MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 24 November 2015

SALAH KAPRAH MEMAHAMI SUNNAH SUJUD DALAM SHOLAT



Para ulama fiqih mendifinisikan shalat sebagai tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan itu selanjutnya dinamakan rukun dan pemenuhannya menjadi satu keharusan. Berarti, bila tidak dikerjakan mengakibatkan shalatnya batal. Atau disebut sunnah jika berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurnaan saja. Sehingga, kalau ditinggalkan, tidak sampai berakibat membatalkan shalat.

Rukun shalat secara keseluruhan ada tujuh belas, yang merupakan satu kesatuan utuh, sehingga pelaksanaannya harus berkesinambungan. Akibatnya, bila ada salah satu saja dari rukun itu ditinggalkan atau dilaksanakan secara terpisah, seseorang belum dianggap melaksanakan shalat. Dalam bahasa ahli ushul fikih, belum bebas dari uhdatul wujub, atau belum bisa mengugurkan at-ta’abbud.

Setiap rukun mempunyai aturan dan cara-cara tertentu. Mulai dari cara membaca fatihah, ruku’, sujud, I’tidal dan seterusnya semua itu berdasar pada cara shalat Rasulullah saw semasa hidup. Sebagaimana perintah beliau dalam sebuah hadits:

صلوا كما رأيتموني أصلي. رواه البخاري –

“Shalatlah kamu seperti yang kamu lihat saat aku mengerjakannya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Cara dan aturan-aturan tersebut telah diterangkan oleh ulama dengan panjang lebar, melalui proses ijtihad secara serius, dalam karya mereka berupa kitab-kitab fiqih.

Dalam berijtihad mereka senantiasa berpedoman pada al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas serta metode-metode istinbath yang lain. Karena itu dengan berpedoman pada kitab-kitab fiqih, bukan berarti kita tidak atau kurang mengamalkan al-Qur’an dan hadits seperti anggapan minor sebagian kalangan tertentu.

Dengan demikian shalat yang dipraktikkan umat Islam, secara umum sama, karena berangkat dari sumber yang sama pula. Semua berdiri, membaca fatihah, ruku’ dan sbagainya. Tapi di balik kesamaan-kesamaan tersebut, ada perbedaan-perbedaan kecil yang tidak begitu prinsip . Jangan sampai terjadi, perbedaan kecil itu merusak ukhuwah islamiyah di kalangan muslimin.
Misalnya dalam hal sujud, para ulama sendiri terbagi dalam dua elompok, antara yang mendahulukan tangan dan yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut. Keduanya memiliki dasar masing-masing. Kalau ditelusuri perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada dua hadits yang termaktub dalam bulughul maram, karangan Ibnu hajar al-Asqalani.Hadits pertama riwayat dari sahabat Abu Hurairoh ra yang menyatakan bahwasannya rasulullah saw bersabda;

إذا سجد أحدكم فلايبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه - رواه أبوداود والترمذي والنسائي

“Jika salah satu dari kalian bersujud, janganlah menderum seperti unta menderum, letakkanlah kedua tangan sebelum lutut.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)

Dalam hadits tersebut jelas kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan. Sebuah pengertian yang berlawanan dengan hadits kedua riwayat sahabat Wail bin Hajar ra yang mengatakan:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه ركبتيه -رواه أبوداود والترمذي والنسائي وابن ماجه

“Saya melihat Rasulullah saw ketika sujud meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum tangannya.” (HR. abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)

Ketika ada dua hadits yang tampak bertentangan seperti itu, para ulama akan memilih mana yang lebih kuat; yang sahih didahulukan dari pada yang dhaif. Kalau kedudukannya sama, sebisa mungkin dikompromikan agar sejalan dan tidak saling bertentangan . Jika langkah tersebut tidak mungkin dicapai, hadist yang terdahulu dirombak (dinasikh) oleh yang terakhir. Dengan catatan sejarah keduanya diketahui. Bila waktunya tidak jelas, sikap yang mereka ambil adalah al-waaf. Maksudnya kedua hadits tersebut tidak diamalkan, lalu beralih pada dalil lain. Solusi seperti itu diketemukan dalam kitab-kitab ushul fikih, seperti tashit Thuraqat, Irsayadul Fukhul dan al-Luma’. Yang menjadi permasalahan adalah para ulama sering berbeda menilai sebuah hadits. Hadits yang dianggap shahih oleh seorang ahli (muhadditsun) tertentu, pada saat yang sama kadang diklaim tidak sahih oleh ulama lain. Pada gilirannya, mereka cenderung berpendapat sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.

Pada kasus sujud Imam Malik dan Imam Auzai memilih hadits yang pertama. Sedangkan madzhab Syafi’I dan Hanafi cenderung mengamalkan hadits kedua. Dalam kaitan itulah mengapa khiaf tidak terelakkan. Apalagi jika hadits hanya diketahui oleh satu pihak saja. Namun yang pasti, ulama terdahulu telah berupaya semaksimal mungkin mendekati setiap kebenaran. Yang benar memporel dua pahala yang salah memperoleh satu pahala. Dengan syarat mereka benar-benar mempunyai kompetensi untuk berijtihad. Dalam arti, melengkapi diri dengan berbagai disiplin keilmuan yang diperlukan untuk tugas mulia yang sangat berat itu. Sekarang kita tinggal pilih sesuai dengan kemnatapan dan keyakinan masing-masing. Kalangan pesantren yang akrab dengan kitab-kitab Imam syafi’I dalam hal sujud mungkin mendahulukan lutut. Tetapi kalangan yang lain bisa saja mendahulukan tangan.

Sujud yang dilakukan adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh. Untuk lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk dahi dan kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 185)

Sedang menurut Muslim (494) dari al-Barra’ RA, dia berkata: Sabda Rasulullah SAW:

اِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

Apabila kamu bersujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan renggangkan kedua sikumu.

Dan al-Bukhari (383), dan Muslim (594) juga meriwayatkan dari Abdullah bin Malik bin Buhainah RA;

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا صَلَّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ، حَتَّى يَبْدُ وَبَيَاضُ اِبْطَيْهِ

Bahwa Nabi SAW apabila melakukan shalat, beliau merenggangkan kedua tangannya, sampai keihatan ketiaknya yang putih.

Sementara itu, menurut Abu Daud (734), dan at-Tirmidzi (270), dari Abu Humaid RA:

وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَمَنْكِبَيْهِ

.....Dan beliau merenggangkan kedua tangannya dari lambungnya, serta meletakkan kedua telapak tangannya setentang dengan pundaknya.

Dan Abu Daud (735) meriwayatkan dari Abu Humaid RA pula, mengenai sifat shalat Rasulullah SAW, dia berkata:

اِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ، غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْئٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

Apabila bersujud, beliau merenggangkan kedua pahanya, tanpa menempelkan perutnya pada salah satu pahanya.

Al-Baihaqi (2/223) telah meriwayatkan:

اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى اَمَرَأَتَيْنِ تُصَلِّيَانِ فَقَالَ: اِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ الّلَحْمِ اِلَى الاَرْضِ، فَاِنَّ الْمَرْاَةَ لَيْسَتْ فِى ذَلِكَ كَالرَّجُلِ

Bahwasanya Nabi SAW pernah melewati dua orang perempuan yang sedang shalat, maka beliau menegur: “Apabila kalian bersujud, maka rapatkanlah sebagian tubuh ke lantai, karena dalam hal itu wanita tidaklah sama dengan lelaki.

Hal ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid,

فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرُ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهُمَا

“Apabila sujud, Nabi meletakkan kedua tangan beliau tanpa meletakkan (kedua lengan bawahnya) dan tidak pula mengepitnya/menempelkannya (ke rusuk).” (HR. al-Bukhari no. 828)


Selain itu, ada pula hadits yang menyatakan larangan berbuat demikian. Di antaranya adalah hadits Anas bin Malik ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

“Janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua lengan bawahnya sebagaimana anjing meletakkan (dua kaki depannya).” (HR. al-Bukhari no. 822 dan Muslim no. 1102)

Sejumlah sahabat meriwayatkannya seperti Abdullah bin Malik ibnu Buhainah ra, ia berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Apabila Nabi shalat, beliau menjauhkan kedua lengannya (dari rusuk) hingga tampak putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. al-Bukhari no. 390 dan Muslim no. 1105)

Demikian pula riwayat Maimunah bintu al-Harits rah, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ خَوَّى بِيَدَيْهِ حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيِهْ مِنْ وَرَائِهِ

“Apabila Rasulullah sujud, beliau menjauhkan kedua lengannya hingga tampak dari belakang putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. Muslim no. 1108)

Sahabat lain yang meriwayatkan tata cara seperti ini adalah Ibnu Abbas, al-Bara’ ibnu Azib, Abdullah ibnu Arqam al-Khuza’i, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Adi bin Umairah, dan Abu Humaid as-Sa’idi g.

Karena tingginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kedua lengannya dari tanah dan menjauhkannya dari rusuknya sampai-sampai apabila ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut niscaya bisa lewat. Maimunah bintu al-Harits rah, istri beliau, yang menyampaikan hal ini. Katanya,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا سَجَدَ لَوْ شَاءَتْ بَهْمَةٌ أَنْ تَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَمَرَّتْ

“Apabila Nabi sujud, beliau mengangkat dan menjauhkan kedua lengan beliau (dari perut/rusuk beliau) hingga jika ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut niscaya bisa lewat.” (HR. Muslim no. 1107)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh melakukan hal ini sehingga sebagian sahabatnya mengatakan,

إِنْ كُنَّا لَنَأْوِي لِرَسُوْلِ اللهِ n مِمَّا يُجَافِي بِيَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ إِذَا سَجَدَ

“Sungguh, kami merasa iba melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau begitu menjauhkan kedua lengan beliau dari kedua rusuknya di saat sujud.” (HR. Abu Dawud no. 900 dan Ibnu Majah no. 886, hadits ini dinyatakan hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih Ibni Majah)

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang shalat untuk berbuat demikian,

إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

“Apabila engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu (di tanah/tempat sujud) dan angkatlah kedua sikumu.” (HR. Muslim no. 1104 dari al-Bara’ ibnu Azib ra)

نْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

“Abu Humaid “radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam jika sujud beliau mengenakan hidung dan dahinya dari tanah dan melebarkan kedua lengannya dari kedua samping tubuhnya dan meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya”. (HR. Tirmidzi)

Catatan:
Jika Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa salam melakukan hal yang demikian mengangkat sikunya sampai terlihat ketiak beliau karena beliau adalah imam salat, tentu berbeda jika kita sebagai makmum karena hal itu tentunya siku kita akan mengenahi kepala jama’ah yang disebelah kanan dan kiri.

Sebagian saudaraku salafi wahabi saat sujud dengan cara memanjangkan badannya melebihi sajadah, hal itu tentu tidak sesuai dengan penjelasan ulama salafi wahai sbb:

Berkata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:

أي: اجعلوه سجوداً معتدلاً ، لا تهصرون فينزل البطن على الفخذ، والفخذ على الساق ولا تمتدون أيضاً كما يفعل بعضُ النَّاس إذا سجد، يمتد حتى يقرب مِن الانبطاح، فهذا لا شكَّ أنَّه مِن البدع وليس بسنَّةٍ، فما ثبت عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم ولا عن الصحابة فيما نعلم أنَّ الإنسانَ يمدُّ ظهره في السجود ، إنَّما مَدُّ الظهر في حال الركوع ، أما السجود فإنَّه يرتفع ببطنه ولا يمده
.
Berkata: “Sujudlah dengan tegak, jangan merunduk sehingga menurunkan perut di atas paha dan paha di atas betis, dan juga jangan terlalu memanjang sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jika dia sujud, memanjang sampai mendekati dalam keadaan merebahkan diri, maka tidak diragukan ini adalah perbuatan bid’ah dan bukan dari sunnah, tidak tetap rwayatnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalalm dan para shahabatnya, sebagaimana yang kami ketahui bahwa seorang tidak merentangkan punggungnya ketika sujud tetpi merentangkannya ketika ruku, adapun ketika sujud dia mengangatkan perutnya dan tidak merentangkannya”. (Lihat Kitab Asy Syarh Al Mumti’, 3/168.)

Wallohu a’lam bis-Showab dan semoga bermanfa’at. Aamiin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar