MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 31 Mei 2018

KAJIAN TENTANG NUZULUL QUR'AN MALAM 17 RAMADHAN ATAU MALAM LAILATUL QADAR


Kapan Al Qur’an itu diturunkan? Sebagian mengatakan bahwa turunnya adalah 17 Ramadhan sehingga dijadikan peringatan Nuzulul Qur’an. Padahal tujuan Al Qur’an diturunkan bukanlah diperingati, yang terpenting adalah ditadabburi atau direnungkan sehingga bisa memahami, mengambil ibrah dan mengamalkan hukum-hukum di dalamnya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5).

Dalam surat Al Qadar di atas disebutkan bahwa Allah menurunkan Al Qur’an pada Lailatul Qadar. Malam ini adalah malam yang diberkahi sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi” (QS. Ad Dukhon: 3). Malam yang diberkahi yang dimaksud di sini adalah Lailatul Qadar yang terdapat di bulan Ramadhan. Karena Al Qur’an itu diturunkan di bulan Ramadhan seperti disebut dalam ayat,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran ” (QS. Al Baqarah: 185).

Ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan mengenai nuzulul Qur’an, yaitu waktu diturunkannya permulaan Al Qur’an. Ibnu ‘Abbas berkata,

أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العِزّة من السماء الدنيا، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Al Qur’an secara keseluruhan diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Lalu diturunkan berangsur-angsur kepada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuai dengan peristiwa-peristiwa dalam jangka waktu 23 tahun.” (HR. Thobari, An Nasai dalam Sunanul Kubro, Al Hakim dalam Mustadroknya, Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Ibnu Hajar pun menyetujui sebagaimana dalam Al Fath, 4: 9).

Adapun lembaran-lembaran atau shuhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar.

Al-Quran diturunkan pada malam Lailatul Qadar  secara keseluruhan, namun penyampaiannya kepada Nabi Muhammad dilakukan secara berangsur-angsur.

وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً

“Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra : 106)

Sebagaimana kita ketahui bahwa Lailatul Qadar sendiri berada pada 10 malam terakhir di Bulan Ramadhan.

Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah mengapa malam 17 Ramadhan di peringati sebagai Nuzulul Qur'an (Turunnya Alquran) ? Bukankan Al-Quran diturunkan pada malam lailtul Qadar (10 malam terakhir di Bulan Ramadhan) ?

Adapun yang menjadi dasar kaum muslimin memperingati Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan di mungkinkan karena pada tanggal tersebut di turunkannya ayat pertama Al-Qur’an dari surat Al-'Alaq kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari ayat 1 sampai 5.

Nuzulul Qur’an yang diperingati oleh umat Islam dimaksudkan itu adalah sebagai peringatan turunnya ayat Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yakni ayat 1-5 Surat Al-Alaq.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-'Alaq : 1-5)

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir didalam kitabnya ”Al Bidayah wa an Nihayah” menukil dari Al Waqidiy dari Abu Ja’far al Baqir yang mengatakan bahwa awal diturunkannya wahyu pertama kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan, akan tetapi ada juga yang mengatakan tanggal 24 Ramadhan.

Berikut adalah dalil bahwa Al-Qur’an diturunkan pertama ke Baitul Izzah sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam:

ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ، ﻗﺎﻝ: «ﻓﺼﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ اﻟﺬﻛﺮ، ﻓﻮﺿﻊ ﻓﻲ ﺑﻴﺖ اﻟﻌﺰﺓ ﻓﻲ اﻟﺴﻤﺎء اﻟﺪﻧﻴﺎ، ﻓﺠﻌﻞ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﻳﻨﺰﻟﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﻳﺮﺗﻠﻪ ﺗﺮﺗﻴﻼ»

Ibnu Abbas berkata: “Al-Qur’an dipisahkan dari Dzikir, kemudian Al-Qur’an diletakkan di Baitul Izzah. Lalu Jibril menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam dan membacakannya secara Tartil” (Riwayat Al-Hakim. Al-Hafidz Adz-Dzahabi menilai sahih)

Kapan terjadinya peristiwa tersebut?

ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ: {ﺇﻥ ﻛﻨﺘﻢ ﺁﻣﻨﺘﻢ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﻣﺎ ﺃﻧﺰﻟﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺪﻧﺎ ﻳﻮﻡ اﻟﻔﺮﻗﺎﻥ} [ اﻷﻧﻔﺎﻝ: 41] ” ﻳﻌﻨﻲ ﺑﺎﻟﻔﺮﻗﺎﻥ : ﻳﻮﻡ ﺑﺪﺭ، ﻳﻮﻡ ﻓﺮﻕ اﻟﻠﻪ ﺑﻴﻦ اﻟﺤﻖ ﻭاﻟﺒﺎﻃﻞ

Firman Allah: “… Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-‘Anfāl: 41).

Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan ‘Furqan’ adalah perang Badar, hari dimana Allah memisah antara yang benar dan salah (Riwayat Al-Hakim. Al-Hafidz Adz-Dzahabi menilai sahih)

Kapan terjadinya perang Badar? Ulama ahli Tafsir yang juga ahli hadis dan sejarah, Al-Hafidz Ibnu Katsir menyampaikan sebuah riwayat:

ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﻗﺎﻝ: ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻔﺮﻗﺎﻥ، ﻟﻴﻠﺔ اﻟﺘﻘﻰ اﻟﺠﻤﻌﺎﻥ، ﻓﻲ ﺻﺒﻴﺤﺘﻬﺎ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻟﺴﺒﻊ ﻋﺸﺮ ﻣﻀﺖ ﻣﻦ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ.

Ali (bin Abi Thalib) berkata: “Malam Furqan adalah malam bertemunya 2 pasukan, pagi harinya malam Jum’at, 17 Ramadlan”
Ibnu Katsir memberi penilaian:

ﻭﻫﻮ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻐﺎﺯﻱ ﻭاﻟﺴﻴﺮ

Ini adalah pendapat yang sahih menurut ulama ahli peperangan dan ahli sejarah (Tafsir Ibnu Katsir 4/66)

Kemudian kaitannya dengan malam Lailatul Qadar yang terletak setelah tanggal 20 Ramadlan? Alhamdulillah saya temukan jawabannya dalam kitab Syu’abul Iman karya Imam Al-Baihaqi:

ﻋﻦ ﺣﻮﻁ اﻟﻌﺒﺪﻱ، ﻗﺎﻝ: ﺳﺌﻞ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺭﻗﻢ ﻋﻦ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻘﺪﺭ، ﻓﻘﺎﻝ: ” ﻟﻴﻠﺔ ﺗﺴﻊ ﻋﺸﺮﺓ ﻣﺎ ﻳﺸﻚ ﻭﻻ ﻳﺴﺘﺜﻨﻲ ﻭﻗﺮﺃ: {ﻳﻮﻡ اﻟﻔﺮﻗﺎﻥ ﻳﻮﻡ اﻟﺘﻘﻰ اﻟﺠﻤﻌﺎﻥ} [ اﻷﻧﻔﺎﻝ: 41]

Dari Hauth Al-Abdi bahwa Zaid bin Arqam ditanya tentang Lailatul Qadar. Beliau menjawab bahwa malam 17 Ramadlan tidak diragukan dan tidak dikecualikan sebagai Lailatul Qadar. Kemudian beliau membaca ayat: “… Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-‘Anfāl: 41)

” ﻗﺎﻝ اﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ: ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻳﻨﺎ ﻓﻲ اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ” ﻛﺎﻥ ﻳﻄﻠﺒﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﻌﺸﺮ اﻷﻭاﺳﻂ، ﺛﻢ ﺑﻴﻦ ﻟﻪ ﺃﻧﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﻌﺸﺮ اﻷﻭاﺧﺮ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﻧﺴﻲ ﻓﻲ ﺃﻱ ﻟﻴﻠﺔ ﻫﻲ ﻣﻦ اﻟﻌﺸﺮ اﻷﻭاﺧﺮ

Ahmad (bin Hanbal) berkata: “Kami menerima riwayat pada tahun kedua dari Nabi shalallahu alaihi wasallam bahwa beliau mencari Lailatul Qadar di 10 hari pertengahan Ramadhan.
Kemudian diberi tahu kepada Nabi bahwa Lailatul Qadar ada di 10 hari terakhir, hanya saja Nabi lupa kapan tepatnya malam tersebut dari 10 hari terakhir” (Syu’abul Iman)
Itulah mengapa malam 17 Ramadhan diperingati sebagai malam Nuzulul Qur'an (Turunnya Al-Qur’an), hal tersebut di karenakan Ayat Al-Qur’an pertama yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diturunkan pada tanggal tersebut. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 27 Mei 2018

