MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 27 Mei 2018

KAJIAN TENTANG ZAKAT MAAL, ZAKAT FITRAH YANG DIUANGKAN


Ada pertanyaan tentang validitas hukum terkait info zakat fitrah diuangkan yang viral di medsos khususnya group WA sbb:

Info Kadar Zakat Fitrah 1438 H / 2018, berdasarkan Hasil Musyawarah bersama Pengadilan Agama, Unsur Pemerintah Daerah, BAZNAS, MUI, BWI dan Kementerian Agama, serta perwakilan Tokoh Agama pada tanggal 13 April 2018 di Kantor BAZNAS, berdasarkan harga bahan pokok yang terjual dimasyarakat  serta hasil saran pendapat dan musyarawarah menyepakati sebagai berikut :

Besaran Zakat Fitrah Tahun 1439 H/2018 M yaitu dengan nilai uang sebesar *Rp. 38.000,- (Tiga Puluh Delapan Ribu Rupiah)*

*Dituangkan dalam SK BAZNAS No. 042.01.Kep/BAZNAS-KT/2018*

*Jawaban:*

Untuk pembahasan bolehkah zakat fitrah ditunaikan dengan qimah (diuangkan), maka kita harus meninjau dari sisi zakat harta (emas, perak, mata uang, barang dagangan, hasil pertanian, hewan ternak, harta karun) dan zakat fitrah.

Telah diketahui bahwa zakat hewan ternak dikeluarkan dengan hewan ternak pula. Zakat hasil pertanian dikeluarkan 10% atau 5% dari hasil panen. Begitu pula dengan zakat emas dan perak dikeluarkan 2,5% dari keduanya. Apakah kita harus mengeluarkan zakat sesuai dengan yang sudah ditentukan ini? Ataukah zakat boleh saja dikeluarkan dengan sesuatu yang senilai (qimah), misalnya uang?

Qimah adalah sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat, bisa jadi disetarakan dengan uang, makanan atau pakaian.

*Zakat Maal*

Ada dua pendapat dalam masalah ini.

*Pendapat pertama:*

Tidak boleh, tetap harus dikeluarkan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan dalam dalil.

Demikian pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Daud Azh Zhohiri. Alasannya karena ketentuannya telah demikian.
Yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama ini adalah hadits-hadits berikut ini.

Abu Bakr Ash Shiddiq menyebutkan jumlah zakat sesuai yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,

فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ إِلَى أَنْ تَبْلُغَ خَمْسًا وَثَلاَثِينَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ

“Jika unta telah mencapai 25-35 ekor, maka ada kewajiban zakat dengan 1 bintu makhodh (unta betina umur 1 tahun). Jika tidak ada bintu makhodh, maka boleh dengan 1 ibnu labun (unta jantan umur 2 tahun).” [HR. Abu Daud no. 1567, An-Nasai no. 2447, Ibnu Majah no. 1798 dan Ahmad 1: 11]

Jika boleh diganti dengan yang lain yang senilai semacam uang, tentu akan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan.

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …” [HR. Bukhari no.1503 dan Muslim no.984]

Dalam hadits ini juga tidak disebutkan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat fithri tadi) semisal uang. Padahal jika ada hajat hal tersebut pasti dijelaskan. Namun tetap dibatasi hanya pada makanan pokok seperti kurma dan gandum.

*Pendapat kedua:*

Boleh dikeluarkan dengan yang senilai, misalnya dengan uang dan pakaian. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, pendapat Imam Bukhari, salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad.

*Diantara dalil yang digunakan:*

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu,

مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ

“Barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun) sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun); maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat hiqqoh sedangkan dia tidak memiliki hiqqoh namun dia memiliki jadza’ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia diberi dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah terkena kewajiban zakat hiqqoh namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun (unta berumur 2 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqoh; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu makhod, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.“ [HR. Bukhari no.1453]

Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya.

Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,

ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ

“Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.” [HR. Bukhari no.525]

Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.

*Zakat Fitrah*

Jika zakat harta yang kita bahas di atas boleh ditunaikan dengan uang atau yang senilai dengannya, berbeda halnya dengan zakat fitrah. Zakat fitrah sunnahnya dengan makanan pokok dan tidak bisa diganti uang. Ada beberapa alasan dalam hal Ini:

1. Para sahabat mengkonversikan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum dengan setengah sho’ burr (sejenis gandum).

