MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 27 Maret 2020

KAJIAN TENTANG KIAMAT SUDAH DEKAT KARENA NEGERI ARAB TANAHNYA SUBUR


Kabar akan datangnya hari akhir atau kiamat pada pertengahan bulan Ramadan 1441 Hijriah atau di tahun 2020 cukup meresahkan masyarakat  Indonesia. Apalagi, sejumlah hadist dikutip untuk menguatkan prediksi akhir zaman terjadi 15 Ramadan tahun ini. Viral juga video seorang ustadz yang mengatakan akan terjadi kemarau panjang 3 tahun lamanya, dajjal akan muncul dan imam mahdi akan segera datang, padahal belum lama banjir terjadi dimana-mana, dan sejak kapan si ustadz dapat kabar kalau dajjal dan imam mahdi akan datang? Apakah dia seorang peramal atau sedang ngigau?

Juga beredar video seorang ustadz yang lain mengatakan bahwa kiamat segera datang karena tanah arab sudah subur dengan banyaknya tumbuhan, sementara yang dia tunjukkan gambarnya adalah wilayah Thaif yang memang sejak jaman Nabi sudah subur dan sejuk banyak kebun kurma dan anggur.

Isu sesat yang berseliweran di media sosial dan diskusi-diskusi publik itu akhirnya ditanggapi sejumlah ulama. Saya yang bukan ulama pun ikut menanggapi kabar itu sebagai isu sesat sesat yang meresahkan. Bahkan, sangat bertentangan dengan ketentuan atau takdir Allah Azza wa Jalla.

Berbicara tentang akhir zaman itu terkait motivasi Al-Qur’an Surat An Nazi’at ayat 42-45 sebagai berikut,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا

"(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapan kah terjadinya?"

فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا

"Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)?"

إِلَىٰ رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا

"Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya)."

إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا

"Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit)."

Dari ayat-ayat diatas jelaslah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tugasnya hanya memberi peringatan akan datangnya kiamat dan bukan menjelaskan kapan terjadinya kiamat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kiamat akan terjadi yang didahului dengan tanda-tanda kecil yang sudah banyak terjadi semisal banyaknya kemaksiatan dan perbuatan dosa manusia, kemudian tanda-tanda besar. Terkait dengan tanda-tanda besar kiamat itu berjumlah 10 tingkatan. Dan para ulama berbeda-beda dalam memahami urutan tanda-tanda tersebut, maka yang kita ambil adalah urutan yang dimulai dengan munculnya; 1. Dukhon, 2. Dajjal, 3. Turunnya Isa, 4. Muncul Ya’juj Ma’juj, 5-7. Munculnya Gempa di Timur Barat dan Jazirah Arab, 8. Munculnya Binatang Melata dari Perut Bumi, 9. Munculnya Api Besar dari Yaman, dan 10. Terbitnya Matahari dari Barat.

Apa pun urutannya, yang jelas 10 tanda besar itu akan muncul mengiringi hancurnya alam semesta ini dan yang mana pun muncul duluan, pasti akan diikuti yang lain dengan cepat.

Memang dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga tanah Arab kembali hijau penuh dengan tumbuhan dan sungai-sungai.” (HR. Muslim, kitab az-Zakaah, bab Kullu Nau’in minal Ma’ruuf Shadaqah (VII/97, Syarh an-Nawawi)

Sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu juga telah meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Tabuk.  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَأْتُونَ غَدًا إِنْ شَاءَ اللهُ عَيْنَ تَبُوكَ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَأْتُوهَا حَتَّـى يُضْحِيَ النَّهَارُ، فَمَنْ جَاءَهَا مِنْكُمْ، فَلاَ يَمَسَّ مِنْ مَائِهَا شَيْئًا حَتَّـى آتِيَ، فَجِئْنَاهَا وَقَدْ سَبَقَنَا إِلَيْهَا رَجُلاَنِ وَالْعَيْنُ مِثْلُ الشِّرَاكِ تَبِضُّ بِشَيْءٍ مِنْ مَاءٍ، قَالَ: فَسَأَلَهُمَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ مَسَسْتُمَا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا؟ قَالاَ نَعَمْ، فَسَبَّهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَقَالَ لَهُمَا: مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُولَ. قَالَ: ثُمَّ غَرَفُوا بِأَيْدِيهِمْ مِنَ الْعَيْنِ قَلِيلاً قَلِيلاً، حَتَّى اجْتَمَعَ فِي شَيْءٍ. قَالَ: وَغَسَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ، ثُمَّ أَعَادَهُ فِيهَا، فَجَرَتِ الْعَيْنُ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ أَوْ قَالَ: غَزِيرٍ… حَتَّى اسْتَقَى النَّاسُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يُوشِكُ يَا مُعَاذُ إِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ أَنْ تَرَى مَا هَاهُنَا قَدْ مُلِئَ جِنَانًا.

“Sesungguhnya kalian -insya Allah- akan mendatangi mata air Tabuk esok hari, dan sesungguhnya kalian tidak akan mendatanginya sehingga siang sudah meninggi (waktu dhuha). Barangsiapa dari kalian mendatanginya, maka janganlah ia menyentuh airnya sedikit pun hingga aku tiba.” “Akhirnya kami datang dan ternyata ada dua orang yang telah mendahului kami. Mata air itu bagaikan tali sandal yang mengucurkan sedikit air.” Mu’adz berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya, ‘Apakah kalian berdua telah menyentuh sedikit dari airnya?’ Keduanya menjawab, ‘Betul,’ kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencerca keduanya, dan mengatakan berbagai hal kepada keduanya.’” Mu’adz berkata, “Kemudian mereka menyiduk air dari mata air sedikit demi sedikit, sehingga air tersebut terkumpul di suatu wadah.” Mu’adz berkata, “Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci kedua tangan juga muka di dalamnya, lalu beliau mengembalikan air tersebut ke dalam mata air, kemudian mata air itu memancarkan air dengan jumlah yang sangat banyak,” atau ia berkata, “Dengan melimpah,” …sehingga semua orang bisa memakainya. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hampir saja wahai Mu’adz! Seandainya umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat tempat ini dipenuhi dengan kebun-kebun.’” (HR. Muslim, kitab al-Fadhaa-il, bab Mukjizaatun Nabiyyi J (XV/40-41, Syarh Muslim)

Tabuk (bahasa Arab: تبوك‎) adalah ibu kota provinsi Tabuk, Arab Saudi bagian barat laut. Pada sensus tahun 2010, kota ini memiliki jumlah penduduk sebesar 534.893 jiwa. Tabuk dekat dengan perbatasan Yordania-Arab Saudi, kota ini merupakan pangkalan angkatan udara terbesar di Arab Saudi.

Dari kedua hadits diatas menjelaskan bahwa suatu saat negeri arab akan subur dengan tanaman dan banyak sungai mengalir, dan hadits pertama mengandung arti bahwa kesuburan tanah arab merupakan salah satu tanda akan datangnya kiamat. Pertanyaannya apakah dimasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ada wilayah di negeri arab yang subur? Jawabnya adalah ada yaitu negeri Thaif.

Thaif merupakan salah satu kota yang memiliki hawa sejuk, karena berada di lembah pegunungan Asir dan penunungan Al Hada. Kota yang terletak sekitar 67 kilometer atau 1 jam 45 menit dari Kota Makkah Al Mukarramah ini terkenal dengan perkebunan Delima, Kurma, sayuran lainnya, termasuk juga banyak tumbuh pohon Zaqqum, pohon berduri.

Hawa sejuk, layaknya seperti udara di Puncak Pas, Bogor, Jawa Barat ini, mulai terasa ketika detikcom bersama sejumlah wartawan yang tergabung dalam Media Center Haji PPIH Daerah Kerja Makkah melakukan perjalanan ke Thaif, Sabtu (19/12/2009) siang waktu Arab Saudi. Diperkirakan suhu udara di kawasan ini mencapai 20 derajat celsius, sehingga membuat nyes di kulit.

Jalan menuju Thaif, khususnya ketika melewati Pegunungan Asir dan Pegunungan Al Hada berkelok-kelok, panjang dan menanjak mengelilingi pinggiran pegunungan hingga puncaknya. Puncak pegunungan yang berbeda dengan Puncak, Bogor atau tempat lainnya di Indonesia. Pegunungan disana relatif tidak ada pepohonan, tandus, berbatu dan berpasir.

Namun, ketika memasuki kota Al Hada sebelum Thaif, sepanjang jalan baru ditemukan sejumlah pepohonan dan perkebunan kurma. Beberapa rumah tradisional juga berdiri di tengah-tengah perkebunan itu. Di sepanjang kawasan ini juga dipenuhi sejumlah tempat wisata bagi penduduk Arab Saudi. Di tempat ini juga terdapat kawasan yang dijadikan tempat ber-Miqot atau untuk berihrom haji atau umrah, yaitu di Wadi Sair Kabir.

Kesejukan kota Thaif banyak digunakan sebagai tempat peristirahatan dan pariwisata di musim panas. Bahkan para raja dan kerabatnya banyak membangun tempat-tempat peristirahatan di kawasan ini. Sehingga Thaif juga mendapat julukan Qaryah Al-Mulk atau Desa Para Raja. Di kota ini juga sering diselenggarakan pertemuan-pertemuan dan perjanjian-perjanjian bilateral, regional dan internasional.

Menurut informasi yang diketahui  para mukmin dan sejumlah literatur, sebenarnya di kota ini sering diselenggarakan perlombaan balap onta. Namun, menjelang musim dingin di antara bulan Oktober hingga Januari, di kawasan ini juga di kawasan Al-Safa, adalah musim Delima dan Bunga Anggrek.

Yang menarik, disana banyak tumbuh Pohon Zaqqum diantara perbukitan dari Thaif menuju Al-Safa. Pohon yang ditumbuhi duri-duri yang besar dan tajam. Pohon Zaqqum, memang tidak ada di Indonesia atau negara lainnya. Ini menakjubkan, ditambah lagi di dalam Al Quran Surah Al Waqi'ah ayat 52-56 tentang keberadaan Pohon Zaqqum. Di dalam ayat itu disebutkan bahwa para penghuni neraka kelak akan diberikan makanan dari Pohon Zaqqum. Para penghuni neraka akan diberi makanan yang luar biasa pahitnya.

Bicara negeri Thaif dan keindahannya, kita diingatkan pula akan peristiwa pahit yang pernah dialami oleg Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana riwayat berikut,

عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت للنبي صلى الله عليه وسلم هل أتى عليك يوماً كان أشد عليك من يوم أحد فقال لقد لقيت من قومك وكان أشد ما لقيت منهم يوم العقبة إذ عرضت نفسي على ابن عبد ياليل بن عبد كلال فلم يجبني إلى ما أردت فانطلقت على وجهي وأنا مهموم فلم أستفق إلا وأنا بقرن التعالب فرفعت رأسي فإذا أنا بسحابة قد أظلتني فنظرت فإذا فيها جبريل فناداني فقال إن الله قد سمع قول قومك لك وما ردوا عليك وقد بعث إليك ملك الجبال لتأمره بما شئت فيهم فناداني ملك الجبال فسلم علي فقال يا محمد ذلك لك فما شئت وإن شئت أن أطبق عليهم الأخشبين فقال النبي صلى الله عليه وسلم بل أرجوا أن يخرج الله من أصلابهم من يعبد الله لا يشرك به شيئاً‏.‏

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Adakah hari lain yang engkau rasakan lebih berat dari hari di perang Uhud?’ Nabi menjawab, ‘Ya, memang banyak perkara berat yang aku tanggung dari kaummu itu, dan yang paling berat ialah apa yang aku temui di hari Aqabah dulu itu. Aku meminta perlindungan diriku kepada putera Abdi Yalel bin Abdi Kilai, tetapi malangnya dia tidak merestui permohonanku! ‘Aku pun pergi dari situ, sedang hatiku sangat sedih, dan mukaku muram sekali, aku terus berjalan dan berjalan, dan aku tidak sadar melainkan sesudah aku sampai di Qarnis-Tsa’alib. Aku pun mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku terlihat sekumpulan awan yang telah meneduhkanku, aku lihat lagi, maka aku lihat Malaikat jibril alaihis-salam berada di situ, dia menyeruku, ‘Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaummu tadi, dan apa yang dijawabnya pula. Sekarang Allah telah mengutus kepadamu bersamaku Malaikat yang bertugas menjaga bukit-bukit ini, maka perintahkanlah dia apa yang engkau hendak dan jika engkau ingin dia menghimpitkan kedua-dua bukit Abu Qubais dan Ahmar ini ke atas mereka, niscaya dia akan melakukannya!‘ Dan bersamaan itu pula Malaikat penjaga bukit-bukit itu menyeru namaku, lalu memberi salam kepadaku, katanya, ‘Hai Muhammad!’ Malaikat itu lalu mengatakan kepadaku apa yang dikatakan oleh Malaikat Jibril AS tadi. ‘Berilah aku perintahmu, jika engkau hendak aku menghimpitkan kedua bukit ini pun niscaya aku akan lakukan!’ ‘Jangan… jangan! Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukan-Nya dengan apa pun !’, demikian jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Bukhari Muslim)

Musa bin Uqbah menyebut di dalam kitab ‘Al-Maghazi’ dari Ibnu Syihab katanya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah pamannya Abu Thalib, meninggal beliau keluar menuju ke Tha’if dengan harapan agar penduduknya akan melindunginya di sana. Maka beliau menemui tiga pemuka Tsaqif, dan mereka itu bersaudara, yaitu: Abdi Yalel, Khubaib dan Mas’ud dari Bani Amru. Beliau menawarkan mereka untuk melindunginya serta mengadukan halnya dan apa yang dibuat oleh kaumnya terhadap dirinya sesudah kematian Abu Thalib itu, namun bukan saja mereka menolak beliau, tetapi mereka menghalaunya dan memperlakukan apa yang tidak sewajarnya. (Fathul Bari 6:198 – Ibnu Ishak, Shahih Bukhari 1:458, dan berita ini dikeluarkan juga oleh Muslim dan Nasa’i).

Dalam keadaan sulit seperti itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ke langit dan mengucapkan perhohonan doa,

“اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك ، أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك”
“Ya Allah kepadamu kuadukan lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya kesanggupanku, kerendahan diriku berhadapan dengan manusia, wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang! Engkau adalah Pelindung orang-orang yang lemah dan Engkau juga Pelindungku, kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku? Ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, semuanya itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku.

Aku berlindung pada sinar wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau tumpahkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau Ridha (kepadaku), dan tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.” (HR. At-Thabrani / Lihat: Sirah Ibnu Hisyam 1/420).

Terakhir, ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُمْطَرَ النَّاسُ مَطَرًا عَامًّا وَلاَ تُنْبِتُ اْلأَرْضُ شَيْئًا

"Tidak akan tiba hari Kiamat hingga manusia dihujani dengan hujan secara merata, tetapi bumi tidak menumbuhkan sesuatu." (Musnad Ahmad III/140, Muntakhab Kanz).

Dalam riwayat lain, akan datang selama tiga tahun terjadi masa paceklik seperti sebuah hadits riwayat Abi Umamah ra. Jadi itulah kesimpulan awal terkait diantara  tanda-tanda kiamat. Adapun kapan terjadinya itu tidak penting, karena memang tidak ada dalil yang kuat untuk informasi waktu kejadiannya. Yang terpenting adalah apa yang sudah kita kerjakan sebagai persiapan dan apa yang harus dilakukan jika hal itu terjadi. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 25 Maret 2020

KAJIAN TENTANG PEMULASARAAN JENAZAH BERESIKO (PENYAKIT MENULAR)



Korban meninggal dunia akibat pandemi virus corona (COVID-19) semakin bertambah, khususnya di Indonesia.

Bagi yang beragama islam, lazimnya jenazah akan dimandikan, dikafani dan disholatkan sebelum akhirnya dimakamkan. Lalu apakah jenazah pasien Covid-19 yang Muslim harus dimandikan dan dirawat sebagaimana aturan syariat terhadap jenazah biasa, lalu bagaimana cara memandikan dan menguburnya?

Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan penjelasan secara fikih pengurusan jenazah korban COVID-19. Di dalam Islam, manusia diposisikan sebagai penerima anugerah karamah insaniyah (martabat kemanusiaan). Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. Al Isra:70)

"Karamah insaniyah tersebut salah satunya tercermin dalam tajhizul mayyit (تجهيز الميت) pemulasaraan jenazah yaitu memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkan yang menjadi kewajiban fakultatif (فرض كفاية) yang tertuju kepada umat Islam untuk setiap mayit Muslim," kata ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, KH. M. Nadjib Hassan dalam keterangan resmi, Selasa (24/3/2020)

Lebih lanjut, kata beliau, pemulasaraan jenazah (التجھیز) diatur di dalam syari'at dengan begitu baik dan sempurna yang benar-benar mencerminkan posisi manusia sebagai makhluk terhormat.

Namun di sisi lain, yakni terkait dengan jenazah yang terkena wabah COVID-19 perlu lebih hati-hati dalam memperlakukannya. Sebab virus tersebut akan dengan cepat menular, ketika seseorang berhadapan langsung dengan pasien atau jenazah yang terjangkit virus Corona.

"Perlakuan terbaik terhadap jenazah kadang tidak dapat diwujudkan karena kendala tertentu, seperti soal memandikan jenazah pasien COVID-19, yang mana kalau dilakukan dengan standar normal diduga kuat dapat menimbulkan bahaya bagi yang hidup terutama bagi yang melaksanakannya, yaitu penularan virus," kata beliau.

Adapun cara memandikan jenazah pasien COVID-19 dengan menggunakan peralatan yang bisa mencegah penularan penyakit tersebut, yakni memandikan dilakukan oleh orang yang profesional atau petugas kesehatan dengan alat pelindung diri. Kemudian memastikan keamanannya (menggunakan pakaian pelindung, sarung tangan, masker, dan desinfeksi diri) agar tidak tertular virus dari jenazah.

Karena kondisi darurat atau sulit tersebut, maka boleh mengambil langkah kemudahan (al-masyaqqoh tajlibut taisir). Dan termasuk bagian dari prinsip ajaran Islam adalah menghilangkan kesulitan. Allah berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan Dia tidak pernah sekalipun menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS. Al-Hajj : 78)

Hukum memandikan jenazah dari kalangan mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah sendiri menjelaskan,

حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لايسع عامتهم، وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية أجزأ إن شاء الله تعالى 

“Merupakan hak wajib seseorang atas manusia lainnya adalah memandikan mayit, menshalatinya dan menguburkannya, meski kewajiban ini tidak memuat semua orang. Jika sudah ada pihak yang melakukannya, maka hal itu sudah cukup bagi kewajiban sebagian lainnya, insyaallah ta’ala.” (Al-Umm, Juz 1, halaman 312). 

Imam Nawawi rahimahullah, salah satu ulama otoritatif dari kalangan Mazhab Syafi’i, menjelaskan,

وغسل الميت فرض كفاية بإجماع المسلمين، ومعنى فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين، وإن تركوه كلهم أثموا كلهم، واعلم أن غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف 

“Memandikan mayit adalah fardhu kifayah secara ijma’. Makna fardhu kifayah ini adalah bahwa bila sudah ada seseorang yang melakukan dengan niat kifayah, maka gugur tanggungan bagi yang lain. Dan jika sama sekali tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sesungguhnya memandikan mayit, mengafaninya, menshalatinya, adalah fardhu kifayah, tanpa khilaf.” (Al-Majmu Syarah al-Muhadzab, Juz 5, halaman 128). 

(ﻗﻮﻟﻪ ﺃﻭ ﺧﻴﻒ ﺇﻟﺦ) ﻋﻄﻒ ﻋﻠﻰ ﺗﻬﺮﻯ ﺃﻱ ﻭﻟﻮ ﻏﺴﻞ ﺗﻬﺮﻯ اﻟﻤﻴﺖ ﺃﻭ ﺧﻴﻒ ﻋﻠﻰ اﻟﻐﺎﺳﻞ ﻣﻦ ﺳﺮاﻳﺔ اﻟﺴﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺮﺩﻱ

"Jika ada jenazah bila dimandikan tubuhnya akan mengelupas atau dikhawatirkan menularnya racun kepada orang yang memandikan, maka jenazah tersebut ditayamumi" (Syekh Ibnu Hajar, Tuhfah Al Muhtaj 3/184)

Ada sejumlah pandangan lain mengenai beberapa praktik memandikan jenazah dalam Islam, khususnya bila kondisi mayat tidak dalam kondisi normal. Maksud dari tidak dalam normal adalah, mayat tersebut merupakan kasus terbakar, korban tenggelam, kecelakaan, atau bahkan terkena wabah menular semisal HIV AIDS, antraks atau korban COVID 19. Pandangan ini didasarkan pada beberapa hasil identifikasi menurut bisa atau tidaknya mayit dimandikan, sehingga perlu dilakukan tajhiz mayyit (pemulasaraan jenazah) menurut kadar memungkinkan dilakukan.

*Pertama, mayat dalam kondisi masih bisa dimandikan.*

Gambaran dari kondisi mayat bisa dimandikan adalah bilamana anggota badannya masih utuh, akan tetapi tidak mungkin untuk dilakukan dalku (membersihkan mayat). Misalnya, untuk kasus mayat yang gosong karena terbakar, namun jasadnya masih utuh. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,

(فَرْعٌ) قالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ وَالْأَصْحَابُ إذَا تَعَذَّرَ غُسْلُ الْمَيِّتِ لِفَقْدِ الْمَاءِ أَوِ احْتَرَقَ بِحَيْثُ لَوْ غُسِّلَ لَتَهَرَّى لَمْ يُغَسَّلْ بَلْ يُيَمَّمُ وَهَذَا التَّيَمُّمُ وَاجِبٌلِأَنَّهُ تَطْهِيرٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ فَوَجَبَ الانْتِقَالُ فِيهِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنْ الْمَاءِ إلَى التَّيَمُّمِ كَغُسْلِ الْجَنَابَةِ وَلَوْ كَانَ مَلْدُوغًا بِحَيْثُ لَوْ غُسِّلَ لَتَهَرَّى أَوْ خِيفَ عَلَى الْغَاسِلِ يُمِّمَ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَذَكَرَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ وَآخَرُونَ مِنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ بِهِ قُرُوحٌ وَخِيفَ مِنْ غُسْلِهِ إسْرَاعُ الْبِلَى إلَيْهِ بَعْدَ الدَّفْنِ وَجَبَ غُسْلُهُ لِأَنَّ الْجَمِيعَ صَائِرُونَ إلَى الْبِلَى هَذَا تَفْصِيلُ مَذْهَبِنَا وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ فِيمَنْ يُخَافُ مِنْ غُسْلِهِ تَهَرِّي لَحْمِهِ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى غُسْلِهِ عَنْ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكٍ يُصَبُّ عَلَيْهِ الْمَاءُ وَعِنْدَ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ يُيَمَّمُ قَالَ وَبِهِ أَقُولُ

(Sub Masalah) Penulis -Abu Ishaq al-Syairazi- dan para Ashhab berkata: “Apabila tidak dimungkinkan memandikan mayit karena tidak ada air atau karena korban kebakaran, yang  jika dimandikan akan jenazah akan rontok, maka tidak boleh dimandikan, namun ditayamumi.” Tayamum ini hukumnya wajib, karena berfungsi menyucikan tanpa terkait membersihkan najis. Karenanya wajib beralih pada tayamum ketika tidak ada air, seperti mandi janabat. Kalau jenazah itu mati karena sengatan binatang berbisa, yang sekira bila dimandikan akan rontok atau berbahaya bagi yang memandikannya, maka jenazah harus ditayamumi karena alasan yang telah kami sebutkan.   Al-Imam al-Haramain, al-Ghazali dan ulama lain dari Khurasan menyebutkan, jika pada jenazah ada luka yang bernanah, di mana jika dimandikan dikhawatirkan mempercepat hancurnya jenazah setelah dikuburkan, maka tetap wajib memandikannya, karena semua orang akhirnya akan hancur. Begitu perincian madzhab kita.   Ibn al-Mundzir meriwayatkan pendapat dari Imam al-Tsauri dan Imam Malik tentang jenazah yang dikhawatirkan bila dimandikan menyebabkan dagingnya rontok, dan orang-orang tidak mampu memandikannya: “Cukup dituangi air.” Sedangkan menurut Imam Ahmad dan Ishaq, jenazah itu ditayamumi. Dan Ibn al-Mundzir berkata: “Dengan pendapat ini aku berpendapat.” (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid V, h. 137).

*Kedua, mayat dalam kondisi tidak bisa dimandikan*

Maksud dari kondisi tidak bisa dimandikan adalah disebabkan karena kondisinya hancur, sehingga bila dituangi air, maka justru anggota-anggota tubuhnya terlepas satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, maka cara melakukan penanganan terhadap mayat adalah dengan ditayamumi.

إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غُسِّل لتَهَرَّى، لم يُغَسَّل بل يُيَمَّم ، وهذا التيمم واجب ؛ لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة ، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم كغسل الجنابة ، ولو كان ملدوغاً بحيث لو غُسَّل لتَهَرَّى أو خيف على الغاسل يُمِّم لما ذكرناه

“Bila sulit memandikan mayat sebab ketiadaan air atau mayit gosong sebab terbakar, dengan sekira jika dimandikan justru berakibat merusak, maka ia tidak dimandikan, melainkan cukup ditayamumi. Hukum mentayamumi ini adalah wajib, karena tayamum menjadi wasilah bagi penyucian yang tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis. Kewajiban berpindah pada mentayamumi ini juga berlaku bagi pihak yang tidak bisa tersentuh air, seperti layaknya kasus jinabat. Meskipun kondisi mayat itu hancur, dengan sekira bila dimandikan maka menjadi terkelupas, atau timbul kekhawatiran bagi orang yang memandikannya, maka cukup dengan mentayamumkannya, sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5, halaman 178 dan I’anatu al-Thalibin, Juz 2, halaman 127).

*Ketiga, untuk kondisi mayit yang masih bisa dimandikan akan tetapi berbahaya karena timbulnya kekhawatiran bagi yang memandikan, seperti tertular penyakit dan sejenisnya.*

Jika menghadapi mayat dalam kondisi semacam ini, maka ada tahapan-tahapan yang penting untuk diupayakan, antara lain:

1. Mengupayakan mayat agar bisa dimandikan. Misalnya dengan jalan petugasnya memakai perlengkapan yang dibenarkan secara medis dan memenuhi standar keamanan dan kesehatan
2. Mengkondisikan mayat untuk dimandikan di tempat yang khusus dan tidak membahayakan bagi orang lain, seperti sebab percikan airnya atau yang semisalnya
3. Bila dua prosedur di atas tidak bisa dilakukan, maka solusi terakhir adalah dengan jalan mentayammumkannya. Akan tetapi, bagi pihak yang mentayammumkan, hendaknya juga tetap memakai prosedur baku yang memenuhi standar kesehatan.

Dasar hukum dari pelaksanaan ini adalah sebagaimana yang disampaikan oleh al-Rafii dalam Syarhu al-Kabir dan mendapat dukungan dari al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, yang menyatakan:

وصب على مجروح أمكن الصَّب عليه من غير خشية تقطُّعٍ أو تزلعٍ ماءٌ من غير ذلك ؛ كمجدور ونحوه ، فيُصبُّ الماء عليه إن لم يَخَفْ تزلُّعه أو تقطُّعه فإن لم يُمكن بأن خيف ما ذَكَرَ يُمِّمَ

“Cukup dituangkan air pada mayat dengan wabah menular sekedar kemampuan menuangkannya, tanpa unsur khawatir terlepasnya anggota badan mayat, atau dirusakkan oleh air, dan semacamnya. Seperti orang yang tertimpa cacar misalnya, maka cukup dituangkan air ke badan mayat, jika tidak takut rusaknya badan mayat atau terpotongnya. Namun, jika khawatir lepas, atau rusaknya mayat, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka ditayamumi.” (Al-Syarhu al-Kabir li al-Rafii, Juz 4, halaman 410).

Walhasil, mayat muslim adalah wajib untuk dimandikan karena memandikan adalah merupakan perintah nash. Akan tetapi, pelaksanaan kewajiban, juga hendaknya tetap memperhatikan standart prosedur keamanan, karena ada nash juga yang melarang seseorang untuk menjerumuskan diri dalam kerusakan.

*Tata cara pemakaman jenazah beresiko penyakit menular semisal HIV AIDS, antraks, korban virus corona dan semisalnya*

Sesuai ilmu yang penulis dapatkan saat pelatihan pemulasaraan jenazah beresiko penyakit menular di RS Islam Cempaka Putih (YARSI) beberapa tahun lalu bahwa sebelum dimandikan dan dimakamkan, biasanya dilakukan penyiraman atau penyemprotan cairan klorin (larutan campuran antara air dan kaporit atau bayclin) atau disinfektan pada jenazah dan mendiamkannya selama 10-15 menit untuk mematikan bakteri dan virus yang ada pada jenazah, karena secara medis bakteri dan virus itu akan tetap hidup dalam tubuh jenazah selama 8 jam dari kematiannya. Ini juga berlaku untuk petugas medis atau amil jenazah yang akan menangani jenazah. Selain menyemprotkan disinfektan, untuk menjaga tidak adanya penularan, petugas medis atau amil jenazah harus menggunakan pakaian dan alat pelindung universal precaution (UP), serta menerapkan tata cara pencegahan lainnya, seperti merendam semua perlengkapan UP dalam larutan klorin, mencuci tangan dan mandi dengan sabun setelah menangani jenazah atau mengubur dan membakar peralatan tersebut jika tidak digunakan lagi.

Menteri Agama, Fachrul Razi, menuturkan, untuk jenazah muslim atau muslimah, pengurusan jenazah harus tetap memperhatikan ketentuan syariah yang dianjurkan dan menyesuaikan petunjuk rumah sakit.

Dalam hal ini, untuk pelaksanaan shalat jenazah, Menag mengimbau agar dilakukan di Rumah Sakit, tempat korban meninggal. Jika tidak, shalat jenazah bisa dilakukan di masjid yang sudah dilakukan proses pemeriksaan sanitasi secara menyeluruh. Shalat pun dilakukan tanpa menyentuh jenazah. Demikian halnya dalam pemakaman jenazah yang harus diperhatikan adalah masalah kesehatan dan keselamatan para petugas khususnya juga masyarakat luas dengan tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap si mayit. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 24 Maret 2020

KAJIAN TENTANG PENYELAMAT MANUSIA DUNIA AKHIRAT


Setiap manusia menginginkan keselamatan dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak, sesuai dengan doa yang diajarkan oleh Allah 'Azza wa Jalla di dalam Al-Qur’an, yaitu, “Ya Allah berikanlah kami keselamatan dan kebagiaan hidup didunia dan keselamatan kehidupan di akhirat serta hindarilah kami dari azab api neraka”. (QS. Al-Baqarah : 201)

Oleh karena itu perlu usaha dan ikhtiar secara sungguh-sungguh dan ikhlas agar kita dapat meraih dambaan tersebut. Ada empat hal yang dapat menyelamatkan hidup manusia, baik di dunia maupun diakhirat nanti, yaitu kita harus selalu ingat kepada Allah dimanapun kita berada, kita harus selalu ingat akan akhir kehidupan yaitu mati, kita harus melupakan kebaikan yang pernah kita lakukan untuk menghindari sifat ria dan kita harus melupakan kejahatan orang pada kita agar kita tidak memiliki sifat pendendam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيَةُ اللّهِ فِي السِّرِّ وَ الْعَلَانِيَةِ، وَالْعَدْلُ فِي الغَضَبِ والرِّضَا، وَالقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَ الغِنَى (رواه الطبراني عن أنس بن مالك)

Rasulullah Shallallahu wa ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga hal yang akan mendatangkan keselamatan, "Takut kepada Allah Ta’ala dalam kesendirian dan keramaian,  berlaku adil dalam keadaan ridha dan benci,  dan berhemat dalam keadaan faqir (miskin) dan kaya.” (HR. Thabrani dari Anas bin Malik)

Rasulullah Shallallahu wa ‘alaihi wa sallam pernah memaparkan dua hal kontadiktif ketika bercerita di hadapan sahabatnya tentang laki-laki yang bergelimang dosa sepanjang hidupnya.

