MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 27 November 2015

HAKIKAT REBO WEKASAN



Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dijauhkan dari berbagai malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi begini:

فائدة أخرى: ذكر بعض العارفين – من أهل الكشف والتمكين – أنه ينزل في كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا من البليات، وكل ذلك في يوم الأربعاء الأخير من شهر صفر، فيكون ذلك اليوم أصعب أيام السنة كلها، فمن صلّى في ذلك اليوم أربع ركعات إلخ

Artinya: Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan: setiap tahun, turun 320.000 cobaan. Semuanya itu pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka pada hari itu menjadi sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa shalat di hari itu 4 rakaat dst.”.

Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo Wekasan (Rabu akhir di bulan Shafar). Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahasa.

Pertama, pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Wahabi berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:

ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات

“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”

Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya dalam akidah Islam.

Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara ghaib yang biasa terjadi kepada para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.

Ketiga, dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).

“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.

Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.

Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:

أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).

“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari datangnya sial. Sementara dalam hadits berikutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa memperoleh ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi ilham atau mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.

Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut tidak mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat hajat di hari tersebut, tentunya boleh-boleh saja, dengan harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:

وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).

“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).

Keterangannya pada hari rabu ini Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga kita dari 320.000 balai sampai setahun kemudian, mungkin menurut sebagian mufasir ada yang mengatakan Bid’ah atau apalah, tapi menurut sebagian mufasir lain mengatakan bahwa sholat hajat Rabu Wekasan bisa dilakukan selagi masih dalam koridor keislaman dan jauh dari perbuatan musyrik, Sholat tolak balla atau sering disebut salat hajat ini di kerjakan 4 rakaat, tata cara solat

Rakaat pertama setelah membaca Al Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-kautsar sebanyak 13 kali

Rakaat ke dua setelah membaca Al fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-Ikhlas 13 x

Rakaat ke tiga setelah membaca Al fatihah dilanjutkan dengan membaca Qs al-Falaq 1x

Rakaat ke empatnya setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs an-nas 1 x

Setelah salam maka di lanjutkan dengan Doa ini

سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبِّ رَّحِيْمِ . سَلاَمٌ عَلىَ نُوْحٍ فِيْ الْعاَلَمِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمَحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ مُوْسى وَهرُوْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِلْياَسِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ. سَلاَمٌ طِبْتُمْ فاَدْخُلُوْهاَ خَالِدِيْنَ . سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبىَ الدَّارِ . سَلاَمٌ هِيَ حَتىَّ مَطْلَعِ اْلفَجْرِ.
اللّهُمَّ يَاشَدِيْدَ اْلقُوَّةِ وَيَا شَدِيْدَ اْلمِحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ إِكْفِنِي مِنْ جَمِيْعِ شَرِّ خَلْقِكَ يِا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْتَقِمُ يَا مُتَكَرِّمُ يَا مَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ أَنْتَ إِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اَللّهُمَّ بِسِرِّ اْلحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ إِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا اْليَوْمِ وَماَ يُنَزَّلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ اْلمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ اِلبَلاَياَتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ الله ُوَهُوَالسَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ . حَسْبُناَ الله ُوَنِعْمَ اْلوَكِيْلِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله ِاْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ .

Maka Allah Subhanahu wa Ta’al akan menjaga orang tersebut dari seluruh balak tadi sampai akhir tahun. Ditambahkan oleh Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad yang mengatakan bahwa hal itu juga termasuk Bid’ah madzmumah (tercela). Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat tersebut sesuai dengan tuntunan syeikh Al-Kamil Farid Ad-Din dalam kitab Jawahir Al-Khamis hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak dimana sholat mutlak adalah sholat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab dan bilangannya.

Mudah-mudahan Umat muslim diseluruh dunia selalu di jaga Oleh-Nya dengan selalu mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua larangannya selain itu juga semoga dengan melakukan salat 4 rakaat ini kita selalu Taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amien ya Rabb. Wallahul a’lam bish-Shawab wal Musta’an

TAHLILAN VERSI MUHAMMADIYAH (MD)



Dalam komunitas Muhammadiyah, tahlil menjadi persoalan kontroversial, sebagian setuju dan sebagian yang lainnya menolak terhadap tahlil. Kalaupun ada yang setuju namun tetap memberi persyaratan tertentu. Di sisi lain, Muhammadiyah juga bermaksud mengembangkan pangsa pasar dakwahnya dengan pendekatan kulutural. Singkatnya Muhammadiyah juga perlu konsep tahlil alternatif yakni tahlil ala Muhammadiyah..

Makalah ini akan menguraikan tahlil modern meliputi pendahuluan, konseptualisasi dan prosesi. Pengertian; Untuk memberikan pemahaman yang tetap tentang Tahlil Modern, perlu dijelaskan pengertiannya baik secara etimologi maupun terminogis. Secara etimologis, tahlil modern terdiri dari dua kata yakni “tahlil” dan “modern”. Tahlil merupakan kata benda jadian yang diturunkan dari akar kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti membaca kalimat “laa ilaaha illallah”. Kata hallala sendiri merupakan kata kerja jadian dengan pola menyingkatkalimat “yaqrau laa ilaaha illallah” menjadi hallala. Hal ini seperti kata kerja jadian lain sejenisnya misal: hamdala, basmala, hay'ala dan lain-lain. Inilah maksudnya tahlil berarti membaca kalimat laa ilaaha illallah. Sedangkan kata modern berarti maju.

Ciri utama disebut maju adalah penekanan pada aspek rasionalitas. Adapun secara terminologis, tahlil modern berarti upacara spiritual didahului dengan niat, diikuti dengan pembacaan kalimat-kalimat dan ayat-ayat Al-Qur'an terntetu dan serta diakhiri dengan do’a tertentu yang dilandasi oleh prinsip rasionalitas.

Kalimat-kalimat tersebut meliputi tahlil, takbir, istighfar, tasbih, shalawat, sedangkan ayat Al-Qur'an meliputi Surat Al-Fatihah, An-Nas, Al-Alaq, Al-Ikhlas dan Al-Baqarah. Tahlil modern dapat juga disebut tahlil rasional. Rasionalitas Tahlil Modern terletak pada obyektivitas dan spekulatif dalam bertahlil. Secara obyektif amalan-amalan berupa bacaan kalimat yang baik dan ayat-ayat Al-Qur'an pilihan tertentu akan berpahala bagi pelaku tahlil dan pahala tentu akan diberikan kepada pelakunya secara proporsional. Tahlil Modern juga menghindakan diri dari perilaku teologi spekulatif yakni tidak mengirimkan pahala tahlil bagi orang meninggal yang ditahlilkan. Sebab tahlil modern melepaskan dirinya dari konsep pengiriman pahala. Waktu ; Moment Tahlil Modern adalah netral.

Artinya tahlil Modern dapat mengambil moment pada hari-hari tertentu yang definitif pasca kematian seperti hari ketiga, tujuh, empat puluh, seratus dan seribu, dan dapat pula mengambil hari tanpa terikat dengan hari-hari definitif tersebut. Penentuan momentum Tahlil Modern disunnahkan kepada penyelenggaranya.

Kalaupun moment yang diambil adalah hari-hari definitif tersebut tetap harus lepas dari keyakinan bahwa roh orang yang meninggal datang bersamaan dengan datangnya hari-hari definitif tersebut. Tujuan ; Tujuan dari Tahlil Modern adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membaca kalimat- kalimat terpilih. Setelah upaya pendekatan diri tercapai diikuti do’a mohon ampun baik bagi peserta tahlil sendiri maupun bagi orang- orang yang sudah meninggal secara umum dan orang-orang terkasih penyelenggara Tahlil Modern. Dengan demikian , Tahlil Modern bukan bertujuan mengirimkan pahala bacaan tahlil untuk arwah tertentu. Hukum ; Status hukum penyelenggaraan Tahlil Modern adalah mubah, netral. Artinya Tahlil Modern dilakukan ataupun tidak dilakukan tidak mengandung akibat hukum dosa atau berpahala.

Hanya saja, karena Tahlil Modern berisikan amalan-amalan baik maka jika dilakukan tentu akan berdampak hukum secara poitif. Bacaan-bacaan Tahlil Modern termasuk bacaan-bacaan yang baik tentu saja termasuk dalam kategori ibadah qauliyah yang berpahala.

Prosesi Tahlil Muhammadiyah

1. Niat 

Niat tahlil modern adalah mendekatkan diri pada Allah dengan cara membaca kalimat dan ayat-ayat pilihan. Oleh karena itu, sekedar sebagai contoh niat tersebut dapat diungkapkan dengan kalimat : “Kita berkumpul dalam majlis ini bermaksud membaca tahlil modern dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Tahlil ini diselenggarakan atas permintaan Bapak .......... yang telah mendahului kita ........... hari atau tahun yang lalu. Menurut informasi yang dapat dipegangi : almarhum / almarhumah dikenal sebagai orang yang suka beramal baik. (sebut contohnya). Berkaitan dengan ini semoga menjadi I’tibar bagi kita semua.

Oleh karena itu, marilah kita membaca tahlil dengan seksama : ‘Ala Hadzihi al-Niyah al-Maksudah al-Fatihah....”

2. Bacaan 

Bacaan kalimat-kalimat dan ayat-ayat pilihan Tahlil Modern antara lain dapat diurutkan sebagai berikut :

1). Surat Al – Fatihah,
2). Surat Al – Ikhlas,
3). Surat Al –Falaq,
4). Surat An – Nas,
5). Surat Al – Baqarah ayat 1 - 5,
6). Ayat Kursi,
7). Isti’fa’ (wa’fu ‘anna waghfirlana, dst),
8). Tarhim 7 x (Irhamna yaa Arhamarrahimiyn),
9). Istighfar 7 x,
10) Tahlil 33 kali,
11) Tasbih 7 x,
12) Shalawat 3 x,
13) Pengakhir (Tahlil Modern ditutup dengan Surat Al – Fatihah).

3. Do'a

Do'a-Do'a Tahlil Modern bukan do’a pengiriman pahala bacaan tahlil bagi yang ditahlilkan melainkan do’a pendekatan diri kepada Allah dan mohon ampun baik bagi pelaku tahlil maupun orang yang dikenang.

Sumber Makalah Dr. Mujiono Abdillah, MA, (Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Tengah

Sumber: http://www.muslimoderat.com/2015/11/mengenal-tahlilan-modern-ala.html#ixzz3siTiYiB4

Selasa, 24 November 2015

SALAH KAPRAH MEMAHAMI SUNNAH SUJUD DALAM SHOLAT



Para ulama fiqih mendifinisikan shalat sebagai tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan itu selanjutnya dinamakan rukun dan pemenuhannya menjadi satu keharusan. Berarti, bila tidak dikerjakan mengakibatkan shalatnya batal. Atau disebut sunnah jika berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurnaan saja. Sehingga, kalau ditinggalkan, tidak sampai berakibat membatalkan shalat.

Rukun shalat secara keseluruhan ada tujuh belas, yang merupakan satu kesatuan utuh, sehingga pelaksanaannya harus berkesinambungan. Akibatnya, bila ada salah satu saja dari rukun itu ditinggalkan atau dilaksanakan secara terpisah, seseorang belum dianggap melaksanakan shalat. Dalam bahasa ahli ushul fikih, belum bebas dari uhdatul wujub, atau belum bisa mengugurkan at-ta’abbud.

Setiap rukun mempunyai aturan dan cara-cara tertentu. Mulai dari cara membaca fatihah, ruku’, sujud, I’tidal dan seterusnya semua itu berdasar pada cara shalat Rasulullah saw semasa hidup. Sebagaimana perintah beliau dalam sebuah hadits:

صلوا كما رأيتموني أصلي. رواه البخاري –

“Shalatlah kamu seperti yang kamu lihat saat aku mengerjakannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Cara dan aturan-aturan tersebut telah diterangkan oleh ulama dengan panjang lebar, melalui proses ijtihad secara serius, dalam karya mereka berupa kitab-kitab fiqih.

Dalam berijtihad mereka senantiasa berpedoman pada al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas serta metode-metode istinbath yang lain. Karena itu dengan berpedoman pada kitab-kitab fiqih, bukan berarti kita tidak atau kurang mengamalkan al-Qur’an dan hadits seperti anggapan minor sebagian kalangan tertentu.

Dengan demikian shalat yang dipraktikkan umat Islam, secara umum sama, karena berangkat dari sumber yang sama pula. Semua berdiri, membaca fatihah, ruku’ dan sbagainya. Tapi di balik kesamaan-kesamaan tersebut, ada perbedaan-perbedaan kecil yang tidak begitu prinsip . Jangan sampai terjadi, perbedaan kecil itu merusak ukhuwah islamiyah di kalangan muslimin.
Misalnya dalam hal sujud, para ulama sendiri terbagi dalam dua elompok, antara yang mendahulukan tangan dan yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut. Keduanya memiliki dasar masing-masing. Kalau ditelusuri perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada dua hadits yang termaktub dalam bulughul maram, karangan Ibnu hajar al-Asqalani.Hadits pertama riwayat dari sahabat Abu Hurairoh ra yang menyatakan bahwasannya rasulullah saw bersabda;

إذا سجد أحدكم فلايبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه - رواه أبوداود والترمذي والنسائي

“Jika salah satu dari kalian bersujud, janganlah menderum seperti unta menderum, letakkanlah kedua tangan sebelum lutut.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)

Dalam hadits tersebut jelas kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan. Sebuah pengertian yang berlawanan dengan hadits kedua riwayat sahabat Wail bin Hajar ra yang mengatakan:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه ركبتيه -رواه أبوداود والترمذي والنسائي وابن ماجه

