahmid, takbir dan jangan melampaui batas. Berpakaian syari dan berakhlak mulia.

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

"Pendengaran, penglihatan dan semua anggota badan akan dimintai pertanggungjawaban" (QS. Al-I

جعلنا الله من المؤمنين الفائزين وادخلنا فى زمرة عباده الصالحين
اعوذ باالله من الشيطان الرجيم
بسم الله الرحمن الرحيم
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.

بارك الله لى ولكم فى القرن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكرالحكيم وتقبل منى ومنكم تلاوته انه هوالسميع العليم
اقول قولي هذا واستغفرالله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات فااستغفروه انه هوالغفورالرحيم

*Khutbah Kedua*

اَلله ُ اَكْبَرُ  اَلله  اَكْبَرُ  اَلله ُ اَكْبَرُ. اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرَا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرَا وَسُبْحَانِ للهِ بُكْرَةَ وَاَصِيْلا َ. اَللهُ اَكْبَرُ  اَللهُ اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ.

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

اَمَّا بَعْد ؛ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. والحمد لله رب العالمين.

KAJIAN TENTANG PERBEDAAN QIYAMUL LAIL DENGAN SHALAT TARAWIH


*Pengertian Qiyamul Lail/Shalat Malam*

Qiyamul lail secara bahasa dapat diartikan menghidupkan malam. Qiyam (dari akar kata qama) berarti berdiri untuk shalat, karena asal pelaksanaan shalat adalah dengan berdiri. Sementara al-lail bermakna waktu malam. Qiyamul lail sendiri istilah yang dipahami bermakna shalat di waktu malam. Qiyamul lail juga disebut dengan shalat tahajud dan shalat malam. Kata qiyamul lail diambil dari surah al-Muzammil ayat pertama, dan pada surah al-Furqan ayat 25.

Para ulama berpendapat bahwa qiyamul lail adalah untuk menunjuk dua shalat, yaitu shalat witir dan shalat tahajud. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Apabila fajar telah terbit, habislah waktu bagi shalatul-lail (qiyamul lail) dan shalatul-witri, maka berwitirlah sebelum terbit fajar,” (HR. Tirmidzi)

Qiamul Lail juga bisa dipahami sebagai amalan beribadah pada malam hari dengan mengerjakan shalat-shalat sunat seperti shalat Sunat Taubat, Tahajjud, Witir dan lain-lain, serta amalan-amalan seperti membaca Al-Qur'an, berzdikir, beristighfar, berdo'a dan sebagainya.

Qiyamul lail atau shalat malam termasuk sunnah yang sangat dianjurkan. Ia termasuk ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (Surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” [QS. Adz-Dzaariyaat: 15-19]

Dari Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفًا يُرَى ظَاهِرُهَـا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنِهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَأَدَامَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.

“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Allah Ta’ala menyediakannya bagi orang yang suka memberi makan, melunakkan perkataan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam pada saat manusia tidur.” (Shahiihul Jaami’ush Shaghiir no. 2123).

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam bulan ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لا يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738).

Hadits Dari 'Aisyah Ummul Mukminin

حدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Aisyah Ummul Mu'minin radliallahu 'anha berkata; "Pada suatu malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat di masjid, maka orang-orang mengikuti shalat Beliau. Pada malam berikutnya Beliau kembali melaksanakan shalat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika pagi harinya, Beliau bersabda: "Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar shalat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian". Kejadian ini di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)

Jadi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qiyamul lail di bulan Ramdhan atau malam bulan lainnya hanya 11 atau 13 rakaat dan beliau melaksanakan qiyamul lail di malam bulan ramadhan (qiyamu ramadhan) di masjid Nabi hanya 3 malam pertama, selebihnya beliau shalat malam di rumah.

*Pengertian Shalat Tarawih*

Shalat Tarawih (kadang-kadang disebut Teraweh atau Taraweh) adalah shalat sunnat yang dilakukan khusus hanya pada bulan ramadhan. Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama' dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk istirahat".

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 2/9631).

Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al-Khatthab ra. dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘id. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39).

Jadi, shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di malam ramadhan atau pada selain ramadhan adalah 11 atau 13 raka’at. Sementara para ulama yang menjelaskan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.

*Pendapat pertama,* yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun shalat malam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut tidaklah tepat disebut shalat tarawih, karena sebutan tarawih itu terjadi dimasa khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu.

*Pendapat kedua,* shalat tarawih yang sesungguhnya adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.

*Al-Kasaani* mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”

*Ad-Dasuuqi* dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”

*Ibnu ‘Abidin* mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”

*‘Ali As Sanhuri* mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”

*Al-Hanabilah* mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)

*Pendapat ketiga,* shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)

*Pendapat keempat,* shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al-Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)

*Perbedaan Antara Shalat Tarawih dan Qiyamul Lail*

Meski sama-sama tercakup dalam agenda qiyamul lail, namun umumnya para ulama membedakan antara shalat tarawih dengan tahajjud dan witir atau shalat lainnya. Sedikitnya ada tiga perbedaan yaitu :

1. Tarawih belum disyariatkan ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih di Mekkah, maka selama di masa  Mekkah tidak dikenal shalat tarawih, karena baru nanti ketika di Madinah setelah hijrah beliau melaksanakannya.

Berbeda dengan shalat tahajjud yang disyariatkan sejak awal mula masa kenabian. Ada yang mengatakan bahwa wahyu kedua yang turun sudah memerintahkan bangun malam dalam arti shalat tahajjud. Intinya, shalat tahajjud sudah dikenal dan disyariatkan sejak masih di masa Mekkah.

Hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau masih terus melakukan shalat tahajjud. Sedangkan shalat malam beliau di bulan ramadhan hanya melakukan 3 malam pertama, dengan alasan takut diwajibkan, beliau tidak melakukannya di masjid hingga wafat.

Dari sisi pensyariatannya saja, tarawih dan tahajjud memang sudah berbeda. Maka jangan sampai rancu dalam memahami keduanya.

2. Para ulama umumnya sepakat bahwa shalat Tarawih itu bukan shalat tahajjud. Hal utama yang membedakan tarawih dengan tahajjud adalah bahwa tarawih ini hanya disyariatkan di bulan Ramadhan saja.

Tidak ada shalat tarawih yang dikerjakan di luar bulan Ramadhan. Di luar bulan Ramadhan, kalau ada shalat yang disunnahkan, hanya shalat tahajjud dan shalat witir.

3. Shalat qiyamu ramadhan  yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat yang hanya tiga kali itu ternyata dilakukan sesudah shalat isya' dan sebelum tidur malam. Mirip dengan yang semua orang lakukan di masa sekarang ini (tarawih).

Sedangkan shalat tahajjud dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di akhir malam, setelah beliau selesai beristirahat tidur malam. Tidak ada shalat tahajjud yang dilakukan pada awal malam.

Secara bahasa, kata tahajjud (تهجد) berasal dari kata hujud (هجود). Menariknya, kata tahajjud punya dua arti sekaligus yang berlawanan, begadang dan tidur. Jadi bisa diterjemahkan menjadi begadang, tapi kadang bisa juga diterjemahkan menjadi tidur.

Al-Azhari dalam Lisanul Arab menyatakan bahwa bila kita menyebut Al-Hajid (الهاجد) artinya adalah orang yang tidur. Kata hajada (هجد) bermakna tidur di malam hari (نام بالليل).

Sedangkan kalau kita sebut Al-Mutahajjid (المتهجد) artinya adalah orang yang bangun pada malam hari untuk ibadah. Seolah-olah mutahajjid ini adalah orang yang membuang hujud (tidur) dari dirinya.

Sedangkan secara istilah syariat, di dalam kitab Nihayatul Muhtjd jilid 2 hal. 127 disebutkan bahwa tahajjud adalah :

صَلاَةُ التَّطَوُّعِ فِي اللَّيْل بَعْدَ النَّوْمِ

Shalat tathawwu' pada malam hari setelah bangun dari tidur.

Hal ini dikuatkan dengan hadits dari Al-Hajjaj bin Amr radhiyallahuanhu :

يَحْسِبُ أَحَدُكُمْ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْل يُصَلِّي حَتَّى يُصْبِحَ أَنَّهُ قَدْ تَهَجَّدَ إِنَّمَا التَّهَجُّدُ : الْمَرْءُ يُصَلِّي الصَّلاَةَ بَعْدَ رَقْدَةٍ

Ada seorang diantara kalian yang mengira bila seseorang shalat di malam hari hingga shubuh, dia dikatakan sudah bertahajjud. Padahal tahajjud itu adalah seseorang melakukan shalat setelah bangun dari tidur. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

Jumat, 08 Juni 2018

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT JUM'AT DI HARI RAYA


Hari Jum'at merupakan salah satu hari raya umat Islam. Dalam Islam dikenal ada tiga hari raya yaitu Idhul Fitri, Idhul Adha dan hari Jum'at. Hari Jum'at merupakan hari raya mingguan, sebagaimana Idhul Fitri dan Idhul Adha merupakan hari raya tahunan.

Tidak diragukan bahwa keberadaan kita yang mendapati hari 'Id bertepatan dengan hari Jum’at adalah karunia dan nikmat Allah yang sangat besar.

Akan tetapi, ketika hari 'Id bertepatan dengan hari Jum’at, banyak yang mempertanyakan tentang hukum pelaksanaan shalat Jum’at pada hari tersebut.

Orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.

Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” (HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomiri).

Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: (1) budak, (2) wanita, (3) anak kecil, dan (4) orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab)

Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘Id adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘Id itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘Id tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Id.

Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘Id adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)

Seperti di zaman awal Islam, ada sahabat yang jarak rumahnya dengan Madinah sejauh 4 km, bahkan lebih dari itu, dan harus ditempuh melewati padang pasir dan ditempuh dengan jalan kaki. Apakah ia harus kembali lagi ke Madinah tanpa kendaraan untuk menunaikan shalat Jum'at? Kalaulah ia harus kembali menempuh perjalanan dari rumah ke masjid dan sebaliknya, sungguh melelahkan. Pertanyaan berikutnya apakah Islam tidak memberikan solusi?

Di sinilah kemudian timbul perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan, tidak perlu kembali ke masjid untuk menunaikan shalat Jum'at. Shalat Jum'atnya dapat dikerjakan di rumah dan menggantinya dengan shalat zhuhur. Ini termasuk rukhshah atau keringanan dalam beragama.

Pendapat kedua mengatakan, kasus di Madinah di awal Islam itu bisa dijadikan alasan, tetapi apakah kita di Indonesia benar-benar mengalami nasib seperti itu? Bagi kaum Muslimin di Indonesia yang mayoritas NU, hampir di setiap dusun ada masjid, rata-rata kurang dari 1 km dan tidak melewati padang pasir.

Pendapat kedua inilah yang dipilih sebagian besar warga NU. Karena itu seorang Muslim harus kembali ke masjid untuk mengerjakan shalat Jum'at setelah paginya menunaikan shalat hari raya atau shalat 'Id.

Meskipun demikian, tidak sedikit yang mengikuti jejak golongan pertama. Dengan mengajukan kasus di Madinah, tidak perlu mengajukan alasan apapun seperti perbedaan geografis dan cuaca suatu negara. Yang jelas rukhshah itu patut disambut.

Imam Syafi'i seperti dikutip dalam Kitab Al-Mizan lis Sya’rani Juz I, mengatakan, jika kebetulan hari raya bertepatan dengan hari Jum'at maka bagi penduduk perkotaan kewajiban menjalankan shalat Jum'at tidak gugur dikarenakan telah menjalankan shalat 'Id. Lain halnya dengan penduduk desa (yang amat jauh), kewajibannya mengerjakan shalat Jum'at gugur, mereka diperbolehkan untuk tidak Jum'atan.

Dalam kitab yang sama disebutkan, pendapat Imam Syafi'i ini sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Sedang Imam Ahmad mengatakan, tidak wajib Jum'atan baik penduduk desa maupun kota dan gugurlah kewajiban Jum'atan sebab mereka telah mengerjakan shalat 'Id, hanya saja mereka tetap wajib mengerjakan shalat dzuhur.

Hadits tentang rukhsah ini diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam berikut ini:

قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Rasulullah menjalankan shalat 'Id kemudian memberikan rukhshah untuk tidak menjalankan shalat Jumat, kemudian beliau bersabda," Siapa ingin shalat Jumat, Silakan!" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darami serta Ibnu Khazimah dan Al-Hakim). Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى اقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG BAHAYA RIYA' DI MEDIA SOSIAL


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

“Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata, ”Kami mau,” maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya”. [HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa’id al Khudri. Hadits ini hasan-Shahih at Targhib wat Tarhib, no. 30]

Di zaman yang serba digital ini siapa sih yang tidak kenal media sosial seperti twitter, facebook, WhatsApp, path dan instagram. Mengingat media sosial sudah sangat akrab mengisi kehidupan masyarakat kita. Sehingga setiap orang mudah mengaksesnya hanya dengan menggunakan gawai (gadget) untuk memposting status, menguplod foto, video live, dan lain sebagainya.

Dan dalam amal itu harus mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ

“Katakanlah : ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atas kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui” [QS. Ali-Imran : 29]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memperingatkan bahaya dari berbuat riya’, dalam firman-Nya.

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu” [QS. Az-Zumar : 65]

Namun  mirisnya moment ibadah yang sifatnya privasi antara manusia dengan  Tuhan pun juga tak luput  menjadi bahan uploadan di media social. Contohnya saja ketika sedang sholat, membaca Al-Qur'an, berpuasa, umrah, berhaji, zakat, sedekah, hampir semuanya diposting di media sosial.

*"Maksudku kan baik memposting beginian ke media sosial agar bisa menginspirasi yang lain, apa salahnya?"*

*"Bukan maksud apa-apa, ini hanya untuk dokumen pribadi aja, kok."*

Itulah  beberapa alasan yang biasa dilontarkan oleh mereka yang gemar  membagikan momen ibadahnya ke media sosial. Oke guys kalau memang  tujuannya demikian memang tak apa ya, tapi maksud sebenarnya yang terselip hati siapa yang tahu  guys? Ingat setan itu pintar membuat tipu daya loh. Jangan sampai kita  terkena sindrom pamer ibadah di media social ya. Daripada ibadah kita  sia-sia yuk kita intip seperti apa sih ciri-ciri seseorang yang terjangkit sindrom pamer  ibadah, berikut ini :

Selalu berkeinginan memposting setiap kegiatan ibadahnya ke media sosial

Keinginan  untuk selalu membagikan momen ibadah ke media sosial adalah ciri utama pengidap sindrom pamer ibadah baik itu berupa foto, status maupun video  live. Sehingga setiap melakukan ibadah atau amal kebaikan selalu dishare  di media sosialnya.

*Berharap simpati dan pujian dari orang lain*

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ الرِّيَاءُ ، يَقُوْلُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِيْ الدُّنْيَا ، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزاَءً ؟!

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’. Allah akan mengatakan kepada mereka pada hari Kiamat tatkala memberikan balasan atas amal-amal manusia “Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepada mereka di dunia. Apakah kalian akan mendapat balasan dari sisi mereka?” [HR Ahmad, V/428-429)

Siapa sih yang nggak suka dipuji dan mendapatkan simpati? Merasa senang  ketika dipuji itu manusiawi kok, tapi dalam hal ibadah? Tak layak kita  pamerkan di manapun termasuk di media sosial dengan harapan supaya kita  banjir pujian dan simpati. Namun orang yang sudah mengidap sindrom pamer ibadah akan mengharapkan itu semua. Dan karena itulah seseorang yang  terkena sindrom pamer ibadah terjangkit ketergantungan untuk  memperlihatkan aktifitas ibadahnya ke media sosial. Agar selalu mendapat  sanjungan dan pujian dari warganet. Baik berupa like maupun komentar.

*Memandang ibadah hanya untuk gaya-gayaan (eksis)*

Kewajiban manusia terhadap Tuhan yakni menjalankan ibadah. Tapi apa jadinya jika  ibadah hanya untuk gaya-gayaan dan agar eksis di media sosial. Pergi ke  tanah suci hampir di setiap tempat melakukan foto dan kemudian dishare ke wall media sosialnya dengan harapan orang lain melihat  jikalau kita telah mampu berhaji, berumrah atau berharap mendapat  sebutan sebagai orang alim, ahli ibadah, haji/hajah. Dan menjadikan kita  tenar di media social.

