MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 30 September 2020

KAJIAN TENTANG YANG BENAR DAN YANG MERASA BENAR

Setan sebagai musuh yg nyata bagi manusia, tidak pernah kehabisan cara untuk menjerumuskan manusia dalam keburukan. Tipu dayanya membuat sesuatu yg sejatinya salah, seolah terlihat menjadi benar. Diantara tipu daya tersebut ialah dengan membuat manusia merasa dirinya suci dan merasa aman dari dosa.

Disadari atau tidak, ketika kita merasa telah mempelajari dan menguasai sesuatu, kita cenderung merasa paling pintar dan paling benar, menilai orang lain tidak berilmu dan salah. Demikian halnya ketika kita mempelajari dan memperdalam agama. Ketika kita merasa telah belajar dan menguasai ilmu agama, kita cenderung merasa paling benar dibanding dengan yg lainnya.

Sejatinya, merasa paling benar dan paling suci itu hanya tipu daya setan yg sangat halus sehingga membuat sesutau yg salah menjadi tampak benar. Firman Allah dalam QS al-Najm: 32,

هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

“Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. Al-Najm: 32)

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

“Apakah kami tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun” (QS. An-Nisa: 49).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ

“Janganlah menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik di antara kalian.” (HR. Muslim no. 2142).

Jika kita ingin mengetahui bahayanya menganggap diri lebih baik, maka coba lihatlah pada kekurangan kita dalam ketaatan. Lalu lihat para orang yang menyatakan kita baik. Maka kalau seandainya mereka tahu kekurangan kita, pasti mereka akan menjauh.

Seharusnya sikap seorang muslim adalah mengedepankan suuzhon (prasangka jelek) pada diri sendiri. Ia merasa dirinya serba kurang. Tak perlulah ia memandang kejelekan pada orang lain. Kita ingat kata pepatah, “Semut di seberang lautan nampak, namun gajah di pelupuk mata tak nampak.”

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

يُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاة فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجَذَل- أو الجَذَع – فِي عَيْنِ نَفْسِهِ

“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592).

Hati-hati pula dengan sifat ujub, yaitu takjub pada diri sendiri. Dalam hadits yang ma’ruf disebutkan,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (takjub pada diri sendiri).” (HR. Abdur Rozaq 11: 304).

Fenomena merasa paling benar dan paling suci adalah indikasi dari seseorang yang sombong, dan sikap ini tidak dianjurkan dalam Islam. Oleh karena itu, Islam menganjurkan umatnya untuk mengenal Tuhan dan dirinya. Karena jikalau sudah mengenal Tuhan dan dirinya akan terhindar dari berbagai penyakit hati yg bisa merusak tubuhnya.

Merasa paling benar pasti melahirkan kesombongan sehingga ia menganggap rendah orang yang tidak seperti dirinya, padahal bisa jadi orang-orang tersebut adalah yang lebih dekat kepada Allah lewat amal lain. Al-‘Allamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah dalam Madarij As-Salikin berkata,

إذا فتح الله عليك في باب قيام الليل ، فلا تنظر للنائمين نظرة ازدراء . وإذا فتح الله عليك في باب الصيام ، فلا تنظر للمفطرين نظرة ازدراء. وإذا فتح الله عليك في باب الجهاد ، فلا تنظر للقاعدين نظرة ازدراء . فرب نائم ومفطر وقاعد .. أقرب إلى الله منك

“Jika Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu (memudahkan) shalat malam, jangan memandang rendah orang yang tertidur. Jika Allah membukakan untukmu pintu puasa (sunnah), janganlah memandang rendah orang yang tak berpuasa. Dan jika Allah membukakan untukmu pintu jihad, maka jangan memandang rendah orang yang tak berjihad. Sebab, bisa saja orang yang tertidur, orang yang tidak berpuasa (sunnah) dan orang yang tak berjihad itu lebih dekat kepada Allah ketimbang dirimu.”

Kemudian beliau melanjutkan,

وإنك أن تبيت نائماً وتصبح نادماً خير من أن تبيت قائماً وتُصبح معجباً ، فإنَّ المُعجَب لا يصعد له عمل

“Sungguh, engkau ketiduran sepanjang malam lalu menyesal di waktu pagi, lebih baik daripada melewati malam dengan ibadah tapi merasa bangga di pagi hari. Itu karena orang yang sombong, amalannya tidak akan naik ke sisi Allah.”

Mari kita telaah secara perlahan, semoga dapat dijadikan bahan renungan.

Menjadi Benar itu penting, namun Merasa Benar itu tidak baik. Kearifan akan membuat seorang menjadi Benar tetapi bukan Merasa Benar.

Perbedaan Orang Benar dan orang yg Merasa Benar, yaitu:

Orang Benar tidak  akan berpikiran bahwa ia adalah yg paling benar. Sebaliknya orang yg merasa benar di dalam pikirannya hanya dirinyalah yg paling benar.

Orang Benar, bisa menyadari kesalahannya. Sedangkan orang yg Merasa Benar merasa tidak perlu untuk mengaku salah.

Orang Benar setiap saat akan introspeksi diri dan bersikap rendah hati. Tetapi orang Merasa Benar, merasa tidak perlu introspeksi, karena merasa paling benar, mereka cenderung tinggi hati.

Orang benar memiliki kelembutan hati. Ia dapat menerima masukan dan kritikan dari siapa saja, sekalipun itu dari anak kecil. 

Orang yang Merasa Benar hatinya keras, ia sulit untuk menerima nasihat dan masukan apalagi kritikan.

Orang Benar akan selalu menjaga perkataan dan perilakunya, serta berucap penuh kehati-hatian. 

Orang yang Merasa Benar: berpikir, berkata, dan berbuat sekehendak hatinya, tanpa pertimbangan atau mempedulikan perasaan org lain.

Pada akhirnya, Orang Benar akan dihormati, dicintai dan disegani oleh hampir semua orang. Sedangkan orang yg Merasa Benar sendiri hanya akan disanjung oleh mereka yg berpikiran sempit, dan yg sepemikiran dengannya, atau mereka yang hanya sekedar ingin memanfaatkan dirinya.

Harusnya kita melihat contoh Abu Bakr, ia malah berdoa ketika dipuji oleh orang lain,

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

"Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228, no.4876. Lihat Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25: 145)

Mari terus memperbaiki diri untuk bisa menjadi Benar, agar tidak selalu Merasa Benar. Bila kita sudah termasuk tipe orang Benar, tetaplah dalam kebenaran dan selalu rendah hati. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 29 September 2020

KAJIAN TENTANG LARANGAN MENGUNGKIT DAN MERENDAHKAN ORANG LAIN

Di antara bentuk penyakit dan maksiat lisan (lidah) adalah mengungkit-ungkit pemberian kepada orang lain. Misalnya seseorang mengatakan kepada temannya, “Bukankah dulu aku yang telah memenuhi kebutuhanmu saat kamu kesusahan, mengapa sekarang melupakanku?” atau kalimat-kalimat semacam itu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan (pahala) sedekah kalian dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti (yang diberi).” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنّاً وَلا أَذىً لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 262)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.”

Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Orang yang melakukan isbal (memanjangkan pakaian sampai melebihi mata kaki karena sombong), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang (berusaha) membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 106)

Demikian halnya termasuk penyakit hati dan lisan adalah sifat sombong yang salah satu tandanya suka merendahkan orang lain.

Merendahkan orang lain itu sangat sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, apalagi kita sebagai manusia pasti banyak sekali kata-kata orang yang menghina diri kita. Sedangkan apabila kita mengerjakan sesuatu yang tidak dapat di pahami oleh orang lain pasti akan dianggap remeh. Tapi tahukah anda orang yang diremehkan dan di hina boleh jadi lebih mulia di sisi Allah.

Ada beberapa wasiat yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Jurayy Jabir bin Sulaim. Wasiat yang pertama adalah jangan sampai menghina dan meremehkan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah.

Abu Jurayy Jabir bin Sulaim, ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang perkataannya ditaati orang. Setiap kali ia berkata, pasti diikuti oleh mereka. Aku bertanya, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Aku berkata, “‘Alaikas salaam (bagimu keselamatan), wahai Rasulullah (ia mengulangnya dua kali).” Beliau lalu berkata, “Janganlah engkau mengucapkan ‘alaikas salaam (bagimu keselamatan) karena salam seperti itu adalah penghormatan kepada orang mati. Yang baik diucapkan adalah assalamu ‘alaik (semoga keselamatan bagimu.”

Abu Jurayy bertanya, “Apakah engkau adalah utusan Allah?” Beliau menjawab, “Aku adalah utusan Allah yang apabila engkau ditimpa malapetaka, lalu engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menghilangkan kesulitan darimu. Apabila engkau ditimpa kekeringan selama satu tahun, lantas engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untukmu. Dan apabila engkau berada di suatu tempat yang gersang lalu untamu hilang, kemudian engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan mengembalikan unta tersebut untukmu.”

Abu Jurayy berkata lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah wasiat kepadaku.”

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat,

لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا

“Janganlah engkau menghina seorang pun.” Abu Jurayy berkata, “Aku pun tidak pernah menghina seorang pun setelah itu, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya,

وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ

“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau dengan berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan. Tinggikanlah sarungmu sampai pertengahan betis. Jika enggan, engkau bisa menurunkannya hingga mata kaki. Jauhilah memanjangkan kain sarung hingga melewati mata kaki. Penampilan seperti itu adalah tanda sombong dan Allah tidak menyukai kesombongan. Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722).

Di antara wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah janganlah menghina orang lain. Setelah Rasul menyampaikan wasiat ini, Jabir bin Sulaim pun tidak pernah menghina seorang pun sampai pun pada seorang budak dan seekor hewan.

Dalam surat Al Hujurat, Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa ayat di atas berisi larangan melecehkan dan meremehkan orang lain. Dan sifat melecehkan dan meremehkan termasuk dalam kategori sombong sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91). Yang dimaksud di sini adalah meremehkan dan menganggapnya kerdil. Meremehkan orang lain adalah suatu yang diharamkan karena bisa jadi yang diremehkan lebih mulia di sisi Allah seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 713).

Ingatlah orang  jadi mulia di sisi Allah dengan ilmu dan takwa. Jangan sampai orang lain diremehkan dan dipandang hina. Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11)

Seorang mantan budak pun bisa jadi mulia dari yang lain lantaran ilmu. Coba perhatikan kisah seorang bekas budak berikut ini.

أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ لَقِىَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ فَقَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِى فَقَالَ ابْنَ أَبْزَى. قَالَ وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى قَالَ مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا. قَالَ فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى قَالَ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ. قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ »

Dari Nafi’ bin ‘Abdil Harits, ia pernah bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfaan. ‘Umar memerintahkan Nafi’ untuk mengurus Makkah. Umar pun bertanya, “Siapakah yang mengurus penduduk Al Wadi?” “Ibnu Abza”, jawab Nafi’. Umar balik bertanya, “Siapakah Ibnu Abza?” “Ia adalah salah seorang bekas budak dari budak-budak kami”, jawab Nafi’. Umar pun berkata, “Kenapa bisa kalian menyuruh bekas budak untuk mengurus seperti itu?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah seorang yang paham Kitabullah. Ia pun paham ilmu faroidh (hukum waris).” ‘Umar pun berkata bahwa sesungguhnya Nabi kalian -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda, “Sesungguhnya suatu kaum bisa dimuliakan oleh Allah lantaran kitab ini, sebaliknya bisa dihinakan pula karenanya.” (HR. Muslim no. 817).

Demikiam Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan dan semoga bermanfaat. Aamiin

Kamis, 24 September 2020

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Kompetensi Da'i Menurut Al-Qur'an)

 


*Khutbah Pertama*

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي امْتَنَّ عَلَى الْعِبَادِ بِأَنْ يَجْعَلَ فِي كُلِّ زَمَانِ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى، وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الأَذَى، وَيُحْيُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ أَهْلَ الْعَمَى، 

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، 

فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىي وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى:أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مّمّن دَعَآ إِلَى اللّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ 

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,* 

Dakwah adalah pekerjaan mengkomunikasikan pesan Islam kepada manusia. Dan sebagai peristiwa komunikasi, aktivitas dakwah dapat menimbulkan berbagai peristiwa di tengah masyarakat seperti harmoni, ketegangan, dan kotroversial. Dakwah ditujukan kepada manusia (madʻu) yang bukan hanya memiliki telinga, tetapi juga memiliki jiwa, dapat berpikir, dan merasa. Oleh karena itu, dai/mubalig tidak cukup hanya menguasai materi, tetapi juga menguasai karakter manusia yang menjadi madʻu.

Praktik dakwah berlangsung karena adanya materi, metode, mad'u (audiens), dan dai itu sendiri. Keempat komponen tersebut saling melengkapi dan menentukan keberhasilan dalam dakwah. Dakwah adalah kewajiban setiap umat Islam, namun secara khusus dijalankan oleh para dai yang akrab disebut ustadz, kiai, syekh, tuan guru, ajengan, dan sebutan lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, 

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali - Imran: 104). 

Dai merupakan pelaku dakwah yang menyeru, menyampaikan, mensyiarkan dan mengajak umat manusia ke jalan Tuhan; menegakkan amar ma'ruf nahi munkar dan mensejahterakan umat Islam agar selamat dan bahagia dunia akhirat. Dai adalah duta umat atau utusan umat yang mengemban amanat dan menyampaikan risalah kenabian dan menjadi panutan dalam menjalankan ajaran yang didakwahkannya. Selain itu, dai juga adalah penyampai ajaran-ajaran Islam dan mengajarkannya kepada orang lain serta berusaha untuk mengaplikasikannya dalam kehidupannya. 

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا 

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi” (QS Al-Ahzab [33]: 45-46). 

Menurut Muhammad Ali al-Sabuni dalam al-Nubuwah wa al-Anbiya’, tugas para dai adalah meluruskan orientasi manusia agar ia mau menjadikan dunia yang diibaratkan setetes air itu untuk meraih kebahagiaan dirinya di akhirat yang diibaratkan air laut. Maka untuk menjalankan tugas dakwahnya, dai harus memiliki kompetensi yang memadai mengingat besarnya tanggung jawab di tengah umat terlebih di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kompetensi dai yang dimaksud adalah standar minimal yang mencakup pengetahuan, penghayatan, perilaku, dan keterampilan dalam dunia dakwah. Kompetensi dai merupakan gambaran ideal yang patut dan layak sebagai penyambung lidah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan ajaran Islam dari masa ke masa. Dai yang berkualitas dan berintegritas sangat dibutuhkan masyarakat banyak, terutama di zaman pasca-modern atau era globalisasi saat ini.  

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ 

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS An-Nahl: 125).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺴﻦ ﻗﻮﻟﺎ ﻣﻤﻦ ﺩﻋﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻤﻞ ﺻﺎﻟﺤﺎ

ﻭﻗﺎﻝ ﺇﻧﻨﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ

“Siapakah yg lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal yang sholih, dan berkata “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fushilat: 33)

Sesuai arti “ﺩﻋﺎ” dalam ayat itu, maka seharusnya seorang da’i itu mengajak dan menyeru kepada Allah 

Subhanahu wa Ta'ala bukan mengejek.

Lihat kisah Nabi Musa 'alaihissalam ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala Firmankan, 

ٱذۡهَبَاۤ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ ۝  فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلࣰا لَّیِّنࣰا لَّعَلَّهُۥ یَتَذَكَّرُ أَوۡ یَخۡشَىٰ

“Pergilah kalian berdua (wahai Musa dan Harun) kepada fir’aun, karena sesungguhnya dia telah melampaui batas. Dan katakanlah kepadanya kata-kata yang halus, dengan harapan ia akan sadar dan takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Dalam ayat itu fir’aun dikatakan “melampaui batas.” Kenapa?

Karena dia mengatakan dgn sombong, “Akulah Robb-mu yg paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)

Dan perkataan lembut yg dimaksud dalam QS. Thaha: 44 adalah seperti yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan dalam QS. An-Nazi’at: 18, “dan katakanlah (kepada fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?”

Seorang mengaku tuhan saja, tetap Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan Nabi-Nya agar mendakwahi dengan lembut.

Kita semua punya kewajiban sebagai da’i yaitu mengajak orang kembali pada syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala, kenyataannya dengan lembut saja belum tentu orang terbuka hatinya, apalagi dengan kasar disertai ejekan dan perendahan. Lebih-lebih menghakimi mereka dengan menganggap kita ini sdh jauh lebih baik dari mereka.Maka “Katakanlah kepadanya kata-kata yang halus”

Ilmu tidak diberikan untuk kita menjadi sombong dan angkuh merasa lebih hebat dan mulia dibandingkan saudara-saudara kita yang lain tetapi ilmu menjadi beban tanggungjawab untuk diamalkan dan disampaikan dengan cara akhlak yg mulia yg telah diajarkan oleh Baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hilangkanlah kebiasaan saling menyalahkan, mengejek bahkan menghakimi kalau orang lain bersalah. Ganti dengan saling mendoakan dan minta didoakan.

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,* 

Dai diharapkan sekurang-kurangnya memiliki dua hal. Pertama, kompetensi yang berkaitan dengan substansi dakwah. Kompetensi ini menuntut dai berwawasan luas, baik di bidang keislaman maupun kemasyarakatan. Pendakwah juga diharapkan berakhlak mulia dalam kesehariannya, sebelum menunaikan misi yang sejalan dengan tugas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah secara tegas bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق

“Sesungguhnya Rasulullah diutus oleh Allah di dunia ini tak lain hanyalah untuk menyempurnakan (akhlak/budi pekerti) yang mulia” (HR. Ahmad). 

Kedua, kompetensi yang berkenaan dengan pelaksanaan dakwah. Idealnya, pendakwah memiliki kemampuan merencanakan, menganalisis mad’u (sasaran dakwah), serta mengidentifikasi masalah umat, baik melalui dialog lisan, tulisan, maupun pergaulan sehari-hari. 

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,* 

Namun demikian, beratnya tugas dan kompetensi dai setara dengan keistimewaan yang melekat pada seorang dai. Di dalam kitab al-Madkhal ila ‘ilm al-Dakwah, Syekh al-Bayanuni menjelaskan bahwa keistimewaan dai itu dapat dilihat dari 3 perspektif, yakni perspektif materi, tugas, dan pahala. Secara materi, dai menyeru ke jalan Allah serta menyeru untuk meraih keridhaan dan surga-Nya. Dari perspektif tugas, dai itu merupakan tugas yang paling mulia yang notabene melanjutkan dakwah baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dari perspktif pahala yang akan diterima, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin para dai dengan perolehan pahala yang besar, dan keagungan yang tinggi. Hal ini sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim).

Semoga khutbah yang singkat ini bermanfaat bagi kita semua, terlebih dapat meneguhkan langkah dakwah kita dalam mensyiarkan Islam yang rahmatal lil alamiin.  

جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْفَا ئِزِيْنَ الْآمِنِيْنَ، وَأَدْخَلَنَا وَإِيَّاكُمْ فِيْ زُمْرَةِ الصَّا بِرِيْن. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ. وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّا حِمِيْنَ  

*Khutbah Kedua*  

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، 

فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، 

وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

 اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. 

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

KAJIAN TENTANG LARANGAN NIYAHAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL



Sebelum membahas tentang Niyahah terlebih dahulu kita harus bisa memahami perbedaan antara Tahlilan, Niyahah dan Ma'tam.


