MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR
Tampilkan postingan dengan label FIKIH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIKIH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 September 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGECOR JALAN DIATAS KUBURAN ORANG LAIN


Berawal dari beredarnya video di TikTok dan FB diperlihatkan diatas makam umum warga dibangun sebuah jalan khusus menuju sebuah makam lainnya dengan di cor beton kemudian saya di tag untuk menanggapi hal tersebut. Baiklah kalau begitu!

Dalam Islam menghormati jenazah di dalam kuburan mirip dengan saat kita menghormati orangnya dikala masih hidup. Bila saat hidup kita dilarang berlaku tidak sopan kepada seseorang, demikian pula ketika orang tersebut sudah meninggal dunia. Ini bagian dari prinsip memuliakan manusia sebagaimana firman Allah dalam Al-Isra' ayat 70,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

"Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna." (QS. Al-Isra' : 70)

Lebih dari itu, kuburan juga memiliki fungsi lain bagi orang hidup. Memang, kuburan adalah tempat dikebumikannya orang mati. Namun, kuburan juga merangkap peran sebagai pengingat kepada orang-orang yang masih hidup. Ia adalah tempat untuk kita merenungi akan kehidupan setelah kematian nanti: apakah kita sudah siap menghadap kepada Allah subhanahu wata’ala atau tidak. Karena itulah anjuran berziarah muncul, dan kuburan tak bisa disamakan dengan lapangan atau padang rumput biasa. Kuburan adalah tempat sakral.

Diantara bentuk ajaran dalam penghormatan Islam terhadap kuburan adalah larangan duduk di atasnya. Terkait hal yang demikian, terdapat hadits yang tercantum dalam kitab Shahîh Muslim, 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya seseorang duduk di atas bara api sehingga membakar pakaiannya sampai kulitnya, itu lebih baik baginya dibandingkan duduk di atas kuburan’,” (HR. Muslim).

Dari hadits ini jelas sekali bahwa duduk di atas kuburan adalah haram. Hal itu tampak dari cara Nabi membuat perumpamaan bahwa orang yang duduk di atas bara api yang panas membara lebih baik ketimbang duduk di atas kuburan. Tentu ini indikasi larangan keras dalam hadits ini.

Saat mengurai hadits tersebut, Imam Al-‘Adzim Al-Abadi dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan,

فيه دليل على أنه لا يجوز الجلوس على القبر، وذهب الجمهور إلى التحريم

“Di dalam hadits di atas terdapat dalil atas ketidakbolehan duduk di atas kuburan, dan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, duduk di atas kuburan adalah haram” (Al-‘Adzim Al-Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan ke-2, 1415 H, juz 9, hal. 35).

Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyebutkan,

قَالَ أَصْحَابُنَا تَجْصِيصُ الْقَبْرِ مَكْرُوهٌ وَالْقُعُودُ عَلَيْهِ حَرَامٌ وَكَذَا الِاسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالِاتِّكَاءُ عَلَيْهِ

“Ulama dari kalangan kami (Syafi’iyyah) berpendapat, hukum memplester (membangun) kuburan adalah makruh, sedangkan duduk di atas kuburan adalah haram, begitu juga bersandar dan bertumpu kepada kuburan.” (Imam an-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, Beirut: Dar Ihya At-Turats, cetakan ke-2, 1392 H, juz 7, hal. 27).

Selain dalam Syarah Shahîh Muslim, Imam An-Nawawi juga menyebutkan dalam kitab Al-Majmu’,

ذكر الماوردي وغيرهأنه يكره إيقاد النار عند القبر

Al-Mawardi dan selainnya menyebutkan, bahwa hukum menyalakan api di sisi kuburan itu adalah makruh. 

وأما الجلوس على القبر والمشي عليه فمنهي عنهما، لما في الحديث: لا تجلسوا على القبور. رواه مسلم.

وفي الحديث: لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه فتخلص إلى جلده خير له من أن يجلس على قبر. رواه مسلم.

وظاهر كلام الفقهاء أن التحريج إنما يعنى به المكان الذي يوجد به الميت، فقد قال خليل في المختصر: والقبر حبس لا يمشي عليه ولا ينبش ما دام به

"Adapun duduk di atas kubur dan berjalan di atasnya adalah dilarang, seperti dalam hadits: 'Janganlah kalian duduk di atas kubur.' Diriwayatkan oleh Muslim.

Dan dalam hadits: 'Lebih baik bagi salah satu di antara kalian duduk di atas bara api yang membakar pakaiannya hingga mencapai kulitnya, daripada duduk di atas kubur.' Diriwayatkan oleh Muslim.

Dan jelas bahwa ucapan para ulama fiqh menunjukkan bahwa larangan tersebut berkaitan dengan tempat di mana mayat berada. Seperti yang dikatakan Khalil dalam kitab ringkasnya: 'Kubur adalah tempat terlarang, tidak boleh berjalan di atasnya dan tidak boleh menggali selama mayat masih ada di dalamnya.'"

Al-Imam Al-Khatib Asy-Syarbini menyebutkan dalam kitab Mughni Al-Muhtaj,

ولا يجلس على القبر المحترم ولا يتكأ عليه ولا يستند إليه ولا يوطأ عليه إلا لضرورة

“Dan jangan duduk di atas kuburan yang dihormati, jangan bersandar dan bertumpu di atasnya, dan tidak boleh diinjak kecuali karena keadaan yang darurat.” (Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, Dar Al-Fikr, juz 2, hal. 48)

Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi dalam At-Tanbih menyebutkan,

ولا يجلس على قبر ولا يدوسه إلا لحاجة. ويكره المبيت في المقبرة.

“Tidak boleh duduk di atas kuburan, tidak boleh menginjak-injak kuburan kecuali karena ada kebutuhan, dan makruh hukumnya bermalam di pemakaman” (Abu Ishaq Asy-Syairazi, At-Tanbih fi Al-Fiqh asy-Syafi’i, Beirut: ‘Alam Al-Kutub, cetakan pertama, 1983, juz 1, hal. 52)

Pendapat-pendapat ulama di atas menegaskan ketidakbolehan: duduk di atas kuburan, menginjak, melangkahi, bersandar, berjalan, dan tindakan-tindakan sejenis yang tidak menghormati kuburan. Namun jika dalam keadaan darurat, maka dapat dijadikan pengecualian. Menurut Al-Imam Syihabuddin Ar-Ramli dalam Nihayah, larangan tersebut merupakan langkah bijaksana dari upaya pengormatan penghormatan terhadap orang meninggal. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 21 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG PANGGILAN HAJI KEPADA YANG BELUM BERHAJI




Salah satu keunikan jamaah Haji Indonesia adalah usai mereka menunaikan rukun Islam yang kelima ini mereka mendapat gelar baru yaitu haji. Sehingga tetangga kanan kirinya pun memanggil mereka dengan panggilan yang ditambahi dengan kata haji untuk yang laki-laki, dan kata hajjah untuk yang perempuan. Lantas bagaimana jika panggilan "Haji/Hajah" diucapkan kepada orang yang belum haji atau orang yang sudah umroh?

Hukum memanggil orang yang belum haji dengan sebutan "Haji" atau "Hajjah" adalah tidak diperbolehkan dalam Islam karena dianggap sebagai kebohongan atau dusta, terutama jika panggilan tersebut ditujukan untuk memuliakan orang tersebut. 

Sebagian besar ulama, terutama dalam mazhab Syafi'i, mengharamkan panggilan "Haji" atau "Hajjah" bagi orang yang belum berhaji, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Panggilan tersebut dianggap haram karena merupakan kebohongan atau dusta, sebab orang yang dipanggil belum melaksanakan ibadah haji. Kecuali jika panggilan tersebut dimaksudkan secara harfiah, misalnya "Pak Haji" sebagai panggilan untuk orang yang hendak menuju shalat berjamaah, maka hukumnya diperbolehkan. 

Juga seorang pedagang di pasar terbiasa memanggil pelanggan yang memakai peci putih atau kerudung dengan sebutan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" tanpa mengetahui status hajinya, maka sebaiknya niatkan panggilan tersebut secara harfiah untuk mendoakan agar bisa menunaikan ibadah haji atau sebagai bentuk penghormatan sebagaimana di Makkah dan Madinah jamaah umroh pun dipanggil dengan sebutan "Pak Haji/Bu Janji (Hajji/Hajjah)". 

Sebaiknya, umat Islam tidak terlalu terpaku pada gelar "Haji" atau "Hajjah" karena yang terpenting adalah niat ikhlas dalam beribadah dan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan sekadar gelar.

Imam Romli dalam kitab karyanya Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj beliau menyampaikan,

(فرع استطرادي) وقع السؤال عما يقع كثيرا في مخاطبات الناس بعضهم لبعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيما له هل هو حرام أو لا ؟ والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب ، إن معنى يا حاج : يامن أتى بالنسك على الوجه المخصوص .

نعم إن أراد بيا حاج المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحا ، كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة.

(Cabang yang menyimpang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam percakapan orang-orang satu sama lain, yaitu menyebut seseorang yang belum berhaji dengan sebutan "Hai, haji Fulan" sebagai penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah tampaknya haram karena itu adalah kebohongan. Arti dari "Hai, haji" adalah "Wahai yang telah melaksanakan ibadah haji dengan cara yang khusus."

Namun, jika maksud dari "Hai, haji" adalah arti secara bahasa dan dimaksudkan dengan makna yang benar, seperti "Hai, haji, wahai yang berniat pergi ke sini" seperti jamaah atau lainnya, maka tidak ada larangan." (Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihabuddin Ar-Ramli juz 3 hal.242 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)

Juga diperkuat oleh Imam Jamal dalam kitab Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj beliau mengatakan, 

(فرع) وقع السؤال عما يقع كثيراً في مخاطبات الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيماً له هل هو حرام أولا والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب لأن معنى يا حاج فلان يا من أتى بالنسك على الوجه المخصوص نعم إن أراد بيا حاج فلان المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحاً كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة اهـ 

"(Cabang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam komunikasi antara orang-orang, yaitu ketika mereka mengatakan kepada seseorang yang belum melaksanakan haji, 'Hai haji fulan' sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah bahwa tampaknya itu haram karena dianggap sebagai kebohongan, karena makna 'Hai haji fulan' adalah 'Hai, orang yang telah melaksanakan ibadah haji' dengan cara tertentu. Namun, jika yang dimaksud dengan 'Hai haji fulan' adalah makna bahasa dan ditujukan dengan niat yang benar, seperti 'Hai haji, hai yang berniat menuju ke tempat tertentu, seperti kelompok atau lainnya,' maka tidak ada larangan." (Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj, Sulaiman bin Umar bin Mashur Al-Ajili Al-Mashur Asy-Syafi'i Al-Ma'ruf bi Jamal juz 4 hal.5 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)

Pada dasarnya penggunaan nama panggilan "Haji/Hajjah atau panggilan lain misal panggilan laqab atau julukan sepanjang mengandung arti baik atau maksud mendoakan serta disukai oleh pemilik namanya, dalam ajaran Islam merupakan hal yang dibolehkan. Seperti para sahabat yang memiliki julukan tertentu setelah namanya. 

Sebagai contoh, sahabat Abu Bakar memiliki julukan Al-‘Atiq yang berarti terbebas dari api neraka, sahabat Umar bin Khattab yang dijuluki Al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan), sahabat Khalid bin Walid yang dijuluki Saifullah (pedang Allah) dan selainnya. Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menyatakan,

وَاتَّفَقُوا عَلَى اسْتِحْبَابِ اللَّقَبِ الَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ فَمِنْ ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ

“Para ulama sepakat bahwasanya dianjurkan memanggil seseorang dengan julukan yang disukai oleh si empunya, diantaranya ialah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Abdullah bin Utsman di juluki ‘Atiq.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], juz. 8, hal.441). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 19 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG LARANGAN MENGHIAS KUBURAN SECARA BERLEBIHAN

Viral nya video pendek di beranda FB terkait fenomena hiasan kuburan yang terlihat seperti perlombaan tujubelasan 'Menghias Kuburan' kemudian ada inbox yang menanyakan terkait hukumnya, maka awal mula artikel ini dan bukan maksud menghakimi siapapun.

Rasulullah pernah bersabda dalam salah satu haditsnya,

  مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَ مِنْهُ  

“Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan” (HR. Ahmad).

Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ  أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ  مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi  dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur  menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR.  Muslim no. 532).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ  الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ  الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka adalah kaum yang jika hamba atau orang sholeh mati di  tengah-tengah mereka, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya. Lantas  mereka membuat gambar-gambar (orang sholeh) tersebut. Mereka inilah  sejelek-jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari no. 434).

Seorang ulama Yaman Muhammad bin Ali Asy-Syaukani yang dikenal dengan sebutan Imam Asy-Syaukani (1759-1834) adalah seorang ulama, ahli hukum, teolog, dan reformis Islam Sunni Yaman yang terkenal. Ia lahir di Hijratu Syaukan, Yaman, dan dikenal karena pemikirannya yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits, serta penolakannya terhadap taqlid (mengikuti mazhab secara membabi buta) dan kalam (teologi spekulatif). 

Dalam salah satu kitab karyanya Ar-Rasail As-Salafiah Fi Ihyai Sunnah Khairil Bariyah hal.34 cet. Darr Al-Kitab Al-'Arabi beliau menyampaikan 

فلا شك ولا ريب أن السبب الأعظم الذي نشأ معه هذا الاعتقاد في الأموات، هو ما زينه الشيطان للناس من رفع القبور، ووضع الستور عليها، وتجصيصها، وتزيينها بأبلغ زينة، وتحسينها بأكمل تحسين فإنّ الجاهل إذا وَقَعَت عينه على قبر من القبور قد بنيت عليه قبة، فدخلها، ونظر على القبور الستور الرائعة والسرج المتلالئة، وقد صدعت حوله مجامر الطيب، فلا شك ولا ريب أنه يمتلئ قلبه تعظيماً لذلك القبر، ويضيق ذهنه عن تصوّر ما لهذا الميت من المنزلة، ويدخله من الروعة والمهابة ما يزرع في قلبه العقائد الشيطانية التي هي من أعظم مكايد الشيطان للمسلمين، وأشد وسائله إلى ضلال العباد وما يزلزله عن الإسلام قليلاً، حتى يطلب من صاحب ذلك القبر ما لا يقدر عليه إلا الله سبحانه فيصير في عداد المشركين

"Tidak diragukan lagi bahwa penyebab utama munculnya keyakinan ini terhadap orang-orang yang telah meninggal adalah apa yang dihias oleh setan kepada manusia berupa pengangkatan kuburan, peletakan tirai di atasnya, penghalusan, dan menghiasinya dengan hiasan yang sangat indah. Ketika seorang yang tidak berpengetahuan melihat kuburan yang dibangun dengan kubah, kemudian memasuki dan melihat tirai-tirai yang menawan serta lampu-lampu yang berkilauan, dan dikelilingi oleh aroma wewangian, pasti hatinya akan dipenuhi dengan penghormatan terhadap kuburan tersebut. Pemikirannya akan terhalang untuk membayangkan kedudukan orang yang sudah meninggal itu, dan perasaan kagum serta hormat yang muncul akan menanamkan dalam hatinya keyakinan-keyakinan setan yang merupakan salah satu tipuan terbesar setan terhadap umat Islam, serta menjadi salah satu cara yang paling kuat untuk menyesatkan hamba-hamba Allah, hingga ia meminta dari pemilik kubur tersebut sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga ia termasuk dalam golongan para musyrik." (Imam Asy-Syaukani dalam Ar-Rasail As-Salafiah Fi Ihyai Sunnah Khairil Bariyah hal.34 cet. Darr Al-Kitab Al-'Arabi)

Dalam kitab fikih Fath al-Mu’in dijelaskan,   

وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل.   ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه.   

“Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan” (Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal.536).