عن أبي هريرة، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: ((أسرف رجلٌ على نفسه، فلما حضره الموتُ أوصى بنيه فقال: إذا أنا مت، فأحرقوني، ثم اسحقوني، ثم اذرُوني في الريح في البحر، فوالله لئن قدَر عليَّ ربي ليعذبني عذابًا ما عذَّبه به أحدًا، قال: ففعلوا ذلك به، فقال للأرض: أدِّي ما أخذتِ، فإذا هو قائم، فقال له: ما حملكَ على ما صنعتَ؟ فقال: خشيتُك يا رب - أو قال: مخافتك - فغفر له بذلك))؛ رواه الشيخان واللفظ لمسلم، باب في سعة رحمة الله -تعالى- وأنها سبَقت غضبَه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Seorang lelaki telah melampaui batas karena kelakuannya, lelaki tersebut berwasiat kepada keluarganya agar saat meninggal nanti jenazahnya dibakar.

Tak hanya itu, ia juga berpesan kepada anak-anaknya agar usai hangus dilalap api, sebagian abu jasadnya dibuang ke daratan, sebagian lain di lautan. Wasiat ini muncul dari ketakutan mendalam. Si lelaki sadar bahwa Allah 'Azza wa Jalla kelak menyiksanya, dan skenario pembakaran dan pembuangan abu tersebut adalah siasat menghindari siksaan itu.

Dosa-dosanya menggunung, sementara kebaikannya nihil. Ia berharap bisa lolos dari azab berat dengan menghilangkan jejak jasmani. Ketika kematian itu telah tiba, wasiat pun dijalankan dengan baik oleh putra-putranya.

Allah 'Azza wa Jalla yang Maha Kuasa. Saat orang tersebut meninggal dunia, Allah memerintahkan daratan dan lautan untuk menghimpun abu itu dan menghidupkannya kembali.

Allah bertanya kepada si laki-laki, "Kenapa kau melakukan hal ini?" "Karena khasyyah (takut), ya Rabb, dan Engkau lebih mengetahuinya."

Rasulullah mengabarkan bahwa lelaki itu akhirnya mendapat ampunan dari Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kisah ini tertuang dalam sejumlah hadits antara lain Shahih Muslim (4/2111) yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri (nomor 2756, 2757), juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari di beberapa tempat dalam Shahih Bikhari.

Lalu, dimana letak kontradiksinya? Di satu sisi lelaki itu berlumuran dosa namun di sisi lain menjelang kematiannya ia melakukan ibadah besar, yakni khasyyatullah (takut kepada Allah).

Rahmat Allah selalu lebih besar dari dosa-dosa hamba-Nya. Karena itu harapan akan kasih sayang dan ampunan-Nya senantiasa terbuka selama seorang hamba tulus menaruh harap dan ketundukan.

Kata khasyyah dalam Al-Qur'an diidentikkan dengan sifat nabi dan ulama. Artinya, ketakutan tersebut bukan semata cemas akan bahaya sesuatu, tetapi dilandasi pula oleh ilmu dan pengagungan terhadap Allah.

Ketahuilah bahwa manusia memiliki sistem pertahanan yang menjadi tameng untuk menangkal zat-zat asing masuk ke dalam tubuh. Zat-zat asing ini berbahaya bagi tubuh, bahkan bisa sampai bersifat membunuh. Sistem pertahanan tubuh ini bernama antibodi. Antibodi inilah yang bertugas melawan bakteri, virus, parasit, dan lain sebagainya.

Seorang muslim juga memiliki sistem pertahanan lain, yang berfungsi untuk membentengi dirinya dari dosa dan maksiat. Sistem pertahanan itu bernama khasyatullah, rasa takut kepada Allah. Takut itulah yang menjadikannya gentar untuk menerjang larangan-larangan Tuhannya. Takut itu pula yang membisikkan ke hatinya untuk urung mengeksekusi niatan-niatan buruk yang telah ia rencanakan. Takut itu pula yang meluapi relung hatinya dengan perasaan selalu diawasi oleh Sang Pencipta. Takut itu pula yang menyesaki jiwanya dengan kesadaran bahwa tidak ada satupun yang terluput dari penglihatan Tuhannya.

Ada kalanya sistem pertahanan tubuh yang bernama antibodi tadi rapuh, sehingga penyakit datang menjangkiti. Demikian halnya dengan sistem pertahanan jiwa yang telah kita sebutkan, ada saat dimana pertahanan itu rapuh. Iman manusia fluktuatif, adakalanya iman itu melemah sehingga khasyyatullah memudar. Maka disaat itulah tameng dosa menjadi rapuh, sehingga diri dikuasai setan dan nafsu, kemudian terjatuhlah manusia dalam dosa dan kesalahan. Sebab-sebab lain yang dapat melemahkan sistem pertahanan jiwa dari dosa adalah cinta dunia, lalai, teman yang buruk, dan meremehkan kewajiban.

Antibodi manusia bisa diperkuat dengan pola hidup sehat dan asupan makanan yang bergizi. Khasyyatullah pun bisa kita tingkatkan dengan beberapa sebab, diantaranya :

*1. Berdzikir.*

Allah ta’ala berfirman,

الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

“Dan mereka (orang-orang yang beriman) apabila disebut nama Allah, maka takutlah hati mereka.” (QS. Al-Anfal : 2)

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Hanya ulama (orang-orang yang berilmu) saja yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya dan Allah Maha Perkasa lagi Pengampun”. (QS. Fathir : 28)

Ibnu Katsir menafsirkan,

كلما كانت المعرفة للعظيم القديم أتم، والعلم به أكمل، كانت الخشية له أعظم وأكثر

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Inti dari ilmu adalah khasyyatullah, rasa takut kepada Allah.”

*2. Membayangkan pedihnya siksa Allah bagi hambanya yang durhaka.*

Allah ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شديد

“Dan begitulah siksa Tuhanmu terhadap pemukiman-pemukiman yang zalim. Sungguh siska-Nya pedih lagi kuat.” (QS. Huud : 102)

*3. Mengingat kematian.*

Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,”Perbanyaklah mengingat sang Penghancur Kelezatan (kematian).”

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, sudah menjadi kebiasaan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam apabila beranjak dari sebuah majelis, Beliau berdoa untuk para sahabat yang hadir,

اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا

"Ya Allah bagikan kepada kami rasa takut kepadamu, yang membentengi kami dari bermaksiat kepadamu. (Dan juga bagikan kepada kami) ketaatan, yang dengannya Engkau sampaikan kami pada surga-Mu. (Dan juga bagikan kepada kami) keyakinan, yang dengannya Engkau ringankan atas kami musibah-musibah di dunia." Aamiin
Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 20 Maret 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MERENGGANGKAN SHAF KARENA DARURAT VIRUS CORONA


Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan atau rasa takut dan kekhawatiran tertular wabah penyakit yang menular dan mematikan seperti virus corona yang sudah menelan banyak korban jiwa.

Ulama bersilang pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama semisal Imam As-Suyuthi memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.” (QS. Al-An'am : 119)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 173)

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم

“Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 3).

Di antara landasan kaidah ini dari hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa datang seoramg laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِى قَالَ « فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِى قَالَ « قَاتِلْهُ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِى قَالَ « فَأَنْتَ شَهِيدٌ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ قَالَ « هُوَ فِى النَّارِ »

“Ya Rasulallah, apa pendapat engkau apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.” (HR. HR. Bukhari: 6888, dan Muslim: 2158)

Imam al-Zuhailiy menganggap bahwa kaidah darurat yang dianggap penting ada 8, yaitu :

المشقة تجلب التيسير

1. "(Kesulitan itu menarik kemudahan)"

Kaidah ini memberi penjelasan bahwa kesulitan itu menjadi sebab bagi kemudahan, dan mengharuskan adanya toleransi di waktu kesempitan. Berdasarkan ini, maka yang dimaksud kesulitan (masyaqqah) di sini adalah kesulitan yang menghendaki adanya keringanan dan di luar dari kebiasaan.

إذا ضاق الأمر اتسع

2. "(Apabila timbul kesukaran maka hukumnya menjadi lapang)"

Pengertian kaidah tersebut adalah bahwa terjadi masyaqqah, sedangkan orang yang merasa sempit karena adanya ketetapan hukum syarak dalam keadaan biasa, maka mereka dibenarkan mengambil rukh¡ah tak terikat dengan kaidah-kaidah umum yang bersifat menyeluruh.

الضرورة تبيح المحظورات

3. "(Darurat itu menghilangkan larangan)"

Artinya keadaan-keadaan darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak itu membuat seseorang boleh mengerjakan yang terlarang dalam syarak.

الضرورة تقدر بقدرها

4. "(Darurat itu dinilai berdasarkan kadarnya)"

Pengertian kaidah ini adalah setiap hal yang dibolehkan karena darurat itu, baik itu berwujud pelaksanaan perbuatan dan meninggalkan perbuatan, maka semua itu dibolehkan dalam batas untuk menghindari kemudaratan dan hal yang menyakitkan saja, tidak lebih dari itu.

ما جاز لعذر يبطل بزواله

5. "(Sesuatu yang dibolehkan karena uzur akan menjadi batal setelah hilang masa darurat)"

Kaedah ini dipraktekkan ketika menghadapi darurat, dan sesuatu yang dilakukan setelah masa darurat.

الإضطرار لا يبطل حق الغير

6. "(Keadaan terpaksa tidak dapat membatalkan hak orang lain)"

Sekalipun keadaan terpaksa itu merupakan salah satu sebab dibolehkannya melakukan perbuatan yang dilarang, seperti dibolehkannya memakan bangkai, darah, meminum khamar, tetapi tidak menggugurkan hak orang lain secara materi.

الميسور لايقسط بالمعسور

7. "(Kemudahan itu tidak hilang karena kesukaran)"

Maksudnya ialah bahwa sesuatu yang diperintahkan, tetapi tidak dapat dikerjakan secara sempurna sesuai dengan perintah kecuali sebagiannya saja, maka kewajiban itu jatuh pada sebagian yang dapat dilakukan itu, dan tidak dapat ditinggalkan karena ditinggalkannya yang sulit.

الحاجة العامة والخاصة تنزل منزلة الضرورة

8. "(Kebutuhan umum atau khusus menduduki posisi darurat)"

Kebutuhan vital yang bersifat umum ataupun khusus, mempunyai pengaruh dalam perubahan ketetapan hukum, sebagaimana halnya darurat. Meskipun demikian darurat lebih kuat daripada kebutuhan dalam menyebabkan perubahan hukum asal, karena darurat merupakan suatu keadaan yang jika dilawan akan berakibat bahaya dan kemudaratan bagi keselamatan jiwa dan yang lainnya.

Penularan virus corona (Covid-19) yang begitu cepat mendorong diperlukannya langkah pencegahan dan antisipasi agar virus ini tidak semakin menyebar luas menginfeksi masyarakat. Langkah pencegahan ini juga turut mempengaruhi cara shalat berjamaah.

Di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, shalat wajib berjamaah dilakukan dengan menerapkan konsep social distancing atau berjarak satu meter antarshaf. Jamaah juga memberi jarak yang cukup dengan jamaah di sampingnya.

Hal serupa dilakukan Muslim di Sudan. Sesuai imbauan di negara itu, jarak shaf antar jamaah justru harus berjauhan dengan jarak minimal 1,5 meter.

Lantas, bagaimana hukum shalat berjamaah dengan shaf berjarak ini? Apakah itu tetap sah dalam kaidah fikih?

Hal ini dijelaskan dalam kitab Minhaj al-Qawim, bahwa shalat berjamaah tetap sah jika mereka berdua (imam dan makmum) berada di dalam satu masjid atau beberapa masjid, yang pintu-pintunya terbuka atau jika ditutup tidak dikunci mati (dipaku).

Shalat berjamaah juga sah jika masing-masing masjid berjamaah dengan adanya seorang imam, muadzin dan jamaah khusus, meskipun jarak mereka berjauhan. Misalnya jarak di antara mereka lebih dari 300 hasta.

Di dalam kitab Nihayah al-Zain juga disebutkan, jika imam dan makmum berada di dalam satu masjid yang sama, shalat berjamaah mereka sah, sekalipun jarak shaf mereka jauh, bahkan lebih dari 300 hasta.

Adapun terkait perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meluruskan shaf beliau bersabda,

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ )) .

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433]

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”

وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ .

وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434]

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Dan keadaan salah seorang, dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan kakinya dengan kaki rekannya."

Menurut Ibn Hajar, jawabannya: Tidak. Redaksinya di dalam al-Manhaj al-Qawim, dengan Matannya,

(ويستحب تسوية الصفوف والأمر بذلك لكل أحد وهو من الإمام بنفسه أو مأذونه آكد للاتباع، مع الوعيد على تركها، والمراد بها إتمام الأول فالأول، وسدُّ الفرَج وتحاذي القائمين فيها .. فإن خولف في شئ من ذلك كُره) انتهى

“Disunahkan merapikan barisan. Perintah itu berlaku untuk setiap orang. Mulai dari imam sendiri, atau yang diseru, lebih tegas untuk mengikuti. Dengan ancaman bagi yang meninggalkannya. Maksudnya adalah menyempurnakan shaaf yang pertama, dan seterusnya. Menutup celah, merapatkan tumit orang yang berdiri di sana.. Jika itu dilanggar, maka hal itu makruh (tidak disukai).”

At-Tarmasi memberikan komentar pernyataan beliau (Ibn Hajar) (Juz IV/41),

(أي: وفاتته فضيلة الجماعة عند الشارح، وعند الشهاب الرملي: كل مكروهٍ من حيث الجماعة مفوِّتٌ لفضيلتهاإلا تسوية الصفوف) انتهى.

“Maksudnya, keutamaan jamaahnya hilang menurut pensyarah. Menurut as-Syuhab ar-Ramli, “Semua yang dimakruhkan dari segi berjamaah bisa menghilangkan keutamaannya (jamaah), kecuali merapikan barisan.”

Ada beberapa hadits yang berisi perintah merapatkan shaf ketika shalat berjamaah jangan sampai renggang sehingga setan menempatinya,

*Pertama,* dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan shaf shalat jamaah dengan memerintahkan,

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Rapatkan shaf kalian, rapatkan barisan kalian, luruskan pundak dengan pundak. Demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sungguh aku melihat setan masuk di sela-sela shaf, seperti anak kambing.” (HR. Abu Daud 667, Ibn Hibban 2166).

*Kedua,* hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan shaf shalat jamaah. Beliau memerintahkan makmum,

أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلاَئِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِى أَيْدِى إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

"Luruskan shaf, agar kalian bisa meniru shafnya malaikat. Luruskan pundak-pundak, tutup setiap celah, dan buat pundak kalian luwes untuk teman kalian. Serta jangan tinggalkan celah-celah untuk setan. Siapa yang menyambung shaf maka Allah Ta’ala akan menyambungnya dan siapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya." (HR. Ahmad 5724, Abu Daud 666)

*Ketiga,* hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika merapatkan shaf, beliau mengatakan,

وَسُدُّوا الْخَلَلَ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ فِيمَا بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْحَذَفِ

“Tutup setiap celah shaf, karena setan masuk di antara shaf kalian, seperti anak kambing.” (HR. Ahmad 22263)

Kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطويق*

Rabu, 18 Maret 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MELAKSANAKAN SHALAT JUM'AT SAAT TERJADI WABAH PENYAKIT MENULAR


Dalam Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah Al-Muta’alliqah bi Al-Waba’ wa Ath-Tha’uun (hlm. 22) menyatakan bahwa meninggalkan shalat berjama'ah dan shalat Jum'at dibolehkan hanya ketika khawatir tertimpa bahaya yang sudah terlihat jelas bahayanya dan yakin, atau yakin akan terkena virus. Adapun jika baru sangkaan, maka tidak dibolehkan meninggalkan shalat jama'ah dan shalat jum'at. Yang menganggap bahaya ataukah tidak untuk berkumpul adalah para pakar dan pemerintah yang bertanggungjawab dalam hal ini.

Wabah juga pernah terjadi pada masa Rasulullah. Isolasi adalah salah satu cara beliau untuk meredam dampaknya bagi masyarakat. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menginstruksikan agar wabah penyakit menular diisolasi sehingga tidak menyebar.

Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalam. Beliau bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا 

"Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut." (HR. al-Bukhari) 

Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan,

أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ. فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ‏ ‏إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه‏.

Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Menurut Imam al-Waqidi saat terjadi wabah Tha’un yang melanda seluruh negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. Bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail.

Dalam fatwa terbarunya, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan hukum melaksanakan shalat Jumat di tengah wabah virus corona (Covid-19) yang sedang melanda dunia termasuk Indonesia.

Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 itu disampaikan Sekretaris MUI Asrorun Ni’am Sholeh di Kantor MUI, Jakarta, Senin (16/03/2020).

Berdasarkan fatwa itu, hukum shalat Jumat saat terjadinya wabah itu tergantung kondisi seseorang dan suatu daerah.

Misalnya, sebagaimana poin kedua dalam Ketentuan Hukum Fatwa tersebut, disebutkan, “Orang yang telah terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain.

Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.

Terkait dengan fatwa MUI tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,

قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ 

"Abu Salamah bin Abdurrahman berkata; saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat" (HR. al-Bukhari). 

Lalu bagaimana dengan shalat Jumat saat terjadi wabah? Ini menjadi pertanyaan yang banyak ditanyakan, terutama saat terjadi wabah Corona seperti saat ini. Dalam hal ini para ulama fiqih sebenarnya menetapkan larangan bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid sebab masjid merupakan salah satu pusat keramaian.

Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-Khatib asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj tentang hal ini menulis sebagai berikut,

وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ 

“Qadli Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya orang yang terkena penyakit judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari bercampur baur dengan masyarakat.” (al-Khatib asy-Syirbini,Mughni al-Muhtaj, I: 360). Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan alasan larangan tersebut sebagai berikut,

سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ 

“Sebab pelarangan bagi penderita penyakit semisal kusta adalah khawatir bahaya darinya. Karena itu, maka pelarangan ini menjadi hal wajib dalam konteks kusta tersebut”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I: 212). 

Larangan di atas sesuai dengan instruksi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi menginstruksikan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut,

عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ 

“Dari Ya'la bin 'Atha dari 'Amru bin Asy-Syarid dari bapaknya dia berkata; "Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit judzam (kusta). Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’" (HR. Muslim). 

Sebagaimana diketahui, baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung dengan beliau (kecuali untuk perempuan). Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya. Dari hal ini juga dapat dikiaskan tidak wajibnya menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit. 

Akan tetapi, apabila masjid dalam keadaan sepi, maka secara otomatis larangan mendekati masjid seperti di atas menjadi tidak berlaku. Dengan demikian, penderita penyakit menular diperbolehkan melakukan seluruh aktivitas di masjid tatkala sepi. Sama halnya ia juga diperbolehkan melakukan shalat Jumat atau shalat berjamaah ketika berada dalam ruang isolasi khusus yang tidak bercampur baur dengan orang lain. Syekh Ibnu Hajar menjelaskan,

وَأَنَّ الْمَدَارَ فِي الْمَنْع عَلَى الِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ فَلَا مَنْعَ مِنْ دُخُولِ مَسْجِدٍ وَحُضُورِ جُمُعَةٍ أَوْ جَمَاعَةٍ لَا اخْتِلَاطَ فِيهِ بِهِمْ 

“Bahwasanya yang menjadi pertimbangan dalam pelarangan adalah campur baur dengan masyarakat. Maka tidak ada larangan memasuki masjid dan menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah yang tidak ada campur baur di dalamnya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I, 212) 

Hanya saja perlu dicatat bahwa illat (alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular. Dengan demikian, apabila kosongnya masjid atau terdapatnya ruang isolasi di masjid belum bisa menjaga terjaminnya masyarakat dari penularan penyakit sebab virusnya dapat hidup dengan menempel di benda-benda fasilitas publik di masjid lalu menulari orang yang menyentuhnya, maka pelarangan tetap berlaku hingga para ahli yang kompeten menyatakan bahwa kondisi sudah aman. 

Kesimpulannya, mereka yang positif terkena penyakit menular dilarang untuk mendatangi pusat keramaian, salah satunya masjid, sehingga dengan demikian ia cukup shalat dhuhur di rumah. Adapun bagi masyarakat lain yang masih sehat, apabila tidak ada kekhawatiran timbul bahaya penularan penyakit saat shalat Jumat, maka selama itu pula shalat Jumat tetap wajib dilakukan. Sedangkan apabila menurut ahli yang kompeten dikhawatirkan terjadi penularan apabila hadir dalam shalat Jumat, maka shalat Jumat bagi mereka tidak wajib dikerjakan sesuai instruksi Nabi Muhammad agar mengisolasi wabah. Sebagai gantinya, ia harus menunaikan shalat dhuhur. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 17 Maret 2020

KAJIAN TENTANG BENARKAH BANGSA INDONESIA KETURUNAN NABI IBRAHIM AS DARI ISTRI NOMOR TIGA




Dalam beberapa kesempatan, kita sering mendengar kisah antara Nabi Ibrahim AS dan anak-istrinya, termasuk Nabi Ismail AS dan Nabi Ishaq AS, juga beserta ibu keduanya, yakni Hajar dan Sarah.

Hal ini membuat beberapa orang hanya mengetahui, bahkan meyakini bahwa Nabi Ibrahim AS hanya memiliki dua orang istri dan dua orang anak saja. Padahal di balik itu, Nabi Ibrahim juga memiliki beberapa istri dan mendapatkan keturunan dari istri-istri tersebut.

Sesungguhnya para ulama dalam bidang sejarah mengatakan bahwa beliau tidak hanya memiliki 2 istri melainkan 3 istri. Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau juga memiliki istri yang ke-4. Dan sekarang yang menjadi pertanyaan kita disini adalah siapakah istri yang ketiga tersebut, apakah memang pada istri yang ke-3 atau ke-4 memiliki silsilah turunan bangsa melayu dari keduanya ?

Dalam beberapa kitab menyebutkan dan salah satunya adalah kitab al-Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir (w. 774 H) misalnya, beliau mengutip karya Abul Qasim as-Suhaili yang berjudul at-Ta’rif wal A’lam, menyebutkan beberapa anak dan istri Nabi Ibrahim As dalam pembahasan khusus tentang anak-anak Nabi Ibrahim al-Khalil (Dzikru Auladi Ibrahim al-Khalil).

ذكر أولاد إبراهيم الخليل عليه وعليهم الصلاة والسلام

أول من ولد له إسماعيل من هاجر القبطية المصرية ، ثم ولد له إسحاق من سارة بنت عم الخليل ، ثم تزوج بعدها قنطورا بنت يقطن الكنعانية فولدت له ستة ؛ مدين ، وزمران ، وسرج ، ويقشان ، ونشق ، ولم يسم السادس . ثم تزوج بعدها حجون بنت أمين فولدت له خمسة ؛ كيسان ، وسورج ، وأميم ، ولوطان ، ونافس . هكذا ذكره أبو القاسم السهيلي في كتابه ” التعريف والإعلام

”Anak pertama dari Nabi Ibrahim adalah Nabi Ismail dari istri beliau bernama Hajar Al-Qibtiyah Al-Misriyyah. Kemudian lahirlah Nabi Ishaq dari istri beliau Sarah Binti ‘Am Al-Khalil, kemudian beliau menikah setelahnya dengan istri Qanturah binti Yaqthan Al-Kan’aniyah, Maka Qanturah melahirkan 6 orang anak, bernama Madyan, Zimran, Suraj, Yuqsan, Nusyaq dan anak yang ke-6 tidak diketahui namanya. Sedangkan Istri ke-4 beliau adalah Hajun binti Amin, kemudian ia melahirkan anak sebanyak 5 orang, yaitu Kisan, Suraj, Amim, Luthan, Nafis. Semua penjelasan ini telah disebutkan oleh Abu Qasim As-Suhaili didalam kitabnya At-Ta'rif wal I’lam." (Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Imam Ibnu Katsir juz 1 hal. 407 atau hal. 175 cetakan Maktabah Al-Ma'arif Beirut Mesir tanpa tahun)

Istri Nabi Ibrahim AS Hajar al-Qibthiyah al-Misriyah yang selama ini kita kenal sebagai ibu dari Nabi Ismail AS, yang pernah ditinggal Ibrahim di padang pasir tandus bersama bayi Ismail.

Sedangkan istri Nabi Ibrahim AS Sarah binti Paman Nabi Ibrahim AS. Ia merupakan ibu dari Nabi Ishaq AS, cikal bakal dari bangsa Yahudi.

Setelah itu, Nabi Ibrahim AS kembali menikah dengan istri ketiganya yang bernama Qanturah binti Yaqtan al-Kan’aniyah. Dari istrinya yang ketiga ini, Ibrahim mendapatkan enam orang anak, yaitu: Madyan, Zamran, Siraj, Yaqsyan, Nasq, dan yang keenam belum diketahui namanya.

Adapun istrinya yang keempat adalah Hajun binti Amin, yang dalam kitab al-Kamil karya Ibnul Atsir disebutkan Hajun binti Ahir. Dari Hajun, Nabi Ibrahim mendapatkan lima orang keturunan: Kaisan, Sauraj, Umaim, Luthan dan Nafis.

Empat orang itulah yang menjadi istri Nabi Ibrahim AS dengan seluruh keturunannya yang berjumlah tiga belas. Sebagai pengetahuan dan wawasan, tentu kita perlu mengetahui hal ini.

Para sejarawan dan para ulama menyepakati bahwa istri ketiga nabi Ibrahim adalah Qanturah, hal ini dapat dilihat didalam beberapa buku dan kitab, seperti yang telah ditulis oleh Abuya Hamka didalam : Tafsir Al-Azhar-nya (2015), hal. 263, kemudian oleh Maulana Muhammad Ali dalam Tafsirnya : Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir (2015), hal. 233, kemudian oleh Ahmad Suhelmi, dalam bukunya : Salib di Bulan Sabil (2007), hal. 229 dan beberapa riwayat lainnya. Kesimpulannya bahwa keberadaan Qanturah sebagai istri Nabi Ibrahim disini memang tertulis dalam sejarah bahwa beliau memiliki istri selain Dewi Hajar dan Sarah. 

Banyak riwayat menyebutkan bahwa dari istri ke-3 Nabi Ibrahim AS yang bernama Qanturah inilah yang disebut-sebut sebagai nenak moyang dari bangsa melayu Indonesia. Namun tidak sedikit para ulama lain membantah anggapan ini, mereka mengatakan bahwa Qanturah adalah nenek moyang dari bangsa Turki. Hal ini diungkapkan oleh pengarang kitab Anwar Al-Masyariq, nukilan kitab ini diambil oleh seorang ulama tafsir yang bernama Imam Ismail Haqqi Burusuwi, ia menulis catatan tersebut didalam kitab beliau bernama Tafsir Ruh Al-Bayan (hal. 238, darul al-fikri).

Sedangkan yang mengatakan bahwa Qanturah adalah nenek moyang dari bangsa melayu Indonesia adalah berasal dari pendapat ahli sejawaran melayu dunia dalam sebuah kongres yang pernah diadakan pada tahun 1995, hasil kongres itu menyimpulkan bahwa Qanturah adalah nenek moyang dari bangsa melayu, hal ini dapat dilihat pada hasil kongres tersebut yang telah dijadikan dalam sebuah artikel, pada halaman 68 tahun 1995.

Anggapan yang berpendapat bahwa Qanturah adalah nenek moyang dari bangsa Bani Jawi (yaitu sebutan untuk suku Jawa melayu, sunda, sumatra, dan bugis) adalah diperkuat dengan sebuah penelitian yang pernah diadakan oleh beberapa Profesor dari Universitas UKM Malaysia, hasil riset tersebut menyebutkan bahwa data tes DNA antara bangsa melayu atau umumnya Bani Jawi dengan DNA yang dimiliki oleh bangsa Euro-semetik yang selama ini diakui sebagai keturunan Nabi ibrahim keduanya memiliki kesamaan padad 27 % varian mediternanian, yaitu sebuah bangsa yang terletak pada pinggiran laut tengah, lokasi ini berada diantara Eropa dan Afrika.

Menurut sebuah manuskrip kuno, bangsa Melayu berasal dari keturunan Nabi Ibrahim AS dengan isteri ketiga beliau bernama Qantura/Siti Kenturah. Setelah wafatnya Sarah, Nabi Ishak AS telah merayu Nabi Ibrahim AS untuk menikah dengan ibu angkat beliau dari kerajaan Champa Kuno (bukan Champa Baru di era Angkor). Akhirnya Nabi Ibrahim AS setuju dan menikah dengan Siti Qantura (Kenturah) dan telah dikurniakan oleh Allah 6 orang anak yaitu Zimran, Jokshan, Medan, Midian, Ishbak dan Shuah. Anak-anak mereka inilah menjadi nenek moyang dari bangsa Melayu/ Nusantara/Bani Jawi. Melayu diambil dari perkataan 'Mala' (nama bangsa asli Kenturah (Qanturah). Nama ini sama dengan nama yang tertulis dalam manuskrip yang diteliti oleh Ralph Olssen.

Bukan itu saja, keturunan Qanturah (Kenturah) inilah yang banyak tinggal di Tanah Melayu, Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan Mindanao. Semua tempat ini merupakan tempat yang mempunyai tulisan kuno yang diadaptasi dari tulisan Semitik kuno. Tulisan Rencong adalah tulisan resmi Melayu.

Jawa dan Bugis juga mempunyai tulisan yang hampir serupa. Agama resmi Melayu adalah agama Jawi. Agama Jawi adalah agama Monotheisme Nabi Ibrahim AS. Penggalian purbakala di sebuah daerah di Jordania menemukan kota purba yang bernama Jawi/Jawa. Qanturah (Kenturah) bukanlah ber-etnis Melayu. Walaupun beliau melahirkan bangsa Melayu, Qanturah (Kenturah) adalah dari bangsa Mala. Melayu adalah bangsa Mala yang mempunyai darah keturunan Nabi Ibrahim AS.

Semua bangsa seperti Jakun, Iban, Kadazan, Melanau, Bajau, dan seumpamanya adalah merupakan bangsa asal Mala. DNA bagi bangsa ini adalah 01m-19a. Ini menerangkan Kenturah mungkin berasal dari satu kerajaan purba yang dulu pernah ada di Timur ketika zaman Nabi Ibrahim AS.

Dapat kita ambil kesimpulan bahwa sesungguhnya Qanturah atau Kenturah adalah istri ke-3 Nabi Ibrahim dari Bangsa Melayu, yaitu kita dari Indonesia dan Malaysia, hal ini karena Bani Jawi telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan Malaysia. Kedua, para sejarawan dan ulama mengakui bahwa Qanturah adalah nenek moyang bangsa Melayu. Ketiga, Qanturah ada yang menyebutkan berasal dari bangsa Sumatra, tidak diketahui dari wilayah mana, namun pendapat ini dapat dilihat dari beberapa riwayat sejarawan dan ulama secara lisan.

Adapun mengenai istri ke-4 Nabi Ibrahim AS tidak banyak riwayat dalam buku atau kitab disebutkan. Oleh karena itu disini hanya dibahas pada istri ke-3 beliau saja.

Inilah fakta mengenai Istri ke-3 Nabi Ibrahim AS. Dan semua yang diungkapkan diatas adalah berasal dari kutipan referensi buku dan kitab yang akurat.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan kisah Nabi Ibrahim AS dari berbagai sumber semoga bermanfaat. Aamiin

Bisa juga cek link : https://islamweb.net/ar/library/index.php?page=bookcontents&idfrom=40&idto=40&bk_no=59&ID=49

* والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG MEWASPADAI VIRUS MEMATIKAN THA'UN DAN CORONA (COVID 19)



Ada sebagian kecil kaum muslimin percaya bahwa wabah atau penyakit menular itu tidak ada. Hal ini mereka dasarkan pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ » . قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ »

“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al fa’lu?” “Kalimat yang baik (thoyyib)”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 5776 dan Muslim no. 2224)

Hal ini tentu kelihatannya bertentangan dengan kenyataan yang ada di mana kita melihat banyak sekali wabah dan penyakit yang menular, wabah ini bahkan bisa merenggut nyawa sekelompok orang dengan cepat.

Perlu diketahui ada dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa Islam juga mengakui adanya wabah penyakit menular.

Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit”. (HR. Muslim no. 2221)

Dan Sabda beliau,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”. (HR. Bukhari)

Maka kompromi hadits ini: maksud dari hadits pertama yang menafikan penyakit menular adalah penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya, tetapi menular dengan kehendak dan takdir Allah. Dalam penjelasan ulama dikatakan,

العدوى المنفية في الحديث هي: ما كان يعتقده أهل الجاهلية من أن العدوى تؤثر بنفسها، وأما النهي عن الدخول في البلد الذي وقع بها الطاعون فإنه من باب فعل الأسباب الواقية.

"Wabah yang dinafikan dari hadits tersebut yaitu apa yang diyakini oleh masyarakat jahiliyah bahwa wabah itu menular dengan sendirinya (tanpa kaitannya dengan takdir dan kekuasaan Allah). Adapun larangan masuk terhadap suatu tempat yang terdapat tha’un (wabah menular) karena itu merupakan perbuatan preventif (pencegahan)."

Hal ini diperkuat dengan hadits bahwa Allah yang menciptakan pertama kali penyakit tersebut. Ia tidak menular kecuali dengan izin Allah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat tiba-tiba semua onta tersebut terkena kudis, maka beliau bersabda:

فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ؟

“Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama ?” (HR. Muslim no.4116)

Maksud tujuan penulisan ini adalah supaya lebih sabar dan tetap waspada dalam melewati musibah atau supaya lebih tidak terlalu sering mengaduh pada kekurangan atau dalam hal yang kurang menyenangkan didalam hati. Karena musibah yang kita alami sekarang ini (kekhawatiran akan virus corona/covid 19) terhitung kecil jika dibandingkan dengan musibah-musibah yang terdahulu, yaitu Wabah Tha’un.

Memang belum jelas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Wabah Tha’un, akan tetapi dalam As-Shahih, Imam Muslim (Radliallaahu ‘anhu), meriwayatkan sedikit penggambaran tentang Wabah Tho’un, beliau meriwayatkan dari Abdulloh bin Maslamah (Abdurrahman Al-Haritsy) sarat dengan perawinya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,

الطاعون آية الرجز ابتلى الله عز وجل به ناسا من عباده فإذا سمعتم به فلا تدخلوا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تفروا منه

"Wabah Tho’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Alloh Azza Wajall yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah Tho’un, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika Tha’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya." (HR. Muslim)

Didalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith disebutkan bahwa tha’un berarti penyakit bengkak yang mewabah yang disebabkan oleh tikus yang kemudian berpindah ke tikus lainnya melaui kutu-kutu hingga ke tubuh manusia.

Sementara itu makna etimologinya menurut Imam Nawawi bahwa tha’un adalah bisul-bisul yang terdapat pada tubuh, ia bisa terdapat di ketiak, siku, tangan, jari jemari bahkan seluruh badan dengan disertai pembengkakan atau rasa sakit sekali. Bisul itu juga keluar dengan disertai memar yang menjadikan daerah sekitarnya berwarna hitam atau hijau atau merah keruh sehingga menyebabkan jantung berdebar-debar dan muntah-muntah.

Bagaimana dengan virus atau wabah mematikan model baru yang dikenal dengan virus corona atau covid 19?

Virus corona jenis baru ini pertama kali ditemukan di kawasan Wuhan, China. Kawasan itu pun kini terisolasi untuk antisipasi penyebaran virus yang makin meluas. Kota Wuhan di Isolasi akibat virus corona. Tak hanya membatasi perjalanan untuk mencegah penyebaran virus, Kota Wuhan kini juga sudah diisolasi atau dikarantina.

Menanggapi hal ini, beberapa negara termasuk Indonesia sudah mengambil langkah untuk mencegah penyebaran virus corona. Salah satunya merawat seseorang dengan suspect virus corona di ruang isolasi.

Model karantina atau tindakan mengisolasi orang yang tengah menderita penyakit menular pernah dianjurkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wabah penyakit menular pernah terjadi di masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya.

Ketika itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat orang yang mengalami lepra atau leprosy (kusta).

Dalam sebuah hadits, Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

‏ لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ

"Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta." (HR Bukhari)

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan berada dekat wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar. Seperti diriwayatkan dalam hadits

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوْا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوْا فِرَارًا مِنْهُ*

"Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, maka janganlah kalian menuju kesana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya." (HR  Bukhari no. 5730)

عنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: إذَا سمِعْتُمْ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإذَا وقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا متفقٌ عليه*

"Jika kalian mendengar wabah tha'un di suatu negeri janganlah memasukinya, dan jika dia menjangkiti suatu negeri dan kamu berafa di dalamnya, maka janganlah keluar darinya." (HR. Muttafaq 'Alaih)

مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ فِي صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ : بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ العَلِيمُ ، ثَلاثَ مَرَّاتٍ ، إِلاَّ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ*

“Tidaklah seorang hamba mengucapkan setiap pagi dari setiap harinya dan setiap petang dari setiap malamnya kalimat, "BISMILLAAHIL LADZII LAA YADHURRU MA’ASMIHI SYAI-UN FIL ARDHI WA LAA FIS SAMAA’I WA HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM" sebanyak tiga kali, maka tidak aka nada apa pun yang membahayakannya.” (HR. Abu Daud, no. 5088; Tirmidzi, no. 3388; Ibnu Majah, no. 3388)

Disamping melalui do'a, pengobatan atau antisipasi awal dalam pencegahannya perlu diketahui bahwa virus corona sejenis virus menular dan mematikan seperti wabah tha'un dimasa lampau akan hilang dengan berakhirnya musim hujan dan tibanya musim panas.

Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Hajar Al-Asqalani ra dalam salah satu karya kitabnya yg berjudul "Badzl Al-Maa'un Fi Fashl At-Thoo'uun" pada bab terakhir yaitu,
خاتمة في الاشارة الى الطواعين الواقعة في الاسلام
(Penutup, tentang isyarat penyakit tha'un yang terjadi pada umat islam) disebutkan bahwa,

قال ابو الحسن المدائني : كانت الطواعين العظام المشهور فى الاسلام خمسة :
طاعون شروية : بمداىن في عهد رسرل الله صلى الله عليه وسلم.
ثم طاعون عمواس : فى زمن عمر رضي الله عنه، كان بالشام، مات فيه خمسة وعشرون الفا
ثم طاعون الجاوف : سنة تسع وستين
ثم طاعون الفتيات : سنة سبع وثمانين
ثم طاعون الجارف : واختلف فى سنته، فقيل : سنة تسع وستين، وقيل : سنة اثنين وسبعين، وقيل : سنة سبعين، وقيل : غير ذالك
ثم طاعون الاشراف : وقع والحجاج بواسط، حتى قيل فيه : (لا تكون الطاعون والحجاج)

"Abu al-Hasan al-Madaini berkata: Ada lima wabah tha'un (virus mematikan) besar dan terkenal dalam Islam:
1. Tha'un Syarwiyah: terjadi di daerah-daerah semasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam.
2. Tha'un 'Amwas: pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu, terjadi di negeri Syam (Syuriah), ketika itu dua puluh lima ribu orang meninggal.
3. Tha'un Al-Jawaf: terjadi pada tahun enam puluh sembilan (69 H)
4. Tha'un Al-Fatyat: terjadi pada tahun delapan puluh tujuh (87 H)
5. Tha'un Al-Jaraf: ada perbedaan pendapat tahun terjadinya, dikatakan: terjadi pada tahun enam puluh sembilan (69 H), dikatakan: terjadi pada tahun tujuh puluh dua (72 H), dikatakan: terjadi pada tahun tujuh puluh (70 H), dikatakan: terjadi pada tahun selain itu.

Kemudian terjadi Tha'un Al-Asyraf: terjadi penularannya melalui pelaksanaan ibadah haji, sampai dikatakan tentangnya: (tidak akan terjadi wabah tha'un (yang menular) kepada jama'ah haji)." (Badzl Al-Maa'un Fi Fashl At-Thoo'uun hal. 362-363)

منها : انه وفق فى الشتاء وارتفع فى الربيع، وكانت الطواعين فى الماضية تقع فى فصل الربيع، بعد انقضاء الشتاء، وترتفع فى أول الصيف.

"Termasuk diantaranya : bahwa wabah itu terjadi di musim dingin dan bangkit di musim semi, wabah penyakit Tha'un dimasa lalu (yg menimpa kaum muslimin sepanjang sejarah) sesunggunya terjadi di tengah-tengah antara musim gugur (musim dingin) hingga usai musim hujan (musim semi). Dan setelah tiba musim panas, maka wabah penyakit tersebut akan hilang." (Badzl Al-Maa'un Fi Fashl At-Thoo'uun hal. 369) Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at dan semoga Allah menyelamatkan kita dari penyakit mematikan ini. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 16 Maret 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN KAOS KAKI DISAAT SHALAT


Ada dua kondisi menggunakan kaos kaki ketika shalat yaitu :

1. Sekedar memakai kaos kaki saat shalat, dibolehkan baik untuk laki-laki dan perempuan. Kalau cuma sekedar memakai saat shalat, maka tidaklah ada syarat-syarat tertentu kalau memang tujuannya untuk menghilangkan dingin, panas, atau karena sakit.

2. Jika tujuannya agar kaos kaki cukup bisa diusap saat berwudhu sebagai gantian dari mencuci kaki, maka itu adalah keringanan bagi laki-laki maupun perempuan (sama dengan hukum mengusap khuf atau sepatu). Namun ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk maksud ini.

Untuk keadaan pertama, caranya adalah:

1. Berwudhu dalam keadaan kaos kaki dibuka, lalu kaki tetap dicuci saat wudhu.
2. Menggunakan kaos kaki lagi setelah berwudhu, kemudian shalat menggunakan kaos kaki.

Untuk keadaan kedua, caranya adalah:

1. Pertama kali berwudhu dalam keadaan kaos kaki dibuka, lalu kaki tetap dicuci saat wudhu.
2. Menggunakan kaos kaki lagi setelah berwudhu dengan niatan kalau wudhu batal, cukup mengusap kaos kaki.
3. Kemudian shalat menggunakan kaos kaki.
4. Seharian tetap menggunakan kaos kaki tanpa dilepas, ketika wudhu batal, maka cukup kaos kaki diusap saat wudhu tanpa melepasnya. Usapannya sebanyak sekali usapan, cukup dengan tangan yg basah. Yang diusap adalah bagian atas kaos kaki, bukan bagian bawahnya.
5. Mengusap kaos kaki ini berlaku untuk yg mukim selama 24 jam, untuk musafir 3×24 jam. Dengan catatan selama masa tersebut kaos kaki tidak dilepas. Kalau dilepas berarti kembali ke point nomor satu di atas, alias mengusapnya jadi batal.

*Syarat Bolehnya Mengusap Kaos Kaki Saat Wudhu*

1. Memakai kaos kaki dalam keadaan sudah berwudhu atau mandi terlebih dahulu.
2. Kaos kaki yg digunakan menutupi kaki hingga mata kaki.
3. Bahan kaos kaki adalah bahan yg suci.

*Dalil Bolehnya Mengusap Khuf (Sepatu) dan Kaos Kaki*

Dari ‘Ali bin Abi Thalib  radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.” (HR. Abu Daud, hadits shahih)

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,

دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

“Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja. (HR. Ahmad, 4: 251; Bukhari, no. 206; Muslim, no. 274)

Hadits ini menunjukkan bahwa syarat mengenakan khuf dan kaos kaki yg ingin diusap saat wudhu adalah harus dalam keadaan bersuci dengan sempurna. Syarat ini disepakati oleh para ulama.  (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 37: 264)

Dari Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yg telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.” (HR. Ahmad). Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan hadits shahih lighoirihi, dilihat dari jalur lain. Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim)

Kesimpulannya, shalat menggunakan kaos kaki hukumnya boleh dengan catatan kaos kakinya suci dan dengan cara2 yg benar sesuai petunjuk. Wallohu a'lam

Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfaat. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق

🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

Sabtu, 14 Maret 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGANTI DAN MENAMBAH LAFAZH ADZAN


Pemerintah Kuwait untuk sementara waktu menutup masjid untuk shalat jum'at berjama'ah dan mengubah adzan, panggilan Muslim untuk shalat dengan memasukkan kata-kata صلوا فى رحالكم “shalatlah di rumahmu”, ketika negara itu berjuang untuk menahan laju penyebaran virus corona yang mematikan.

Otoritas agama Kuwait telah meminta umat Islam untuk melaksanakan shalat dan berdoa di rumah pada hari Jumat, (13/3/2020). Shalat Jum'at dibatalkan di seluruh Kuwait untuk pertama kalinya. Negara itu berusaha menahan penyebaran virus corona.

Perlu kita ketahui bahwa virus corona termasuk udzur syar'i yang membolehkan seseorang tidak melakukan shalat berjama'ah atau shalat jum'at karena bahayanya lebih besar daripada bahaya karena hujan. Makna dari kata udzur syar'i adalah segala sesuatu halangan sesuai kaidah syari'at islam yang menyebabkan seorang mukallaf boleh tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan di kemudian hari atau mengganti dengan hal lain.

Terdapat beberapa udzur syar'i dalam ibadah sehari-hari yang kita kerjakan seperti :

1. Udzur syar'i dalam amalan puasa ramadhan bagi orang sakit dan mushafir boleh tidak puasa dalam bulan itu dan mengatikannya dikemudian hari diluar bulan ramadhan sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan.
2. Udzur syar'i dalam shalat jum'at bagi orang yang sakit, kondisi jalan menuju mesjid tidak aman atau hujan sangat lebat dibolehkan tidak melaksanaakn shalat jum'at dimesjid
3. Udzur syar'i dalam berwudhu, ketika tidak dijumpai air yang suci lagi menyucikan atau dalam keadaan tidak bisa menyentuh air karena sakit maka boleh mengantikan wudhuk dengan tayamum.

Diantara sunah yang hampir tidak kita jumpai di masyarakat adalah mengganti lafazh adzan ketika terjadi hujan atau karena udzur takut terkena virus corona dan sejenisnya. Sebenarnya mungkin banyak tokoh agama yang mengetahuinya. Apalagi penjelasan tentang mengganti lafazh adzan ini sangat mudah di dapatkan dan banyak disebutkan di buku-buku hadits maupun fikih. Namun mengingat mengganti lafazh adzan semacam ini jarang dikenal masyarakat, sehingga dianggap suatu kesalahan atau bahkan dianggap ajaran sesat. Sehingga muadzin enggan melantunkan lafadz itu ketika adzan, karena bisa jadi masyarakat akan menilainya sebagai orang sesat.

Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan adanya perbedaan antara lafazh adzan biasa dengan lafazh adzan ketika hujan. berikut beberapa riwayat yang menunjukkan hal tersebut,

Pertama, dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra,

أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.

Ibnu Umar pernah adzan untuk shalat di malam yang dingin, anginnya kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan,

أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ

[Shalatlah di rumah kalian, shalatlah di rumah kalian]’.

Kemudian beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau safar untuk mengucapkan, ’Alaa shollu fi rihaalikum’ [Shalatlah di tempat kalian masing-masing]’. (HR. Muslim no. 1633 dan Abu Daud no. 1062)

Kedua, dari Nafi’, beliau menceritakan,

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».

“Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [shalatlah di rumah kalian].

Kemudian beliau mengatakan,”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].”(HR. Muslim no. 1632 dan Abu Daud no. 1063)

Ketiga, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berpesan mu’adzin pada saat hujan,

إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ

“Apabila engkau selesai mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ‘Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].

قَالَ : فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.

Masyarakat pun mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian merasa heran dengan hal ini, padahal hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (HR. Muslim no. 1637 dan Abu Daud no. 1066).

Dari riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa lafazh adzan tambahan ketika hujan sebagai berikut,

1. أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ
(‘Shalatlah kalian di rumah’)

2. أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ
(‘Shalatlah kalian di rumah kalian’)

3. صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ
(‘Sholatlah di rumah kalian’)

Tiga lafadz di atas tidak dibaca semuanya, namun dipilih salah satu.

Letak Lafadz tambahan ‘Shollu Fii Buyuthikum’ atau ‘Ala Shallu fir rihaal’

Pertama, menggantikan lafadz ‘hayya ‘alas shalaah’, ini sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas di atas.

Kedua, diucapkan langsung setelah selesai adzan, sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Ketika menjelaskan hadits Ibnu Abbas, Imam An-Nawawi mengatakan,

وفي حديث بن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يَقُولَ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ فِي نَفْسِ الْأَذَانِ وَفِي حديث بن عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ وَالْأَمْرَانِ جَائِزَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْأُمِّ فِي كِتَابِ الْأَذَانِ وَتَابَعَهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا فِي ذَلِكَ

“Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, muadzin mengucapkan ’Alaa shollu fii rihalikum’ di tengah adzan. Sedangkan dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan lafadz ini di akhir adzannya. Kedua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana ditegaskan Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm pada Bab Adzan, dan diikuti oleh mayoritas ulama madzhab kami (syafi’iyah). (Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 5:207)

Lebih lanjut, Imam An-Nawawi menganjurkan agar dilakukan setelah adzan. Beliau mengatakan:

فَيَجُوزُ بَعْدَ الْأَذَانِ وَفِي أَثْنَائِهِ لِثُبُوتِ السُّنَّةِ فِيهِمَا لَكِنَّ قَوْلَهُ بَعْدَهُ أَحْسَنُ لِيَبْقَى نَظْمُ الْأَذَانِ عَلَى وَضْعِهِ

Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan, karena terdapat dalil untuk kedua bentuk adzan ini. Akan tetapi, sesudah adzan lebih baik, agar lafadz adzan yang biasa diucapkan, tetap ada. (Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 5:207)

Dari Usamah bin ‘Umair radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,

رأيتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم زمن الحديبية ومطرنا مطراً فلم تبل السماء أسفل نعالنا فنادى منادي النبي صلى الله عليه وسلم أن صلوا في رحالكم

“Dahulu kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu Hudaibiyah dan hujanpun menimpa kami, (tapi hujan tersebut) *TIDAK SAMPAI MEMBASAHI SANDAL-SANDAL KAMI.* Lalu mu’adzin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan, "Shallu Fii Rihaalikum”. (HR. Ahmad)

Jika telah hujan, MESKIPUN TIDAK DERAS sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, maka disunnahkan mu’adzin mengganti “hayya ‘alash shalaah” dengan “shalluu fii rihaalikum” atau “shalluu fii buyuutikum”. atau mengucapkan “alaa shallu fii rihaalikum, alaa shalluu fir rihaal” di akhir adzan. Semua lafazh tersebut boleh diucapkan, dan kedua caranya (apakah mengganti ‘hayya alash shalaah’, atau tidak menggantinya dan mengucapkan diakhirnya) dibolehkan.

Dalam shahiihnya, Imam Ibnu Hibban membuat bab tentang hadits diatas dengan perkataannya,

ذكر البيان بأن حكم المطر القليل وإن لم يكن مؤذيا فيما وصفنا حكم الكثير المؤذي منه

“Penjelasan bahwa hukum hujan yang sedikit (rintik-rintik) yang tidak mengganggu itu SAMA dengan hukum (hujan yang) banyak (/deras) yang mengganggu”

Demikian pula hal tersebut dibaca pada saat malam yang sangat dingin, atau angin yang amat kencang. Maka jika hanya karena udzur turun hujan yang tidak deras dan tidak membahayakan saja dibolehkan MENGGANTI lafazh adzan, tentu kekhawatiran karena bahayanya terkena virus corona lebih DIBOLEHKAN mengganti lafazh adzan sebagaimana yang dipeedengarkan di masjid-masjid Kuwait. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*