“Saya melihat Rasulullah saw ketika sujud meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum tangannya.” (HR. abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)

Ketika ada dua hadits yang tampak bertentangan seperti itu, para ulama akan memilih mana yang lebih kuat; yang sahih didahulukan dari pada yang dhaif. Kalau kedudukannya sama, sebisa mungkin dikompromikan agar sejalan dan tidak saling bertentangan . Jika langkah tersebut tidak mungkin dicapai, hadist yang terdahulu dirombak (dinasikh) oleh yang terakhir. Dengan catatan sejarah keduanya diketahui. Bila waktunya tidak jelas, sikap yang mereka ambil adalah al-waaf. Maksudnya kedua hadits tersebut tidak diamalkan, lalu beralih pada dalil lain. Solusi seperti itu diketemukan dalam kitab-kitab ushul fikih, seperti tashit Thuraqat, Irsayadul Fukhul dan al-Luma’. Yang menjadi permasalahan adalah para ulama sering berbeda menilai sebuah hadits. Hadits yang dianggap shahih oleh seorang ahli (muhadditsun) tertentu, pada saat yang sama kadang diklaim tidak sahih oleh ulama lain. Pada gilirannya, mereka cenderung berpendapat sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.

Pada kasus sujud Imam Malik dan Imam Auzai memilih hadits yang pertama. Sedangkan madzhab Syafi’I dan Hanafi cenderung mengamalkan hadits kedua. Dalam kaitan itulah mengapa khiaf tidak terelakkan. Apalagi jika hadits hanya diketahui oleh satu pihak saja. Namun yang pasti, ulama terdahulu telah berupaya semaksimal mungkin mendekati setiap kebenaran. Yang benar memporel dua pahala yang salah memperoleh satu pahala. Dengan syarat mereka benar-benar mempunyai kompetensi untuk berijtihad. Dalam arti, melengkapi diri dengan berbagai disiplin keilmuan yang diperlukan untuk tugas mulia yang sangat berat itu. Sekarang kita tinggal pilih sesuai dengan kemnatapan dan keyakinan masing-masing. Kalangan pesantren yang akrab dengan kitab-kitab Imam syafi’I dalam hal sujud mungkin mendahulukan lutut. Tetapi kalangan yang lain bisa saja mendahulukan tangan.

Sujud yang dilakukan adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh. Untuk lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk dahi dan kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 185)

Sedang menurut Muslim (494) dari al-Barra’ RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:

اِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

Apabila kamu bersujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan renggangkan kedua sikumu.

Dan al-Bukhari (383), dan Muslim (594) juga meriwayatkan dari Abdullah bin Malik bin Buhainah RA;

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا صَلَّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ، حَتَّى يَبْدُ وَبَيَاضُ اِبْطَيْهِ

Bahwa Nabi SAW apabila melakukan shalat, beliau merenggangkan kedua tangannya, sampai keihatan ketiaknya yang putih.

Sementara itu, menurut Abu Daud (734), dan at-Tirmidzi (270), dari Abu Humaid RA:

وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَمَنْكِبَيْهِ

.....Dan beliau merenggangkan kedua tangannya dari lambungnya, serta meletakkan kedua telapak tangannya setentang dengan pundaknya.

Dan Abu Daud (735) meriwayatkan dari Abu Humaid RA pula, mengenai sifat shalat Rasulullah SAW, dia berkata:

اِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ، غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْئٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

Apabila bersujud, beliau merenggangkan kedua pahanya, tanpa menempelkan perutnya pada salah satu pahanya.

Al-Baihaqi (2/223) telah meriwayatkan:

اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى اَمَرَأَتَيْنِ تُصَلِّيَانِ فَقَالَ: اِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ الّلَحْمِ اِلَى الاَرْضِ، فَاِنَّ الْمَرْاَةَ لَيْسَتْ فِى ذَلِكَ كَالرَّجُلِ

Bahwasanya Nabi SAW pernah melewati dua orang perempuan yang sedang shalat, maka beliau menegur: “Apabila kalian bersujud, maka rapatkanlah sebagian tubuh ke lantai, karena dalam hal itu wanita tidaklah sama dengan lelaki.

Hal ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid,

فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرُ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهُمَا

“Apabila sujud, Nabi meletakkan kedua tangan beliau tanpa meletakkan (kedua lengan bawahnya) dan tidak pula mengepitnya/menempelkannya (ke rusuk).” (HR. al-Bukhari no. 828)


Selain itu, ada pula hadits yang menyatakan larangan berbuat demikian. Di antaranya adalah hadits Anas bin Malik ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

“Janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua lengan bawahnya sebagaimana anjing meletakkan (dua kaki depannya).” (HR. al-Bukhari no. 822 dan Muslim no. 1102)

Sejumlah sahabat meriwayatkannya seperti Abdullah bin Malik ibnu Buhainah ra, ia berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Apabila Nabi shalat, beliau menjauhkan kedua lengannya (dari rusuk) hingga tampak putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. al-Bukhari no. 390 dan Muslim no. 1105)

Demikian pula riwayat Maimunah bintu al-Harits rah, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ خَوَّى بِيَدَيْهِ حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيِهْ مِنْ وَرَائِهِ

“Apabila Rasulullah sujud, beliau menjauhkan kedua lengannya hingga tampak dari belakang putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. Muslim no. 1108)

Sahabat lain yang meriwayatkan tata cara seperti ini adalah Ibnu Abbas, al-Bara’ ibnu Azib, Abdullah ibnu Arqam al-Khuza’i, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Adi bin Umairah, dan Abu Humaid as-Sa’idi g.

Karena tingginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kedua lengannya dari tanah dan menjauhkannya dari rusuknya sampai-sampai apabila ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut niscaya bisa lewat. Maimunah bintu al-Harits rah, istri beliau, yang menyampaikan hal ini. Katanya,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ لَوْ شَاءَتْ بَهْمَةٌ أَنْ تَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَمَرَّتْ

“Apabila Nabi sujud, beliau mengangkat dan menjauhkan kedua lengan beliau (dari perut/rusuk beliau) hingga jika ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut niscaya bisa lewat.” (HR. Muslim no. 1107)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh melakukan hal ini sehingga sebagian sahabatnya mengatakan,

إِنْ كُنَّا لَنَأْوِي لِرَسُوْلِ اللهِ n مِمَّا يُجَافِي بِيَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ إِذَا سَجَدَ

“Sungguh, kami merasa iba melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau begitu menjauhkan kedua lengan beliau dari kedua rusuknya di saat sujud.” (HR. Abu Dawud no. 900 dan Ibnu Majah no. 886, hadits ini dinyatakan hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih Ibni Majah)

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang shalat untuk berbuat demikian,

إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

“Apabila engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu (di tanah/tempat sujud) dan angkatlah kedua sikumu.” (HR. Muslim no. 1104 dari al-Bara’ ibnu Azib ra)

نْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

“Abu Humaid “radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam jika sujud beliau mengenakan hidung dan dahinya dari tanah dan melebarkan kedua lengannya dari kedua samping tubuhnya dan meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya”. (HR. Tirmidzi)

Catatan:
Jika Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa salam melakukan hal yang demikian mengangkat sikunya sampai terlihat ketiak beliau karena beliau adalah imam salat, tentu berbeda jika kita sebagai makmum karena hal itu tentunya siku kita akan mengenahi kepala jama’ah yang disebelah kanan dan kiri.

Sebagian saudaraku salafi wahabi saat sujud dengan cara memanjangkan badannya melebihi sajadah, hal itu tentu tidak sesuai dengan penjelasan ulama salafi wahai sbb:

Berkata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:

أي: اجعلوه سجوداً معتدلاً ، لا تهصرون فينزل البطن على الفخذ، والفخذ على الساق ولا تمتدون أيضاً كما يفعل بعضُ النَّاس إذا سجد، يمتد حتى يقرب مِن الانبطاح، فهذا لا شكَّ أنَّه مِن البدع وليس بسنَّةٍ، فما ثبت عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم ولا عن الصحابة فيما نعلم أنَّ الإنسانَ يمدُّ ظهره في السجود ، إنَّما مَدُّ الظهر في حال الركوع ، أما السجود فإنَّه يرتفع ببطنه ولا يمده
.
Berkata: “Sujudlah dengan tegak, jangan merunduk sehingga menurunkan perut di atas paha dan paha di atas betis, dan juga jangan terlalu memanjang sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jika dia sujud, memanjang sampai mendekati dalam keadaan merebahkan diri, maka tidak diragukan ini adalah perbuatan bid’ah dan bukan dari sunnah, tidak tetap rwayatnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalalm dan para shahabatnya, sebagaimana yang kami ketahui bahwa seorang tidak merentangkan punggungnya ketika sujud tetpi merentangkannya ketika ruku, adapun ketika sujud dia mengangatkan perutnya dan tidak merentangkannya”. (Lihat Kitab Asy Syarh Al Mumti’, 3/168.)

Wallohu a’lam bis-Showab dan semoga bermanfa’at. Aamiin