Perincian hukum membangun pada kuburan di atas, dikecualikan ketika mayit adalah orang yang shaleh, ulama atau dikenal sebagai wali (kekasih Allah), maka boleh makam tersebut diabadikan dengan dibangun agar orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. Meskipun makam orang soleh ini berada di pemakaman umum. Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin,

ﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ. ﻗﺎﻝ اﻟﺤﻠﺒﻲ: ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﻣﺴﺒﻠﺔ، ﻭﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ   

“Makam para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata: ‘Meskipun di lahan umum”, dan ia memfatwakan hal itu (Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137).   

Alasan di balik pelarangan membangun kuburan ini adalah karena dalam membangun kuburan terdapat unsur menghias kuburan atau mempermewah kuburan. Selain itu, menurut Imam Al-Qulyubi, membangun kuburan merupakan bentuk menghambur-hamburkan harta tanpa adanya tujuan yang dibenarkan oleh Syara’, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah Umairah,

ﻗﺎﻝ اﻷﺋﻤﺔ: ﻭﺣﻜﻤﺔ اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺘﺰﻳﻴﻦ ﺃﻗﻮﻝ: ﻭﺇﺿﺎﻋﺔ اﻟﻤﺎﻝ ﻟﻐﻴﺮ ﻏﺮﺽ ﺷﺮﻋﻲ   

“Para ulama berkata, ‘Hikmah (alasan) larangan membangun kuburan adalah menghias.’ Saya (Umairah) katakan, ‘Juga karena menghamburkan harta tanpa tujuan yang dibenarkan syari’at’,” (Ahmad Al-Barlasi Al-‘Umairah, Hasyiyah Umairah, juz 1, hal. 441).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membangun kuburan (mengijing) hukum asalnya adalah makruh ketika dibangun di tanah pribadi, selama tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan kuburan. Sedangkan jika kuburan berada di tanah milik umum, maka hukum membangunnya adalah haram dan wajib untuk dibongkar. Perincian hukum ini, dikecualikan ketika makam tersebut adalah makam ulama atau orang yang shaleh, maka boleh dan tidak makruh membangun makam tersebut agar dapat diziarahi oleh khalayak umum tentunya dengan tidak berlebihan karena merupakan bentuk berlebihan. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 14 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGUSAP KEDUA TELINGA SAAT BERWUDHU




Viralnya sebuah video seorang tokoh agama menyampaikan bahwa membasuh kedua telinga merupakan fardhu wudhu kemudian muncul narasi tulisan atau artikel yang membahasnya. Tak sedikit pula komentar terkait tanggapan dari video tersebut meski sudah menyertakan ibarot dan kitabnya dianggap suatu kesalahan karena menurut mereka hal itu didasari nafsu untuk merendahkan orang lain yang mengatakan bahwa mengusap kedua telinga itu wajib. Padahal beda pendapat dalam masalah itu hal yang biasa.

اختلف أهل العلم في مسح الأذنين في الوضوء هل هو واجب أو سنة، فمنهم من قال بالوجوب وذهب الجمهور إلى أن مسح الأذنين سنة مستحبة وليس واجباً. وبناء عليه، فمن نسي مسح الأذنين، فلا شيء عليه ووضوؤه صحيح.

مسح الأذنين في الوضوء مما واظب عليه النبي صلى الله عليه وسلم، واختلف أهل العلم فيه هل هو واجب أو سنة، فمنهم من قال بالوجوب كما هو المذهب عند الحنابلة؛ لما روى ابن ماجه (443) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْأُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ والحديث مختلف في صحته، وقد صححه الألباني رحمه الله في صحيح ابن ماجة.

وإذا كان الأذنان من الرأس كان مسحهما في الوضوء فرضا كمسح الرأس.

وذهب الجمهور إلى أن مسح الأذنين سنة مستحبة وليس واجباً. وينظر: "الموسوعة الفقهية" (43/364).

والمنقول عن الإمام أحمد رحمه الله أن من ترك مسح الأذنين، أن وضوءه يجزئه.

قال ابن قدامة رحمه الله في "المغني" (1/90):

"والأذنان من الرأس، فقياس المذهب وجوب مسحهما مع مسحه. وقال الخلال: كلهم حكوا عن أبي عبد الله فيمن ترك مسحهما عامدا أو ناسيا، أنه يجزئه؛ وذلك لأنهما تبع للرأس، لا يفهم من إطلاق اسم الرأس دخولهما فيه، ولا يشبهان بقية أجزاء الرأس، ولذلك لم يجزه مسحهما عن مسحه عند من اجتزأ بمسح بعضه، والأولى مسحهما معه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم مسحهما مع رأسه، فروت الرُّبَيِّع أنها رأت النبي صلى الله عليه وسلم مسح رأسه، ما أقبل منه وما أدبر وصدغيه وأذنيه مرة واحدة. وروى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم مسح رأسه وأذنيه ظاهرهما وباطنهما. وقال الترمذي: حديث ابن عباس وحديث الرُّبَيِّع صحيحان." انتهى.

وبناء على ذلك، فمن نسي مسح الأذنين، فلا شيء عليه، ووضوؤه صحيح.

"Para ulama berbeda pendapat mengenai mengusap telinga dalam wudhu, apakah itu wajib atau sunnah. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa itu wajib, sementara mayoritas berpendapat bahwa mengusap telinga adalah sunnah yang dianjurkan dan bukan wajib. Oleh karena itu, jika seseorang lupa mengusap telinga, maka tidak ada masalah dan wudhunya tetap sah.

Mengusap telinga dalam wudhu adalah sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Para ulama berbeda pendapat apakah itu wajib atau sunnah. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa itu wajib, sebagaimana pendapat yang dianut oleh madzhab Hanbali, berdasarkan riwayat Ibn Majah (443) dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: 'Telinga adalah bagian dari kepala.' Hadits ini berbeda pendapat mengenai keshahihannya, namun dihukumi shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah.

Jika telinga adalah bagian dari kepala, maka mengusapnya dalam wudhu adalah wajib sama seperti mengusap kepala.

Mayoritas berpendapat bahwa mengusap telinga adalah sunnah yang dianjurkan dan bukan wajib. Lihat: "Ensiklopedia Fiqh" (43/364).

Dari Imam Ahmad rahimahullah, diriwayatkan bahwa siapa pun yang meninggalkan mengusap telinga, maka wudhunya tetap sah.

Ibnu Qudamah ulama Madzhab Hambali dalam "Al-Mughni" (1/90) mengatakan:

'Telinga adalah bagian dari kepala, maka menurut kaidah madzhab, mengusapnya bersama dengan mengusap kepala adalah wajib. Dan Al-Khalal menyatakan bahwa semua ulama mengutip dari Abu Abdullah bahwa siapa pun yang meninggalkan mengusapnya secara sengaja atau lupa, maka wudhunya sah; karena telinga mengikuti kepala, dan tidak bisa dipahami dari nama kepala bahwa telinga termasuk di dalamnya, dan tidak sama dengan bagian kepala lainnya. Oleh karena itu, mengusap telinga tidak bisa menggantikan mengusap kepala bagi orang yang sudah cukup dengan mengusap sebagian. Sebaiknya mengusap keduanya bersama-sama; karena Nabi ﷺ mengusap keduanya bersama dengan kepalanya. Ruba'iy meriwayatkan bahwa ia melihat Nabi ﷺ mengusap kepalanya, baik bagian depan maupun belakang, serta kedua telinganya sekaligus. Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu  meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengusap kepala dan telinganya, baik bagian luar maupun dalam. Dan Tirmidzi mengatakan: Hadis Ibn Abbas dan Hadis Ruba'iy adalah sahih.'"

Oleh karena itu, jika seseorang lupa mengusap telinga, maka tidak ada masalah dan wudhunya tetap sah. (Sumber : https://islamqa.info/ar/answers/115246)

Imam Al-Kasani (Abu Bakar Alauddin bin Mas’ud bin Ahmad bin Alauddin Al-Kasani) seorang ulama Madzhab Hanafi murid dan sekaligus menantu dari Imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Ahmad As-Samarqandi pengarang kitab fikih At-Tuhfah. Imam Al-Kasani dalam karyanya Badai’u Ash-Shana’i fii Tartib Asy-Syarai’ menjelaskan dan beliau juga mengutip pendapat imam madzhab lainnya, 

(مطلب المسح الاذنين)

(ومنها) ان يمسح الاذنين ظاهرهما, وباطنهما بماء الرأس (مذهب الحنفية : العناية شرح الهداية جز ١ ص ٢٧), رد المختار على الدار المختار جز ١ ص ١٢١)

وقال الشافعى: السنة ان يأخذ لكل واحد منهما ماء جديدا (مذهب الشافعية: حاشية البجيرمي على المنهاج جز ١ ص ٧٩, حاشيتي قليوبي وعميرة جز ١ ص ٦٢)

ورُوِيَ عن أنس بن مالك رضي الله عنه عن النَّبيِّ ﷺ أَنَّه قال : «الْأَذْنَانِ مِنَ الرَّأْس " ومعلوم أنه ما أراد به بيان الخِلْقة، بل بيان الحكم، إلا أنه لا ينوبُ المسح عليهما عن مسحِ الرّأسِ لأنّ وُجوبَ مسح الرّأسِ ثبت بدليل مقطوع به .

وكونُ الأُذُنَيْنِ من الرّأسِ ثبت بخَبَرِ الواحِدِ ، وأنّه يوجِبُ العمل دون العلم، فلوناب (المسحُ عليهما ) عن مسح الرّأسِ لَجَعَلْناهما من الرّأسِ قطعًا، وهذا لا يجوز، وصار هذا كقول النّبيِّ ﷺ : «الحطيم (٦) من البيتِ» (۷) فالحديثُ يُفيد كونَ الحطيم من البيت، حتّى يُطافَ به كما يُطافُ بالبيت، ثمّ لا يجوز أداء الصّلاةِ إِليه ؛ لأنّ وُجوبَ الصَّلاةِ إلى الكعبة ثبت بدليل مقطوع به ، وكون الحطيم من البيتِ ثبت بخَبَرِ الواحِدِ، والعمل بخَيْرٍ الواحِدِ إنّما يجب إذا لم يتضَمَّنْ إبطال العمل بدليل مقطوع به ، أمَّا إذا تَضَمَّنَ فلا ، كذلك ههنا .

(Masalah Mengusap Dua Telinga)

(Dan di antara itu) bahwa mengusap telinga dilakukan pada bagian luarnya dan dalamnya dengan air yang digunakan untuk mengusap kepala (Pendapat Hanafi: Al-'Inayah Syarh Al-Hidayah Jilid 1 Hal. 27, Radd Al-Mukhtar Ala Dar Al-Mukhtar Jilid 1 Hal. 121).

Dan Imam Syafi'i berkata: Sunnahnya adalah mengambil air yang baru untuk masing-masing telinga (Pendapat Syafi'i: Hasyiah Al-Bujairami Ala Al-Minhaj Jilid 1 Hal. 79, Hasyiah Qalyubi dan Umairah Jilid 1 Hal. 62).

"Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: 'Dua telinga adalah bagian dari kepala.' Dan diketahui bahwa yang dimaksud bukan untuk menjelaskan penciptaan, tetapi untuk menjelaskan hukum. Namun, mengusap keduanya tidak menggantikan pengusapan kepala karena kewajiban mengusap kepala telah ditetapkan dengan bukti yang jelas.

Bahwa telinga termasuk dalam kepala ditetapkan melalui berita yang tunggal, dan itu mewajibkan tindakan meskipun tanpa ilmu. Seandainya mengusap keduanya menggantikan pengusapan kepala, pasti kita akan menganggap keduanya sebagai bagian dari kepala secara mutlak, dan ini tidak diperbolehkan. Ini mirip dengan sabda Nabi ﷺ: 'Hatim adalah bagian dari rumah.' Hadits tersebut menunjukkan bahwa hatim adalah bagian dari rumah, sehingga dapat dikelilingi seperti rumah, tetapi tidak diperbolehkan untuk shalat menghadapnya; karena kewajiban shalat menghadap Ka'bah telah ditetapkan dengan bukti yang jelas, sedangkan hatim sebagai bagian dari rumah ditetapkan dengan berita yang tunggal. Tindakan berdasarkan berita yang tunggal hanya wajib jika tidak mengandung pembatalan tindakan berdasarkan bukti yang jelas; jika mengandung, maka tidak. Begitu juga di sini." (Fiqih Hanafi : Bada'i Ash-Shana'i fi Tartib Asy-Syara'i juz 1 hal. 97-98)

فرع: أجمعت الأمة على أنَّ الأذنين تطهران واختلفوا في كيفية تطهيرهما على المذاهـب السَّابقة. قال أبو جعفر محمد بن جرير الطبري في كتابه اختلاف الفقهاء: أجمعوا أن من ترك مسحهما فطهارته صحيحةٌ وكذا نقل الإجماع غيره وحكى ابن المنذر وأصحابنا عن إسحاق بن راهويه أنَّه قال: من ترك مسحهما عمدا لم تصح طهارته وهو محجوجٌ بإجماع من قبل وبالحديث الذي ذكره المصنف والله أعلم.

وحكى القاضي أبو الطَّيِّب وغيره عن الشَّيعة أنَّهم قالوا لا يستحبُّ مسح الأذنين لأنَّه لا ذكر لهما في القرآن ولكن الشيعة لا يعتد بهم في الإجماع وإن تبرعنا بالرد عليهم فدليله الأحاديث الصحيحة والله أعلم.

*Cabang Permasalahan:* Umat sepakat bahwa kedua telinga harus dibersihkan, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai cara membersihkannya menurut mazhab-mazhab sebelumnya. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam bukunya "Ikhtilaf Al-Fuqaha" menyatakan: Mereka sepakat bahwa siapa yang meninggalkan mengusap keduanya, maka taharahnya sah. Demikian pula, orang lain menyebutkan konsensus ini. Ibnu Mundzir dan para pemilik mazhab kami mengutip dari Ishaq bin Rahawaih bahwa ia berkata: Siapa yang sengaja meninggalkan mengusap keduanya, maka taharahnya tidak sah, dan ia didukung oleh konsensus sebelumnya dan oleh hadits yang disebutkan oleh penyusun. Allah lebih mengetahui.

Dikisahkan bahwa hakim Abu Thayyib serta lainnya mengutip dari Syi'ah bahwa mereka mengatakan tidak dianjurkan untuk mengusap telinga karena tidak ada sebutan tentangnya dalam Al-Qur'an. Namun, Syi'ah tidak dianggap dalam ijma' ulama (konsensus), dan jika kita bersedia membantah mereka, dalilnya adalah hadits-hadits yang shahih. Allah lebih Maha Mengetahui. (Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab Asy-Syairazi juz 1 hal. 480)

Kesimpulannya, bahwa mengusap kedua telinga menurut jumhur ulama (konsensus mayoritas ulama) menghukumi sunnah, meski ada sebagian yang menghukumi wajib sebagaimana Imam Ibnu Qudamah madzhab Hambali dalam Al-Mughni. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 02 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG SYARAT PENYEMBELIHAN HALAL HEWAN QURBAN DAN LAINNYA

Kajian kali ini membahas mengenai syarat penyembelihan yang dapat membuat hewan halal untuk dikonsumsi. Syarat ini terbagi menjadi tiga: [1] Syarat yang berkaitan dengan hewan yang akan disembelih, [2] Syarat yang berkaitan dengan orang yang akan menyembelih, dan [3] Syarat yang berkaitan dengan alat untuk menyembelih. Setelah itu kami akan mengutarakan pula  syarat tambahan [4] tentang Adab ketika penyembelihan hewan. (Tulisan kali ini kami olah  dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/357-366, Al Maktabah At Taufiqiyah).

*SYARAT HEWAN YANG AKAN DISEMBELIH*

Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai.” (QS. Al Baqarah: 173)

Jika hewan untuk qurban atau aqiqah syaratnya sebagai berikut,

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى   

"Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan qurban, yaitu  yang matanya buta (picek), fisiknya dalam keadaan sakit, kakinya pincang, dan badannya kurus lagi tak berlemak (HR. At-Tirmidzi: 1417 hasan shahih dan Abu Dawud: 2420).

Dijelaskan dalam Bulughul Marom hadits no. 1360 berikut ini,

وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ” – رَوَاهُ مُسْلِم 

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah (kambing berusia satu tahun masuk tahun kedua). Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah (domba berusia 6 bulan menuju 1 tahun) dari domba.” (HR. Muslim no. 1963).

Untuk sapi untuk berqurban berusia 2 tahun dan onta berusia 5 tahun sebagai syarat hewan untuk qurban. 

*SYARAT ORANG YANG AKAN MENYEMBELIH*

Pertama: Berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz. Sehingga dari sini, tidak sah penyembelihan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Begitu pula orang yang mabuk, sembelihannya juga tidak sah.

Kedua: Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani). Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan orang Majusi sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena selain muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika menyembelih.

Sedangkan ahlul kitab masih dihalalkan sembelihan mereka karena Allah Ta’ala berfirman,

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

“Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.” (QS. Al Ma-idah: 5). 

Makna makanan ahlul kitab di sini adalah sembelihan mereka, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan Al Bashri, Makhul, Ibrahim An Nakho’i, As Sudi, dan Maqotil bin Hayyan. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 3/40, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H).

Namun yang mesti diperhatikan di sini, sembelihan ahul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal berdasarkan firman Allah Ta’ala,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)

Ketiga: Menyebut nama Allah (dan berdoa) ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah (padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan), maka hasil sembelihannya tidak boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan bagi yang lupa untuk menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka hasil sembelihannya boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)

Begitu juga hal ini berdasarkan hadits Rofi’ bin Khodij, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ

“Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan.” (HR. Bukhari no. 2488).

Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu dalam penyembelihan hewan harus ada tasmiyah (menyebut nama Allah atau basmalah). Sedangkan Imam Asy-Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah adalah sunnah (dianjurkan). Mereka beralasan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ « سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ » . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .

Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.' (HR. Bukhari no. 5507).

Namun pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan wajib tasmiyah (basmalah) itulah yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i adalah untuk sembelihan yang masih diragukan disebut nama Allah ataukah tidak. Maka untuk sembelihan semacam ini, sebelum dimakan, hendaklah disebut nama Allah terlebih dahulu.

Keempat: Tidak disembelih atas nama selain Allah. Maksudnya di sini adalah mengagungkan selain Allah baik dengan mengeraskan suara atau tidak. Maka hasil sembelihan seperti ini diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)

*SYARAT ALAT UNTUK MENYEMBELIH*

Ada dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu:

Pertama: Menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong. Karena maksud dari menyembelih adalah memotong urat leher, kerongkongan, saluran pernafasan dan saluran darah.

Kedua: Tidak menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin Khodij,

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah (sekarang bernama Ethiopia).” (HR. Bukhari no. 2488).

*ADAB DALAM PENYEMBELIHAN HEWAN*

Pertama: Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)

Dari Syadad bin Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.” (HR. Muslim no. 1955).

Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan pisau atau menajamkan pisau di hadapan hewan yang akan disembelih. 

Ibnu Umar ra. berkata,

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,

أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا

”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Lantas Nabi berkata, “Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu sudah diasah sebelum engkau membaringkannya.” (HR. Al Hakim (4/257), Al Baihaqi (9/280), ‘Abdur Rozaq no. 8608.  Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al Bukhari. Adz Dzahabi dalam At Talkhis mengatakan bahwa sesuai syarat Bukhari. Ibnu Hajar dalam At Talkhis Al Habir (4/1493) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mursal. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 2265 mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kedua: Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih

Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ ».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya. (HR. Muslim no. 1967).

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing berdiri atau berlutut, tetapi yang tepat adalah dalam keadaan berbaring. Cara seperti ini adalah perlakuan terbaik bagi kambing tersebut. Hadits-hadits yang ada pun menuntunkan demikian. Juga hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Juga berdasarkan kesepakatan ulama dan yang sering dipraktekan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan di sisi kirinya. Cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri.” (Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/122, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H).

Ketiga: Meletakkan kaki di sisi leher hewan

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,

ضَحَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ .

“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya.” (HR. Bukhari no. 5558).

Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki di sisi kanan hewan qurban. Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan hewan tadi adalah pada sisi kirinya. Lalu kaki si penyembelih diletakkan di sisi kanan agar mudah untuk  menyembelih dan mudah mengambil pisau dengan tangan kanan. Begitu pula seperti ini akan semakin mudah memegang kepala hewan tadi dengan tangan kiri.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy Asy Syafi’i, 10/18, Darul Ma’rifah, terbit 1379 H).

Keempat: Menghadapkan hewan ke arah kiblat

Dari Nafi’ menyampaikan bahwa,

أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ.

“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.” (HR. ‘Abdur Razaq no. 8585 dengan sanad yang shahih).

Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan menjelaskannya. Namun hal ini hanyalah mustahab (dianjurkan). (Shahih Fiqh Sunnah, 2/364).

Kelima: terputusnya kerongkongan dan urat leher

يجب أن تكون التذكية في محل الذبح، وأن يقطع المريء والودجان، أو أحدهما

"Penyembelihan harus dilakukan pada bagian tempat pemotongan leher), dan harus terpotong kerongkongan dan dua urat leher atau salah satu urat leher." (Fatwa Lajnah Daimah no. 21165)

Keenam: Tidak diperbolehkan memotong hewan lebih dari satu kali (mengangkat pisau lebih satu kali dalam jeda yang lama) 

Syekh Ibrahim Al-Bajuri seorang ulama Syafi'iyah dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri Ala Ibni Qasim yang merupakan anotasi dari Kitab Fathul Qarib menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut:

   قوله: (ويكون قطع ما ذكر) أي من الحلقوم والمريء. وقوله: (دفعة واحدة لا في دفعتين) أي إذا لم توجد الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية، أما إذا وجدت الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية فيحل المذبوح حينئذ. ومثل الدفعة الثانية غيرها كالثالثة، فالشرط وجود الحياة المستقرة في ابتداء الوضع آخر مرة، ومحل ذلك عند طول الفصل، وإلا فلو رفع السكين وأعادها فورًا أو ألقاها لكونها كالة وأخذ غيرها فورًا أو سقطت منه وأخذ غيرها حالًا أو قبلها وقطع بها ما بقي حل المذبوح وإن لم توجد الحياة المستقرة المرة الأخيرة لأن جميع المرات عند عدم طول الفصل كالمرة الواحدة

"Dan harus memotong yang telah disebutkan (yaitu al-hulqum, saluran pernafasan dan al-mari', saluran makanan) dengan sekali potong, bukan dua kali potong. Maksudnya, jika tidak ada kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) pada potongan kedua, namun jika ada kehidupan yang stabil pada potongan kedua, maka hewan yang disembelih menjadi halal. Begitu juga potongan ketiga dan seterusnya, syaratnya adalah adanya kehidupan yang stabil pada awal potongan terakhir, dan hal ini berlaku jika ada jeda yang panjang antara potongan-potongan tersebut. Tetapi jika pisau diangkat dan digunakan kembali segera, atau dilempar karena tumpul dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau jatuh dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau diangkat dan digunakan untuk memotong sisa yang ada, maka hewan yang disembelih menjadi halal meskipun tidak ada kehidupan yang stabil pada potongan terakhir, karena semua potongan dianggap satu kali jika tidak ada jeda yang panjang." (Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri Ala Ibnu Qasim [Jeddah, Darul Minhaj: 2016] juz IV halaman 323).   

Senada dengan penjelasan Syekh Ibrahim Al-Bajuri di atas, Imam Al-Bujairimi menegaskan: 

وَلَا يَضُرُّ رَفْعُ السِّكِّينِ وَإِعَادَتُهَا فَوْرًا وَلَا قَلْبُهَا لِيَأْخُذَ عَلَيْهَا مَا بَقِيَ مِنْ الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ وَلَا إلْقَاؤُهَا لِيَأْخُذَ غَيْرَهَا وَلَا يُشْتَرَطُ فِيمَا ذُكِرَ حَيَاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ وَإِنَّمَا يُشْتَرَطُ قِصَرُ الْفَصْلِ عُرْفًا اهـ

"Dan tidak mengapa mengangkat pisau dan mengembalikannya segera, atau membaliknya untuk memotong yang tersisa dari tenggorokan (al-hulqum) dan kerongkongan (al-mari'), atau melemparkannya untuk mengambil pisau lain. Tidak disyaratkan adanya kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) dalam hal-hal yang telah disebutkan, tetapi yang disyaratkan adalah singkatnya jeda waktu menurut kebiasaan." (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: t.t], juz IV, halaman 295).   

Imam Ad-Dirdir ulama Malikiyah juga mengatakan,

فإن عاد عن قرب أكلت رفع يده اختيارا أو اضطرارا، والقرب والبعد بالعرف، فالقرب مثل أن يسن السكين أو يطرحها ويأخذ أخرى من حزامه أو قربه

Jika penyembelih segera mengulang penyembelihan, maka hewannya halal. Baik dia mengangkat tangannya sengaja atau tidak sengaja. Cepat dan lama ukurannya adalah urf (sesuai yang dipahami masyarakat). Yang dekat seperti mengasah pisau, atau menggantinya dengan pisau yang lain, yang dia ikat di sabuknya atau di dekatnya. (as-Syarh al-Kabir, 2/99)

Sayid Sabiq juga menjelaskan yang semisal. Beliau menuliskan,

وإذارفع المذكي يده قبل تمام الذكاة ثم رجع فورا وأكمل الذكاة فإن هذا جائز لأنه جرحها ثم ذكاها بعد وفيها الحياة فهي داخلة في وقول الله تعالى {إلا ما ذكيتم}.

Apabila orang yang menyembelih mengangkat tangannya sebelum penyembelihan sempurna, lalu dia segera kembali menyempurnakan sembelihannya, ini dibolehkan. Karena yang terjadi, dia melukai hewan itu, kemudian dia sembelih dan ketika itu hewan masih hidup. Sehingga termasuk dalam cakupan firman Allah, (yang artinya), kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (Fiqhus Sunah, 3/304)

Ketujuh: Menahan pisau/golok sampai hewan mati

Tahan pisau sesaat setelah melakukan penyembelihan jangan terburu mengangkat pisau dan mengoleskan pisau ke kulit badan hewan yang dipotong karena hal itu dimakruhkan dan biarkan hewan bergerak ketika telah berlangsung proses penyembelihan. Artinya dianjurkan untuk tidak langsung melepaskan pisau dari bekas sebatan pada leher hewan tersebut dan tahan dulu, biarkan hewan bergerak-gerak sampai dipastikan sudah mati. Itulah yang menjadikan makruh mengangkat pisau kemudian mengusapkannya ke badan hewan.

Kedelapan: Mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir dilanjutkan doa

Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar“, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik di atas. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib sebagaimana telah dijelaskan di muka. Adapun bacaan takbir (Allahu akbar) para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan doa:

Hadza minka wa laka/wa ilaika.” (HR. Abu Dawud 2795) atau hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 25 Juni 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM THAWAF WADA' DAN KEUTAMANNYA

*Landasan Hukum*

Tidak boleh bagi orang yang telah rampung menunaikan ibadah hajinya meninggalkan Mekkah kecuali setelah thawaf wada’. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { أُمِرَ اَلنَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ, إِلَّاأَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Orang-orang diperintahkan agar akhir dari ibadah haji mereka adalah thawaf di Baitullah, tetapi diberikan keringanan bagi wanita haidh.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328, 1327, 380].

Berikut adalah rincian pendapat dari masing-masing mazhab:

*1. Mazhab Hanafi*

Thawaf wada' hukumnya wajib bagi jamaah haji tapi sunnah bagi jamaah umrah.

Dalam kitab Bada’i As-Shana’i kitab madzhab Hanafi dinyatakan,

أما طواف الصدر فلا يجب على المعتمر

“Untuk thawaf wada’, hukumnya tidak wajib bagi orang yang umrah.” (Bada’i as-Shana’i, 2/227).

*2. Mazhab Maliki* 

Menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra,

بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت

"Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).

*3. Mazhab Syafi'i*

Terdapat dua pendapat, mayoritas mengatakan wajib, namun ada juga yang berpendapat sunnah.

وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

 “Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama (dan ini yang paling sahih) adalah wajib; dan​​​​​​ kedua sunah. Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).

*4. Mazhab Hambali*

Thawaf wada' hukumnya ada dua pendapat wajib dan sunnah. Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya,

فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة

" Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404). 

Ulama mazhab Hambali lainnya, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata,

 ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع

 "Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).

Menurut pendapat Imam Malik, Dawud, dan Ibnu Mundzir, hukum thawaf wada’ adalah sunnah. Seseorang yang tidak mengerjakan thawaf wada’ tidak diharuskan membayar dam. Menurut Imam  Malik, orang sakit atau użur dapat mengikuti pendapat ini.

Perbedaan pendapat ini didasarkan pada interpretasi terhadap dalil-dalil hadits dan kaidah fikih. Meskipun ada perbedaan pendapat, mayoritas ulama sepakat bahwa thawaf wada' adalah amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan sebelum meninggalkan Makkah. 

Thawaf Wada' adalah  thawaf 'perpisahan' yang dilakukan setelah melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji/umroh (Al-'Ahd) dan akan meninggalkan kota Makkah. 

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, thawaf wada' bagi jamaah haji hukumnya 'wajib';  bagi jamaah Umroh, sebagian ulama menghukumi 'afdholiyyah' atau keutamaan (saja), dan terdapat 'keringanan' (kekecualian) bagi perempuan yang sedang Haid, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. 

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { أُمِرَ اَلنَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ, إِلَّاأَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ -- مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

"Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Orang-orang diperintahkan agar akhir dari ibadah ('Ahd, Haji) mereka adalah thawaf di Baitullah (thawaf wada'), tetapi diberikan keringanan bagi wanita haidh.” (Muttafaq ‘alaih). 

*Penjelasan*

Thawaf wada' (thawaf perpisahan) adalah ibadah terakhir yang dilakukan oleh jamaah haji sebelum meninggalkan Makkah. 

Tidak boleh berlama-lama di dalam Masjidil Haram setelah thawaf wada', apalagi melakukan ibadah sunnah seperti thawaf atau shalat sunnah lainnya. Thawaf wada' adalah thawaf perpisahan yang menandakan selesainya rangkaian ibadah haji, dan setelahnya jamaah dianjurkan untuk segera bersiap meninggalkan Makkah. 

*Tujuan Thawaf Wada'*

Thawaf wada' bertujuan untuk berpamitan dengan Baitullah (Ka'bah) dan menandakan bahwa rangkaian ibadah haji telah selesai. 

*Larangan Setelah Thawaf Wada'*

Setelah thawaf wada', jamaah tidak diperkenankan untuk melakukan ibadah sunnah di Masjidil Haram, terutama thawaf sunnah. 

*Pengecualian*

Boleh tinggal sebentar di Masjidil Haram untuk menunggu rombongan, mempersiapkan keberangkatan, membeli makanan dan minuman, atau kebutuhan lainnya. Jika jamaah berencana tinggal lama di Makkah setelah thawaf wada', mereka harus mengulangi thawaf wada' ketika akan benar-benar meninggalkan kota Makkah

Sebagian ulama dan 'orang tua' di Indonesia berpendapat bahwa pada thawaf wada' melekat dimensi 'adab'--bukan hanya urusan soal fiqh--, ibarat seorang yang selesai 'bertamu' tentu saja sangat 'elok' dan 'beradab' jika tamu berpamitan kepada 'Tuan Rumah'.

Terlepas dari perbedaan pendapat hukumnya, banyak jamaah haji maupun umroh yang memiliki "kesan" tersendiri ketika melaksanakan thawaf wada'. 

Kesan khusus itu antara lain bersumber dari untaian doa yang lazim dipanjatkan oleh para jamaah, diantaranya,

يا رَدَّادُ ارْدُدْنِى إِلىَ بَيْتِكَ هَذا وَارْزُقْنِىَ العَوْدَ ثُمَّ العَوْدَ كَرَّاتٍ بَعْدَ مَرَّاتٍ تائِبُوْنَ عاَبِدُوْنَ ساَئِحُوْنَ لِرَبِّناَ حامِدُوْنَ

"... Wahai Zat Yang Maha Kuasa Mengembalikan, kembalikanlah aku ke RumahMu ini dan berilah aku rizqi (kesempatan) untuk mengulanginya (lagi) berkali-kali, dalam keadaan bertaubat, beribadah, "berlayar" menuju Tuhan kami,  sambil memuji-Nya.. "

أَللَّـهُمَّ لاَ تَجْعَلْ هَذا أَخِرَ العَهْدِ بِبَيْتِكَ الحَراَمِ وَإِنْ جَعَلْتَهُ أَخِرَ العَهْدِ فَعَوِّضْنِى عَنْهُ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِكَ ياَ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

"Ya Allah, jangan jadikan ini sebagai kesempatan terakhirku di Rumah-Mu. Sekiranya Engkau jadikan ini sebagai kesempatan terakhir bagiku,  maka gantilah Surga untukku, dengan Rahmat-Mu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang Pengasih,". 

Para jamaah juga banyak yang memanjatkan doa dengan redaksi dan bahasa masing-masing, sesuai asa, harapan, suasana hati, dan permasalahan masing-masing. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 24 Juni 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT ARBA'IN DAN KEUTAMAANNYA

Jamaah haji Indonesia yang sudah mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji setelah menunggu antrian bertahun-tahun tentu berkeinginan kuat untuk dapat semaksimal mungkin beribadah di tanah haram. Di antaranya adalah shalat arba'in atau shalat wajib 40 kali berturut-turut selama delapan atau sembilan hari di Masjid Nabawi Madinah.

*Hukum Shalat Arba'in*

Hukum shalat arbain di Madinah adalah sunnah, bukan wajib. Artinya, shalat arbain tidak termasuk dalam rukun haji atau umrah, dan meninggalkannya tidak akan membatalkan ibadah haji atau umrah. Arbain adalah melaksanakan shalat wajib berjamaah di Masjid Nabawi selama 40 waktu (5 waktu x 8 hari), dan diyakini memiliki keutamaan tertentu. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, barangsiapa shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) selama empat puluh kali berturut-turut, maka dicatat baginya kebebasan dari neraka, selamat dari adzab, serta terbebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad bin Hanbal).

*Status dan Derajat Hadits*

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Abdurrahman bin Abi Ar-Rijal, dari Nabith bin Umar, dari Anas bin Malik secara marfu’. Dalam  As-Silsilah Adh-Dhaifah, untuk keterangan hadits no. 364 dinyatakan bahwa hadits ini dhaif (lemah),

وهذا سند ضعيف، نبيط هذا لا يعرف في هذا الحديث

Hadits ini sanadnya dhaif. Seorang yang bernama Nabith bin Umar ini tidak dikenal dalam hadits tersebut.

Sementara itu, dalam kitab Dhaif At-Targhib wa At-Tarhib, untuk keterangan hadits no. 755, dinyatakan bahwa hadits ini munkar. (Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah (dhaif) dan bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya (tsiqqah). Istilah "munkar" sendiri berarti "yang diingkari" atau "tercela" dalam bahasa Arab). 

Karena itulah, para ulama menegaskan, tidak ada anjuran untuk tinggal di Madinah selama 8 hari agar bisa melakukan shalat wajib sebanyak 40 kali di masjid nabawi. Dan kita bisa lihat dalam sejarah Ashabus Suffah (para sahabat yang tinggal memginap di emperan Masjid Nabawi), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan mereka untuk tinggal selama 8 hari di Madinah.

Sehingga mereka ada yang hanya tinggal selama 3 hari, atau 4 hari atau jumlah hari sesuai kebutuhan mereka.

Meskipun demikian, jemaah haji atau umrah tidak perlu merasa khawatir atau berkecil hati jika tidak dapat melaksanakan shalat arbain. Ada ulama yang mengatakan bahwa ibadah lain yang dilakukan dengan ikhlas juga dapat memberikan keutamaan yang serupa. Kemenag juga menyebutkan bahwa jemaah haji lansia atau yang memiliki kondisi kesehatan tertentu dapat lebih memprioritaskan kesehatan mereka dan tidak memaksakan diri untuk melaksanakan shalat arbain.

Terkait hal diatas dalam Kitab Fatawa Dar Al-Ifta' Al-Misriyyah tertulis penjelasan Syekh 'Athiyah Shaqr (wafat 2006) sebagai berikut,

 فإذا كان الإنسان حرا فى إقامته وفى سفره فالأفضل أن يصلى هذا العدد، بل وأكثر منه نظرا للثواب العظيم، فإذا كان مضطرا إلى السفر قبل أن يصلى الأربعين فلا حرج عليه، فهذا أمر مندوب وليس بواجب، والأمل كبير فى أن يعطى الله للإنسان هذا الثواب إذا كان حريصا عليه لكن منعه مانع خارج عن إرادته كما يقولون، بناء على الحديث الشريف "من هم بحسنة ولم يعملها كتبت له حسنة" وقد قال العلماء: إن ذلك محله إذا كان عدم العمل بغير اختياره، أما لو تركها مختارا فلا ثواب له

"Jika seseorang dalam kondisi bebas dalam arti tidak ada kendala sama sekali, saat berada di Madinah dan dalam perjalanan hajinya, maka yang lebih utama ia melaksanakan shalat arba’in, bahkan kalau bisa lebih banyak lagi, melihat pahala yang begitu besar. Namun jika ia dalam keadaan terbatas waktu untuk melakukan perjalanan berikutnya sebelum melaksanakan arba'in, maka tidak menjadi masalah. Shalat arba'in ini adalah perkara sunah, bukan wajib. Harapan besar Allah akan tetap memberikan pahala besar itu padanya,  jika ia sangat berkeinginan melaksanakan namun karena ada penghalang eksternal di luar keinginannya. 

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa berniat untuk mengerjakan amal kebaikan namun belum terlaksana, maka Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna."

Terkait diatas ulama berpendapat, hal tersebut (belum melakukan kebaikan tapi dicatat kebaikan) jika tidak melakukannya bukan atas keinginannya. Namun, jika ia tidak melakukannya atas keinginannya sendiri, maka ia tidak mendapat pahala." (Fatawa Daar Al-Ifta' Al-Misriyyah, juz IX, halaman 13).

Secara khusus terkait keistimewaan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dalam sebuah hadits disebutkan,

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ صَلاَةٌ فِيْ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفٍ فِيْمَا سِوَاهُ –مسند أحمد بن حنبل

Dari Jabir ra, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Melakukan shalat satu kali di masjidku ini lebih utama dari shalat seribu kali di tempat lain, kecuali Masjidil Haram. Dan melakukan shalat satu kali di Masjidil Haram lebih utama dari pada melakukan shalat seratus ribu kali di tempat lainnya. (HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad bin Hanbal) 

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa para jamaah haji dan umrah meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Oleh karena itu jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diagendakan menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba'in. Namun jika tidak memungkinkan tidak sepatutnya menyesali perkara Sunnah yang tertinggal karena satu dan lain hal. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق إلى أقوم الطريق*

Jumat, 21 Maret 2025

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT SERTA KEWENANGANNYA

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam, maka pembahasannya mulai dari dengan apa seorang muslim berzakat, siapa yang harus dia berikan zakat, kapan waktu mengeluarkan zakat, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan zakat telah diatur oleh syariat dan dijaga oleh para ulama. 