*TAHLILAN*


TAHLILAN secara bahasa  berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.” 


Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. 


Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya.


قال النبي صلى الله عليه وسلم الدعاء والصدقة هدية إلى الموتى 


وقال عمر : الصدقة بعد الدفنى ثوابها إلى ثلاثة أيام والصدقة فى ثلاثة أيام يبقى ثوابها إلى سبعة أيام والصدقة يوم السابع يبقى ثوابها إلى خمس وعشرين يوما ومن الخمس وعشرين إلى أربعين يوما ومن الأربعين إلى مائة ومن المائة إلى سنة ومن السنة إلى ألف عام


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Do'a dan shadaqah yg dihadiahkan kepada mayyit."


Berkata Umar ra, "shadaqah setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shadaqah dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shadaqah tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari." (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)


Jadi TAHLILAN adalah nama dari suatu kegiatan yg berisi bacaan ayat ayat Al-Qur’an, bacaan Dzikir LAA ILAAHA ILLALLOH, bacaan Istighfar, bacaan Tasbih, bacaan Shalawat dan doa yg dilakukan baik secara berjama’ah ataupun sendiri sendiri, baik ketika ada seorang muslim yg meninggal dunia ataupun tidak. Yang dibaca ketika TAHLILAN diantaranya:


1. Membaca Surat Al-Fatihah

2. Membaca Surat Yasin.

3. Membaca Surat Al-Ikhlash.

4. Membaca Surat Al-Falaq

5. Membaca Surat An-Naas

6. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 5

7. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 163

8. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi)

9. Membaca Surat Al-Baqarah ayat 284 sampai akhir Surat.

10. Membaca Istighfar : ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴْﻢَ

11. Membaca Tahlil : ﻻَ ﺍِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ

12. Membaca Takbir : ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ

13. Membaca Tasbih : ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ

14. Membaca Tahmid : ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ

15. Membaca shalawat Nabi.

16. Membaca Asma’ul Husna.

17. Membaca do’a.


Imam an-Nawawi rahimahullah :


“Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)”. (Al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi ).


Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


عن أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ


“Tidaklah seatu kaum yang duduk bersama (dalam perkumpulan) untuk berdzikir kepada Allah, melainkan mereka dikelilingi oleh para malaikat, mereka diliputi oleh rahmat serta turun atas mereka ketetapan hati dan Allah akan membanggakan mereka kepada para malaikat yang didekatnya.” (HR. Muslim)


ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة ، وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده


“Tidaklah suatu kaum berkumpul diantara rumah-rumah Allah sambil membaca Kitabullah, dan saling mempelajari diantara mereka. Kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, dan diberikan rahmat serta malaikat akan menaunginya. Dan mereka akan diingat disisi Allah.” (HR. Muslim dan Abu Daud)


Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


من أعان على ميت بقرأة أو بذكر فاستوجب الله له الجنة


"Barang siapa menolong mayyit dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, maka Alloh memastikan surga baginya.” (HR. ad-Darimy dan Nasa’I dari Ibnu Abbas)


تصد قوا على انفسكم وعلى امواتكم ولو بشر بة ماء فان لم تقدروا على ذالك فبأية من كتاب الله تعالى فان لم تعلموا شيئا من القران فادعوا لهم بالمغفرة والر حمة فان الله وعدكم الاجابة.


"Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika kalian tidak mengerti Al-Qur’an, berdo’alah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh, ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ telah berjanji akan mengabulkan do’a kalian.” (Tankihul Qaul hlm : 28).


*NIHAYAH*


Menurut Imam Nawawi adalah :


“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang-ulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram” (Al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147)


Imam al-‘Imrani di dalam al-Bayan mengatakan,


“Dan haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng wajah”. (Al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam al-‘Imraniy)


Al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz 


“Demikian juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”. (Fathul ‘Aziz)


Berdasarkan dari qoul para ulama tersebut maka dapat kita fahami bahwa secara garis besar arti dari NIYAHAH adalah MERATAP.


Jadi Niyahah beda jauh dengan TAHLILAN dan Tahlilan itu bukan NIYAHAH.


*MA’TAM*


Menurut Ibnu Barri, “Ibnu Barri mengatakan, "tidak bisa dihindari untuk memahami Ma’tam dengan pengertian perempuan-perempuan yang meratap, kesedihan, ratapan dan tangisan, karena semua inilah yang menyebabkan para perempuan berkumpul, dan kesedihan merupakan sebab adanya perkumpulan”.


Menurut Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshariy Asy-Syafi’i,

“Ma’tam adalah sebuah perkumpulan perempuan pada terjadinya mushibah”.

(Al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam al-‘Imraniy)


Berdasarkan dari qoul para ulama tsb maka dapat kita fahami bahwa secara garis besar arti dari MA’TAM adalah suatau perkumpulan yg bertujuan utk melakukan Niyaahah atau Ratapan.


Jadi Ma’tam beda jauh dengan TAHLILAN dan Tahlilan itu bukan Ma’tam.


Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894 dituliskan,


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى


“Muhammad bin al-‘Ala’ (Guru Imam Bukhari dan Imam Muslim) beliau menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau,  mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). *Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya.* Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi, tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’” (HR. Abu Daud)


Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya  karya al-Baihaqi.


Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:


أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ»


"Bahwasanya jika ada salah seorang anggota keluarganya (‘Aisyah) wafat, maka berkumpullah  kaum wanita. Lalu mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang tertentu, lalu Aisyah pun memerintahkan untuk  memasak talbinah (bubur tepung), lalu dibuatkan tsarid, lalu dia menuangkan talbinah itu di atasnya, lalu berkata: “Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Talbinah bisa menyegarkan hati orang yang sakit, dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)


*Apa itu Niyahah?*


Niyahah adalah jika seseorang bersedih dan menangisi mayit serta menghitung-hitung berbagai kebaikannya. Ada yang mengartikan pula bahwa niyahah adalah menangis dengan suara keras dalam rangka meratapi kepergian mayit atau meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki lenyap. Niyahah adalah perbuatan terlarang. Demikian penjelasan penulis ‘Aunul Ma’bud ketika menjelaskan maksud niyahah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8: 277).


Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,


« أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ


“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).


Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mengenai orang yang melakukan niyahah lantas tidak bertaubat sampai mati dan disebutkan sampai akhir hadits, menunjukkan bahwa haramnya perbuatan niyahah dan hal ini telah disepakati. Hadits ini menunjukkan diterimanya taubat jika taubat tersebut dilakukan sebelum mati (nyawa di kerongkongan).” (Syarh Muslim, 6: 235)


Akhir-akhir ini beredar fatwa menyesatkan yang isinya selamatan atau tahlilan untuk mayit dapat menyebabkan siksa bagi mayit. Dalil yang mereka gunakan adalah tentang larangan niyahah atau meratapi mayit. Dalam berbagai hadits dan kitab fikih, semua telah maklum bahwa niyahah atau meratapi mayit dengan menangis disertai menyobek baju, menjambak rambut, dll adalah haram dengan nash hadits dan ijam’ ulama. Sedangkan menangis yang tidak mengeluarkan suara keras dan tidak disertai kemungkaran di atas adalah boleh, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat putranya Ibrahim meninggal dunia, beliau juga menangis.


Yang menjadi masalah adalah ketika dalil niyahah dipakai untuk menghukumi tahlilan kematian. Ini merupakan analog hukum yang sesat menyesatkan. Dilihat dari segi terminologi jelas beda antara niyahah dengan tahlilan. Niyahah adalah meratap dan kegiatannya adalah menangis disertai mengungkit kebaikan mayit, menyobek baju, dan menjambak rambut, yang menunjukkan ketidak ihlasan keluarga atas kepergian mayit. Perbuatan ini jelas dilarang agama melalui nash hadits dan ijmak ulama. Sedangkan tahlilan berarti membaca dzikir baik al-Qur’an atau lainnya, kemudian ditutup dengan doa dengan tujuan mendoakan mayit agar diampuni dosa dan dilapangkan kuburnya yang mana perbuatan ini jelas dianjurkan agama melalui nash dan pendapat ulama. Jadi, kaum wahabi yang mengatakan tahlilan sama dengan niyahah adalah analog hukum yang salah alamat.


Adapun beberapa referensi wahabi mengambil pendapat dari Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al Umm berkata,


وأكره النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن


“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti itu pun hanya membuat keluarga mayit mengungkit kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).


Fatwa Imam Asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm tersebut tidak ada pembahasan tentang tahlilan. Beliau hanya tidak menyukai berkumpul di rumah duka tanpa ada kegiatan positif. Karena itu akan menambah kesusahan keluarga mayit. Sekali lagi, akan menambah kesusahan keluarga mayit, tidak ada hubungannya dengan menambah siksa mayit.


Seperti keterangan di atas bahwa tahlilan adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir lainnya kemudian berdoa dihadiahkan kepada mayit, maka perbuatan ini disepakati oleh ulama diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan. Dalam kitab I’anatutthalibin dijelaskan:


وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ عَلَى نَدْبِ قِرَاءَةِ مَا تَيَسَّرَ عِنْدَ الْمَيِّتِ وَالدُّعَاءِ عَقِبَهَا، أَيْ لِأَنَّهُ حِينْئَذٍ أَرْجَى لِلْإِجَابَةِ.


“Dan sungguh Imam as-Syafi’i dan ulama penerusnya secara terang-terangan menyunnahkan membaca al-Qur’an secukupnya di sisi mayit dan berdoa setelahnya. Maksudnya karena doa setelah membaca al-Qur’an lebih diharapkan terkabul.”


Adapun beberapa keterangan dalam kitab yang menjelaskan bacaan Al-Qur’an menurut Imam Asy-Syafi’i tidak sampai ke mayit itu jika tidak didoakan dan diperuntukkan ke mayit, maka memang terjadi khilaf. Tapi jika ada niat dihadiahkan dan didoakan untuk mayit, maka dalam madzhab Asy-syafi’iyyah sepakat boleh dan dianjurkan. Hal ini ditulis oleh Syaikh Sulaiman al-Bujairami dlm kitab Tuhfah al-Habib, II/574):


ثُمَّ إنَّ مَحِلَّ الْخِلَافِ حَيْثُ لَمْ يُخْرِجْهُ مَخْرَجَ الدُّعَاءِ، كَأَنْ يَقُولَ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ قِرَاءَتِي لِفُلَانٍ، وَإِلَّا كَانَ لَهُ إجْمَاعًا كَمَا ذَكَرَهُ فِي الْمَدْخَلِ.


“Kemudian sungguh konteks perbedaan ulama tentang sampainya pahala itu sekira tidak dikemas dalam kemasan doa, seperti pelakunya berdoa: “Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan al-Qur’anku untuk Fulan”, dan jika tidak demikian maka hadiah pahala sampai kepada mayit sesuai Ijma’ ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn al-Hajj dalam kitabnya al-Madkhal.”


Kaum Wahabi juga menukil pendapat Imam an-Nawawi dlm al-Majmu’,


وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة


“Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam hal ini. Hal ini termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan.” (Lihat Al Majmu’, 5: 320).


Perlu diketahui bahwa qaul Imam An-Nawawi tersebut ditulis dalam bab niyahah atau meratap mayit. Bahwa termasuk meratap adalah sekedar berkumpul di rumah duka tanpa ada kegiatan apa-apa, maka menurut Imam An-Nawawi tidak dianjurkan. 


Akan tetap dalam bab do'a terhadap mayit Imam An-Nawawi jelas mengatakan dalam kitab Al-Adzkar dan Al-Majmu’ bahwa sesuai fatwa Imam Asy-Syafi’i membaca Al-qur’an disisih mayit sangat dianjurkan, bahkan jika bisa khatam itu lebih baik. (lihat Al-adzkar dan Al-Majmu’). Artinya, Imam An-Nawawi juga menganjurkan membaca al-qur’an dan lainnya untuk dihadiahkan kepada mayit. Karena itu dapat bermanfaat bagi mayit.


*Hadits tentang larangan niyahah*


Terdapat beberapa hadits yg menunjukkan hal itu, berikut diantaranya,


Hadits dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


المَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الحَيِّ عَلَيْهِ


"Mayit disiksa karena tangisan orang yang hidup untuknya." (HR. Bukhari 1292 & Muslim 930).


Kemudian, hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati wanita yahudi yang meninggal dan ditangisi keluarganya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا


"Mereka menangisi wanita itu, sementara si wanita itu disiksa di kuburnya." (HR. Bukhari 1289)


*Tangisan seperti apakah yang menyebabkan mayit disiksa?*


Ada hadits lain yg menggunakan lafadz berbeda,


Dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ


"Siapa yang diratapi maka dia disiksa karena ratapan yang ditujukan kepadanya." (HR. Bukhari 1291 & Muslim 927).


Kemudian, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar


Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabatnya pernah menjenguk Sa’d bin Ubadah yang ketika itu sedang dirundung kesedihan seluruh keluarganya. Melihat suasana sedih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa dia sudah meninggal?”


’Belum, ya Rasulullah.’ jawab keluarganya.


Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis. Para sahabatpun ikut menangis. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أَلاَ تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ العَيْنِ، وَلاَ بِحُزْنِ القَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا – وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ – أَوْ يَرْحَمُ، وَإِنَّ المَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ


"Tidakkah kalian mendengar, bahwa Allah tidak menyiksa disebabkan tetesan air mata atau kesedihan hati. Namun Allah menyiksa atau merahmati disebabkan ini, – beliau berisyarat ke lisannya -. Sesungguhnya mayit disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya." (HR. Bukhari 1304 & Muslim 924).


Dari dua hadits di atas, kita bisa memahami bahwa tangisan yang menyebabkan mayit disiksa adalah *tangisan ratapan. Tangisan sebagai ungkapan tidak terima dan tidak ridha terhadap taqdir dan keputusan Allah.* Bukan tangisan karena kesedihan semata. Karena menahan tangisan kesedihan, di luar kemampuan manusia. Sampaipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak bisa menahan bentuk tangisan itu.


Makna semacam ini, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ بَاكِيهِ، فَيَقُولُ: وَاجَبَلَاهْ وَاسَيِّدَاهْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، إِلَّا وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ: أَهَكَذَا كُنْتَ؟


"Ketika ada orang yang mati, kemudian keluarga yang menangisinya itu meratapinya dengan mengatakan, ’Duhai sandaran hidupku, duhai pahlawanku…’ atau semacamnya, maka Allah menyuruh Malaikat untuk mendorong-dorong dadanya sambil ditanya, ”Apa benar kamu dulu seperti itu.” (HR. Turmudzi 1003).


Kalimat semacam ini, *’Wahai pujaanku kenapa kau tinggalkan aku, pahlawanku, sandaran hidupku,'* dst. merupakan ungkapan yang menunjukkan bahwa keluarganya tidak menerima taqdir Allah dengan kematiannya. Sehingga hukuman yang diberikan Allah adalah dia dipukuli Malaikat, sambil dihina dengan pertanyaan, ”Apa benar kamu seperti yang diucapkan orang itu?.”


*Mengapa Mayit Ikut Disiksa?*


Permasalahan berikutnya, mengapa mayit turut disiksa karena tangisan mereka yang hidup? Padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun. Tangisan itu adalah kesalahan keluarganya yang ditinggal mati.


Kita simak keterangan an-Nawawi,


واختلف العلماء في هذه الأحاديث فتأولها الجمهور على من وصى بأن يبكى عله ويناح بعد موته فنفذت وصيته فهذا يعذب ببكاء أهله عليه ونوحهم لأنه بسبه ومنسوب إليه


"Ulama berbeda pendapat tentang maksud hadits bahwa mayit disiksa karena ratapan keluarganya. Mayoritas ulama memahami bahwa hukuman itu berlaku untuk mayit yang berwasiat agar dia ditangisi dan diratapi setelah dia meninggal. Kemudian wasiatnya dilaksanakan. Maka dia disiksa dengan tangisan dan ratapan keluarganya karena kematiannya. Karena dia menjadi penyebab adanya tangisan itu."


قالوا فأما من بكى عليه أهله وناحوا من غير وصية منه فلا يعذب لقول الله تعالى ولا تزر وازرة وزر أخرى قالوا وكان من عادة العرب الوصية بذلك


"Mereka  juga mengatakan, mayit yang ditangisi keluarganya dan diratapi tanpa ada wasiat sebelumnya, maka dia tidak disiksa, berdasarkan firman Allah, (yang artinya), ”Seseorang tidak menanggung dosa yang dilakukan orang lain.”


Mereka mengatakan, bahwa bagian dari kebiasaan orang arab, mereka berwasiat agar diratapi. (Syarh Shahih Muslim, 6/228) Wallahu a'lam 


Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 🙏🏻🙏🏻🙏🏻


*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 07 September 2020

DOA KHOTMIL QUR'AN

DO’A KHOTMIL QUR’AN AL-AZHIM


دعاء ختم القرآن

بسم الله الرحمن الرحيم

صَدَقَ اللهُ صَدَقَ اللهُ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ, وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ,


“”Maha benar Alloh yang Maha Tinggi dan Maha Agung, Dan benar  pula Utusan-Nya


وَنَحْنُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ, وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.


dan kami terhadap hal tersebut adalah termasuk orang-orang yang selalu bersaksi dan bersyukur dan segala puji bagi Alloh Tuhan semesta alam.


رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.


Ya Alloh wahai Tuhan kami, terimalah ibadah dari kami sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.


اللَّهُمَّ انْفَعْنَا وَارْفَعْنَا بِالْقُرْآنِ الْعَظِيْمُ, وَاهْدِنَا وَبَارِكْ لَنَا بِاْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.


Ya Alloh  berilah kemanfaatan kepada kami dan angkatlah derajat untuk kami perantara A-Qur’an yang Agung. Dan berikanlah hidayah dan keberkahan kepada kami sebab perantara ayat-ayat dan Al-Qur’an yang penuh dengan dzikir dan hikmah.


وَتَقَبَّلْ مِنَّا خَتْمَ الْقُرْآنِ وَدُعَاءَنَا يَارَبِّ مَوْلاَنَا, إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.


Dan terimalah bacaan Al-Qur’an dan khotaman Al-Qur’an kami, serta do’a kami, wahai tuhan dan junjungan kami sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui


اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا بِكُلِّ حَرْفٍ مِنَ الْقُرْآنِ حَلاَوَةً, وَ بِكُلِّ كَلِمَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ كَرَامَةً,


Ya Alloh berikanlah kepada kami kemanisan (Iman) pada setiap (hitungan) huruf  Al-Qur’an. Dan berikanlah kepada kami kemuliaan pada setiap (hitungan) kalimat Al-Qur’an.


وَبِكُلِّ آيَةٍ من القرآن أُلْفَةً, وَبِكُلِّ سُوْرَةٍ من القرآن سُرُوْرًا,


Dan berikanlah kecintaan kepada kami pada setiap (hitungan) ayat Al-Qur’an. Dan berikanlah kegembiraan kepada kami pada setiap (hitungan) surat Al-Qur’an.


وَبِكُلِّ جُزْءٍ من القرآن جَزَاءً, وَبِكُلِّ رُبُعٍ من القرآن رَاحَةً,


Dan berikanlah pahala kepada kami pada setiap (hitungan) juz Al-Qur’an. Dan berikanlah kesenangan kepada kami pada setiap (hitungan) seperempat Al-Qur’an.


وَبِكُلِّ نِصْفٍ من القرآن نِعْمَةً, وَبِكُلِّ ثُلُثٍ من القرآن ثَبَاتًا,


Dan berikanlah kenikmatan kepada kami pada setiap (hitungan) separuh Al-Qur’an. Dan berikanlah kemantapan (Iman dan hati) kepada kami pada setiap (hitungan) sepertiga Al-Qur’an.


وَبِكُلِّ رَفْعٍ من القرآن رِفْعَةً, وَبِكُلِّ فَتْحٍ من القرآن فَرْحَةً وَ فُتُوْحًا,


Dan berikanlah peningkatan derajat kepada kami pada setiap (hitungan) harokat dlommah dalam Al-Qur’an.  Dan berikanlah kesenangan dan kesuksesan kepada kami pada setiap (hitungan) harokat fathah dalam Al-Qur’an


وَبِكُلِّ كَسْرٍ من القرآن كِسْوَةً, وَبِكُلِّ وَقْفٍ من القرآن وِقَايَةً.


Dan berikanlah pakaian (pelindungan / penjagaan / perhiasan) kepada kami pada setiap (hitungan) harokat kasroh dalam Al-Qur’an. Dan berikanlah penjagaan kepada kami pada setiap (hitungan) waqof  dalam Al-Qur’an


اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا بِاْلأَلِفِ أَمْنًا وَإِيْمَانًا, وَبِالْبَاءِ بَهَاءً وَبَرَكَةً, وَبِالتَّاءِ تَوْبَةً وَتَوْفِيْقًا,


Ya Alloh anugrahkanlah keamanan dan keimanan kepada kami sebab perantara huruf  Alif.   Ya Alloh anugrahkanlah kepandaian dan keberkahan kepada kami sebab perantara huruf  Ba’. Ya Alloh anugrahkanlah Taubat dan pertolongan kepada kami sebab perantara huruf  Ta’.


وَبِالثَّاءِ ثَرْوَةً وَثَوَابًا, وِبِالْجِيْمِ جَاهًا وَجَلاَلاً, وَبِالْحَاءِ حِلْمًا وَحَيَاءً,


Ya Alloh anugrahkanlah kenyamanan dan pahala kepada kami sebab perantara huruf  Tsa’. Ya Alloh anugrahkanlah kewibawaan dan kehormatan kepada kami sebab perantara huruf  Jim. Ya Alloh anugrahkanlah kecermatan dalam bersikap dan sifat malu kepada kami sebab perantara huruf Ha’.


وَبِالْخَاءِ خُشُوْعًا وَخَشْيَةً, وَبِالدَّالِ دَوْلَةً وَدَلِيْلاً, وَبِالذَّالِ ذِهْنًا وَذُكَاءً,


Ya Alloh anugrahkanlah khusyu’ dan khosy-yah (takut)  kepada kami sebab perantara huruf  Kho’.  Ya Alloh anugrahkanlah kekuasaan (pangkat) dan penasehat/bukti kepada kami sebab perantara huruf  Dal. Ya Alloh anugrahkanlah kecermatan hati dan kecerdasan fikiran kepada kami sebab perantara huruf  Dzal.


وَبِالرَّاءِ رَحْمَةً وَرَجَاءً, وَبِالزَّاءِ زُهْدًا وَزُكَاءً, وَبِالسِّيْنِ سَعَادَةً وَسَلاَمَةً,


Ya Alloh anugrahkanlah rohmat (kasih sayang) dan harapan baik kepada kami sebab perantara huruf  Ro’. Ya Alloh anugrahkanlah zuhud dan kebersihan hati dan diri kepada kami sebab perantara huruf  Za’. Ya Alloh anugrahkanlah kebahagiaan dan keselamatan kepada kami sebab perantara huruf  Sin.


وَبِالشِّيْنِ شُكْرًا وَشَرَافَةً, وَبِالصَّادِ صَبْرًا وَصَدَاقَةً, وَبِالضَّادِ ضَوْءً وَضَلاَعَةً,


Ya Alloh anugrahkanlah syukur dan kemuliaan kepada kami sebab perantara huruf  Syin. Ya Alloh anugrahkanlah sabar dan jujur kepada kami sebab perantara huruf  Shod. Ya Alloh anugrahkanlah kilau iman dan kekuatan badan kepada kami sebab perantara huruf  dlood.


وَبِالطَّاءِ طَاعَةً وَطَهَارَةً, وَبِالظَّاءِ ظَفَرًا وَظَرَافَةً, وَبِالْعَيْنِ عَفْوًا وَعَافِيَةً,


Ya Alloh anugrahkanlah keta’atan dan kesucian kepada kami sebab perantara huruf  Tho’. Ya Alloh anugrahkanlah kemenangan dan kepandaian kepada kami sebab perantara huruf  dho’. Ya Alloh anugrahkanlah ampunan dan kesehatan kepada kami sebab perantara huruf ‘Ain.


وَبِالْغَيْنِ غِنًى وَغَنِيْمَةً, وَبِالْفَاءِ فَوْزًا وَفَلاَحًا, وَبِالْقَافِ قُرْبًا وَقَنَاعَةً,


Ya Alloh anugrahkanlah kekayaan dan hasil yang banyak kepada kami sebab perantara huruf  Ghoin. Ya Alloh anugrahkanlah kesenangan dan kesuksesan kepada kami sebab perantara huruf  Fa’. Ya Alloh anugrahkanlah kedekatan (denganMu) dan Qona’ah (Menerima apa adanya anugrah Alloh) kepada kami sebab perantara huruf  Qoof.


وَبِالْكَافِ كَمَالاً وَكَرَامَةً, وَبِاللاَّمِ لُطْفًا وَلِقَاءً, وَبِالْمِيْمِ مَغْفِرَةً وَمَتَاعًا,


Ya Alloh anugrahkanlah kesempurnaan dan kemuliaan kepada kami sebab perantara huruf  Kaaf. Ya Alloh anugrahkanlah kelembutan (kasih-sayangMu) dan perjumpaan(denganMu) kepada kami sebab perantara huruf  Lam. Ya Alloh anugrahkanlah ampunan dan harta benda kepada kami sebab perantara huruf  Miim.


وَبِالنُّوْنِ نُوْرًا وَنَجَاةً, وَبِالْوَاوِ وُسْعَةً وَوِلاَيَةً,


Ya Alloh anugrahkanlah cahaya dan keselamatan kepada kami sebab perantara huruf  Nun. Ya Alloh anugrahkanlah keluasan (ilmu dan rizqi) dan kewalian / kekuasaan kepada kami sebab perantara huruf  Wawu.


وَبِالْهَاءِ هِمَّةً وَهِدَايَةً, وَبِالْيَاءِ يُسْرًا وَيَقِيْنًا.


Ya Alloh anugrahkanlah semangat yang kuat dan hidayah kepada kami sebab perantara huruf Haa’. Ya Alloh anugrahkanlah kemudahan dan keyaqinan kepada kami sebab perantara huruf  Yaa


اللَّهُمَّ اهْدِنَا وَبَارِكْ لَنَا بِاْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.


Ya Alloh, tunjukkanlah kami dan berkahilah kami sebab ayat-ayat dan peringatan yang bijaksana.


اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا قِرَاءَتَنَا وَتَجَاوَزْ عَنَّا مَا كَانَ مِنَّا فِي تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ


Ya Alloh, terimalah bacaan-bacaan dari kami dan balaslah apa-apa yang telah kami baca dari pembacaan Al-Qur’an,


مِنْ خَطَإٍ أَوْ نِسْيَانٍ أَوْ تَحْرِيْفِ كَلِمَةٍ عَنْ مَوَاضِعِهَا


Dari sebuah kesalahan, kelupaan atau perubahan kalimat dari tempatnya


أَوْ تَقْدِيْمٍ أَوْ تَأْخِيْرٍ أَوْ زِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ أَوْ تَأْوِيْلٍ عَلَى غَيْرِ مَا أَنْزَلْتَهُ


Atau karena mendahulukan, mengakhirkan, menambah, mengurangi atau mentakwil (mempersepsikan) dari selain apa yang telah Engkau turunkan


أَوْ رَيْبٍ أَوْ شَكٍّ أَوْ سَهْوٍ أَوْ سُوْءِ إِلْحَانٍ أَوْ تَعْجِيْلٍ عِنْدَ تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ


Atau dari keraguan, kecurigaan, kelalaian, jeleknya bahasa pengucapan atau mempercepat ketika membaca Al-Quran


أَوْ كَسَلٍ أَوْ سُرْعَةٍ أَوْ زَيْغِ لِسَانٍ أَوْ وَقْفٍ بِغَيْرِ وُقُوْفٍ أَوْ إِدْغَامٍ بِغَيْرِ مُدْغَمٍ أَوْ إِظْهَارٍ بِغَيْرِ  بَيَانٍ


Atau dari kemalasan, kecepatan, penyimpangan dari lidah, berhenti pada yang bukan tempatnya berhenti, meong-idghomkan (memindahkan) bukan saatnya idghom, atau membaca izhar (menunjukkan/menjelaskan) tanpa pernyataan


أَوْ مَدٍّ أَوْ تَشْدِيْدٍ أَوْ هَمْزَةٍ أَوْ جَزْمٍ أَوْ إِعْرَابٍ بِغَيْرِ مَا كَتَبَهُ


Atau dari kesalahan Maad, Tasydid, Hamzah, Jazem, atau I’rob (merangkaikan kalimat)  yang selain dari penulisan Al-Qur’an.


أَوْ قِلَّةِ رَغْبَةٍ وَرَهْبَةٍ عِنْدَ آيَاتِ الرَّحْمَةِ أَوْ آيَاتِ الْعَذَابِ


Atau dari kurangnya keinginan dan kekaguman pada ayat-ayat rahmat atau ayat-ayat siksaan


فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا  رَبَّنَا وَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِيْنَ


Maka ampunilah dosa-dosa kami ya Tuhan kami, dan catatlah kami beserta orang-orang yang bersaksi.


اللَّهُمَّ نَوِّرْ قُلُوْبَنَا بِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ, وَزَيِّنْ أَخْلاَقَنَا بِجَاهِ الْقُرْآنِ,


Ya Alloh, terangilah hati kami sebab pembacaan Al-Qur’an, dan hiasilah akhlak (etika moralitas) kami dengan sebab Al-Qur’an,


وَحُسْنَ أَعْمَالِنَا بِذِكْرِ الْقُرْآنِ, وَبَيِّضْ وُجُوْهَنَا بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ,


Dan baguskanlah amal-amal kami sebab mengingat Al-Qur’an, dan putihkanlah wajah-wajah kami dengan sebab keberkahannya Al-Qur'an,


وَنَوِّرْ أَبْدَانَنَا بِنُوْرِ الْقُرْآنِ, وَنَجِّنَا مِنَ النَّارِ بِكَرَامَةِ الْقُرْآنِ, وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ بِشَفَاعَةِ الْقُرْآنِ,


Dan berikanlah cahaya tubuh-tubuh kami dengan sebab cahaya Al-Quran, dan bebaskanlah kami dari siksa neraka sebab kemuliaan Al-qur’an, dan masukkanlah kami ke dalam surga sebab pertolongan Al-Qur’an,


اللَّهُمَّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ لَنَا فِي الدُّنْيَا قَرِيْنَا, وَفِي الْقَبْرِ مُؤْنِسًا, وَفِي الْقِيَامَةِ شَافِعًا,


Ya Alloh, jadikanlah Al-Qur'an di dunia ini sebagai pendamping kami, di alam kubur sebagai penerang, dan di hari kiamat sebagai penolong,


وَعَلَى  الصِّرَاطِ نُوْرًا, وَفِي الْجَنَّةِ رَفِيْقًا, وَمِنَ النَّارِ سِتْرًا وَحِجَابًا


Dan (jadikanlah Al-Qur’an) di atas jembatan shiroth sebagai cahaya, di surga menjadi pendamping, dan dari api neraka sebagai dinding penghalang.


اللَّهُمَّ اهْدِنَا بِهِدَايَةِ الْقُرْآنِ, وَنَجِّنَا مِنَ النَّارِ بِحُرْمَةِ الْقُرْآنِ,


Ya Alloh, bimbinglah kami dengan petunjuk Al-Qur’an, selamatkanlah kami dengan sebab kemuliaan Al-Qur’an,


وَيَسِّرْ لَنَا أُمُوْرَنَا أُمُوْرَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ,


Dan mudahkanlah segala urusan-urusan kami di dunia dan akhiran dengan sebab Al-Qur’an yang Mulia,


وَحَصِّلْ مَقَاصِدِنَا, وَاقْضِ جَمِيْعِ حَاجَاتِنَا بِالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ,


Dan sampaikanlah maksud dan tujuan kami, dan penuhilah semua hajat-hajat kami sebab Al-Qur’an yang Agung,


وَاشْفِ جَمِيْعِ اَسْقَامِنَا بِحُرْمَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ, وَتَمِّمْ آعْمَالَنَابِبَرَكَةِ كَلاَمِكَ الْقَدِيْمِ,


Dan sembuhkanlah semua penyaki-penyakit kami dengan sebab kemuliaan Al-Qur’an Al-Karim, dan sempurnakanlah amal-amal kami dengan keberkahan firman-Mu yang terdahulu (takdir-Mu),


وَهَوِّنْ عَلَيْنَا سَكَرَاتِ الْمَوْتِ بِجَاهِ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ, يَارَحْمَنُ يَا رَحِيْمُ


Dan mudahkanlah/ringankanlah dahsyatnya sakaratul maut atas kami dengan sebab Al-Qur’an, wahai yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.


اللهُمَّ طَهِّرْ قُلُوْبَنَا, وَقَرِّ عُيُوْنَنَا, وَاسْتُرْ عَوْرَاتِنَا, وَاشْفِ مَرْضَانَا,


Ya Alloh, bersihkanlah hati kami, indahkanlah pandangan mata-mata kami, tutupilah aurat-aurat (keburukan-keburukan) kami, dan sembuhkanlah yang sakit dari kami,


وَاقْضِ عَنَّا دُيُوْنَنَا, وَبَيِّضْ وُجُوْهَنَا, وَارْفَعْ دَرَجَاتِنَا, وَأَصْلِحْ حَاجَاتِنَا,


Dan habiskanlah hutang-hutang kami, bersihkanlah/putihkanlah wajah-wajah kami, dan angkatlah derajat-derajat kami, dan perbaikilah kebutuhan-kebutuhan kita,


وَاغْفِرْ آبَاءَنَا وَأُمَّهَاتِنَا, وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا,


Dan ampunilah bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami dimasa kecil,


وَتَجَاوَزْ عَنْ سَيِّآتِنَا, وَمْحُ ذُنُوْبَنَا, وَأَصْلِحْ دِيْنَنَا وَدُنْيَانَا,


Dan hilangkanlah keburukan-keburukan kami, hapuskanlah dosa-dosa kami, dan perbaikilah agama dan dunia kami,


وَرَطِّبْ لِسَانَنَا بِذِكْرِكَ, وَقَوِّ أَجْسَادَنَا بِلُطْفِكَ , وَفَرِّحْ أَحْبَابَنَا,


Dan basahilah lidah-lidah kami dengan berdzikir (mengingat)-Mu, kuatkanlah tubuh-tubuh kami dengan kelembutan-Mu, dan senangkanlah orang-orang yang kami cintai,


وَخَرِّبْ أَحْسَادَنَا, وَشَتِّتْ شُمُوْلَ أَعْدَائِنَا, وَاحْفَظْ أَهْلَنَا وَأَمْوَالَنَا وَإِخْوَانَنَا,


Dan lenyapkanlah sifat kedengkian kami, sumbatlah jalan masuknya musuh-musuh kami, dan peliharalah keluarga, harta benda dan saudara-saudara kami,


وَانْظُرْ أَوْلاَدَنَا وَتَلاَمِيْذَنَا وَدِيَارَنَا, وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا عَلَى دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ,


Dan perhatikanlah anak-anak kami, murud-murid kami, rumah-rumah kami, dan tetapkanlah langkah kaki kami pada agama Islam,


وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ, بِحُرْمَةِ هَذَا الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ


Dan tolonglah kami untuk mengalahkan orang-orang kafir, dengan sebab kemuliaan Al-Qur'an yang Agung.


اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا أَدَآءً بِالْقَلْبِ وَحُبَّ الْخَيْرِ وَالسَّعَادَةِ وَالْبَشَارَةِ مِنَ اْلإِيْمَانِ.


Ya Alloh, karuniakan kepada kami pengobat hati, mencintai kebajikan, kebahagiaan dan balasan dari keimanan.


 اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ بِعَدَدِ مَا فِي جَمِيْعِ الْقُرْآنِ حَرْفًا حَرْفًا, وَبِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ أَلْفًا أَلْفًا


Ya Alloh, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad, keluarganya, sahabatnya sebanyak hitungan seluruh huruf-huruf Al-Qur’an dan jumlah semua karakter huruf-huruf Al-Qur’an.


اَللَّهُمَّ ارْحَمْنِا بِاْلقُرْآنْ, وَاجْعَلْهُ لنا إِمَامًا وَنُوْرًا وَهُدًا وَرَحْمَةْ,.


Ya Alloh, kasih sayangilah kami dengan sebab Al-Qur’an ini. Dan jadikanlah Al-Qur’an ini sebagai pemimpin, sebagai cahaya, sebagai petunjuk dan sebagai rahmat bagi kami


أَللَّهُمَّ ذَكِّرْنا مِنْهُ مَا نَسِيْنا وَعَلِّمْنِا مِنْهُمَا جَهلنا وَارْزُقْنِا تِلاَوَتَهُ آنَاءَ الْلَيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارْ وَاجْعَلْهُ لنا حُجَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمْيِنَ. امين


Ya Alloh, ingatkanlah kami apa-apa yang kami lupa dalam Al-Qur’an yang telah Engkau jelaskan dan ajarilah apa-apa yang kami belum mengetahui. Dan karuniakanlah kami selalu sempat membaca Al-Qur’an pada malam dan siang hari, dan jadikanlah Al-Qur’an ini sebagai hujjah bagi kami. Aamiin


ببركة لفاتحة ................ امين

DOA KHUSUS UNTUK KESEMBUHAN BUNDA DIAN


بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيئ فى الارض ولا فى السماء وهو السميع العليم


سلام قولا من رب الرحيم

لا حول ولا قوة الا باالله العلي العظيم


اللهم رب الناس اذهب الباءس اشفها انت الشافى لاشفاء الا شفاءك شفاء لا يغادر سقما


للصحة والعافية لها الفاتحة...


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين. الرحمن الرحيم. مالك يوم الدين. اياك نعبد واياك نستعين. إهدنا الصراط المستقيم. صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين. أمين

Minggu, 06 September 2020

KATA BIJAK PARA PUJANGGA ARAB



فىِ النِّهَايَةِ يُصْبِحُ بَعْضُ أَكْبَرِ آلَامِكَ هُوَ مَصْدَرُ قُوْتِكَ

"Pada akhirnya, sebagian dari deritamu yang paling pedih akan menjadi sumber kekuatan terbesarmu.”

التخصص الذى لايدرس فى جامعات الدنيا هو الأخلاق. قد يحمله عامل نظافة ويرسب فيه الدكتور

"Satu-satunya jurusan yang tidak ada di Perguruan Tinggi seluruh dunia adalah jurusan “AKHLAQ”, terkadang seorang petugas kebersihan berhasil memiliknya, namun seorang Doktor justru gagal lulus darinya.”

أنا لاأتجاهل, أنا فقط أحاول أن تبقى روحى بعيدة لكيلا تتعلق بشيئ تحبه اليوم وتزول غدا

“Aku bukannya cuek, aku hanya berusaha membuat jiwaku tetap jauh supaya tidak tertaut pada sesuatu yang ia cintai hari ini tapi kemudian pergi menghilang esok hari.”

تخيل...لولا لم يبق معك من نعم الله إلا التى شكرت عليها كم نعمة ستفقد ؟

“Bayangkan…! Nikmat Allah yang tersisa padamu hanyalah nimat yang kamu syukuri saja, berapa nikmat yang akan hilang?”

أخاف أن أحادثك بكثرة فتمل منى وأخاف أن أصمت فتظن أن قلبى لم يعد يهتم بك

“Aku takut kamu akan bosan kepadaku juka aku banyak berbicara kepadamu. Tapi aku juga khawatir kamu akan mengira bahwa hatiku tidak lagi perhatian kepadamu karena aku diam tidak mengajakmu bicara.”

الوداع لايقع إلا لمن يعشق بعينه أما ذاك الذي يحب بروحه وقلبه فلا ثقة انفصال أبدا

“Perpisahan hanya terjadi bagi orang yang mencintai dengan pandangan matanya. Tetapi bagi ida yang mencintai dengan hati dan jiwanya, tidak ada kata perpisahan selamanya.” (Jalaludin Rumi)

ما لايرتاح له قلبك لاتثق به أبدا فالقلب أبصر من العين

“Yang membuat hatimu tidak nyaman, jangan pernah kamu percayai, karena penglihatan hati lebih tajam daripada mata.” (Najib Mahfudz)

أنت لاتحصل ما تتمناه أنت تحصل ما تعمل لأجله

“Kamu tidak akan mendapatkan apa yang kamu harapkan, kamu hanya akan mendapatkan apa yang kamu perjuangkan”

المال والنجاح لايغير الناس بل يظهرهم على حقيقتهم

“harta dan kesuksesan tidak bisa erubah seseorang. Harta dan kesuksesan akan menampakkan dirinya yang sebenarnya.”

سأعيش على أمل أن كل شيئ سيصبح جميلا ما دام لنا رب يقول كن فيكون

“Aku akan menjalani hidup dengan harapan bahwa ssegala sesuatu akan menjadi indah, selama kita memiliki Tuhan yang berfirman: “Jadilah! Maka jadilah sesuatu.” (Najib Mahfudz)

كن كالقطار لاينتظر من لاينتظره

“Jadilah seperti kereta, Enggan menunggu orang yang tidak mau menunggunya.”

الأمل هو أن تدعو الله بنفس الذي تدعوه منذ سنين بنفس الروح والثقة والإيمان

“Cita-cita itu ketika kamu berdo’a kepada Allahdengan do’a yang sama selama bertahun-tahun, dengan semangat, kepercayaan dan keyakinan yang sama pula.”

وبك أيقنت أني أملك من الحظ أجمله

“Denganmu aku merasa yakin bahwa aku memiliki takdir yang terindah.”

شئت أم أبيت. الأخطاء تعلمك أكثر من النصائح

“mau atau tidak, kesalahan-kesalahanlah yang lebih banyak memberi pelajaran kepada kita daripada nasihat-nasihat.”

الحياة لن تعطيك كل ماتحب لكن القناعة تجعلك تحب كل ما لديك وكأنك تملك بين يديك كل شيئ

“hidup tidak akan memberikan semua yang kamu cintai, tapi Qana’ah membuatumu mencintai semua yang kamu miliki dan seolah-olah kamu memiliki segalanya.”

لا يأتى الإهتمام ‘لا من قلب يخاف غيابك

“perhatian hanya datang dari hati yang takut kehilalnganmu.”

هناك فرق بين أن تكبر بالعمر وأن تكبر بالعقل فالأولى إجباري والثانية إختياري

“Ada perbedaan antara dewasa dalam usia dan dewasa dalam fikiran. Yang pertama adalah kepastian sedang yang kedua adalah pilihan.”

العين التى يعميها الحب لاترى سوى الكمال

“Mata yang dibutakan oleh cinta hanya melihat kesempurnaan.”

القلوب مزارع فازرع فيها الكلمة الطيبة فإن لم تتمتع بثمرها فستتمتع بخضرتها

“hati itu ibarat persawahan. Maka tanamilah dengan kata-kata yang baik. Jika kamu tidak bisa menikmati buahnya, setidaknya kamu bisa menikmati hijaunya.”

هناك يوم يمر على الإنسان كأنه سنة وآخر يمر عليه كأنه ساعة. كلاهما يوم بمشاعر مختلفة

“Bagi seseorang, ada kalanya satu hari yang berjalan itu bagaikan satu tahun. Sedangkan bagi yang lain, satu hari berasa hanya satu jam saja. Keduanya sama-sama-sama satu hari, hanya saja dengan perasaan yang berbeda.”

يحلم الرجل بامرأة كاملة وتحلم المرأة برجل كامل ولايعلمون أن الله خلقهم ليكمل بعضهم البعض

“Laki-laki mendambakan seorang perempuan yang sempurna, begitu juga perempuan mendambakan laki-laki yang sempurna. Padahal mereka tidak mengerti bahwa Allah menciptakan mereka untuk saling menyempurnakan.

لعل الأشياء البسيطة هي أكثر الأشياء تميزا ولكن ليست كل عين ترى

“boleh jadi, hal-hal sederhanalah yang sebenarnya paling special. Hanya saja tidak semua mata bisa melihatnya.”

فإن كانت الأجسام منا تباعدت فإن المدى بين القلوب قريب

“meskupun raga kita saling berjauhan, tapi hati kita dekat.”

لايقاس الوفاء بما تراه أمام عينيك بل بما يحدث وراء ظهرك.

“kesetiaan tidak diukur dari apa yang kamu lihat di depanmu, melainkan dari apa yang terjadi di belakangmu.”


بالأمس كنا نفتقد الحرية, اليوم نفتقد المحبة. أنا خائف من الغد لأننا سنفتقد الإنسانية


“Kemarin kita kehilangan kemerdekaan, sekarang kita kehilangan kasih saying. Aku khawatir esok kita akan kehilangan kemanusiaan.”

Kamis, 03 September 2020

KAJIAN TENTANG ISTILAH SEBUTAN WAHHABIYAH BUKAN WAHBIYAH (meluruskan kesalahpahaman)







Banyak artikel para ustadz salafi (wahabi) yang disebarkan demi membela *Muhammad hin Abdul Wahhab An-Najdi dengan pemikiran wahhabisme-nya, dengan mengatakan bahwa Wahhabi itu nisbat kepada pemikiran Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum yang paham Khawarij, padahal tidak demikian adanya.*


Jika kita melihat sejarahnya, awal pelabelan 'Wahabbi' ini diberikan kepada para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab oleh kakaknya sendiri yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hanbali dalam kitabnya berjudul al-Shawaiq al-Ilahiyyah fi ar-Raddi alal Wahhabiyyah, kitab tersebut dibuat untuk membantah keras pemikiran adiknya yang nyeleneh itu. Jadi jelas bahwa Wahhabi adalah nisbat pada Muhammad bin Abdul Wahhab.


Lalu bagaimana dengan  Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum?? Nah,  Ibnu Rustum ini BUKAN pendiri WAHHABIYYAH tetapi pengikut sekte (aliran) WAHBIYYAH. PERLU DICERMATI!! Istilah (sebutan) Wahhabiyyah (الوهَّابيَّة) dan Wahbiyyah (الوَهْبِيَّة) hampir sama, tetapi sangat jelas berbeda. Wahhabiyyah (Wahhabi) penggagasnya bernama Muhammad bin Abdul Wahhab. Sedangkan Wahbiyyah pengasasnya bernama Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi Al-Khawariji. (Lihat Al Farqu Bainal Firaq Al Baghdadi, hlm 80-81, lihat juga Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, Dr Ghalib bin ‘Ali ‘Awaji, hlm 95)


Dalam Al-Mi’yaar al-Mu’rib wa al-Jaami’ al-Mughrib ‘an Fataawaa Ifriiqiyyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (11/168) di tulis oleh Ahmad bin Yahya Al-Wansyarisi (sebagaimana juga dirujuk oleh ustadz-ustadz wahhabi), tertulis sebagai berikut:


وسئل اللخمي عن قوم من الوهبية سكنوا بين أظهر أهل السنة زمانا وأظهروا الآن مذهبهم وبنوا مسجدا ويجتمعون فيه ويظهرون مذهبهم في بلد فيه مسجد مبني لأهل السنة زمانا ، وأظهروا أنه مذهبهم وبنوا مسجدا يجتمعون فيه ويأتي الغرباء من كل جهة كالخمسين والستين ، ويقيمون عندهم ، ويعملون لهم بالضيافات ، وينفردون بالأعياد بوضع قريب من أهل السنة . فهل لمن بسط الله يده في الأرض الإنكار عليهم ، وضربهم وسجنهم حتى يتوبوا من ذلك ؟


Perhatikan dari teks di atas : (ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻠﺨﻤﻲ ﻋﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ), jelas tertulis "Dan Al-Lakhmi ditanya tentang satu kaum dari Wahbiyyah (bacanya bukan wahhabiyah)".


Dan dalam buku seorang sejarawan asal  Prancis, sebagaimana rujukan mereka, yaitu Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil [1364 H/1945 M], tertulis,


وقد سموا أيضا الوهبيين نسبة إلى عبد الله بن وهب الراسبي ، زعيم الخوارج


"Dan sungguh mereka dinamakan Wahbiyyin (الوهبيين) karena dinisbahkan kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi, yang di tuduh sebagai Khawarij” [Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya- halaman 145].


Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun, akan dijumpai bahwa Abdul Wahhab bin Rustum adalah pengikut Wahbiyyah,


ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺪ ﺃﺫﻝ ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ ﻭﻣﻬﺪ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﺳﺎﻛﻨﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺭﻭﺡ ، ﻭﺭﻏﺐ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺩﻋﺔ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺑﻦ ﺭﺳﺘﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ ﻓﻮﺍﺩﻋﻪ


Dari petikan kalimat diatas, jelas sekali bahwa Abdul Wahhab bin Rustum bukan pendiri Wahhabiyyah bahkan bukan pula pendiri Wahbiyyah, melainkan termasuk pengikut Wahbiyyah (wa kana minal wahbiyyah).


Perhatikan kitab-kitab sekte Wahbiyyah bukan Wahhabiyah (salafi/wahabi),


كتـاب ( تلخيص عقائد الوَهْبِيَّة في نكتة توحيد خالق البرية ) * للشيخ إبراهيم بن بيحمان اليسجني من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر ( ت : 1232هـ / 1817م )

كتاب ( العقيدة الوَهْبِيَّة ) * للشيخ أبي مسلم ناصر بن سالم البَهْلانِي من علماء عُمَان ( ت : 1339هـ / 1920م )

كتاب ( دفع شبه الباطل عن الإباضية الوَهْبِيَّة المحقة ) * للشيخ أبي اليقظان إبراهيم من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر ( ت : 1393هـ / 1973م )


Jadi jelas, bahwa Wahhabiyah adalah nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi sedangkan Wahbiyyah adalah aliran yg diikuti oleh Abdul Wahhab bin Rustum, dan dua-duanya sama-sama tidak layak dijadikan panutan.


Tulisan boleh mirip (الوهبية), tapi beda tasydid dan sukun saja udah beda aliran, dan ternyata mereka (Ust. Wahhabi dan para pengikutnya) salah baca.


*Mengungkap Perbedaan Wahbiyah, Wahhabiyah dan Abdul Wahab Bin Rustum*


Tulisan ini adalah bukti ilmiah bukanlah caci maki pada golongan tertentu. Semoga yang membacanya mendapatkan petunjuk dari Allah.


Banyak beredar kerancuan terkait penisbatan istilah Wahhabi kepada Abdul Wahhab bin Rustum. Mereka (Wahhabi) beranggapan bahwa Wahhabiyyah didirikan oleh oleh Abdul Wahhab bin Rustum, bukan Muhammad bin Abdul Wahhab.


Siapakah sebenarnya Abdul Wahhab bin Rustum? benarkah ia pendiri Wahhabiyyah?. Dalam tulisan ini, hendak menegaskan kembali bahwa Abdul Wahhab bin Rustum bukan pendiri Wahhabiyyah tapi pengikut Wahbiyyah.


Lantas siapakah pendiri Wahbiyyah yang diikuti oleh Abdul Wahhab bin Rustum?. Pendiri Wahbiyyah bernama Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi. Sedangkan pendiri Wahhabiyyah atau Wahhabi adalah Muhammad bin Abdul Wahhab. Pembaca sejarah yang jeli akan mengetahui perbedaan kedua istilah tersebut.


Sebetulnya ajaran yang disebarkan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum itu bukan Wahhabiyyah ( ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻪ ) tapi Wahbiyyah ( ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ ), lalu kenapa juga ajaran nya disebut Wahbiyyah ? apakah Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum ? Ternyata juga bukan karena ajaran Wahbiyyah tersebut adalah nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi (38 H).

Didalam buku seorang sejarawan asal Prancis, yaitu Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil [1364 H/1945 M], terdapat bukti sejarah yang mengatakan


ﻭﻗﺪ ﺳﻤﻮﺍ ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﻴﻦ ﻧﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻭﻫﺐ ﺍﻟﺮﺍﺳﺒﻲ ، ﺯﻋﻴﻢ ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ


“Dan sungguh mereka dinamakan Wahbiyyin ( ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﻴﻦ ) karena dinisbahkan kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi, yang di tuduh sebagai Khawarij” [Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya– halaman 145].


Ternyata dalam buku Al-Faradbil juga tertulis Wahbiyyin, bukan Wahhabiyyin, dan dengan sharih disebutkan nisbah nya, Wahbiyyah atau Wahbiyyin bukan nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum sebagaimana dalam dongeng di atas, akan tetapi Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi. Ajaran itu lalu pecah kepada beberapa firqah, nah firqah nya Abdul wahhab bin Abdirrahman bin Rustum di sebut Wahbiyyah Rustumiyyah (bukan Wahhabiyyah Rustumiyyah).


*Kebanggaan Ulama Wahabi Dengan Nama Wahabi/Salafi*


Berikut adalah bukti pengakuan dari Syaikh Wahabi yakni Ibnu Baz dalam kitab Fatawa Nur ‘Ala al-Darb pada soal yang ke 6 sebagai berikut,


ﺱ 6 – ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ : ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺸﻴﺦ، ﻳﺴﻤﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻤﻠﻜﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺴﻌﻮﺩﻳﺔ ﺑﺎﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻓﻬﻞ ﺗﺮﺿﻮﻥ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﺘﺴﻤﻴﺔ؟ ﻭﻣﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺴﻤﻴﻜﻢ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻻﺳﻢ؟


”Soal ke 6 : Seseorang bertanya kepada Syaikh, "Sebagian manusia menamakan Ulama-Ulama di Arab Saudi dengan nama Wahabi [Wahhabiyyah], adakah antum ridho dengan nama tersebut? dan apa jawaban untuk mereka yang menamakan antum dengan nama tersebut ?”


Syaikh Ibnu Baz menjawab sebagai berikut,


ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﻫﺬﺍ ﻟﻘﺐ ﻣﺸﻬﻮﺭ ﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻧﺠﺪ ﻳﻨﺴﺒﻮﻧﻬﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ


“Jawab : "Penamaan tersebut masyhur untuk Ulama Tauhid yakni Ulama Nejed [Najd], mereka menisbahkan para Ulama tersebut kepada Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab. dan bahkan Ibnu Baz memuji nama tersebut, ia berkata,


ﻓﻬﻮ ﻟﻘﺐ ﺷﺮﻳﻒ ﻋﻈﻴﻢ


“Nama itu (Wahhabiyah) adalah panggilan yang sangat mulia dan sangat agung." 


Bahkan Syaikh Sulaiman bin Samkhan ulama Wahabi yang pertama kali mencetuskan istilah quburiyyun dalam kitabnya Kasyful Awham Wal Iltibas menulis kitab yang berjudul Al Hadiyyatus Saniyyah Wat Tukhfatul Wahabiyah Annajdiyah. Dengan jelasnya beliau membanggakan istilah nama Wahabi.


Oleh karena itu dengan niatan meluruskan bahwa nama wahabi adalah istilah yang diciptakan golongan syiah kepada mereka yang anti syiah sangatlah tidak tepat justru istilah wahabi adalah lahir dari ulama mereka sendiri dan diakuinya dengan penuh kebanggaan. Wallahu a'lam


Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat dan Allah memberikan petunjuk kepada kita semua supaya bisa tetap istiqomah dijalan yang diridhoinya.

Amin Ya Robbal ‘Alamin


Salam Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah).

Selasa, 01 September 2020

"ANJAY" BERASAL DARI BAHASA ARAB



لَئِنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِۦ لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ

"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur". (QS. Yunus : 22)

Kata "anja"  (أنجى) adalah bentuk tsulatsi mazid ala wazni "af'ala (أفعل)" dari bentuk tsulatsi mujarrod "naja yanju (نجا ينجو)" dari wazan "fa'ala yaf'ulu (فعل يفعل) menjadi fi'il naqish mu'tal lam مُعْتَلُّ اللاَّمِ، (نَاقِصٌ)

Tsulatsi mujarrod "naja (نجا)" artinya "selamat". Jika kata tersebut diubah bentuk menjadi tsulatsi mazid--yaitu, "anja", ala wazni af'ala yang berfungsi salah satunya sebagai "ta'diyyah"--maka ia menjadi berarti "menyelamatkan".

Jika tsulatsi mazid "anja" disambung dengan semua dhomir mukhothob dan semua dhomir mutakallim maka ia jadi terbaca "anjay". Itu bisa diketahui jika kata tersebut di-tashrif lughowi:

Anjayta أنجيت 

Anjaytuma أنحييتما

Anjaytum أنجيتم

Anjayti أنجيت

Anjaytuma أنجيتما

Anjaytunna أنجيتن 

Anjaytu أنجيت

Anjayna أنجينا

تصريف الفعل المجرّد الثلاثيّ

الوزن : فَعَلَ - يَفْعُلُ

نَجَا - يَنْجُو

القسم : مُعْتَلُّ اللاَّمِ، (نَاقِصٌ)

تصريف الفعل نَجَا - يَنْجُو في الماضي

ضمائر المتكلّم

أَنَا نَجَوْتُ - نَحْنُ نَجَوْنَا

ضمائر المخاطب

أَنْتَ نَجَوْتَ - أَنْتِ نَجَوْتِ - أَنْتُمَا نَجَوْتُمَا - أَنْتُمْ نَجَوْتُمْ - أَنْتُنَّ نَجَوْتُنَّ

ضمائر الغائب

هُوَ نَجَا - هِيَ نَجَتْ - هُمَا نَجَوَا - هُمَا نَجَتَا - هُمْ نَجَوْا - هُنَّ نَجَوْنَ

Tentu saja, kata "anjay" dalam bahasa Arab ini gak ada kaitannya sama sekali dengan kata "anjay" yg lagi diribetkan dan diributkan itu.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menjelaskan semoga ANJAY bermanfaat. Aamiin