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

قَالَ فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu sho’kurma atau satu sho’gandum”. Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah sho’ burr.” [HR. Bukhari no.1511].

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

فَعَدَلَ النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ

“Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah sho’ burr”. Naafi’ berkata : “’Abdullah (bin ‘Umar) memberikan kurma. Lalu penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia (‘Abdullah) memberikan gandum.” [HR. Abu Daud no.1615].

‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithri satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum”. Ibnu ‘Umar berkata,

فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ

“Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd (setengah sho’) hinthah (sejenis gandum).” [HR. Bukhari no.1507 dan Muslim no.984]

Hadits-hadits di atas masih menunjukkan bahwa zakat fitrah dengan makanan, bukan dengan uang, pakaian atau sesuatu yang senilai lainnya.

2. Hadits yang dipahami bolehnya zakat dengan qimah seperti diterangkan dalam hadits Anas mengenai surat Abu Bakr dan riwayat Mu’adz yang memerintahkan membayar zakat dengan pakaian, hanya berlaku untuk zakat harta yaitu zakat hewan ternak serta zakat gandum dan jagung (hasil pertanian), qimah-nya pun terbatas yang disebutkan dalam hadits, namun sebagian ulama mengqiyaskan bolehnya zakat fitrah dengan uang sebagaimana bolehnya zakat maal dengan uang.

*Tinjauan Fiqih*

Terdapat 2 pendapat berbeda mengenai hukum membayarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang senilai zakat yang dikeluarkan.

*Pendapat pertama:*

Menurut pendapat mayoritas ulama’, dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan.

Salah satu dalilnya adalah hadits yang menyatakan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum,” (Shahih Bukhari, no. 1503 dan Shahih Muslim, no. 984).

Dari hadits diatas para ulama’ yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa apabila seseorang mengeluarkan zakat dengan uang yang senilai dengan apa yang telah ditetapkan, berarti ia mengeluarkan zakat tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diwajibkan.

*Pendapat kedua:*

Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat bahwa membayar zakat fitrah dengan uang yang senilai hukumnya boleh.

Para ulama’ madzhab Hanafi memahami bahwa tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah agar semua orang Islam tercukupi kebutuhannya pada hari raya idul fitri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits:

أَغْنُوهُمْ عَنْ الْمَسْأَلَةِ فِي مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ

"Cukupilah kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti ini." (Sunan Daruqutni, no. 67)

Sedangkan mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dan miskin tidak harus dengan makanan pokok, namun bisa juga dengan menggunakan uang, bahkan membayar zakat dengan uang itu lebih afdhol, karena dengan uang seseorang bisa memenuhi kebutuhannya seketika, sebab dengan uang mereka bisa membeli berbagai kebutuhannya.

أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.

"Imam al-Bulqiny telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang Aku (pengarang) telah menyakininya, Aku mengerjakanya meskipuin hal itu bertentangan dengan Madzhab al-Syafi'i , Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan didalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi didalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak emendapatkan penggatinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena Dia termasuk golongan ahli al-Tahrij dan al-Tarjih, Apalgi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut." (Ghooyaah Talkhish al-Murood Min Fatawi Ibn Ziyaad Hal.112).

*Referensi lainnya:*

Bughyah Al Mustarsyidin hal.103

وعبارة ى، لايجوز اخراج الفطرة الا من غالب قوت بلد المؤدى عنه وعلى مستحقيه مطلقا كما فى التحفة و م ر وغيرهما. لكن ظاهر الفتح والامداد، انه يلزم فى غير المكلف ان تكن من غالب قوت البلد المؤدى وعلى مستحقيه. ( بغية المسترشدين ص ١٠٣ )

I'anah At-Tholibin Juz 2 hal.173.