KAJIAN TENTANG ZAKAT MAAL, ZAKAT FITRAH YANG DIUANGKAN


Ada pertanyaan tentang validitas hukum terkait info zakat fitrah diuangkan yang viral di medsos khususnya group WA sbb:

Info Kadar Zakat Fitrah 1438 H / 2018, berdasarkan Hasil Musyawarah bersama Pengadilan Agama, Unsur Pemerintah Daerah, BAZNAS, MUI, BWI dan Kementerian Agama, serta perwakilan Tokoh Agama pada tanggal 13 April 2018 di Kantor BAZNAS, berdasarkan harga bahan pokok yang terjual dimasyarakat  serta hasil saran pendapat dan musyarawarah menyepakati sebagai berikut :

Besaran Zakat Fitrah Tahun 1439 H/2018 M yaitu dengan nilai uang sebesar *Rp. 38.000,- (Tiga Puluh Delapan Ribu Rupiah)*

*Dituangkan dalam SK BAZNAS No. 042.01.Kep/BAZNAS-KT/2018*

*Jawaban:*

Untuk pembahasan bolehkah zakat fitrah ditunaikan dengan qimah (diuangkan), maka kita harus meninjau dari sisi zakat harta (emas, perak, mata uang, barang dagangan, hasil pertanian, hewan ternak, harta karun) dan zakat fitrah.

Telah diketahui bahwa zakat hewan ternak dikeluarkan dengan hewan ternak pula. Zakat hasil pertanian dikeluarkan 10% atau 5% dari hasil panen. Begitu pula dengan zakat emas dan perak dikeluarkan 2,5% dari keduanya. Apakah kita harus mengeluarkan zakat sesuai dengan yang sudah ditentukan ini? Ataukah zakat boleh saja dikeluarkan dengan sesuatu yang senilai (qimah), misalnya uang?

Qimah adalah sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat, bisa jadi disetarakan dengan uang, makanan atau pakaian.

*Zakat Maal*

Ada dua pendapat dalam masalah ini.

*Pendapat pertama:*

Tidak boleh, tetap harus dikeluarkan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan dalam dalil.

Demikian pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Daud Azh Zhohiri. Alasannya karena ketentuannya telah demikian.
Yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama ini adalah hadits-hadits berikut ini.

Abu Bakr Ash Shiddiq menyebutkan jumlah zakat sesuai yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,

فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ إِلَى أَنْ تَبْلُغَ خَمْسًا وَثَلاَثِينَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ

“Jika unta telah mencapai 25-35 ekor, maka ada kewajiban zakat dengan 1 bintu makhodh (unta betina umur 1 tahun). Jika tidak ada bintu makhodh, maka boleh dengan 1 ibnu labun (unta jantan umur 2 tahun).” [HR. Abu Daud no. 1567, An-Nasai no. 2447, Ibnu Majah no. 1798 dan Ahmad 1: 11]

Jika boleh diganti dengan yang lain yang senilai semacam uang, tentu akan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan.

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …” [HR. Bukhari no.1503 dan Muslim no.984]

Dalam hadits ini juga tidak disebutkan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat fithri tadi) semisal uang. Padahal jika ada hajat hal tersebut pasti dijelaskan. Namun tetap dibatasi hanya pada makanan pokok seperti kurma dan gandum.

*Pendapat kedua:*

Boleh dikeluarkan dengan yang senilai, misalnya dengan uang dan pakaian. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, pendapat Imam Bukhari, salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad.

*Diantara dalil yang digunakan:*

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu,

مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ

“Barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun) sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun); maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat hiqqoh sedangkan dia tidak memiliki hiqqoh namun dia memiliki jadza’ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia diberi dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah terkena kewajiban zakat hiqqoh namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun (unta berumur 2 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqoh; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu makhod, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.“ [HR. Bukhari no.1453]

Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya.

Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,

ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ

“Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.” [HR. Bukhari no.525]

Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.

*Zakat Fitrah*

Jika zakat harta yang kita bahas di atas boleh ditunaikan dengan uang atau yang senilai dengannya, berbeda halnya dengan zakat fitrah. Zakat fitrah sunnahnya dengan makanan pokok dan tidak bisa diganti uang. Ada beberapa alasan dalam hal Ini:

1. Para sahabat mengkonversikan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum dengan setengah sho’ burr (sejenis gandum).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

قَالَ فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu sho’kurma atau satu sho’gandum”. Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah sho’ burr.” [HR. Bukhari no.1511].

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

فَعَدَلَ النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ

“Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah sho’ burr”. Naafi’ berkata : “’Abdullah (bin ‘Umar) memberikan kurma. Lalu penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia (‘Abdullah) memberikan gandum.” [HR. Abu Daud no.1615].

‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithri satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum”. Ibnu ‘Umar berkata,

فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ

“Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd (setengah sho’) hinthah (sejenis gandum).” [HR. Bukhari no.1507 dan Muslim no.984]

Hadits-hadits di atas masih menunjukkan bahwa zakat fitrah dengan makanan, bukan dengan uang, pakaian atau sesuatu yang senilai lainnya.

2. Hadits yang dipahami bolehnya zakat dengan qimah seperti diterangkan dalam hadits Anas mengenai surat Abu Bakr dan riwayat Mu’adz yang memerintahkan membayar zakat dengan pakaian, hanya berlaku untuk zakat harta yaitu zakat hewan ternak serta zakat gandum dan jagung (hasil pertanian), qimah-nya pun terbatas yang disebutkan dalam hadits, namun sebagian ulama mengqiyaskan bolehnya zakat fitrah dengan uang sebagaimana bolehnya zakat maal dengan uang.

*Tinjauan Fiqih*

Terdapat 2 pendapat berbeda mengenai hukum membayarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang senilai zakat yang dikeluarkan.

*Pendapat pertama:*

Menurut pendapat mayoritas ulama’, dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan.

Salah satu dalilnya adalah hadits yang menyatakan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum,” (Shahih Bukhari, no. 1503 dan Shahih Muslim, no. 984).

Dari hadits diatas para ulama’ yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa apabila seseorang mengeluarkan zakat dengan uang yang senilai dengan apa yang telah ditetapkan, berarti ia mengeluarkan zakat tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diwajibkan.

*Pendapat kedua:*

Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat bahwa membayar zakat fitrah dengan uang yang senilai hukumnya boleh.

Para ulama’ madzhab Hanafi memahami bahwa tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah agar semua orang Islam tercukupi kebutuhannya pada hari raya idul fitri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits:

أَغْنُوهُمْ عَنْ الْمَسْأَلَةِ فِي مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ

"Cukupilah kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti ini." (Sunan Daruqutni, no. 67)

Sedangkan mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dan miskin tidak harus dengan makanan pokok, namun bisa juga dengan menggunakan uang, bahkan membayar zakat dengan uang itu lebih afdhol, karena dengan uang seseorang bisa memenuhi kebutuhannya seketika, sebab dengan uang mereka bisa membeli berbagai kebutuhannya.

أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.

"Imam al-Bulqiny telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang Aku (pengarang) telah menyakininya, Aku mengerjakanya meskipuin hal itu bertentangan dengan Madzhab al-Syafi'i , Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan didalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi didalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak emendapatkan penggatinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena Dia termasuk golongan ahli al-Tahrij dan al-Tarjih, Apalgi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut." (Ghooyaah Talkhish al-Murood Min Fatawi Ibn Ziyaad Hal.112).

*Referensi lainnya:*

Bughyah Al Mustarsyidin hal.103

وعبارة ى، لايجوز اخراج الفطرة الا من غالب قوت بلد المؤدى عنه وعلى مستحقيه مطلقا كما فى التحفة و م ر وغيرهما. لكن ظاهر الفتح والامداد، انه يلزم فى غير المكلف ان تكن من غالب قوت البلد المؤدى وعلى مستحقيه. ( بغية المسترشدين ص ١٠٣ )

I'anah At-Tholibin Juz 2 hal.173.

( فرع ) لاتجزىء قيمة. ( اعانة الطالبين ج ٢ ص ١٧٣ ) ( قوله ولا دفع القيمة ( اى لايجوز ولا يجزىء دفع القيمة عن الزكاة المتعلقة بالاعيان غير مال التجارة. ( ترشيح المستفيدين ص ١٥٤ )

Kenapa dalam madzhab Syafi'i tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan qimah ? Berikut jawaban dan paparan Imam Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin  juz I halaman 213 dalam fasal :

في الأداء وشروطه الباطنة والظاهرة
والقسم الثالث: هو المركب الذي يقصد منه الأمران جميعاً وهو حظ العباد وامتحان المكلف بالاستعباد، فيجتمع فيه تعبد رمي الجمار وحظ رد الحقوق فهذا قسم في نفسه معقول، فإن ورد الشرع به وجب الجمع بين المعنيين
ولا ينبغي أن ينسى أدق المعنيين وهو التعبد والاسترقاق بسبب أجلاهما، ولعل الأدق هو الأهم والزكاة من هذا القبيل
ولم ينتبه له غير الشافعي رضي الله عنه فحظ الفقير مقصود في سد الخلة وهو جلي سابق إلى الأفهام وحق التعبد في اتباع التفاصيل مقصود للشرع. وباعتباره صارت الزكاة قرينة للصلاة والحج في كونها من مباني الإسلام.
ولاشك في أن على المكلف تعباً في تمييز أجناس ماله وإخراج حصة كل مال من نوعه وجنسه وصفته. ثم توزيعه على الأصناف الثمانية كما سيأتي.
والتساهل فيه غير قادح في حظ الفقير لكنه قادح في التعبد

Al-Mudawwanah, juz 1 hal. 392 (Madzhab Maliki)

وقال مالك: ولا يجزئ الرجل أن يعطي مكان زكاة الفطر عرضا من العروض، قال: وليس كذلك أمر النبي - صلى الله عليه وسلم -، وأن مالكا أخبرني أن زيد بن أسلم حدثه عن عياض بن عبد الله بن سعد بن أبي سرح العامري، أنه سمع أبا سعيد الخدري يقول: كنا نخرج زكاة الفطر صاعا من طعام أو صاعا من شعير أو صاعا من تمر أو صاعا من أقط أو صاعا من زبيب.

Al-Majmu’, juz 6 hal. 144 (Madzhab Syafi’i)

مسألة: لا تجزئ القيمة في الفطرة عندنا وبه قال مالك وأحمد وابن المنذر. وقال أبو حنيفة يجوز وحكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عبد العزيز والثوري

Al-Mughni, juz 3 hal. 87 (Madzhab Hanbali)

(ومن أعطى القيمة، لم تجزئه) قال أبو داود قيل لأحمد وأنا أسمع: أعطي دراهم - يعني في صدقة الفطر - قال: أخاف أن لا يجزئه خلاف سنة رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وقال أبو طالب، قال لي أحمد لا يعطي قيمته، قيل له: قوم يقولون، عمر بن عبد العزيز كان يأخذ بالقيمة، قال يدعون قول رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ويقولون قال فلان، قال ابن عمر: فرض رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وقال الله تعالى: {أطيعوا الله وأطيعوا الرسول} [النساء: 59] . وقال قوم يردون السنن: قال فلان، قال فلان. وظاهر مذهبه أنه لا يجزئه إخراج القيمة في شيء من الزكوات.

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 3 hal. 2044 - 2046 (Fiqih Perbandingan)

قال الحنفية: تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء: الحنطة والشعير والتمر والزبيب - إلى أن قال - دفع القيمة عندهم: يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوسا أو عروضا أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلى الله عليه وسلم: «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.
دفع القيمة عندهم: لا يجزئ عند الجمهور إخراج القيمة عن هذه الأصناف، فمن أعطى القيمة لم تجزئه، لقول ابن عمر: «فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم صدقة الفطر صاعا من تمر، وصاعا من شعير» فإذا عدل عن ذلك فقد ترك المفروض.

Al-Mabsuth, juz 3 hal. 107 (Madzhab Hanafi)

فإن أعطى قيمة الحنطة جاز عندنا؛ لأن المعتبر حصول الغنى وذلك يحصل بالقيمة كما يحصل بالحنطة، - إلى أن قال - وكان الفقيه أبو جعفر - رحمه الله تعالى - يقول: أداء القيمة أفضل؛ لأنه أقرب إلى منفعة الفقير فإنه يشتري به للحال ما يحتاج إليه

Dari penjelasan singkat teks arabic kitab-kitab fikih diatas semoga kita mengetahui bahwa masalah ini termasuk permasalahan khilafiyah dimana para ulama’ yang berbeda pendapat masing-masing memiliki dasar yang kuat. Karena itu tak sepatutnya masalah ini terus menerus diperdebatkan, diperselisihkan apalagi samapai menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 23 Mei 2018

KAJIAN ASAL MULA SHALAT TARAWIH 20, 36, DAN 8 RAKAAT


Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah, meski dimasa Nabi belum dikenal dengan sebutan *Shalat Tarawih tetapi Qiyamu Lail atau Qiyamu Ramadhan.*

Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.

Di zaman Rasulullah ﷺ masih hidup, beliau memerintahkan untuk memperbanyak salat malam di bulan Ramadhan dalam bentuk yang muthlaq tanpa disertai penjelasan berapa rakaatnya. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 65)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ mendorong kaum muslimin untuk melakukan qiyam Ramadhan, yakni salat malam di bulan Ramadhan atau salat tarawih dengan dorongan yang bersifat muthlaq, tanpa disertai penjelasan berapa rakaatnya. Dengan perintah yang seperti ini, mudah dipahami jika para shahabat melaksanakan perintah itu sesuai kemampuannya. Bagi yang merasa kuat mungkin akan salat dengan banyak rakaat dan bagi yang merasa lemah mungkin akan salat dengan rakaat dengan jumlah yang sedikit.

Rasulullah ﷺ sendiri pernah mengimami kaum muslimin salat malam di bulan Ramadhan selama tiga hari. Peristiwa ini dilaporkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha sebagaimana diriwayatkan Muslim. Namun laporan Aisyah Radhiyallahu ‘anha tidak disertai keterangan berapa rakaat yang dijalankan Rasulullah ﷺ. Seakan-akan jumlah rakaat di zaman itu bukan suatu hal yang ditekankan sehingga tidak perlu dibahas. Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (4/ 148)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

“Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya pada suatu malam (di bulan Ramadhan), Rasulullah ﷺ salat di Masjid, lalu diikuti oleh beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau salat lagi, dan ternyata diikuti oleh banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah ﷺ tidak keluar salat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan salat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (salat malam Ramadhan itu) akan diwajibkan atas kalian.”

Pada 10 terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah ﷺ juga sempat mengimami kaum muslimin salat malam selama tiga hari pada tanggal-tanggal ganjil. Namun, peristiwa ini juga dilaporkan tanpa ada keterangan jumlah rakaat yang dilakukan Nabi ﷺ . Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (1/ 521)
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ.

“Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; “Kami pernah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah ﷺ , dan beliau tidak pernah mengerjakan salat malam bersama kami dalam bulan Ramadhan itu sampai tersisa tujuh malam. Maka (di malam ketujuh tanggal 23 Ramadhan) beliau salat malam mengimami kami sampai berlalu sepertiga malam. Ketika tiba malam keenam (yakni tanggal 24 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam.Ketika tiba malam kelima (yakni tanggal 25 Ramadhan), beliau salat malam mengimami kami hingga tengah malam berlalu. Aku (Abu Dzarr) berkata; “wahai Rasulullah, alangkah baiknya sekiranya engkau menambahi lagi salat malam ini.” Abu Dzar berkata; Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila seseorang salat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan di catat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan salat malam) semalam suntuk.” Kata Abu Dzar; “Ketika tiba malam ke empat (yakni tanggal 26 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam. Ketika tiba malam ketiga (yakni tanggal 27 Ramadhan), beliau mengumpulkan keluarganya, isteri-isterinya dan orang-orang, lalu salat malam mengimami kami, sampai kami khawatir ketinggalan “Al Falah.” Jabir bertanya; “Apakah al falah itu?” Jawabnya; “Waktu sahur. Setelah itu beliau tidak lagi mengimami salat malam bersama kami pada hari-hari sisanya di bulan tersebut (yakni tanggal 28 dan 29 Ramadhan).”

Demikianlah kondisi salat tarawih di masa Nabi ﷺ . Kita tidak mendapatkan data yang tegas dan pasti berapa jumlah rakaat yang dilakukan oleh beliau. Kaum muslimin pun melakukan salat tarawih dengan kondisi yang bermacam-macam. Ada yang salat sendirian, ada yang berjamaah. Ada yang melakukannya di rumah dan ada yang melakukannya di masjid. Semuanya tanpa disertai informasi yang jelas berapa jumlah rakaat yang mereka kerjakan. Kondisi ini berlanjut di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu sampai beliau dipanggil oleh Allah ﷻ.

Ketika datang di zaman Umar Radhiyallahu ‘anhu, beliau berinisiatif untuk membuat salat tarawih lebih teratur lagi. Beliau memerintahkan agar salat tarawih disatukan di bawah pimpinan satu imam di dalam masjid. Mulai hari itulah salat tarawih dilakukan secara berjamaah selama sebulan penuh. Hal baru yang belum pernah ada di zaman Nabi ﷺ ini diakui Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa hal itu baru, namun beliau menegaskan itu adalah hal baru yang baik karena tidak bertentangan dengan petunjuk Nabi ﷺ . Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (7/ 135)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob Radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang salat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang salat sendiri dan ada seorang yang salat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya salat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang salat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang salat awal malam’ Beliau memaksudkan orang yang mendirikan salat di akhir malam (lebih baik dari pada yang melakukannya di akhir malam), sedangkan orang-orang secara umum melakukan salat pada awal malam”

Di masa Umar Radhiyallahu ‘anhu inilah, mulai ada informasi jelas terkait jumlah rakaat yang dilakukan. Yazid bin Ruman meriwayatkan bahwa jumlah rakaat yang dilakukan di zaman Umar adalah 23 rakaat (20 salat tarawih dan 3 rakaat salat witir). Malik meriwayatkan;

موطأ مالك (1/ 342)
عَنْ مَالِك عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Dari Yazid bin Ruman dia berkata; “Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam sebanyak dua puluh tiga rakaat.”

Yazid bin Ruman, perawi tsiqoh dalam riwayat di atas, meskipun tidak pernah bertemu Umar, tetapi tidak diragukan lagi beliau pasti bertemu dengan sekolompok orang-orang yang sempat mengalami zaman Umar sehingga informasinya bisa dipegang.

Informasi yang senada juga disampaikan Abu Al-Hasna’, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

مصنف ابن أبي شيبة (2/ 393)
عَنِ أَبِي الْحَسْنَاءِ : أَنَّ عَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Dari Abu Al-Hasna’ bahwasanya Ali memerintahkan seorang lelaki untuk mengimami mereka di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat”

Demikian pula riwayat Abdul Aziz bin Rufai’;

مصنف ابن أبي شيبة (2/ 393)
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ ، قَالَ : كَانَ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ.

“Dari Abdul Aziz bin Rufai’ dia berkata, ‘Ubay bin Ka’ab mengimami orang-orang di bulan Ramadhan di Madinah sebanyak 20 rakaat dan berwitir tiga rakaat”

Demikian pula riwayat As-Saib bin Yazid;

مصنف عبد الرزاق الصنعاني (4/ 260)
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، ” أَنَّ عُمَرَ: جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَعَلَى تَمِيمٍ الدَّارِيِّ عَلَى إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَكْعَةُ يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينَ وَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ ”

“Dari As-Saib bin Yazid, bahwasanya Umar mengumpulkan orang-orang di bulan Ramadhan untuk diimami Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari sebanyak 21 rakaat. Mereka membaca surat-surat mi-in dan pulang menjelang fajar”
Dalam riwayat As-Saib ini, tarawih disebut 21 rakaat. Hal ini tidak masalah, karena salat tarawihnya 20 rakaat sementara witirnya 1 rakaat. Jadi yang disepakati adalah 20 rakaat. Riwayat yang menyebut 21 atau 23 itu maksudnya adalah perbedaan jumlah rakaat witirnya .

Asy-Syafi’i juga bersaksi bahwa salat tarawih 20 rakaat itu dipraktekkan di negeri tempat beliau tinggal; Mekah. At-Tirmidzi meriwayatkan;

سنن الترمذى (3/ 299)
و قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً

“Syafi’i berkata; “Demikian juga kami dapati penduduk kota Makkah, mereka shalat sebanyak dua puluh rakaat.”
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas dan yang semisal dengannya, sejumlah imam madzhab menegaskan bahwa salat tarawih disunnahkan dilakukan sebanyak 20 rakaat. 3 imam madzhab berpendapat dengan pendapat ini, yaitu Abu Hanifah, Asy-Syafi’I, dan Ahmad. Ats-Tsauri sependapat dengan 3 imam tersebut. Menurut At-Tirmidzi, salat tarawih 20 rakaat ini bahkan menjadi pendapat mayoritas ulama. At-Tirmidzi berkata;

سنن الترمذى (3/ 299)
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً

“Sebagian besar ulama berpendapat dua puluh rakaat dengan berdasarkan riwayat dari ‘Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Nabi ﷺ ”

Ibnu Abdil Barr memerinci sebagian nama-nama mereka. Beliau berkata;

الاستذكار (2/ 69)
وَرُوِيَ عِشْرُونَ ركعة عن علي وشتير بن شكل وبن أَبِي مُلَيْكَةَ وَالْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ وَأَبِي الْبَخْتَرِيِّ وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَبِهِ قَالَ الْكُوفِيُّونَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ وَهُوَ الصَّحِيحُ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ (مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَقَالَ عَطَاءٌ أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلَاثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ

“Diriwayatkan 20 rakaat dari Ali, Syittir bin Syakl, Ibnu Abi Mulaikah, Al-Harits Al-Hamdani dan Abu Al-Bakhtari. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan ini adalah pendapat ulama-ulama Kufah, Asy-Syafi’i, dan mayoritas fuqoha’. Ini adalah riwayat shahih dari Ubay bin Ka’ab tanpa ada pengingkaran dari para shahabat. ‘Atho’ berkata; Aku mengalami masa orang-orang yang salat 23 rakaat sekalian witirnya”

Demikianlah asal-usul munculnya pendapat tarawih 20 rakaat.

Ada pula riwayat mengenai shalat tarawih 11 raka’at di masa shahabat ‘Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu.

Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut,

وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ.

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115)

Hanya saja, penduduk kota Madinah sedikit berbeda dengan penduduk Mekah. Asy-Syafi’I telah bersaksi bahwa pada zamannya penduduk Mekah salat tarawih sebanyak 20 rakaat. Ini juga disaksikan penduduk Madinah. Sudah diketahui bahwa salat tarawih di zaman itu selalu disertai jeda istirahat setiap selesai mengerjakan 4 rakaat yang disebut dengan istilah tarwihah. Malahan, dari jeda istirahat ini nama salat tarawih diambil, karena tarawih adalah bentuk jamak dari tarwihah itu. Oleh karena jeda istirahat dilakukan setiap selesai mengerjakan empat rakaat, sementara jumlah rakaat tarawih yang dikerjakan ada 20 rakaat, berarti mereka melakukan jeda istirahat sebanyak empat kali. Waktu jeda istirahat ini cukup lama, sehingga penduduk Mekah masih sempat melakukan tawaf 7 kali putaran dan salat dua rakaat. Penduduk Madinah melihat ini. Oleh karena mereka di Madinah tidak mungkin mengerjakan tawaf, maka mereka mengganti tawaf dan dua rakaat yang dilakukan penduduk Mekah dengan salat empat rakaat. Karena ada empat kali tarwihah, maka mereka melakukan salat empat rakaat sebanyak empat kali sehingga mereka menambah rakaat salat tarawih sebanyak 16 rakaat. Jadi totalnya mereka mengerjakan 20 + 16 = 36 rakaat. An-Nawawi berkata;

المجموع شرح المهذب (4/ 33)
وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ مِنْ فِعْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا سَبَبُهُ أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ كَانُوا يَطُوفُونَ بَيْنَ كُلِّ تَرْوِيحَتَيْنِ طَوَافًا وَيُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ وَلَا يَطُوفُونَ بَعْدَ التَّرْوِيحَةِ الْخَامِسَةِ فَأَرَادَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مُسَاوَاتَهُمْ فَجَعَلُوا مَكَانَ كُلِّ طَوَافٍ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَزَادُوا سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثٍ فَصَارَ الْمَجْمُوعُ تِسْعًا وَثَلَاثِينَ

“Adapun riwayat yang mereka ceritakan terkait amalan penduduk Madinah, ulama yang semadzhab dengan kami menjelaskan sebabnya (sebagai berikut). Penduduk Mekah melakukan tawaf di antara dua tarwihah dan melakukan salat dua rakaat. Namun mereka tidak melakukan tawaf pada tarwihah kelima. Maka penduduk Madinah ingin menyamai mereka sehingga mereka melakukan salat empat rakaat sebagai kompensasi tawaf tersebut. Akibatnya, mereka menambah 16 rakaat dan melakukan salat witir 3 rakaat. Totalnya menjadi 39 rakaat”

Akhirnya inilah yang menjadi amalan penduduk Madinah sebagaimana yang diriwayatkan dari imam Malik. Ibnu Abdil Hadi berkata;

شرح كتاب الصيام من المحرر لابن عبدالهادي (ص: 51)
وقال مالك: أدركت الناس يصلون في المدينة ستاً وثلاثين ركعة

“Malik berkata, “aku mengalami masa orang-orang di madinah yang salat sebanyak 36 rakaat”

Ini pula yang difatwakan Imam Malik terkait jumlah rakaat salat tarawih, dan itu pula yang menjadi madzhabnya. Ketika mereka mendapati riwayat bahwa Nabi ﷺ kadang-kadang berwitir dengan 3 rakaat, sementara di lain waktu beliau berwitir 5 rakaat maka mereka mereka pun menutup salat witir karang-kadang 3 rakaat sehingga totalnya 39 rakaat, dan kadang-kadang menutupnya dengan 5 rakaat sehingga totalnya 41 rakaat. Demikianlah asal-usul pendapat salat tarawih 36 rakaat.

Sampai di sini bisa disimpulkan, bahwa ikhtilaf fikih di masa generasi tabi’ut tabi’in dan sesudahnya adalah perbedaan jumlah rakaat antara 20 ataukah 36 rakaat. Waktu itu belum dikenal pendapat 8 rakaat untuk salat tarawih.
Setelah itu, di masa belakangan muncullah upaya meneliti kembali masalah ini di kalangan ahli hadis. Mereka menyelidiki bagaimana salat malam Rasulullah ﷺ baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hasil kajian mereka menyimpulkan bahwa Rasulullah ﷺ dalam melakukan salat malam tidak pernah melebihi 8 rakaat. Riwayat terbaik dan paling lugas yang mereka jadikan dasar adalah hadis Aisyah berikut ini;

صحيح البخاري (4/ 319)
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا

“Dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwasanya dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha tentang cara salat Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Maka ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab: “Tidaklah Rasulullah ﷺ melaksanakan salat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at, Beliau salat empat raka’at, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat raka’at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga raka’at”.

Demikian kajian tentang shalat tarawih bahwa sebenarnya tidak ada masalah dalam kuantitas raka’at, baik 11 atau 23 raka’at tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah mereka yang tidak mengerjakannya. Sehingga tidaklah tepat jika shalat tarawih 23 raka’at dikatakan bid’ah. Lihat saja sejak masa sahabat dan tabi’ain mereka pun melaksanakan shalat malam lebih dari 11 raka’at.

Dari sini juga tidaklah tepat jika seseorang bubar terlebih dahulu pada shalat imam padahal masih 8 raka’at karena ia berkeyakinan bahwa shalat malam hanya 11 raka’at sehingga ia tidak mau mengikuti shalat imam yang 23 raka’at. Jika memang shalat imam itu thuma’ninah, maka bermakmum di belakangnya adalah pilihan yang tepat. Jika seseorang bubar dulu sebelum imam selesai, sungguh ia telah kehilangan pahala yang teramat besar sebagaimana disebutkan dalam hadits,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Bukhari no.1220 dan Muslim no.545)

Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam, meskipun itu 23 raka’at. Itulah yang lebih tepat selama shalat 23 raka’at itu thuma’ninah. Jika shalatnya terlalu cepat, sebaiknya cari jama’ah yang lebih thuma’ninah dalam kondisi seperti itu. Wallahu ‘alam bish showab.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

والله الموفق الى أقوم الطريق

Selasa, 22 Mei 2018

KAJIAN TENTANG HUKUM MENCIUM KAKI IBU, BAPAK ATAU ULAMA


Hukum mencium kaki ibu dalam islam boleh dilakukan dan boleh juga tidak. Seperti pengibaratan surga di bawah kaki ibu itu hanya makna kiasan untuk lebih mudah dipahami oleh setiap orang bahwa ibu adalah manusia yang wajib kita hargai dan kita hormati karena pengorbanannya yang begitu besar untuk anak-anaknya.

Dalam islam mencium kaki ibu jika niatnya karena untuk menunjukkan kasih sayang kita kepadanya sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun apabila mencium kaki ibu dengan niat mengagung-agungkannya, itu dianggap sebuah kesyirikan. Mengapa demikian? karena yang boleh disembah hanyalah Allah. Hal tersebut masuk dalam kategori menyekutukan Allah dan Allah sangat membencinya.

Adapun kalau hanya sekedar mencium kaki ibu maka ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan dengan berdalil bahwa para shahabat pernah mencium tangan dan kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy di dalam “Al-Adabul Mufrad” dan Abu Dawud dari hadits Zari’ dan beliau pernah menjadi delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata:

ﻟَﻤَّﺎ ﻗَﺪِﻣْﻨَﺎ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳْﻨَﺔَ ﻓَﺠَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻧَﺘَﺒَﺎﺩَﺭُ ﻣِﻦْ ﺭَﻭَﺍﺣِﻠِﻨَﺎ ﻓَﻨُﻘَﺒِّﻞُ ﻳَﺪَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺭِﺟْﻠَﻪُ

“Tatkala kami sampai di Madinah maka kami bersegera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaki beliau”. (HR. Bukhari dan Abu Daud)

Ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa di antara para shahabat ada yang mencium tangan dan kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari beberapa hadits tersebut ada yang shahih dan ada pula yang dha’if.

ﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﺗَﻘْﺒِﻴْﻞُ ﻳَﺪِ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﻭَﺍﻟﺰَّﺍﻫِﺪِ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻢِ، ﻭَﻧَﺤْﻮِﻩِ

“Disunnahkan mencium tangan orang shalih, orang zuhud, orang ‘alim dan yang semisalnya”.

*Pendapat yang membolehkan*

Firman Allah Ta'ala,

 وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا

"Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf." (QS. Yusuf : 100)

Ibnu Abbas, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-'Arsy dalam ayat ini ialah singgasana. Yakni Yusuf mendudukkan kedua orang tuanya ke atas singgasananya bersama-sama dengan dia.

{وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا}

"Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya bersujud kepada Yusuf." (QS. Yusuf: 100)

Maksudnya, bersujud kepada Yusuf kedua orang tuanya dan semua saudaranya yang jumlahnya ada sebelas orang. (Tafsir Ibnu Katsir QS. Yusuf : 100)

Nabi bersabda dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Abu Dawud dari Zara' bin Amir ia berkata:

فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبّل يد النبي صلى الله عليه وسلم ورجله

"Lalu kami bergegas turun dari kendaraan kami dan mencium tangan dan kaki Nabi." (HR. Bukhari dan Abu Daud)

عنْ صُهَيْبٍ قَالَ: ” رَأَيْتُ عَلِيًّا يُقَبِّلُ يَدَ الْعَبَّاسِ وَرِجْلَيْهِ “

Shuhaib berkata “ Aku melihat Ali mencium tangan dan kedua kakinya Abbas.” (HR. Bukhari dari Shuhaib ra.)

Imam Muslim hendak mencium kaki Imam Bukhari

ففي “تاريخ بغداد” (13/102) عن أحمد بن حمدون القصار قال : سمعت مسلم بن الحجاج وجاء إلى محمد بن إسماعيل البخاري فقبَّل بين عينيه ، وقال : دعني حتى أقبِّل رجليك ، يا أستاذ الأستاذين ، وسيد المحدثين ، وطبيب الحديث في علله

Dalam kitab Tarikh Baghdad dari Ahmad bin Hamdun al-Qassar berkata “ Aku mendengar Muslim bin Hajjaj pergi berjumpa Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan mencium kepalanya. Imam Muslim berkata “ Biar aku cium kedua kaki engkau wahai Guru segala guru, penghulu ulama hadits dan doctor hadis yang mengetahui cacat-cacat hadits." (Kitab Tarikh Baghdad juz 13/102)

Dengan berdalil hadits-hadits diatas, maka mazhab Asy-Syafi’iyyah membolehkan mencium kaki dan bahkan menganggapnya sunnah, berkata Al-Imam Abu Zakariya Yahya An-Nawawi Rahimahullah,

ويستحب تقبيل يد الرجل الصالح والزاهد والعالم، ونحوه من أهل الآخرة وتقبيل رأسه ورجله كيده.

"Sunnah mencium tangan laki-laki soleh, zahid, dan ulama dan ahli akhirat lain. Adapun mencium kepala dan kaki itu sama dengan mencium tangan."

Setelah itu beliau menyebutkan lagi,

ﻭَﺗَﻘْﺒِﻴْﻞُ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻭَﺭِﺟْﻠِﻪِ ﻛَﻴَﺪِﻩِ

“Mencium kepalanya dan kakinya seperti mencium tangannya”.

Dan Al-Imam Ibnu Muflih Rahimahullah mengatakan,

ﻭَﻛَﺬَﺍ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻴَّﺔِ ﺗَﻘْﺒِﻴْﻞُ ﺭِﺟْﻠِﻪِ

“Dan demikian pula menurut mazhab Asy-Syafi’iyyah mencium kakinya”.

*Pendapat yang tidak membolehkan*

Kalau sujud ke orang tua atau ulama itu disengaja dengan tujuan untuk penghormatan, maka hukumnya dilarang namun tidak berakibat murtad kecuali sujudnya dengan niat menyembah maka itu perbuatan musyrik.

Larangan sujud ini berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah berikut:

لو كنت آمر أحداً أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها

"Seandainya boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang maka niscaya kuperintahkan isteri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-I'lam Bi Qawati' Al-Islam, menyatakan:

ومنها ما يفعله كثيرون من الجهلة من السجود بين يدي المشايخ إذا قصدوا عبادتهم أو التـقـرب إليهم.لا إن قصدوا تعظيمهم أو أطلقوا فلا يكون كفراً بل هو حراماً قطعاً

"Diantara penyebab kufur adalah perbuatan banyak orang-orang bodoh yang bersujud di hadapan ulama jika maksud sujud adalah menyembah mereka dan mendekatkan diri kepada mereka. Jika maksud sujud adalah menghormati atau tanpa maksud yang jelas maka hal itu bukanlah kufur namun hukumnya haram."

Dalil yang melarang lagi berdasarkan hadits hasan riwayat Tirmidzi berikut,

فعن أنس بن مالك رضي الله تعالى عنه قال: قال رجل يا رسول الله: الرجل منا يلقى أخاه أو صديقه، أينحني له؟ قال: لا، قال: أفيلتزمه ويقبله؟ قال: لا، قال: أفيأخذ بيده ويصافحه؟ قال: نعم. رواه الترمذي، وقال: هذا حديث حسن

"Seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasululah seorang teman hendak menemui saudaranya atau temannya, bolehkah dia membungkukkan badan? Nabi menjawab, "Tidak." Ia bertanya, "Bolehkah menciumnya?" Nabi menjawab, "Tidak." Ia bertanya, "Bolehkah ia memegang tangan dan bersalaman?" Nabi menjawab, "Iya (boleh)." (HR. Tirmidzi)

Al-Imam Ibnu Muflih Rahimahullah menyebutkan bahwa Abu ‘Ubaidah memegang tangan Umar lalu menciumnya maka Umar membiarkan namun ketika Abu Ubaidah mau mencium kaki Umar maka Umar berkata,

ﻣَﺎ ﺭَﺿِﻴْﺖُ ﻣِﻨْﻚَ ﺑِﺘِﻠْﻚَ

“Aku tidak ridha padamu dengan melakukan itu”. Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

Senin, 14 Mei 2018

KAJIAN TENTANG SALAH KAPRAH IMAM SAAT MENGHADAP MAKMUM SELESAI SHALAT


*Sdr. Abdullah Hanafi Suja' bertanya*

Assalamualaikum.....
Ustadz, seringkali saya perhatikan dalam sebuah shalat berjamaah, imam membalikkan badan setelah selesai shalat ada yang dzikir ada yang diam saja. Terkadang diputar 90 derajat tapi kadang ada juga yang berputar 180 derajat menghadap kepada makmum. Kalau memang ada dasar syariahnya, berapa lamakah imam harus menggeser atau memutar tubuhnya, apakah begitu selesai salam langsung putar atau baca-baca dulu.

Mohon dijelaskan praktek seperti ini, adakah tuntunannya dari hukum fiqihnya. Adakah dalil hadits yang memerintahkan hal itu? Mohon juga dijelaskan hikmah praktek ini.

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak atas ilmu yang ustadz berikan, semoga semakin berkah dan bisa berguna buat kami yang masih harus banyak belajar ini.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

*Asimun Ibnu Mas'ud menjawab*

Wa'alakumusalam Warahmatullah Wabarakatuh,

Apa yang seringkali kita alami dan saksikan tentang imam shalat yang berputar posisi menghadap ke jamaah atau ke kanan bahkan menghadap ke kiri, semua memang ada dalil haditsnya. Semua merupakan rekaman para shahabat ketika ikut shalat berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Beberapa di antara hadits yang menyebutkan tentang perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika selesai shalat kemudian menghadapkan wajahnya kepada makmum adalah hadits berikut ini:

عن سمرة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى صلاة أقبل علينا بوجهه - رواه البخاري

Dari Samurah radhiallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila selesai shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami.[HR. Bukhari]

Terkadang beliau tidak sepenuhnya menghadap kepada makmum, melainkan hanya berputar 90 ke arah kanan, sehingga makmum ada di sisi kanan dan kiblat ada di sisi kiri beliau. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini.

عن أنس رضي الله عنه قال: أكثر ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينصرف عن يمينه - رواه مسلم

Dari Anas radhiallahu 'anhu berkata, Seringkali aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berputar ke kanan .[HR. Muslim]

Namun terkadang beliau malah menghadap ke arah kiri 90 derajat, sehingga makmum ada di sisi kiri dan kiblat ada di sisi kanan, sebagaimana juga ada dalilnya berikut ini.

عن قصيبة بن هلب عن أبيه أنه صلى مع النبي صلى الله عليه وسلم فكان ينصرف عن شقيه - رواه أبو داود وابن ماجة والترمذي وقال حيث حسن

Dari Qushaibah bin Hulb dari ayahnya bahwa dia shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "beliau berputar ke dua arah (kanan dan kiri)."

Bahkan ada hadits yang menyebutkan beliau menghadap ke kanan dan ke kiri. [HR. Abu Daud, Ibnu Majah, At Tirmidzi, dan hadits ini Hasan].

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: أكثر ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينصرف عن شمله - رواه البخاري ومسلم

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata, Seringkali aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berputar ke kiri .[HR. Bukhari dan Muslim]

Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menyebutkan bahwa dengan adanya beberapa dalil di atas, bisa disimpulkan bahwa memang terkadang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat menghadap ke belakang, terkadang menghadap ke samping kanan dan terkadang menghadap ke samping kiri.

Kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai salam shalat yaitu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau membaca istighfar dan lainnya kemudian menghadapkan wajahnya yang mulia kearah makmum untuk memberikan nasehat kepada para shahabat, dan tidak terus menghadap kiblat.

Adapun pertanyaan tentang berapa lama jarak antara salam dengan memutar tubuh menghadap ke belakang atau ke samping, kita juga menemukan beberapa hadits yang berbicara tentang itu. Yaitu sekedar beliau membaca istighfar tiga kali, lalu membaca lafadz Allahumma antassalam dan seterusnya, kemudian beliau segera merubah posisi atau bergeser atau berputar.