*Ibadah yang dikerjakannya tidak ikhlas karena Allah*

Ibadah yang ikhlas tidak akan mengharap apapun dari sesama manusia, untuk supaya dilihat, dipuji  dan mendapat sambutan sekecil apapun itu bahkan jika sampai berlebihan. Keikhlasan kita beribadah dapat diukur dari tidak adanya keinginan kita untuk  memperlihatkan amal ibadah kepada orang lain. Dan cukup hanya Tuhan yang  tahu rutinitas ibadah kita. Apabila masih suka memamerkan atau  menunjukkan ibadah ke media social itu pertanda bahwa kita tidak ikhlas  menjalankannya.

*Merasa bangga dengan postingan ibadahnya*

Pengidap sindrom pamer ibadah akan merasa bangga setelah memposting kegiatan ibadahnya di media social. Di situlah kepuasan mereka dapatkan. Apalagi  jika mendapat banyak komentar positif yang menagung-agungkan namanya. Maka semakin besar ambisi mereka untuk melakukan pamer ibadahnya di media sosial.

Itulah ciri-ciri seseorang yang terjangkit sindrom pamer ibadah di media  social. Bagaimana, apakah kita ini termasuk di dalamnya? Semoga saja tidak demikian. Aamiin

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 04 Juni 2018

KAJIAN TENTANG DEFINISI DAN SYARAT MENJADI IMAM SHALAT BERJAMA'AH



Kata imam (امام، امامة) dalam bahasa Arab adalah pemimpin, pemuka.

Sedangkan imam menurut istilah, adalah pemuka di dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam. Sedangkan pengertian imam dalam konteks shalat atau imam shalat, adalah pimpinan dalam shalat jamaah, baik dalam kedudukannya yang tetap maupun dalam keadaan yang sementara, sang imam berdiri paling depan dari barisan jamaah shalat.

Seorang imam shalat berjamaah, biasanya adalah orang yang dianggap baik dalam bacaan shalatnya, orang-orang yang berhati-hati mengerjakan kaifiyah (tata cara gerakan) shalat, memahami syarat sah, syarat rukun dan sunnah-sunnah shalat, agar mendapat pahala orang-orang yang menjadi pengikut (makmum) dan bukan mendapat dosa.

Keberadaan imam dewasa ini sungguh jauh dari standar yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Dimana untuk menjadi imam shalat adalah mereka yang benar-benar lebih baik dalam segala hal, dan shahabat yang merasa lebih rendah pemahamannya menyerahkan urusan imam shalat kepada shahabat yang lebih senior. Itulah yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.

Syarat menjadi seorang Imam dalam shalat berjamaah adalah sebagai berikut :

1. Yang lebih mengerti serta lebih fashih tentang Al-Qur'an
2. Yang lebih memahami Sunnah Rasul
3. Yang lebih dahulu hijrah (baik hijrah dari Makkah ke Madinah sebagaimana para shahabat maupun hijrah dari segala yang buruk kepada yang baik)
4. Yang lebih tua atau yang lebih dahulu Islamnya,
5. Yang lebih dicintai, dengan kecintaan yang dibenarkan oleh agama.

Dasar penetapan ada dalam beberapa hadits berikut ini :

عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا كَانُوْا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ اَحَدُهُمْ. وَ اَحَقُّهُمْ بِاْلاِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ. مسلم

Dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila mereka tiga orang, maka hendaklah mengimami mereka salah seorang diantara mereka. Dan yang paling berhak menjadi imam diantara mereka ialah yang paling pandai (faham) bacaannya diantara mereka". [HR. Muslim juz 1, hal. 464]

عَنْ اَبِى مَسْعُوْدٍ اْلاَنْصَارِيّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ. فَاِنْ كَانُوْا فِى اْلقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ. فَاِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً. فَاِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا. وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ. وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ اِلاَّ بِإِذْنِهِ. مسلم

Dari Abu Mas'ud Al-Anshari, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Yang mengimami suatu kaum itu hendaklah orang yang lebih pandai (faham) bacaannya tentang kitab Allah diantara mereka. Apabila mereka itu di dalam kefahamannya sama, maka yang lebih mengetahui diantara mereka tentang sunnah. Jika mereka itu sama dalam pengetahuannya tentang sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka itu sama dalam hal hijrahnya, maka yang lebih dahulu diantara mereka masuk Islam. Dan janganlah seseorang mengimami orang lain di dalam kekuasaannya. Dan janganlah ia duduk di tempat kehormatannya yang berada di dalam rumahnya kecuali dengan idzinnya". [HR. Muslim juz 1, hal. 465]

عَنْ اِسْمَاعِيْلَ بْنِ رَجَاءٍ قَالَ: سَمِعْتُ اَوْسَ بْنَ ضَمْعَجٍ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ اَبَا مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص: يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ وَ أَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً. فَاِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً. فَاِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ اَكْبَرُهُمْ سِنًّا. وَلاَ تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِى اَهْلِهِ وَ لاَ فِى سُلْطَانِهِ. وَلاَ تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِى بَيْتِهِ اِلاَّ اَنْ يَأْذَنَ لَكَ اَوْ بِإِذْنِهِ. مسلم

Dari Ismai'il bin Raja', ia berkata : Saya pernah mendengar Aus bin Dlam'aj berkata : Saya pernah mendengar Abu Mas'ud berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami, "Orang yang mengimami suatu kaum hendaklah orang yang paling pandai bacaannya diantara mereka tentang kitab Allah dan lebih baik diantara mereka bacaannya. Jika bacaan (kefahaman) mereka itu sama, maka hendaklah mengimami mereka orang yang lebih dahulu diantara mereka berhijrah. Jika mereka itu sama didalam hijrahnya, maka hendaklah mengimami mereka orang yang paling tua umurnya diantara mereka. Dan janganlah kamu mengimami orang lain di dalam keluarganya, dan jangan pula di dalam kekuasaannya. Dan janganlah kamu duduk ditempat kehormatannya di dalam rumahnya, kecuali orang tersebut mengidzinkan untukmu atau dengan idzinnya". [HR. Muslim juz 1, hal. 465]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَقُوْلُ: ثَلاَ ثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ صَلاَةً: مَنْ تَقَدَّمَ قَوْمًا وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ. وَ رَجُلٌ أَتَى الصَّلاَةَ دِبَارًا، وَ الدّبَارُ اَنْ يَأْتِيَهَا بَعْدَ اَنْ تَفُوْتَهُ، وَرَجُلٌ اعْتَبَدَ مُحَرَّرَهُ. ابو داود

Dari Abdullah bin 'Amr ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Ada tiga golongan yang Allah tidak mau menerima shalat mereka, yaitu : Orang yang mengimami suatu kaum sedang mereka (orang yang diimami tersebut) benci kepadanya, dan seseorang melaksanakan shalat yang sudah bukan waktunya, yaitu dia melaksanakan shalat setelah waktu shalat tersebut hilang, dan orang yang menjadikan orang merdeka sebagai budak". [HR. Abu Dawud Juz I, hal 162]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُءُوْسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ اَمَّ قَوْمًا وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ، وَ امْرَأَةٌ بَاتَتْ وَ زَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَ اَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ. ابن ماجه

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Ada tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka di atas kepala mereka meskipun satu jengkal (yakni tidak diterima shalat mereka), yaitu : Seseorang yang mengimami suatu kaum sedang mereka (yang diimami itu) benci kepadanya, dan seorang isteri yang bermalam sedang suaminya marah kepadanya, dan dua orang yang saling memutus persaudaraan". [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 311, sanadnya shahih]

قَالَ مَالِكٌ بْنُ حُوَيْرِثٍ، سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلاَ يَؤُمَّهُمْ، وَ لْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ. ابو داود

Berkata Malik bin Huwairits : Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengunjungi suatu kaum, maka janganlah mengimami mereka, dan hendaklah mengimami mereka salah seorang dari kaum itu". [HR. Abu Dawud 1 : 163]

*Keterangan :*

Dari hadits-hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa seorang yang menjadi imam shalat adalah yang paling paham dan fasih dalam bacaan shalat juga lebih paham dalam masalah agama. Dan tuan rumah atau orang yang berkuasa di daerah itu lebih berhak menjadi imam, kecuali bila mereka mempersilahkan orang lain untuk mengimaminya.

عَنْ اَبِى عَلِيّ اْلمِصْرِيّ قَالَ: سَافَرْنَا مَعَ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ اْلجُهَنِيّ فَحَضَرَتْنَا الصَّلاَةُ فَاَرَدْنَا اَنْ يَتَقَدَّمَنَا، قَالَ، قُلْنَا: اَنْتَ مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ لاَ تَتَقَدَّمُنَا. قَالَ: اِنّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَنْ اَمَّ قَوْمًا فَاِنْ اَتَمَّ فَلَهُ التَّمَامُ وَ لَهُمُ التَّمَامُ، وَ اِنْ لَمْ يُتِمَّ فَلَهُمُ التَّمَامُ وَ عَلَيْهِ اْلاِثْمُ. احمد

Dari Abu 'Ali Al-Mishri, ia berkata, Kami pernah bepergian bersama 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani, kemudian datang waktu shalat, lalu kami menghendaki salah seorang dari kami untuk maju menjadi imam. (Abu ‘Ali) berkata : Lalu kami berkata, “Kamu saja (ya ‘Uqbah bin ‘Amir), yang termasuk shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kenapa tidak mau maju (untuk mengimami kami)?”. ‘Uqbah bin ‘Amir berkata : Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa mengimami suatu kaum, jika ia menyempurnakan shalat itu (shalat dengan baik), maka kesempurnaan itu (pahalanya) bagi imam dan bagi mereka (para makmum). Dan jika imam itu tidak menyempurnakan (shalatnya tidak baik), maka bagi mereka (para makmum) mendapat (pahala) shalat dengan sempurna, sedang imam tersebut mendapatkan dosa". [HR. Ahmad juz 4, hal. 154]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ اَمَّ قَوْمًا فَلْيَتَّقِ اللهَ، وَ لْيَعْلَمْ اَنَّهُ ضَامِنٌ مَسْؤُوْلٌ لِمَا ضَمِنَ، وَ اِنْ اَحْسَنَ كَانَ لَهُ مِنَ اْلاَجْرِ مِثْلُ اَجْرِ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَ مَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَهُوَ عَلَيْهِ. الطبرانى فى الاوسط

Dari Abdullah bin 'Umar, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Barangisapa mengimami suatu kaum, maka hendaklah takut kepada Allah dan hendaklah mengetahui bahwa dia sebagai orang yang bertanggungjawab dan akan ditanya tentang apa yang menjadi tanggungjawabnya. Jika dia memperbagus (didalam shalatnya), maka dia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang shalat dibelakangnya tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan apa-apa yang berupa kekurangan (shalatnya tidak baik) maka yang demikian itu menjadi tanggungjawabnya". [HR. Thabrani dalam Al-Ausath]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: يُصَلُّوْنَ لَكُمْ، فَاِنْ اَصَابُوْا فَلَكُمْ وَ لَهُمْ، وَ اِنْ اَخْطَئُوْا فَلَكُمْ وَ عَلَيْهِمْ. البخارى

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "(Imam-imam itu) shalat untuk kamu sekalian. Jika mereka itu benar (di dalam shalatnya), maka (pahalanya) untuk kalian dan untuk mereka. Dan jika mereka itu (para imam) berbuat salah (didalam shalatnya), maka kalian mendapatkan pahala shalat itu dan mereka mendapatkan dosanya". [HR. Bukhari juz 1, hal. 170]

*Keterangan :*

Janganlah bangga untuk menjadi imam shalat berjamaah jika merasa masih ada yang lebih pintar dan paham bacaan Al-Qur'an atau Al-Hadits lebih baik pilih menjadi makmum, karena konsekuensinya jika jadi imam tidak memenuhi standarisasi sesuai hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dosa yang akan didapatkan dan bukanlah pahala. Sementara menjadi makmum jika ada kesalahan imam baik bacaan maupun yang lainnya tetaplah berpahala dan imam lah yang menanggung dosanya.