( فرع ) لاتجزىء قيمة. ( اعانة الطالبين ج ٢ ص ١٧٣ ) ( قوله ولا دفع القيمة ( اى لايجوز ولا يجزىء دفع القيمة عن الزكاة المتعلقة بالاعيان غير مال التجارة. ( ترشيح المستفيدين ص ١٥٤ )

Kenapa dalam madzhab Syafi'i tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan qimah ? Berikut jawaban dan paparan Imam Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin  juz I halaman 213 dalam fasal :

في الأداء وشروطه الباطنة والظاهرة
والقسم الثالث: هو المركب الذي يقصد منه الأمران جميعاً وهو حظ العباد وامتحان المكلف بالاستعباد، فيجتمع فيه تعبد رمي الجمار وحظ رد الحقوق فهذا قسم في نفسه معقول، فإن ورد الشرع به وجب الجمع بين المعنيين
ولا ينبغي أن ينسى أدق المعنيين وهو التعبد والاسترقاق بسبب أجلاهما، ولعل الأدق هو الأهم والزكاة من هذا القبيل
ولم ينتبه له غير الشافعي رضي الله عنه فحظ الفقير مقصود في سد الخلة وهو جلي سابق إلى الأفهام وحق التعبد في اتباع التفاصيل مقصود للشرع. وباعتباره صارت الزكاة قرينة للصلاة والحج في كونها من مباني الإسلام.
ولاشك في أن على المكلف تعباً في تمييز أجناس ماله وإخراج حصة كل مال من نوعه وجنسه وصفته. ثم توزيعه على الأصناف الثمانية كما سيأتي.
والتساهل فيه غير قادح في حظ الفقير لكنه قادح في التعبد

Al-Mudawwanah, juz 1 hal. 392 (Madzhab Maliki)

وقال مالك: ولا يجزئ الرجل أن يعطي مكان زكاة الفطر عرضا من العروض، قال: وليس كذلك أمر النبي - صلى الله عليه وسلم -، وأن مالكا أخبرني أن زيد بن أسلم حدثه عن عياض بن عبد الله بن سعد بن أبي سرح العامري، أنه سمع أبا سعيد الخدري يقول: كنا نخرج زكاة الفطر صاعا من طعام أو صاعا من شعير أو صاعا من تمر أو صاعا من أقط أو صاعا من زبيب.

Al-Majmu’, juz 6 hal. 144 (Madzhab Syafi’i)

مسألة: لا تجزئ القيمة في الفطرة عندنا وبه قال مالك وأحمد وابن المنذر. وقال أبو حنيفة يجوز وحكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عبد العزيز والثوري

Al-Mughni, juz 3 hal. 87 (Madzhab Hanbali)

(ومن أعطى القيمة، لم تجزئه) قال أبو داود قيل لأحمد وأنا أسمع: أعطي دراهم - يعني في صدقة الفطر - قال: أخاف أن لا يجزئه خلاف سنة رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وقال أبو طالب، قال لي أحمد لا يعطي قيمته، قيل له: قوم يقولون، عمر بن عبد العزيز كان يأخذ بالقيمة، قال يدعون قول رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ويقولون قال فلان، قال ابن عمر: فرض رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وقال الله تعالى: {أطيعوا الله وأطيعوا الرسول} [النساء: 59] . وقال قوم يردون السنن: قال فلان، قال فلان. وظاهر مذهبه أنه لا يجزئه إخراج القيمة في شيء من الزكوات.

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 3 hal. 2044 - 2046 (Fiqih Perbandingan)

قال الحنفية: تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء: الحنطة والشعير والتمر والزبيب - إلى أن قال - دفع القيمة عندهم: يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوسا أو عروضا أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلى الله عليه وسلم: «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.
دفع القيمة عندهم: لا يجزئ عند الجمهور إخراج القيمة عن هذه الأصناف، فمن أعطى القيمة لم تجزئه، لقول ابن عمر: «فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم صدقة الفطر صاعا من تمر، وصاعا من شعير» فإذا عدل عن ذلك فقد ترك المفروض.

Al-Mabsuth, juz 3 hal. 107 (Madzhab Hanafi)

فإن أعطى قيمة الحنطة جاز عندنا؛ لأن المعتبر حصول الغنى وذلك يحصل بالقيمة كما يحصل بالحنطة، - إلى أن قال - وكان الفقيه أبو جعفر - رحمه الله تعالى - يقول: أداء القيمة أفضل؛ لأنه أقرب إلى منفعة الفقير فإنه يشتري به للحال ما يحتاج إليه

Dari penjelasan singkat teks arabic kitab-kitab fikih diatas semoga kita mengetahui bahwa masalah ini termasuk permasalahan khilafiyah dimana para ulama’ yang berbeda pendapat masing-masing memiliki dasar yang kuat. Karena itu tak sepatutnya masalah ini terus menerus diperdebatkan, diperselisihkan apalagi samapai menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar