MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 23 Oktober 2019

TANGGAPAN KUTIPAN HADITS TENTANG BENDERA TAUHID DALAM TANTANGAN DISKUSI TERBUKA


SERUAN DISKUSI TERBUKA SOAL BENDERA TAUHID

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد

Bertolak dari kecintaan saya pada kalimat tauhid dan syi'arnya (bendera al-liwa' dan al-râyah).

Saya, Irfan Abu Naveed, cicit dari Ulama Cianjur, Almarhûm KH. Sholeh Madani, menyampaikan SERUAN DISKUSI TERBUKA, kepada oknum perampas bendera tauhid di Hari Santri Nasional di Alun-Alun Cianjur, termasuk mereka yang selama ini mendukung aksi penistaan dan pembakaran bendera tauhid oleh oknum beberapa waktu lalu di Garut.

Diskusi menggunakan rujukan ilmu-ilmu ala santri *manthiq, ushul fikih, fikih hadits, balaghah hadits, -*.

Kalau mereka siap, bisa tentukan waktu dan tempatnya, hubungi kami.

Irfan Abu Naveed
Cugenang Cianjur, 22 Oktober 2019
Di Pondok al-Qur'an Cianjur

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=183456652819270&id=100034648099250

*TANGGAPAN KUTIPAN HADITS TENTANG BENDERA TAUHID DALAM TANTANGAN DISKUSI TERBUKA*
#Abu_Naveed_Islamovic

Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saatperang Khoibar,

لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ » .فَبَاتَ النَّاسُ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَى فَغَدَوْا كُلُّهُمْ يَرْجُوهُ فَقَالَ « أَيْنَ عَلِىٌّ » . فَقِيلَ يَشْتَكِى عَيْنَيْهِ ، فَبَصَقَ فِى عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ ، فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ ، فَأَعْطَاهُ فَقَالَ أُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوا مِثْلَنَا . فَقَالَ « انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ ، وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ ، فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Sungguh akan diberikan bendera (yang biasa dibawa oleh pemimpin pasukan, -pen) besok pada orang yang akan didatangkan kemenangan melalui tangannya di mana ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, lalu Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya.” Lalu kemudian para sahabat bermalam dan mendiskusikan siapakah di antara mereka yang nanti akan diberi bendera tersebut. Tiba waktu pagi, mereka semua berharap-harap bisa mendapatkan benderaitu. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah bertanya, “Di mana ‘Ali?” Ada yang menjawab bahwa ‘Ali sedang sakit mata. (Lalu ‘Ali dibawa ke hadapan Nabi, -pen), lantas beliau mengusap kedua matanya dan mendo’akan kebaikan untuknya. Lantas ia pun sembuh seakan-akan tidak pernah sakit sebelumnya. Lantas bendera tersebut diberikan kepada ‘Alidan ia berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka bisa seperti kita.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jalanlah perlahan-lahan ke depan hinggakalian sampai di tengah-tengah mereka. Kemudian dakwahilah mereka pada Islam dan kabari mereka tentang perkara-perkara yang wajib. Demi Allah, sungguh jika Allah memberi hidayah pada seseorang lewat perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari no. 3009 dan Muslim no. 2407).

Imam Ahmad, Ismail al-Qadhi, An-Nasa’i dan Abu Ali an-Naisaburi berkata, “Belum ada riwayat-riwayat shahih berkenaan dengan keutamaan sahabat yang lebih banyak daripada riwayat tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu." (Fathul Bari' : 7/71.)

Mengapa demikian? Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan, “Sebabnya adalah karena beliau adalah yang terakhir, yaitu khalifah rasyid yang terakhir. Banyak terjadi perselisihan pada zaman beliau, sebagian orang membangkang terhadap beliau. Itulah sebabnya riwayat-riwayat tentang keutamaan beliau tersebar, bersumber dari penjelasan para sahabat sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyelisihi beliau. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang penting untuk menyebarkan riwayat-riwayat tentang keutamaan beliau. Sehingga banyaklah para perawi yang menukilnya. Karena pada hakikatnya seluruh khalifah rasyid yang empat masing-masing memiliki banyak keutamaan-keutamaan. Dan apabila ditimbang dengan mizan yang adil pasti tidak akan keluar dari perkataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Fathul Bari')

Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir berkata, “Di antara keutamaannya, beliau merupakan salah satu dari sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk sorga yang paling dekat hubungan nasabnya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." (Al-Bidayah wan Nihayah : 11/29)

Sayidina Ali ra termasuk salah seorang sahabat yang ikut serta dalam peperangan Badar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkata kepada Umar,

‏وما يدريك لعل الله قد اطلع على أهل ‏ ‏بدر ‏ ‏فقال اعملوا ما شئتم فقد غفرت لكم

“Tahukah engkau, sesungguhnya Allah telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh para peserta perang Badar. Allah mengatakan, ‘Lakukanlah sesukamu sesungguhnya Aku telah mengampuni kamu’.” (HR. Bukhari no. 3983 dan Muslim no.2494)

Sayudina Ali ra juga ikut serta dalam Bai’atur Ridhwan. Allah telah berfirman,

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (QS. Al-Fath: 18).

Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لنْ يدخلَ النَّارَ أحدٌ بايعَ تحت الشَّجرةِ

“Tidak akan masuk neraka orang-orang yang ikut dalam bai’at di bawah sebuah pohon (yakni Bai ‘at Ridhwan).“ (HR. Bukhari 4840 dan Muslim no. 1856)

Posisi sayidina Ali ra begitu dekat dengan Rasulullah. Imam al-Bukhari berkata dalam Shahihnya (Yaitu dalam kitab Shahih Bukhari, kitab Fadhail’ ash-Shahabah, Bab Fadhail Ali, 7/70-71 dari kitab Fathul Bari') Bab: Keutamaan Ali bin Abi Thalib al-Qurasyi al-Hasyimi Abul Hasan radhiyallahu 'anhuma.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أنْتَ مِنِّى وَأنَا مِنْكَ