عن ثوبان كان رسول الله إذا انصرف من صلاته استغفر ثلاثا وقال: اللهم أنت السلام… - رواه مسلم

Dari Tsauban bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila selesai dari shalatnya, beliau bersitighfar tiga kali kemudian mengucapkan: Allahumma antas-salam.[HR. Muslim]

عن عائشة كان رسول الله إذا سلم لم يقعد إلا مقدار ما يقول: اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت ياذا الجلال والإكرام - رواه مسلم

Dari Aisyah radhiallahu 'anha berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila salam tidak duduk kecuali sekedar membaca: Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya dzal jalali wal ikram. [HR. Muslim]

*Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat dengan dzikir jaher (terdengar).*

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.” (HR. Bukhari Muslim)

*Adapun hadits tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap ke makmum sbb:*

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

"Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma'il] berkata, telah menceritakan kepada kami [Jarir bin Hazim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Raja'] dari [Samrah bin Jundub] berkata, *"Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selesai dari menunaikan shalat, beliau menghadapkan wajahnya ke arah kami."* (HR. Bukhari no.800)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

"Telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Maslamah] dari [Malik] dari [Shalih bin Kaisan] dari ['Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ud] dari [Zaid bin Khalid Al Juhaini] bahwasanya dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memimpin kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah pada suatu malam sehabis turun hujan. *Setelah selesai Beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak lalu bersabda,* "Tahukah kalian apa yang sudah difirmankan oleh Rabb kalian?" Orang-orang menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: '(Allah berfirman): 'Di pagi ini ada hamba-hamba Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Orang yang berkata, 'Hujan turun kepada kita karena karunia Allah dan rahmat-Nya', maka dia adalah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata, '(Hujan turun disebabkan) bintang ini atau itu', maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang'." (HR. Bukhari no. 801)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ سَمِعَ يَزِيدَ بْنَ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَخَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ ذَاتَ لَيْلَةٍ إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا فَلَمَّا صَلَّى أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا وَرَقَدُوا وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوا فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمْ الصَّلَاةَ

"Telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Munir] dia mendengar [Yazid bin Harun] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Humaid] dari [Anas bin Malik] berkata, "Pada suatu malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat hingga pertengahan malam, lalu beliau keluar menemui kami (untuk melaksanakan shalat). *Selesai shalat beliau menghadap ke arah kami dan bersabda,* "Manusia sudah selesai melaksanakan shalat lalu mereka tidur. Dan kalian akan tetqap dalan hitungan shalat selama kalian masih menunggu (pelaksanaan) shalat." (HR. Bukhari no.802)

Dan dalam riwayat al-Barrâ’ bin ‘Âzib Radhiyallahu anhu ia berkata :

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

Kami apabila shalat dibelakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kami lebih memilih di sebelah kanannya, karena Beliau (setelah shalat) menghadap kami dengan wajahnya. [HR. Muslim no. 709]

Saya temukan pendapat ahli hadist bermadzhab Syafiiyah, al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai jami' (memadukan) antara hadits-hadits di atas:

ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﻋﺎﺩﺓ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺃﻭ ﻳﻌﻈﻬﻢ ﻓﻴﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﻘﺒﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻮﺟﻬﻪ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﺬﻛﺮ اﻟﻤﺄﺛﻮﺭ ﻓﻬﻞ ﻳﻘﺒﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﺃﻭ ﻳﻨﻔﺘﻞ ﻓﻴﺠﻌﻞ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﻤﺄﻣﻮﻣﻴﻦ ﻭﻳﺴﺎﺭﻩ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭﻳﺪﻋﻮ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻫﻮ اﻟﺬﻱ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ ﺃﻛﺜﺮ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ

Jika imam punya kebiasaan mengajar atau memberi ceramah pada jemaah maka dianjurkan menghadap ke arah mereka semua dengan wajahnya. Jika sekedar melakukan dzikir yang berdasarkan riwayat saja maka apakah (1) menghadap ke arah makmum semua, atau (2) bergeser dengan menjadikan arah kanan imam menghadap ke makmum dan arah kirinya menghadap kiblat dan berdoa? Mayoritas ulama Syafiiyah memilih pendapat no 2 atau menghadap utara" (Fath al-Bari', 2/336)

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali mengutip dari sebagian ulama:

تدبرت الاحاديث التي رويت في استقبال النبي صلى الله عليه وسلم الناس بوجهه فوجدت انحرافه عن يمينه اثبت

Saya angan-angan tentang hadis yang diriwayatkan menghadapnya Nabi dengan wajah beliau ke arah jemaah. Maka saya temukan bahwa Nabi menghadap ke arah kanan adalah hadits yang lebih kuat (Fath al-Bari' 6/120)

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga mengatakan dalam Fath al Bâri, 3/89), “(Diantara) hikmahnya (merubah posisi menghadap) adalah memberi tanda kepada orang yang baru masuk (ke masjid) bahwa shalat telah selesai, karena jika imam tetap duduk menghadap kiblat niscaya orang akan menyangka bahwa ia masih tasyahud.”

Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 561. Beliau mengatakan bahwa berubahnya arah duduk imam adalah untuk memastikan telah selesainya shalat itu bagi imam. Artinya agar makmum bisa memastikan bahwa imam telah benar-benar selesai dari shalatnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimi dalam Syarhul Mumti’, 4/305-306) mengatakan, “(Hukumnya) makruh seorang imam duduk sangat lama setelah salam menghadap kearah kiblat.

*Kesimpulan*

Setelah selesai shalat seorang imam disunnahkan berdzikir dengan suara jaher (keras) atau sirr (rahasia/tidak terdengar). Kemudian imam boleh membalikkan wajahnya menghadap ke kanan atau ke kiri, dan atau menghadap makmum jika biasa/ingin menyampaikan nasehat kepada makmum. Namun hujjah yang paling kuat adalah imam menghadap ke arah KANAN.

*Mengenai dzikir jaher atau sirr/khafi memiliki hujjah masing-masing sbb:*

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم)

“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)

Namun terdapat juga hadits lain yang kebalikannya, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir sbb,

ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري

“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (HR. Bukhari)

Maka dalam konteks kedua hadits diatas Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitab Ruh al-Bayan.

 وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306

“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilangkan kantuk dan menambah semangatnya”. *(Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306).* Wallahu a'lam

Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

*والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته*

Kamis, 10 Mei 2018

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Puasa; Membentengi Diri Dari Nafsu)


*Khutbah Pertama*

اَلْحَمْدُ لله على نعمه فى شهر شعبان, الذى جعلنا من المسلمين الكاملين, وأمرنا باتباع سبيل المؤمنين, وأشْهَدُ أَنْ لَا إله إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الحق المبين وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصادق الوعد الأمين, اللهم صَلَّى عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى أله وَصَحْبِهِ أجمعين, وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أما بعد-

فيا عباد الله، اوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

*Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,*

Sekarang kita sudah berada di penghujung bulan Sya’ban. Setiap memasuki akhir bulan Sya’ban, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa yang akan datang adalah bulan yang mulia.

Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dengan sanad dan matan yang panjang :

ثنا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ، ثنا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ، ثنا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ، فَقَالَ: ” أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ “. قَالُوا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ. فَقَالَ: ” يُعْطِي اللَّهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ، أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخَصْلَتَيْنِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ: فَشَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهَا: فَتُسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا، سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hujr As-Sa’diy, telah menceritakan kepada kami Yuusuf bin Ziyaad, telah menceritakan kepada kami Hammaam bin Yahyaa, dari ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Salmaan -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah kepada kami pada hari terakhir di bulan Sya’ban. Beliau bersabda :

“Wahai sekalian manusia, sungguh senantiasa hadir di hadapan kalian bulan yang agung, bulan penuh berkah, bulan yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada bulan tersebut sebagai ibadah wajib dan shalat malamnya sebagai ibadah sunnah tathawwu’. Barangsiapa yang mendekatkan diri (kepada Allah) didalamnya dengan suatu perbuatan yang baik (ibadah sunnah) maka ia akan diberi pahala bagaikan pahala ibadah wajib dan yang semisalnya, dan barangsiapa yang beribadah wajib didalam bulan tersebut maka ia akan diberi pahala bagaikan 70 kali pahala ibadah wajib dan yang semisalnya. Bulan tersebut adalah bulan kesabaran dan kesabaran akan diganjar surga, bulan penuh perenungan dan bulan ditambahkannya rizqi seorang mu’min.

Barangsiapa yang memberikan makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa maka baginya ampunan untuk dosa-dosanya dan dibebaskan lehernya dari api neraka dan baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut dengan tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.

Para sahabat berkata, “Tidak semua dari kami dapat menemukan makanan untuk memberi makan orang yang berpuasa.”

Rasulullah bersabda, “Allah memberikan pahala bagi mereka yang memberi makan orang yang berpuasa (walaupun) dengan sebiji kurma, seteguk air atau dengan segelas susu. Bulan tersebut adalah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka. Barangsiapa yang berlemah lembut terhadap budaknya, Allah akan memberikan ampunan baginya dan membebaskannya dari neraka.

Perbanyaklah melakukan 4 hal didalam bulan tersebut, 2 diantaranya dapat membuat Rabb kalian ridha dan 2 diantaranya janganlah terluput darinya. Adapun 2 perbuatan yang membuat Rabb kalian ridha adalah bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan banyak memohon ampun kepadaNya. Dan adapun 2 perbuatan yang jangan terluput darinya adalah mohonlah surga kepada Allah dan berlindunglah kepadaNya dari siksa neraka. Barangsiapa yang mengenyangkan orang yang berpuasa, Allah akan memberinya minum dari haudh-ku dengan minuman yang membuatnya tidak akan merasakan haus hingga ia memasuki surga.”
[Shahiih Ibnu Khuzaimah 3/191, Al-Maktab Al-Islaamiy]

Diriwayatkan pula oleh Al-Husain bin Ismaa’iil Al-Mahaamiliy (Amaaliy no. 293); Al-Baghawiy (Ma’aalimut Tanziil no. 81); Al-Waahidiy (Tafsiir Al-Wasiith 1/277); Ibnu Abid Dunyaa (Fadhaa’il Syahru Ramadhaan no. 41); As-Samarqandiy (Tanbiihul Ghaafiliin 1/185); Ibnu Syaahiin (Fadhaa’il Syahru Ramadhaan no. 15, 16); Al-Baihaqiy (Syu’abul Iimaan no. 3608; Fadhaa’ilul Auqaat no. 37), semua bersumber dari ‘Aliy bin Zaid bin Jud’aan, dari Ibnul Musayyib, dari Salmaan, secara marfuu’.

*Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,*

Allah Subhanahu wa Ta'ala  membekali manusia dengan 3 hal, yaitu nafsu, akal, dan hati. Nafsu selalu mengajak manusia kepada keburukan dan akal selalu menuntun manusia kepada kebaikan. Maka terjadilah pertarungan yang dahsyat antara keduanya. Jika nafsu menjadi pemenangnya, maka hati akan menjadi jahat dan menjadi jahatlah manusia itu. Namun jika akal menjadi pemenangnya, maka hati akan menjadi baik dan menjadi baiklah manusia itu.

Oleh karena itu, manusia mempunyai dua jalan dalam kehi-dupan ini, yaitu jalan untuk ingkar (fujur) dan jalan untuk taat (taqwa). Firman Allah dalam Q.S. asy-Syams (91): 7-10,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)

"Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Rasulullah Shallallahu 'alaihi esa sallam bersabda,

«يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ»

"Allah Ta'ala berfirman, 'Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif/lurus (menghindari kebatilan dan cenderung kepada perkara haq). Kemudian datanglah setan-setan yang menyesatkan mereka dari agamanya.'" (HR. Bukhari Muslim)

Manusia adalah makhluk dinamis, yaitu makhluk yang kondisi ruhaninya selalu berubah-ubah, kadang baik dan kadang jahat. Manusia bukan malaikat, makhluk statis yang selalu taat kepada Allah, dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi bagaimanapun. Manusia juga bukan iblis yang selalu membangkang kepada Allah Ta'ala. Namun dengan nafsunya, manusia dapat berubah melebihi ketaatan malaikat, bahkan dengan nafsunya pula manusia dapat berubah melebihi kedurhakaan iblis kepada Allah Ta'ala. Semua itu kembali kepada diri manusia itu sendiri, jikalau ia mampu menundukkan nafsunya, maka ia akan berada di jalan Allah menuju surga, akan tetapi jika ia jadi budak nafsunya, maka ia berada di jalan iblis menuju neraka. Tinggal pilih, mau surga atau neraka?

*Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,*

Diceritakan dalam kitab Durrotun Nasihin, ketika Allah menciptakan nafsu, kemudian Allah bertanya kepadanya,

يَا نَفْسُ, مَنْ أَنْتَ وَمَنْ أَنَا؟ أَنْتَ أَنْتَ أَنَا أَنَا

“Wahai nafsu, siapa Engkau dan siapa Aku?” Nafsu menjawab, “Engkau adalah Engkau dan aku adalah aku”.

Dengan sombong dan angkuhnya, nafsu tidak mau mengakui Allah sebagai Penciptanya. Kemudian nafsu tersebut direndam oleh Allah selama 100 tahun dalam neraka. Nafsu inilah yang kemudian dikenal dengan *"An-Nafsul Ammarah,"*

Nafsul Ammarah adalah jiwa manusia yang ingin memenuhi kehendak hawa nafsu dalam segala bidang kehidupan, sehingga tidak menghiraukan kaidah-kaidah agama. Artinya nafsu yang cenderung kepada sifat sombong, angkuh, dengki, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Firman Allah,

إِنَّ النَّفْسَ َلأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ.

“Sesungguhnya nafsu benar-benar memerintahkan perbuatan buruk.”

Setelah direndam dalam neraka, kemudian Allah bertanya kembali,

يَا نَفْسُ, مَنْ أَنْتَ وَمَنْ أَنَا؟ أَنْتَ رَبٌّ وَ أَنَا عَبْدٌ

“Wahai nafsu, siapa Engkau dan siapa Aku? ” Nafsu menjawab, “Engaku adalah Tuhan, dan Aku adalah hamba.”

Dari jawabannya tersebut, ternyata nafsu masih tetap dengan sifat egoisnya. Merasa malu di hadapan manusia, namun sombong di hadapan Allah Ta'ala karena masih belum mau tunduk kepada Allah 100%. Nafsu inilah yang disebut dengan *“An-Nafsul Lawwamah.”*

Nafsul Lawwamah adalah jiwa yang masih cacat cela. Walaupun dia menerima hidayah (petunjuk dari Tuhan, patuh kepada-Nya, dan selalu ingin berbuat kebajikan, namun sang pemilik terkadang melakukan perbuatan maksiat atau sewaktu-waktu tak dapat menguasai hawa nafsunya, yakni godaan setan.

Kemudian nafsu tersebut disiksa lagi oleh Allah Ta'ala di dalam neraka Ju’i wal Athsy, yaitu neraka lapar dan haus. Setelah itu, Allah bertanya kembali kepada nafsu,

يَا نَفْسُ, مَنْ أَنْتَ وَمَنْ أَنَا؟ أَنْتَ رَبِّيْ وَ أَنَا عَبْدُكَ

“Wahai nafsu, siapa Engkau dan siapa Aku?” Nafsu menjawab, “Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu”.

Ternyata nafsu dapat dikalahkan oleh neraka lapar dan haus. Setelah nafsu dapat ditundukkan oleh lapar dan haus, maka nafsu itu menjadi tenang dan terkendali, sehingga ia mampu mengenal Allah dengan baik sebagai Penciptanya. Nafsu inilah yang disebut dengan *“An-Nafsul Muthmainnah”*, yaitu nafsu yang jinak, tenang, stabil, serta mudah untuk dikendalikan, sehingga mudah untuk mentaati perintah Allah Ta'ala. Manusia dengan nafsu yang terkendali inilah yang nanti akan menghadap Allah dengan penuh keridhoan dari-Nya, sehingga dia diakui oleh Allah sebagai hamba-Nya dan telah disediakan surga untuknya. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)

*Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,*

Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat ini menerangkan tentang jiwa yang tenang yang diseru oleh Allah dan akan ditunaikan janji pada mereka untuk masuk surga. Mereka ridha pada jiwanya dan Allah pun ridha pada mereka. Mereka diajak masuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang shalih dan mereka pun diajak untuk masuk surga.

Jadi demikianlah bahwa melalui ibadah puasa umat islam telah mampu mengendalikan jiwanya menjauhi dan meninggalkan ajakan hawa nafsu buruknya, dan semoga khutbah yang singkat ini bisa memberi manfaat bagi kita semua. Aamiin ya Robbal ‘Aalamiin

بارك الله لى ولكم فى القرن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكرالحكيم وتقبل منى ومنكم تلاوته انه هوالسميع العليم اقولوقولى هذاواستغفرالله العظيم لى ولكم ولسا ئرالمسلمين والمسلمات فستغفروه انه هوالغفوررحيم

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

اَمَّا بَعْد ؛ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