*Adapun syarat imam shalat menurut ulama fiqih*

Imam mempunyai beberapa shifat, shifat yang mustahabbah (sifat yang disunnahkan/dianjurkan), dan shifat yang masyruthah (sifat yang disyaratkan, sifat yang wajib ada).

Adapun shifat yang mustahabbah ada 6 :

1. Fiqh (mengerti ilmu fiqh)
2. Qira’ah (baik bacaan dan banyak hafalan Al-Qur'an)
3. Wara' (mempunyai sifat wara', kehati-hatian dalam mengamalkan agama )
4. Sinnun (usia lebih tua)
5. Nasab (keturunan mulia)
6. Hijrah (yang melakukan hijrah bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam)

Adapun sifat yang masyruthah (sifat yang disyaratkan, sifat yang wajib ada) yakni :

1. Tidak berhadats kecil dan junub (hadats besar),
2. Tidak ada najis yang tidak ma’fu di bajunya atau badannya,
3. Tidak memegang kemaluannya,
4. Tidak meninggalkan i’tidal dan tuma`ninah di dalam shalatnya, meskipun shalat sunnah,
5. Tidak meninggalkan bacaan surat Al-Fatihah sementara dia mampu membacanya

*Referensi :*

1. Syarh ‘Alaa Hadiyyatin Naashih, Imam Ramli halaman 9-10 (Makhthuthath), bikhtishaar :

شرح على هدية الناصح، الإمام رملي ص٩-١٠ مخطوطات

لِلْإِمَامِ صِفَاتٌ : صِفَاتٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَصِفَاتٌ مَشْرُوْطَةٌ ، فَالْمُسْتَحَبَّةُ سِتَّةٌ وَهِيَ الْفِقْهُ وَالْقِرَاءَةُ وَالْوَرَعُ وَالسِّنُّ وَالنَّسَبُ وَالْهِجْرَةُ وَالْمَشْرُوْطَةُ سِتَّةٌ اَحَدُهَا وَثَانِيْهَا اَنْ لَا يَكُوْنَ مُحْدِثًا اَوْ جُنُبًا وَثَالِثُهَا اَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَى ثَوْبِهِ اَوْ بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَرَابِعُهَا اَنْ لَا يَمَسَّ ذَكَرَهُ وَخَامِسُهَا اَنْ لَا يَتْرُكَ الْإِعْتِدَالَ وَالطُّمَأْنِيْنَةَ فِي الصَّلَاةِ وَلَوْ نَفْلًا وَسَادِسُهَا اَنْ لَا يَتْرُكَ قِرَاءَةَ الْفَاتِحَةِ مَعَ اِمْكَانِهَا

2. Kitab Fathul Mu’iin :

(وهی بجمع کثیر افضل) منها فی جمع قلیل للخبر الصحیح: وما کان اکثر فهو احب الی الله تعالی (الا لنحو بدعة امامه) ای الکثیر کرافضی وفاسق ولو بمجرد التهمة فالاقل جماعة – بل انفراد – افضل, کذا قاله شیخنا تبعا لشیخیه زکریا رحمهما الله تعالى

Maka dari keterangan hadits-hadits dan menurut para ulama fiqih diatas biasanya DKM menyusun imam shalat maktubah untuk menghindari imam yang belum jelas bacaan dan pemahamannya tentang agama. Sehingga jika DKM memberi kebebasan siapa saja boleh menjadi imam dan ternyata ada imam yang belum memenuhi standarisasi menjadi imam, secara tidak langsung DKM turut menanggung dosanya. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG DEFINISI AMIL ZAKAT


Menurut bahasa, amil berasal dari kata 'amila ya'malu (عمِلَ - يَعْمَلُ), yang bermakna mengerjakan atau melakukan sesuatu. Kata amil (عامل) adalah ism fail yang bermakna pelaku dari suatu pekerjaan. Maka kata amil bermakna orang yang mengerjakan sesuatu.

Sedangkan Menurut istilah amil zakat dalam disiplin ilmu fiqih zakat bermakna,  "Orang yang diberi kewenangan untuk mengurus shadaqah (zakat) dan bertugas untuk berjalan dalam rangka mengumpulkannya dari para pemilik harta, dan yang mendistribusikannya kepada pihak yang berhak bila diberi kuasa oleh penguasa. Istilah amil zakat ini punya beberapa istilah lain yang sama, diantaranya : Amil yang artinya adalah orang yang berkeliling untuk mengumpulkan zakat."

Pengertian amil dalam artinya yang sekarang bermula pada masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi menggunakan istilah tersebut bagi orang-orang yang ditunjuk olehnya sebagai petugas yang diperintahkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan shadaqah dan zakat kepada mereka yang berhak menerimanya.

Dengan pengertian lain amil adalah orang, lembaga atau Badan (panitia) yang mengurus segala permasalahan zakat dan shadaqah dengan cara mengumpulkan, mencatat, dan menyalurkan atau membagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya menurut ketentuan ajaran Islam.

Istilah amil disebutkan dalam Al Qur’an surat At Taubah; 60, yakni sebagai salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat.

  إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)

Orang yang menjadi amil harus memenuhi syarat-syarat seperti Islam, Baligh, berakal sehat,  adil, jujur, dan amanah, amil juga harus mengetahui hukum dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan zakat. Pada umumnya amil juga dituntut untuk memiliki kemampuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya, seperti keterampilan teknis atau pengetahuan tentang pengorganisasian zakat.

Amil termasuk diantara delapan asnaf yang berhak menerima zakat. Namun demikian, amil, seperti ketujuh golongan lainnya, tidaklah memiliki hak mutlak. Apabila ada diantara delapan golongan tersebut lebih membutuhkan, maka zakat dapat diberikan kepada golongan yang lebih membutuhkan terlebih dahulu. Amil zakat tidak harus dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan juga dari orang yang kaya dan mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena fakir atau miskin, tetapi karena kedudukannya sebagai amil zakat. Amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara,  organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan.

Menurut UU No.38 tahun 1999 panita zakat yang dibentuk takmir masjid bukanlah amil zakat. Namun mereka tetap berhak mendapat zakat kalau termasuk dari golongan yang delapan mustahik zakat seperti fakir miskin, dll.
Sementara itu, dalam madzhab Syafi'i, amil yang berhak zakat adalah apabila ia (a) diangkat oleh Pemerintah atau lembaga Zakat; (b) dan tidak menerima gaji khusus atas pekerjaannya tersebut.

Dasar pengangkatan amil zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi,

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

“Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi Saw memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku".

Beliau bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“  (HR.  Bukhari dan Muslim)

Dalam hal ini, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak, menyatakan,

وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ السُّعَاةُ فِي قَبْضِهَا مِنْ أَهْلِهَا وَوَضْعِهَا فِي مُسْتَحِقِّيْهَا يُعْطُوْنَ ذَلِكَ باِلسِّعَايَةِ أَغْنِيَاء كَانُوْا أَوْ فُقَرَاءُ

"Amil adalah para wali yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka (‘amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin." (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H, X/160).

Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab as-Syafi’i, menyatakan,

وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمْ اَلْمُتَوَلَّوْنَ جِبَايَتَهَا وَتَفْرِيْقِهَا فَيُدْفَعُ إِلَيْهِمْ مِنْهَا قَدْرَ أُجُوْرِ أَمْثَالِهِمْ

"Amil adalah orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan-nya. Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan kadar upah orang-orang yang sepadan dengan mereka." (Al-Mawardi, Al-Iqnâ’, I/71).

Imam al-Qurthubi (w. 671 H), dari mazhab Maliki, menyatakan,

وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا يَعْنِيْ السُّعَاةُ وَالجُبَّاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمْ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكاَةِ بِالتَّوْكِيْلِ عَلَى ذَلِكَ

"Amil zakat adalah para wali dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat dengan status wakalah." (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al’-Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Kaero, cet. II, 1372 H/, VIII/177).

Imam as-Syaukani (w. 1250 H), dari mazhab Zaidiyah, menyatakan,

وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا أَيْ السُّعَاةُ وَالْجُبَاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمُ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكَاةِ فَإِنَّهُمْ يَسْتَحِقُّوْنَ مِنْهَا قِسْطًا

"Amil adalah orang yang diangkat menjadi wali dan memunggut zakat, yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat itu." (Asy-Syaukani, Faydh al-Qadîr, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/372).

Imam as-Sarkhasi, dari mazhab Hanafi, menyatakan,

وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ الَّذِيْنَ يَسْتَعْمِلُهُمُ الإمَامُ عَلَى جَمْعِ الصَّدَقَاتِ وَيُعْطِيْهِمْ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ كِفَايَتَهُمْ وَكِفَايَةَ أَعْوَانِهِمْ وَلاَ يُقَدَّرُ ذَلِكَ بِالثَّمَنِ

"Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan harga (upah)."

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha’ dari berbagai mazhab di atas, dapat disimpulkan, bahwa Amil Zakat adalah orang/wali yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki, dan mendistribusikannya kepada para mustahiq-nya. Tugas yang diberikan kepada Amil tersebut merupakan wakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Imam/Khalifah (kepala negara). Sebab, hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut merupakan tugas Imam/Khalifah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG HUKUM ZAKAT DIBERIKAN KEPADA GURU NGAJI


Zakat merupakan salah satu ibadah maaliyah (ibadah yang berwujud harta) yang mana ketentuan, cara pengumpulan dan pendistribusiannya sudah diatur dalam syari’at dengan aturan yang baku. Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 diterangkan,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ. التوبة: 60

"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." (QS. At-Taubah 60).

Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa pendistribusian zakat/pembagian zakat itu harus disalurkan kepada para mustahiq (orang yang berhak menerimanya) yang jumlahnya ada delapan golongan tersebut.

Sedangkan golongan yang lain selain yang diatas tidak berhak menerimanya. Demikian pula halnya dengan kyai/ustadz (guru ngaji). Sementara sudah merupakan hal yang biasa dilakukan di kampung-kampung bahwa sebagian kaum muslimin memberikan zaktnya kepada kiyai/guru ngaji, bagaimana hukumnya?

Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatho dalam kitabnya I’anatut Thalibin memberikan keterangan,

وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا [أَيِ الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ] أَيْضًا اشْتِغَالُهُ عَنْ كَسْبٍ يُحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِالْفِقْهِ، أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ، أَوِ الْحَدِيْثِ. أَوْ مَا كَانَ آلَةً لِذَلِكَ وَكَانَ يَتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعَدِّيْهِ، وَكَوْنِهِ فَرْضَ كِفَايَةٍ.

“Termasuk hal yang tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang layak baginya karena waktunya tersita untuk menghafal Qur’an, memperdalam imu fiqih, tafsir, hadits atau ilmu alat (ilmu yang menjadi sarana tercapainya ilmu-ilmu tersebut), maka orang-orang semacam ini dapat diberi  zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya secara optimal, sebab manfaatnya akan lebih dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, disamping juga hal itu hukumnya fardlu kifayah."

Dari keterangan ini, kita bisa memahami bahwa hukum memberi zakat kepada kiyai/guru ngaji itu boleh, dengan syarat bahwa yang bersangkutan keadaannya tidak mampu. Hal ini disamakan dengan orang yang sibuk menghafal hadits, memperdalam ilmu fiqih atau mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardlu kifayah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak.

Menurut sebagian ulama' yang lain terkait guru ngaji (Ustadz, Kiai) termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat dengan mengatas namakan SABILILLAH.

Pengertian sabilillah yang bermakna jihad membela agama Allah telah dijelaskan dalam suatu hadits yang berbunyi,

حَدَّثَناَ سُلَيْمَانُ بْنُ حَربٍ حَدَّثَناَ شُعْبَةُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِيْ وَائِلٍ عَنْ أَبِيْ مُوسَى رضي الله عنه قَالَ جَآءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمغْنَمِ وَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ وَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ فَمَنْ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْياَ فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Telah bercerita kepada kita Sulaiman bin Harbin, telah bercerita kepada kita Syu’bah dari Amr dan dari Abi Wail dari Abi Musa r.a berkata: telah datang seorang laki-laki kepada Nabi Saw, lalu berkata: “ada orang yang berperang karena hendak mendapat rampasan, ada yang berperang karena hendak disebut orang (mencari nama), dan ada yang berperang karena hendak dilihat orang, maka manakah yang berperang pada jalan (agama) Allah?” Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi, maka dialah yang berada di jalan Allah.” (HR. Bukhari, Shahih Bukhari, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1992).

Dalam memahami surat at-Taubah ayat 60, banyak di antara mufassir yang menafsirkan sabilillah dengan al-ghazi fi sabilillah yang berarti orang yang berperang dijalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Menurut sebagian pendapat ulama, sabilillah adalah sukarelawan dalam peperangan yang tidak mendapatkan gaji. Menurut Ibnu Umar, “jalan Allah” itu adalah mereka yang pergi mengerjakan haji dan umrah, hal ini berdasarkan pada perbuatan Nabi yang meminjamkan unta zakat kepada seorang perempuan untuk mengerjakan haji." (Abdul Halim Hasan, Tafsir  al-Ahkam, Jakarta: Prenada Media Group, cet  ke-I, 2006, hal. 49).

Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi sabilillah. Perbedaan ini berangkat dari ijtihad mereka yang cenderung muwassain (meluaskan makna) dan mudhayyiqin (menyempitkan makna).

Sebagian ulama beraliran mudhayyiqin bersikeras untuk tidak memperluas maknanya, fi sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara pisik.

Sebagian ulama yang beraliran muwassa'in cenderung untuk memperluas maknanya sampai untuk biaya dakwah dan kepentingan umat Islam secara umum.

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺼﻄﻔﻰ ﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻫﻞ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻯ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ ﺍﻟﻤﺘﻄﻌﻮﻥ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺍﻏﻨﻴﺎﺀ ﺍﻋﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻃﻠﺒﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺭﻭﺍﺩ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻃﻼﺏ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻣﻘﻴﻢ ﺍﻻﻧﺼﺎﻑ ﻭﺍﻟﻮﻋﻆ ﻭﺍﻻﺭﺷﺎﺩ ﻭﻧﺎﺻﺮ ﺍﻟﺪﻳﻦ. ﺍﻩ ﺟﻮﺍﻫﺮ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﺑﺸﺮﺡ . ﺍﻟﻘﺴﻄﻼﻧﻲ.ﺹ 192

"Imam Qasthalani Asy-Syafi'i menegaskan didalam kitabnya Jawahirul Bukhori bahwa Syeikh Muhammad Musthofa berkata, "Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang dijalan Allah dengan suka rela (tidak digaji) walaupun mereka dalam kondisi kaya. Mereka berhak menerima zakat untuk membantu mereka dalam berjihad. Dan termasuk Ahli Sabilillah adalah para pelajar atau santri yang mempelajari ilmu Syar'i, orang-orang yang mencari kebenaran, menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat atau bimbingan dan orang-orang yang membela agama Allah Subhanahu wa Ta'ala." (Kitab Jawahir Al-Bukhori Bisyarh Al-Qostholani hal. 192).

والسابع سبيل الله تعالى وهو غاز ذكر متطوع بالجهاد فيعطى ولو غنيا إعانة له على الغزو اهل سبيل الله الغزاة المتطوعون بالجهاد وان كانوا اغنياء ويدخل في ذلك طلبة العلم الشرعي ورواد الحق وطلاب العدل ومقيموا الانصاف والوعظ والارشاد وناصر الدين الحنيف

"Yang ke tujuh SABILILLAAH Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah, maka ia diberi meskipun ia kaya raya sebagai bantuan untuk biaya perangnya. “SABIILILLAH” Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah meskipun ia kaya raya. Dan masuk dalam kategori sabiilillah adalah para pencari ilmu syar’i, pembela kebenaran, pencari keadilan, penegak kebenaran, penasehat, pengajar, penyebar agama yang lurus. (Kitab Al-Iqna' Fi Haal Al-Fazh Abi Suja' Juz 1/461).

Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, selain jihad secara pisik, juga termasukdi antaranya adalah:

1. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi sabilillah.

2. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.

3. Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah.

4. Membantu para du'at Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.

5. Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*