“Engkau bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari, 7/72, “Riwayat ini telah diriwayatkan secara maushul (tersambung sanadnya) oleh penulis dalam kisah perjanjian Hudaibiyah dan kisah Umratul Qadha’ secara lengkap. Dan ini bukanlah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh beliau seperti yang dikira oleh sebagian orang. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata kepada kaum Asy’ariyyin, ‘Mereka adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata kepada Julaibib, ‘Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu’.” Abdullah bin Umar pun menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ubaidah, ia berkata, “Seorang lelaki datang menemui Abdullah bin Umar dan bertanya kepadanya tentang Utsman. Ibnu Umar menyebutkan kebaikan-kebaikan Utsman. Beliau berkata, ‘Barangkali kamu tidak menyukainya?’ ‘Benar!’ Sahutnya. ‘Semoga Allah menghinakanmu.’ Kemudian ia bertanya tentang Ali. Ibnu Umar menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Beliau berkata, ‘Begitulah keutamaannya, rumahnya berada di tengah-tengah rumah-rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam’ Kemudian beliau berkata, ‘Barangkali kamu tidak menyukainya.’ ‘Benar!’ sahutnya. Abdullah bin Umar pun berkata, ‘Semoga Allah menghinakanmu, menjauhlah kamu dariku sejauh-jauhnya’.” Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Aku mendengar Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqqash meriwayatkan dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata kepada Ali,

أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُون مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُون مِنْ مُوسَى

“Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun disisi Musa?” (HR. Bukhari dalam kitab al-Maghazi Bab Perang Tabuk hadits nomor 4416 dengan lafal yang lebih lengkap dari ini, di dalamnya ditambahkan, “Hanya saja tidak ada nabi setelahku.” Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 2404)

Al-Qadhi Iyadh berkata, “Hadits ini termasuk dalil yang dipakai oleh kaum Rafidhah, Imamiyah dan seluruh kelompok Syi’ah bahwasanya kekhalifahan adalah hak Ali radhiyallahu 'anhu, dan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewasiatkan jabatan khalifah kepadanya.Kemudian mereka berselisih pendapat. Kaum Rafidhah mengkafirkan seluruh sahabat karena telah mendahulukan selain Ali. Sebagian mereka bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib karena menurut anggapan mereka Ali tidak menuntut haknya. Mereka ini adalah kelompok yang paling buruk madzhabnya dan paling rusak akalnya, ucapan mereka tidak perlu dibantah lagi dan tidak perlu didebat.” Al-Qadhi melanjutkan, ‘Tidak syak lagi tentang kafirnya orang yang mengatakan seperti itu. Karena orang yang mengkafirkan seluruh umat dan generasi pertamanya berarti ia telah membatalkan penukilan syariat dan telah merubuhkan Islam. Adapun selain kelompok radikal ini tidaklah berpandangan seperti itu.

Kaum Imamiyah dan sebagian Mu’tazilah mengatakan, ‘Mereka (para sahabat) telah keliru karena mendahulukan selain Ali, bukan kafir.’ Sebagian kaum Mu’tazilah bahkan mengatakan bahwa mereka (para sahabat) tidak keliru, karena menurut mereka boleh saja mendahulukan yang tidak utama daripada yang utama.” Hadits ini bukanlah hujjah bagi mereka. Bahkan ini merupakan penetapan keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuk beliau sebagai khalifah sementara di kota Madinah saat beliau mengikuti perang Tabuk.

Hal ini dikuatkan pula dengan kenyataan bahwa Harun bukanlah khalifah setelah Musa, bahkan Harun wafat pada saat nabi Musa masih hidup, yakni beliau wafat empat puluh tahun sebelum nabi Musa wafat. Berdasarkan keterangan yang masyhur dari pakar sejarah, mereka berkata, “Nabi Musa menunjuknya sebagai khalifah ketika beliau pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya.” Namun perlu dicatat, penunjukan Ali sebagai khalifah pengganti di Madinah adalah bersifat khusus untuk mengurus dan memelihara keluarga beliau saat beliau pergi ke peperangan Tabuk. Adapun khalifah pengganti yang bersifat umum untuk kota Madinah kala itu adalah Muhammad bin Maslamah al-Anshari seperti yang telah disebutkan oleh ulama sejarah.

Rasulullah telah mewasiatkan agar memelihara hak Ahli Bait dan Ali termasuk Ahli bait Imam Muslim berkata, “Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad telah menceritakan kepada kami dari Ibnu Ulayyah, Zuhair berkata, Ismail bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Hayyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Yazid bin Hayyan telah bercerita kepada kami, ‘Aku bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim berangkat menemui Zaid bin Arqam. Ketika kami duduk bersamanya,  Hushain berkata kepadanya, ‘Engkau telah memperoleh kebaikan yang sangat banyak wahai Zaid! Engkau telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam engkau telah mendengar hadits-hadits beliau, berperang bersama beliau dan shalat di belakang beliau. Engkau telah memperoleh kebaikan yang sangat banyak wahai Zaid. Karena itu, sampaikanlah kepada kami hadits-hadits yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zaid pun berkata, ‘Wahai saudaraku, demi Allah usiaku telah lanjut, ajalku sudah dekat dan aku sudah lupa sebagian yang dahulu aku hafal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Terimalah hadits yang aku sampaikan ini kepada kalian. Dan apa-apa yang tidak aku sampaikan maka janganlah kalian bebani aku dengannya.’' Lalu Zaid berkata, ‘Pada suatu hari Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di sebuah mata air bernama Khum yang terletak antara Makkah dan Madinah. Setelah memanjatkan puja dan puji kepada Allah, memberi peringatan dan nasehat beliau berkata,

أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ

‘Amma ba’du, ketahuilah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, hampir tiba masanya kedatangan seorang utusan Rabbku dan aku akan menyambut panggilannya. Sungguh, aku telah tinggalkan padamu dua perkara, pertama Kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah pedoman dari Kitabullah dan pegang teguhlah ia. Beliau memerintahkan untuk berpegang teguh kepada Kitabullah dan mencintainya, lalu beliau bersabda, ‘ Dan aku peringatkan kepada Allah agar kalian menjaga ahli baitku’ Beliau ulangi sebanyak tiga kali.’ Al-Husain berkata kepadanya, ‘Siapakah ahli bait nabi wahai Zaid? Bukankah istri beliau termasuk ahli bait?’ Zaid berkata, ‘Istri beliau termasuk. Ahli bait, dan juga termasuk ahli bait adalah karib kerabat beliau yang diharamkan menerima zakat’ ‘Siapakah mereka?’ Tanya al-Husain lagi. Zaid menjawab, ‘Keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas radhiyallahu 'anhu. 'Apakah mereka diharamkan menerima zakat?’ Tanya al-Husain lagi. ‘Benar!’ jawab Zaid.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Zirr bin Hubaisy dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. ia berkata,

وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَنْ لَا يُحِبَّنِي إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضَنِي إِلَّا مُنَافِقٌ

“Demi Allah yang menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan jiwa, ini merupakan pesan nabi yang ummi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku bahwasanya tidaklah seseorang mencintaiku melainkan ia seorang mukmin dan tidaklah membenciku melainkan ia seorang munafik.” (HR. Muslim no. 78 dan An-Nasa’i no. 50)

Inilah beberapa keutamaan dari berbagai keutamaan Ali bin Abi Thalib yang amat banyak. Bukankah ia di posisi yang begitu mulia? Maka, wajib bagi kita umat islam untuk mengakui kedudukannya  dan menghormatinya.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Ali bin Abi Tholib tidak mengikuti awal peperangan Khoibar.

2- Keutamaan ‘Ali bin Abi Tholib karena ia disebut sebagai orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, begitu pula Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Hadits ini sekaligus sanggahan bagi kalangan Khawarij yang mendeskreditkan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.

3- Allah memiliki sifat mahabbah atau cinta.

4- ‘Ali memiliki kesempurnaan dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sehingga Allah mencintainya.

5- Mencintai ‘Ali adalah tanda keimanan. Membenci ‘Ali adalah tanda kemunafikan.

6- Allah akan mendatangkan kemenangan melalui tangan ‘Ali. Ini pun terbukti dan menjadi bukti akan benarnya kenabian Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

7- Para sahabat sangat bersemangat melakukan kebaikan. Sebagai tandanya, mereka selalu berdiskusi dalam hal-hal baik. Hal ini menunjukkan tingginya ilmu dan iman mereka.

8- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ‘Ali dan ini menandakan selayaknya pemimpin menanyakan mengenai keadaan rakyatnya yang tidak bisa hadir.

9- Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap dan mendo’akan kebaikan pada ‘Ali, maka ia tidak pernah merasakan sakit mata dan tidak pula merasakan lemahnya penglihatan sama sekali.

10- Wajib beriman kepada takdir karena orang yang tidak berusaha, malah mendapatkan bendera. Sedangkan yang telah berharap dari awal malah tidak mendapatkannya.

11- Hadits ini mengajarkan untuk tawakkal, menyandarkan hati pada Allah dan bukan pada sebab. Namun yang namanya tawakkal tetap dengan melakukan usaha. Dan melakukan usaha tidaklah menafikan tawakkal.

12- Adab ketika berperang yaitu jangan sampai suara yang menggelisahkan itu terdengar.

13- Hadits ini menunjukkan bahwa dakwah yang pertama dan utama adalah mendakwahkan tauhid dan anti syirik.

14- Yang dimaksud dakwah kepada syahadat laa ilaha illallah adalah dakwah untuk memurnikan ibadah untuk Allah dan menjauhi kesyirikan.

15- Berperang atau menyerang musuh dilakukan setelah sebelumnya didakwahi.

16- Setelah menerima Islam yaitu tauhid, maka mulai beralih pada ajakan untuk shalat, puasa,zakat dan haji.

17- Keutamaan dakwah ilallah.

18- Keutamaan seseorang yang di mana Allah memberi hidayah pada orang lain melalui perantaraannya, yaitu ia akan mendapat unta merah. Bahkan ia mendapatkan lebih dari unta merah yang menjadi harta berharga bagi orang Arab. Penyebutan unta merah hanyalah untukpendekatan pemahaman. Namun tetaplah kebahagiaan akhirat lebih daripada balasan dunia.

19- Boleh bersumpah dalam fatwa karena dalam hadits ini disebutkan, “Demi Allah, sungguh jika Allah memberi hidayah pada seseorang lewat perantaraanmu …”.

Jadi, tidak ada kaitannya antara bendera eks-HTI yang masih diklaim sebagai bendera tauhid (Rayah as-Sauda') dengan memakai dalil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim tersebut. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menanggapi klaim kebenaran atas bendeta tauhid dengan rujukan hadits diatas, semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG PERBEDAAN ORANG CERDAS DAN ORANG DUNGU


Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai akal/hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu layaknya binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al A’rof [7] : 179)

Imam Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan berkaitan dengan tafsir Surat Al A’rof ayat 179 di atas, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا) maksudnya adalah mereka tidak dapat memanfaatkan sedikitpun alat indera ini yang dengannya Allah ‘Azza wa Jalla jadikan sebab mendapatkan hidayah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

“Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok - olokkannya”. ),”.(QS. Al Ahqof [46] : 26)

Imam Ibnu Katsir Rohimahullah melanjutkan, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ) ‘mereka layaknya binatang ternak’ yaitu mereka yang tidak akan mendengarkan kebenaran, mereka tidak memperhatikannya dan tidak akan mau melihat petunjuk. Sebagaimana binatang ternak yang tidak dapat mengambil manfaat degan alat indera melainkan hanya untuk kehidupan dunia yang tampak-tampak saja.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim hal. 513-514/III Terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم، الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ الاَمَانِيَّ (رواه الترميذي)

“Orang yang sempurna akalnya (cerdas) ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah (bodoh) adalah yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan).

*Penjelasan Hadits Diatas*
Imam At Tirmidzi berkata,

*وَمَعْنَى قَوْلِهِ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ يَقُولُ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسَبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُرْوَى*

Maksud sabda Nabi "Orang yang mempersiapkan diri"  Yaitu orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada hari kiamat”. (Sunan At Tirmidzi no.2383).

Dan telah diriwayatkan dari Umar bin Khottob dia berkata,

 حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا وَيُرْوَى

“Hisablah (hitunglah) diri kalian sebelum kalian dihitung dan persiapkanlah untuk hari semua dihadapkan (kepada Rabb Yang Maha Agung), hisab (perhitungan) akan ringan pada hari kiamat bagi orang yang selalu menghisab dirinya ketika didunia”. (Sunan At Tirmidzi no.2383).

Maimun bin Mihran berkata,

 لَا يَكُونُ الْعَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ

"Seorang hamba tidak akan bertakwa hingga dia menghisab dirinya sebagaimana dia menghisab temannya dari mana dia mendapatkan makan dan pakaiannya". (Sunan At Tirmidzi no.2383).

Ibnu 'Arobi mengatakan :"Guru-guru kami selalu mengkoreksi diri dalam setiap ucapan dan perbuatannya. Mereka mengumpulkan setiap omongan dan perbuatannya di dalam catatan buku kecil. Sebelum tidur mereka membukanya dan mentaubatinya serta beristighfar jika itu perbuatan dosa, akan tapi jika itu perbuatan baik mereka mensyukurinya. Kemudian barulah mereka tidur”. (Faidhul Qodir hal.86 jil.5).

Islam melihat bahwa kecerdasan sejati itu bukan berarti pintar dan cerdas otaknya dalam menyelesaikan ujian akademik atau orang yang mampu menciptakan serta menemukan hal-hal yang baru. Akan tetapi orang yang cerdas sejati ialah orang yang memikirkan nasibnya ketika setalah mati nanti dan mempersiapkan kesejahteraan hidupnya disana kelak dari sejak dini.

Sebaliknya orang bodoh adalah “orang yang lupa memikirkan nasibnya setelah mati nanti”
Kesibukan-kesibukan dunia telah membuatnya terlelap, sehingga lupa akan persiapan mencari bekal untuk perjalanan panjang setelah kematian.

Dalam kondisi jauhnya mereka dari ketaatan kepada Allah, anehnya mereka berangan-angan untuk mendapatkan ampunan Allah dan surga-Nya. Hal ini menambah nyata akan kebodohan mereka, dimana seolah mereka tidak mau membayar barang tapi meminta barang.

Beda antar التمني (berangan-angan) dan الرجاء (mengharap). Kalau *التمني*  ialah berangan-angan tetapi tidak ada ikhtiar untuk mencapainya. Sedang *الرجاء* sudah mempunyai  ikhtiar/usaha kemudian mengharap dengan usahanya ini bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Sifat التمني merupakan sifat tercela dan الرجاء adalah sifat terpuji. (Faidhul Qodir hal.86 jil.5).

Kehidupan setelah mati ternyata lebih penting daripada kehidupan dunia.  Disana lebih banyak membutuhkan bekal dan energi untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dungu bermakna sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh.

Namun lebih dari itu, menurut Sayidina Ali bin Abi Thalib ra ternyata atribut dungu juga bisa disematkan kepada seseorang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ يَمْنَعُ الْبِرَّ وَيَطْلُبُ الشًّكْرَ، وَيَفْعَلُ الشَّرَّ وَيَتَوَقَّعُ ثَوَابَ الْخَيْرِ

"Orang yang paling dungu adalah yang menahan kebaikan namun berharap sanjungan dan berbuat keburukan namun berharap pahala kebaikan."

اَحْمَقُ النَّاسِ مَنْ ظَنَّ اَنَّهُ اَعْقَلُ النَّاسِ

Orang yang paling dungu adalah yang merasa paling pandai.

تُعْرَفُ حَمَاقَة ُالرَّجُلِ فِي ثَلَاثٍ : فِي كَلَامِهِ فِيْمَا لَا يَعْنِيْهِ وَ جَوَابِهِ عَمَّا لَا يُسْأَلُ عَنْهُ وَ تَهَوُّرِهِ فِي الْاُمُوْرِ

"Kedunguan seseorang dapat dikenali pada tiga hal :
1. Pada perkataannya ketika berbicara tentang sesuatu yang tidak berhubungan dengannya.
2. Pada jawabannya ketika menjawab sesuatu yang tidak ditanya tentang itu.
3. Pada kecerobohannya dalam segala urusan."

اَلْاَحْمَقُ غَرِيْبٌ فِي بَلْدَتِهِ، مُهَانٌ بَيْنَ اَعِزَّتِهِ

"Orang dungu itu terasing di lingkungannya dan terhina di antara orang-orang dekatnya."

Lalu bagaimana sikap terbaik yang harus  kita ambil saat berhadapan dengan orang dungu?

اَلسُّكُوْتُ عَلَى الْاَحْمَقِ اَفْضَلُ جَوَابِهِ

"Diam di hadapan orang dungu adalah sebaik-baik jawaban."

اَلْاَحْمَقُ غَرِيْبٌ فِي بَلْدَتِهِ، مُهَانٌ بَيْنَ اَعِزَّتِهِ

"Orang dungu itu terasing dilingkungannya dan terhina diantara orang-orang dekatnya."

Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ada empat macam jenis kebodohan, satu di antaranya bisa diobati sedangkan tiga yang terakhir tidak akan bisa terobati. Tiga kebodohan yang tidak bisa diobati tersebut di antaranya adalah

*Pertama,* orang yang bertanya karena dengki dan benci. Ketika pertanyaan orang tersebut engkau jawab dengan jawaban yang baik, fasih dan jelas justru semakin menambah kebencian, permusuhan dan kedengkiannya kepadamu. Maka cara terbaik untuk menghadapinya adalah sebaiknya engkau berpaling darinya dan tidak usah merepotkan dirimu dengan menjawab pertanyaannya.

Sebagaimana ucapan sang penyair yang berkata

كل العداوۃ قد ترجي ازالتها الا ازالۃ من عادك اعن حسد

“Sesungguhnya setiap permusuhan bisa diharapkan hilangnya, kecuali permusuhannya orang yang memusuhimu karena dengki”

Sebaiknya hindarilah sikap hasud atau dengki sebab dengki dalam setiap ucapan dan perbuatan bisa membakar semua ladang amal seseorang, sebagaimana sabda Rasul

الحسد ياكل الحسنات كما تاكل النار الخطب

“Hasud itu dapat memakan amal kebaikan seperti api melahap atau membakar kayu kering”

*Kedua,* jika penyakit bodohnya berupa hamaqah atau kedunguan, maka juga tidak bisa diobati. Sebagaimana ucapan Nabi Isa as.:

انما عجزت عن احياء الموتي وقد عجزت عن معالجۃ الحمق

“Sesungguhnya bukannya aku tidak mampu menghidupkan orang yang mati, tetapi aku tidak mampu mengobati orang yang dungu”

Menurut Imam al-Ghazali, penyakit dungu yaitu seorang laki-laki yang baru belajar ilmu akal atau ilmu syariat lalu bertanya kepada orang yang alim yang telah menghabiskan umurnya dalam waktu lama mempelajari ilmu-ilmu akal dan syariat. Orang dungu tersebut tidak tahu dan menyangka bahwa permasalahan yang musykil baginya juga musykil bagi orang alim yang agung.

Ketika dia tidak mengetahui tingkatannya dan bertanya untuk menguji karena kedunguannya, maka sebaiknya tidak usah merepotkan dirimu untuk menjawab pertanyaan orang itu.

*Ketiga,* seseorang yang bertanya untuk meminta petunjuk. Namun setiap ada ucapan orang alim yang tidak bisa dipahaminya, ia merasa itu karena sempitnya pemahaman sang alim. Orang seperti ini biasanya adalah orang bodoh yang sombong maka tidak perlu menjawabnya.

Sementara itu menurut Imam al-Ghazali, penyakit bodoh yang bisa diobati adalah seseorang yang bertanya untuk mencari petunjuk serta memiliki akal yang mampu untuk memahami serta hatinya tidak terkalahkan oleh sifat dengki, marah, dan hawa nafsu.

Serta pertanyaanya bukan pula karena dengki, mempersulit dan mencoba kepintaran seseorang seperti pada poin kedua. Maka orang seperti ini bisa diobati kebodohannya, boleh bagimu menjawab pertanyaan orang tersebut bahkan hukumnya wajib. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 20 Oktober 2019

KAJIAN TENTANG 6 TANDA TUKANG FITNAH YANG HARUS DIHINDARI


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang ke sana kemari menghambur fitnah.” (QS al-Qalam : 10-11)

Ayat ini mengajak seseorang untuk senantiasa waspada terhadap tiap orang yang gemar mengumbar isu yang dapat memecah belah masyarakat, dengan cara menebar kebencian dan kabar yang sarat hasutan dan potensial meruntuhkan kerukunan.

Ada beragam karakter orang yang ada di sekeliling kita. Tak semua dari mereka baik, maka dari itu kita harus peka sekaligus selektif dalam berteman. Jangan sampai percaya kepada orang yang salah dan pada akhirnya justru bakal merugikan diri sendiri.

Perhatikanlah hadits berikut,

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً “

Dari Abu Musa ra dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau  mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar  pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”.[HR. Bukhari dan Muslim]

Sungguh bersahabat dengan orang-orang yang shaleh/shalihah adalah nikmat yang sangat besar. Umar bin Khattab ra berkata,

ما أعطي العبد بعد الإسلام نعمة خيراً من أخ صالح فإذا وجد أحدكم وداً من أخيه فليتمسك به

“Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (seiman islam) yang shaleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang shaleh maka pegang lah erat-erat.” [Quutul Qulub 2/17]

Salah satu karakter orang yang harus dihindari adalah si tukang fitnah. Sikapnya ini jelas akan sangat merugikan orang di sekelilingnya.
Seperti apa sih cirinya tukang fitnah itu?

*1. Dia suka mencari-cari kesalahan orang lain (Tajassusu)*

Mencari-cari kesalahan orang lain adalah hobinya. Siapapun orang yang sedang berhubungan dengannya dia tidak mempedulikannya. Yang penting dia bisa mencari kesalahan orang tersebut. Kelemahan orang lain ini berguna sebagai senjata yang bakal digunakannya suatu hari nanti. Intinya dia hanya berfokus pada kelemahan seseorang, bukan pada kelebihannya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat : 12)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari 6064 dan Muslim 2563)

*2. Gemar membicarakan kejelekan orang lain di belakang (Ghibah)*

Selain mencari tahu kesalahan orang lain, orang yang hobi memfitnah ini juga gemar menggunjingkan keburukan orang lain di belakang. Dia tidak masalah untuk membicarakan kelemahan orang lain karena dia merasa itu bisa jadi kekuatannya.

Adapun yang dimaksud ghibah disebutkan dalam hadits berikut,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)

*3. Merasa gembira ketika melihat orang lain gagal (As-Samatah)*

Orang yang suka memfitnah itu sesungguhnya tidak suka melihat orang lain lebih sukses daripada dirinya. Dia lebih suka menjatuhkan orang lain dan melihat orang lain juga ikut gagal. Coba seleksi lagi, apakah ada temanmu yang punya sifat ini?

Allah Ta'ala berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 56)

Rasulullah Shallallahu 'qlqihi wa sallam bersabda,

لا تظهر الشماتة لأخيك، فيعافيه الله ويبتليك.

“Janganlah kau tunjukkan kegembiraan atas masalah orang lain, (kalau demikian) maka Allah akan membebaskannya dan memberikan cobaan kepadamu.” (HR. Tirmidzi)

*4. Dia sudah terbiasa untuk melebih-lebihkan cerita supaya terdengar lebih menarik*

Melebih-lebihkan cerita sudah jadi kemampuannya. Dia tidak masalah untuk memoles cerita supaya terdengar lebih menarik dari kenyataannya. Hal ini sengaja dilakukannya supaya membuat orang lain juga tertarik mendengarkan dan ikut terpengaruh.

Dalam riwayat lain Abu Hurairah, Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang terbaik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

*5. Menghalalkan segala cara biasa dilakukannya demi memperoleh hal yang diinginkan*

Orang yang suka memfitnah orang lain itu menghalalkan segala cara demi bisa memperoleh hal yang diinginkannya. Maka dari itu, dia merasa gak keberatan meski harus memfitnah orang lain. Baginya, ini bukan merupakan tindak kejahatan yang harus dihindari.

Allâh Azza wa Jalla berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (QS. an-Nûr [24] : 63)

*6. Selalu menelan cerita mentah-mentah dan tidak mencari tahu fakta sesungguhnya*

Karena berfokus pada fitnah, biasanya orang ini tidak mencari tahu dan mencocokkan dengan fakta di lapangan. Dia gak peduli apakah yang dikatakannya ini benar-benar sesuai fakta atau hanya bohong belaka. Fokusnya hanya menyebarkan berita ini supaya banyak orang yang tahu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim no.7)

Sudahkah menyeleksi teman terdekat kita? Apakah ada dari mereka yang masih punya sifat di atas? Waspadalah !!!

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 17 Oktober 2019

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Empat Anjuran Rasulullah untuk Menggapai Surga)


*Khutbah Pertama*

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذِي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، ذُواْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِه وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ:

فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Ketika ada orang yang bertanya kepada kita, bagaimana jalan untuk menggapai surga, tentu kita akan menjawabnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah memberikan beberapa penjelasan, yang akan menghantarkan kita menuju surga Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagaimana berikut,

أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

"Sebarkan kedamaian, berikan makanan, bersilaturrahimlah, shalatlah ketika orang-orang tidur, engkau akan masuk surga dengan damai." (HR. Ahmad) 

*Pertama,* orang yang menghendaki untuk masuk surga adalah orang yang menebarkan salam, perdamaian dan kasih sayang. Menebarkan perdamaian bisa diawali dengan member ucapan salam kepada saudara kita, yaitu Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Yang artinya keselamatan, rahmat, dan berkah Allah Subhanahu wa Ta‘ala semoga tercurahkan untukmu. Lazimnya ucapan salam ini akan dijawab oleh saudara kita dengan jawaban wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh yang artinya bagimu keselamatan, rahmat dan berkah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Ucapan tersebut tampak sepele, namun memiliki makna yang mendalam.

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa ucapan salam tidak sekadar kata-kata, namun mengandung arti menebarkan perdamaian, kasih sayang dan kerukunan terhadap sesama, baik kepada keluarga, tetangga, maupun terhadap sesama Muslim. Kata salam juga menjadi kunci yang ampuh untuk menghilangkan permusuhan, kebencian, dan kerenggangan di antara sesama. Karena itu, Islam sangat menganjurkan kita untuk saling mengucapkan salam, tujuannya adalah mewujudkan kerukunan dan kedamaian, dan menghilangkan kerenggangan dan permusuhan di antara sesama.

Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak diperkenankan bagi seorang Muslim untuk membenci dan menghujat sesama Muslim, menyebarkan permusuhan, menebarkan ujaran kebencian dan memutuskan tali persaudaraan. Karena menebarkan permusuhan adalah ciri-ciri dari ajaran syaitan, sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 91, syaitan memiliki tujuan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara sesama Muslim.

*Kedua,* jalan untuk menggapai surga adalah memberikan makanan, Selain kita diwajibkan untuk mengeluarkan nafkah untuk keluarga, atau mengeluarkan zakat atas harta, Nabi menganjurkan kepada kita untuk bersedekah, terutama bagi orang-orang yang membutuhkan. Mengapa memberikan makanan dapat menghantarkan kita menuju surga? Karena orang yang senang memberikan makanan adalah orang yang dekat dengan surga. Sebagaimana riwayat Imam Turmudzi dalam sunan Turmudzi Juz 3 halaman 407 disebutkan,

 السَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنَ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنَ النَّارِ

“Orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka.” (HR. Tirmidzi)

Imam Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh kitab Faidlul Qadir karya Muhammad al-Munawi, juz 4 halaman 138 menjelaskan, bahwa sikap dermawan merupakan buah dari cinta akhirat, dan tidak berlebihan dalam mencintai dunia fana. Sikap dermawan tumbuh dari penghayatan seseorang tentang iman dan tauhid kepada Allah subhanahu wata‘ala. Sehingga muncul sikap tawakkal dan berserah diri kepada Allah, secara otomatis muncul sikap percaya bahwa Allah adalah pemberi rezeki. Seorang dermawan yakin bahwa orang berbuat baik dengan mensedekahkan sebagian hartanya, Allah pasti akan menggantinya sepuluh kali lipat kebaikan. Berbeda dengan orang yang bakhil, ia adalah orang yang terlalu cinta dunia dan ragu terhadap janji Allah . Karena itu, tempat yang layak bagi seorang dermawan adalah surga, sebaliknya tempat yang layak bagi orang bakhil adalah neraka.

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*

*Ketiga,* menjalin silaturrahim dan persaudaraan, walaupun hanya dengan ucapan salam. Dalam sebuah riwayat Imam Hakim dalam Kitab Mustadrok Ala Shohihain Juz 2 halaman 563, dengan sanad yang shahih Nabi bersabda,

 ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ حَاسَبَهُ اللَّهُ حِسَابًا يَسِيرًا وَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ قَالُوا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ، وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ» قَالَ: فَإِذَا فَعَلْتُ ذَلِكَ، فَمَا لِي يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَنْ تُحَاسَبَ حِسَابًا يَسِيرًا وَيُدْخِلَكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ

"Tiga hal yang menjadikan seseorang akan dihisab Allah dengan mudah dan akan dimasukkan ke surga dengan Rahmat-Nya. Sahabat bertanya, bagi siapa itu wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Nabi bersabda, "Engkau memberi orang yang menghalangimu, engkau memaafkan orang yang menzhalimimu, dan engkau menjalin persaudaraan dengan orang yang memutuskan silaturrahim denganmu". Sahabat bertanya, jika saya melakukannya, apa yang saya dapat wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Nabi bersabda, "Engkau akan dihisab dengan hisab yang ringan dan Allah akan memasukkanmu ke surga dengan rahmat-Nya." (HR. Al-Hakim)

Mengenai pentingnya silaturrahim, terdapat sebuah cerita dari Imam Ashbihani yang termaktub dalam kitab Irsyadul Ibad halaman 94, suatu ketika sahabat duduk di sisi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Kemudian Nabi bersabda, "Tidak boleh duduk dengan kami orang yang memutuskan silaturrahim," kemudian ada seorang pemuda keluar dari halaqoh, pemuda tersebut mendatangi bibinya untuk menyelesaikan sesuatu masalah di antara keduanya, kemudian bibinya meminta maaf terhadap pemuda tersebut. Setelah urusan selesai, pemuda kembali ke halaqoh, kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun pada suatu kaum, yang di dalamnya terdapat orang yang memutuskan persaudaraan." 

*Keempat," menjalankan shalat malam ketika banyak orang telah tidur terlelap. Shalat malam menjadi shalat yang spesial karena dilakukan di waktu banyak orang beristirahat dan lalai dari berdzikir kepada Allah subhanahu wata‘ala. Shalat malam juga menjadi indikasi seseorang jauh dari riya’ dan pamer dalam beribadah, karena di waktu ini banyak orang beristirahat. Sehingga bagi orang yang menjalankan ibadah di waktu malam mendapatkan ganjaran yang lebih, terutama oleh Nabi disabdakan sebagai orang yang akan masuk surga dengan tanpa kesulitan. Nabi juga bersabda: “Seutama-utama puasa setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim No. 1163)

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Menebarkan salam dan kedamaian, memberikan makanan, menjalin persaudaraan, dan shalat malam adalah anjuran dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, agar kitadapat menggapai surga dengan tanpa kesulitan dan tanpa banyak rintangan. Jika kita konsisten dan istiqamah dengan anjuran Nabi tersebut, Allah akan memberikan kita pertolongan untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi perbuatan yang kurang menyenangkan, sehingga di akhir hayat kita mendapatkan kematian yang husnul khotimah. Allâahumma Âamiîn. 

Perlu diingat, Nabi yang telah dijamin masuk surga oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala selalu giat dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Dalam kehidupan di tengah masyarakat, Nabi  selalu baik hati, riang dan sopan terhadap semua orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu yang lebih duluan memberikan salam, sekalipun kepada anak-anak dan para sahaya. Nabi selalu memberikan apa yang dimiliki kepada para sahabatnya, walaupun beliau sendiri dalam keadaan kekurangan. Nabi selalu bersilaturrahim dan memaafkan terhadap setiap orang, walaupun terhadap orang yang pernah memusuhinya, dan Nabi selalu menjalankan shalat malam, hingga kedua telapak kaki beliau membengkak. Semoga kita semua dapat mencontoh prilaku dan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ: أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا  باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ :

فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Selasa, 08 Oktober 2019

KAJIAN TENTANG PENGHUNI SURGA TERNYATA TIDAK ADA YANG "BERJENGGOT"


Setidaknya, ada 2 pendapat tentang Jenggot. Kelompok pertama, memelihara jenggot adalah sunnah Nabi, berpahala jika di lakukan, sedangkan kumis sunnah di cukur atau dirapikan. Kelompok kedua, memelihara jenggot bukanlah sunnah, karena bukan sunnah, pelihara boleh, potong habis juga boleh”.

Kelompok pertama yang berpendapat, hukum memelihara jenggot adalah sunnah, adalah berdasarkan hadits-hadits nabi.  Ada banyak hadits yang menjelaskan hal ini. Salah satunya riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)

Ada banyak lagi hadits yang maknanya serupa, yang jelas berdasarkan hadits-hadits ini kelompok pertama berpendapat hukum sunnah memelihara jenggot dan sunnah mencukur atau merapikan kumis…”.

Kelompok kedua berbeda pendapat, hukum memelihara jenggot adalah TIDAK sunnah. Dasar hukumnya sama, yaitu berdasarkan hadits-hadits Nabi yang menjelaskan tentang sunnah memelihara jenggot”.

Bagi Kelompok pertama ketika memahami hadits Nabi tentang memelihara jenggot, mereka cenderung ta-abbudi, pasif, menerima apa adanya, bagaimana teks hadits bunyinya, itu yang diamalkan. Karena Nabi memerintahkan untuk memelihara jenggot, maka memelihara jenggot menjadi sunnh hukumnya. Berbeda dengan kelompok kedua, mereka tidak memahami hadits apa adanya, mereka pelajari asbabul wurudnya, sehingga kemudian mereka bisa menemukan hukum sesungguhnya dari memelihara jenggot. Mereka juga mempelajarinya dari segi hadits tasyri’ atau ghoiru tasyri’. Hadits yang hanya menjelaskan kebiasaan Nabi tidaklah menimbulkan hukum . Memelihara Jenggot hanyalah kebiasaan Nabi, karenanya tidaklah menjadi sunnah hukumnya.

Terlepas dari perbedaan pendapat dua kelompok kaum muslimin tentang hukum jenggot, ada satu hal yang amat penting di ketahui bahwa Para Penghuni Surga ternyata tidak ada yang berjenggot. Hal ini tidak bermaksud menyerang kaum muslimin yang suka berjenggot dan menghukuminya sunnah, tetapi lebih kepada masalah memperkaya wawasan. Jika kita kaya akan wawasan, maka kita tidak mudah menyalahkan orang lain dan merasa paling benar.

Kita pernah mendengar riwayat Imam At-Tirmidzi yang mengisahkan bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bergurau dengan seorang perempuan tua yang meminta doanya agar Allah memasukkan nenek itu ke dalam surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ummu Fulan, Surga tak mungkin dimasuki oleh nenek tua.”

Berikut kelengkapan haditsnya,

Imam Tirmidzi dalam Asy-Syamail Muhammadiyah pada Bab “Sifat Candaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

عَنِ الحَسَنِ قَالَ : أَتَتْ عَجُوْزٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! اُدْعُ اللهَ أَنْ يُدْخِلُنِي الجَنَّةَ .فَقَالَ : ” ياَ أُمَّ فُلاَن ! إِنَّ الجَنَّةَ لاَ تَدْخُلُهَا عَجُوْزٌ ” . قَالَ : فَوَلَّتْ تَبْكِي . فَقَالَ : “أَخْبِرُوْهَا أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَ هِيَ عَجُوْزٌ ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْل : إنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً (35) فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا (36) عُرُبًا أَتْرَابًا (37)

Dari Al Hasan, ada seorang sepuh datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Seorang nenek tua pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nenek itu pun berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah pada Allah agar Dia memasukkanku dalam surga.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ummu Fulan, Surga tak mungkin dimasuki oleh nenek tua.” Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kabarilah dia bahwa surga tidaklah mungkin dimasuki dia sedangkan ia dalam keadaan tua. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqi’ah: 35-37). (HR. Tirmidzi dalam Asy Syamail Muhammadiyah no. 205).

Ketika nenek itu menangis, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta para sahabat mengejarnya, “Kabarkan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk ke surga dalam keadaan usia lanjut karena Allah berfirman, ‘Sungguhnya Kami menciptakan mereka dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya,'” (Surat Al-Waqi’ah ayat 35-37).

Pada riwayat lain, Imam At-Tirmidzi juga menyebutkan sifat-sifat ahli surga kelak di mana di dalamnya tidak ada orang tua, orang dengan bulu kumis, jenggot, dan bulu lainnya.

عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ، بني ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ رواه الترمذي

“Dari Muadz bin Jabal, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Penghuni surga kelak masuk ke dalamnya dalam keadaan tak berbulu, muda, dan bercelak mata, sekira usia 33 tahun,’” (HR At-Tirmidzi).

Kata Jurdan [جُرْدًا] merupakan bentuk jama' dari ajrad [أَجْرَد] yang artinya orang yang fisiknya tidak berbulu. (al-Qamus, hlm. 347)

Sementara Murdan [مُرْدًا] dari kata amrad [أَمْرَد], yang artinya pemuda yang baru tumbuh kumisnya dan belum tumbuh jenggotnya. (al-Qamus, hlm. 407)

Imam Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri dalam Kitab At-Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif, mengutip riwayat lain Imam At-Tirmidzi yang menyebutkan bahwa di surga tidak ada orang tua dan orang berbulu. Mereka akan senantiasa muda. Pakaian yang mereka kenakan takkan mengalami usang.

ورواه أيضا من حديث أبي هريرة رضي الله عنه وقال غريب ولفظه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أَهْلُ الْجَنَّةِ جُرْدٌ مُرْدٌ كُحْلٌ لَا يَفْنَى شَبَابُهُمْ وَلَا تَبْلَى ثِيَابُهُمْ

“Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, ini hadits gharib dengan lafal, Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Penghuni surga tidak berbulu, muda, dan bercelak mata. Masa muda mereka takkan sirna. Pakaian mereka takkan lusuh,’” (Lihat Imam Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri, At-Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif, [Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H], juz IV, halaman 299).

Menurut Said M Al-Lahham yang menahqiq Kitab At-Targhib wat Tarhib, kata “Jurdun dan murdun” bermakna bahwa di tubuh penghuni surga tidak ada bulu, tidak ada jenggot, dan mereka berusia muda. Mereka akan kekal termasuk semua benda yang ada di hadapan mereka, (Lihat Said M Al-Lahham dalam tahqiq At-Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif, [Beirut, Darul Fikr: 1998 M/1418 H], juz IV, halaman 299).

Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini yang diriwayatkan sejumlah perawi menyebutkan hal serupa. Hanya saja, pada riwayat ini disebutkan perihal warna kulit, bentuk rambut, dan perawakan penghuni surga.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال قال رسول الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم قَالَ : يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا بِيضًا جِعَادًا مُكَحَّلِينَ، أَبْنَاءَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ، وَهُمْ عَلَى خَلْقِ آدَمَ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فِي عَرْضِ سَبْعَةِ أَذْرُعٍ رواه أحمد وابن أبي الدنيا والطبراني والبيهقي كلهم من رواية علي بن زيد بن جدعان عن ابن المسيب عنه

“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Penghuni surga kelak masuk ke dalamnya dalam keadaan tak berbulu, muda, putih, berambut ikal, dan bercelak mata, sekira usia 33 tahun. Perawakan mereka seperti Nabi Adam 'alaihissalam, yaitu tinggi 60 hasta dan lebar 7 hasta,’” (HR Ahmad, Ibnu Abid Dunia, At-Thabarani, dan Al-Baihaqi. Semuanya mendapat riwayat dari Ali bin Zaid bin Jad’an, dari Ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah ra.).

Dalqm riwayat Ibnu Abid Dunya dalam kitab sifat ahlli jannah (no. 210), dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يدخل أهل الجنةِ الجنةَ على طول آدم عليه السلام ، ستون ذراعا بذراع الملك ، على حسن يوسف ، على ميلاد عيسى ثلاث وثلاثون سنة ، وعلى لسان محمد صلى الله عليه وسلم ، جرد مرد مكحلون

"Para penduduk surga ketika masuk surga, tingginya seperti Adam, 60 dzira, tampan seperti Yusuf, di usia seperti Isa sekitar 33 tahun, memiliki lisan seperti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, badan tidak berbulu, berpenampilan muda, dan bercelak." (HR. Ibnu Abid Dunya).

Adapun hadits berikut ini menerangkan hal serupa. Hadits riwayat Imam Al-Baihaqi ini menyebutkan bahwa usia manusia di dunia beragam. Sebagian orang wafat di masa tua. Sebagian lagi wafat di waktu muda. Bahkan ada orang yang wafat melalui insiden keguguran.

Panjang usia manusia di dunia memang ditakdirkan beragam. Semua itu tidak masalah. Tetapi usia penghuni surga kelak seragam sekira di angka 30 tahun atau 33 tahun.

وعن المقدام رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُوْتُ سِقْطاً وَلَا هَرِماً وَإِنَّمَا النَّاسُ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ إِلَّا بُعِثَ ابْنَ ثَلَاثٍ وَثَلَاثِيْنَ سَنَةً، فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ كَانَ عَلَى مَسْحَةِ آدَمَ، وَصُوْرَةِ يُوْسُفَ، وَقَلْبِ أيُّوبَ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عَظُمُوْا وَفَخُمُوْا كَالجِبَالِ رواه البيهقي بإسناد حسن

“Dari Al-Miqdam ra, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada satu pun orang nanti, baik yang mati keguguran atau mati ketuaan, hanya sanya di antara itu melainkan akan dibangkitkan sekira berusia 33 tahun. Jika ia penghuni surga, maka ia akan seperti perawakan Nabi Adam 'alaihissalam, rupa Nabi Yusuf 'alaihissalam, dan hati Nabi Ayub 'alaihissalam. Tetapi jika ia penghuni neraka, maka ia akan membesar dan membengkak seperti bukit,’” (HR Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).

Lalu bagaimana dengan berjenggot di dunia? Ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan bahwa pemeliharaan jenggot termasuk anjuran agama. Sementara ulama lain menyatakan bahwa pemeliharaan jenggot tidak termasuk anjuran agama, tetapi semata budaya sesuai aspek kepantasan.

Kedua perbedaan pendapat ini dapat ditemukan setidaknya di kitab-kitab ushul fiqih dan metodologi pemahaman hadits.

Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal jenggot, yang jelas kita berdoa mengharapkan rahmat Allah dan syafaat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dengan itu kita menjadi penghuni surga kelak meskipun tidak lagi berjenggot. Amin. Wallahu a‘lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud memyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*