Dikutip dari kitab Fathul Qorib karya Imam Muhammad bin Qasim Al-Ghazi dijelaskan bahwa secara etimologi zakat adalah النماء (berkembang), adapun menurut terminologi yaitu,

اسمٌ لمال مخصوصٍ يُؤخذ من مال مخصوص على وجه مخصوص يُصرف لطائفة مخصوصة 

"Nama untuk harta tertentu yang diambil dari harta tertentu dengan cara tertentu dan diberikan pada golongan tertentu,".

Karena itu, aturan-aturan yang sudah digariskan syariat perlu benar-benar diperhatikan. Termasuk tentang pihak yang berwenang menerima zakat dan waktu mengeluarkannya. Pendistribusian zakat sering kali kita berikan melalui amil zakat. Lantas siapakah amil zakat tersebut? 

Amil merupakan salah satu dari 8 golongan (asnafus tsamaniyah) yang berhak menerima bagian, seperti yang disebutkan dalam QS. At-Taubah 60,

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ {٦٠}

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana," (QS At-Taubah; 60). 

Pengertian amil zakat adalah orang atau kelompok orang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menarik zakat dari orang yang membayar zakat (muzakki) dan menyalurkannya kepada yang berhak (mustahiq).  Sebagaiman penjelasan Ibnul Qasim Al-Gazzi dalam Fathul Qarib,

وَالْعَامِلُ مَنِ اسْتَعْمَلَهُ الْإِمَامُ عَلَى أَخْذِ الصَّدَقَاتِ وَدَفْعِهَا لِمُسْتَحِقِّيهَا

“Amil adalah orang yang diangkat oleh imam (pemerintah) untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerima”( Abu Abdullah Syams al-Din Muhammad bin Qasim al-Gazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, [Beirut: Darul-Hazm: 2005] halaman. 133). 

Atau dalam kitab Fathul Mu'in karya Imam Zainuddin al-Malibary juga menyebutkan,

والعامل كساع وهو من يبعثه الامام لاخذالزكاة وقاسم وحاشر لاقاض

"Amil seperti Sa’i (orang yang mengurus), dia adalah seseorang yang diutus oleh Imam untuk mengambil, membagi, dan mengumpulkan zakat, dan bukan seorang Qadhi,".

Dari kedua definisi tersebut, dapat kita ketahui bahwa amil adalah seseorang yang diutus oleh imam (pemimpin) untuk mengelola zakat. Jadi, siapapun yang tidak diutus oleh imam (pemimpin) ia tidak dapat disebut amil. Dengan demikian, maka posisi antara panitia dan amil jelas mempunyai perbedaan.

Dalam referensi lain seperti Syarh Al-Yaqut Al-Nafis 299 juga dijelaskan terkait amil zakat ini

والعَامِلِيْنَ علَيْها) وَلَا يُعَيَّنُوْنَ إلَّا مِنْ جِهَّةِ الدَّولَةِ مِثْلُ الكَاتِبِ والحَاسِبِ والكَيَّالِ وغَيرِهِم فَيُعْطَى لَهُ أُجْرَةٌ أمَّا لو عُيِّنَ العامِلُ مِنْ قِبَلِ مَجْمُوعَةٍ مِنَ المُزَكِّيِيْنَ لا يُقَالُ عامِلٌ عَلَيْها

"Amil zakat tidak dibentuk kecuali dari pemerintah. Seperti sekretaris, tukang hitung, penimbang dll. Dan mereka semua digaji. Amil swasta yang dibentuk oleh kesepakatan masyarakat, tidak bisa dikategorikan sebagai amil yang berhak menerima zakat."

Sedangkan menurut Al-Qodhi Abdul Haq bin Ghalib Al-Andalusi Al-Maliki (481-543 H/1088-1147 M) dalam tafsirnya, Al-Muharrar Al-Wajiz, dijelaskan sebagai berikut,

وأمَّا العَامِلُ فَهُوَ الرَّجُلُ الّذِي يَسْتَنِيبُهُ الإمامُ في السَّعيِ في جَمْعِ الصَّدَقاتِ وكُلُّ مَنْ يَصْرِفُ مِنْ عَوْنٍ لا يُسْتَغْنَى عَنْهُ فَهْوَ مِنَ العَامِلِيْنَ

"Adapun amil adalah orang yang diangkat oleh imam untuk menjadi wakilnya dalam urusan memgumpulkan zakat. Setiap orang yang membantu amil yang mesti dibutuhkan maka ia termasuk amil."

Imam Nawawi juga menjelaskan permasalah amil dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh Muhadzab​​​​​​​

(الرَّابِعَةُ) فِي بَيَانِ الْأَفْضَلِ قَالَ أَصْحَابُنَا تَفْرِيقُهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ تَفْرِيقِهِ بِخِلَافِ الْوَكِيلِ وَعَلَى تَقْدِيرِ خِيَانَةِ الْوَكِيلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنْ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيَدِهِ فَمَا لَمْ يَصِلْ الْمَالُ إلَى الْمُسْتَحِقِّينَ لَا تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلَافِ دَفْعِهَا إلَى الْإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ عَنْ الْمَالِكِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ وَكَذَا الدَّفْعُ إلَى الْإِمَامِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ

"Bahwa para ashabnya Imam Syafi'i berpendapat, bahwa menyerahkan zakat kepada mustahiq (pihak yang berhak menerima zakat) secara langsung itu lebih utama daripada mewakilkan kepada orang lain (Wakilu Al-Zakat) atau bisa disebut panitia zakat yang bukan amil dari pemerintah, dan pendapat ini tanpa adanya perkhilafan. Karena diri kita sendiri lebih terpercaya daripada diserahkan kepada wakil. Dan ketika wakil itu berkhianat (tidak menyerahkan zakat ke mustahiq), maka tidak gugur kewajiban orang yang berzakat dengan kata lain orang tersebut dihukumi sebagai orang yang belum membayar zakat. Berbeda dengan zakat yang kita salurkan kepada amil zakat maka gugurlah zakat kita. Imam Mawardi berkata, bahwasannya zakat yang kita serahkan pada imam atau disini amil itu lebih utama daripada kita wakilkan (diserahkan pada wakilu az-zakat)."

Secara perundang-undangan, pengelolaan zakat diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2011 tantang Pengelolaan Zakat yang dalam Pelaksanaannya diperkuat oleh Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2014, Fatwa MUI nomor 8 tahun 2011, dan peraturan BAZNAS nomor 1 tahun 2018. Sehingga dalam melaksanakan pengelolaan zakat Pemerintah Indonesia telah membentuk badan melalui SK Presiden RI No. 8 tahun 2001, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Oleh karena BAZNAS ditunjuk langsung oleh Imam, dalam hal ini Presiden. Maka BAZNAS tergolong kriteria amil zakat yang sesuai dengan ketentuan syariat.

Kemudian dalam Perbaznas No. 2 tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) disebutkan bahwa BAZNAS membentuk unit-unit pengumpulan zakat yang terbagi kepada beberapa instansi serta masjid-masjid yang merupakan kepanjangan tangan dari Baznas. Oleh karena itu, panitia zakat yang berada di instansi pendidikan, pemerintahan, ormas, masjid, ataupun surau, selama ia mendapatkan mandat dari BAZNAS atau lembaga-lembaga pengelola zakat lainnya, maka ia masih tergolong amil yang memiliki otoritas untuk mengumpulkan, membagikan, dan mendapatkan bagian dari zakat fitrah. Lain halnya jika panitia tersebut tidak mendapatkan mandat dari BAZNAS atau lembaga-lembaga pengelola zakat lainnya, maka tentu konsekuensi hukumnya pun akan berbeda.

Sampai disini kita telah memahami bahwa ternyata ada perbedaan antara panitia dan amil zakat, sederhananya amil bisa dipastikan sah dalam mengelola zakat, namun untuk panitia belum tentu sah selama ia tidak mempunyai bukti atas pengangkatan dirinya sebagai amil zakat baik oleh imam secara langsung, ataupun oleh BAZNAS dan atau oleh lembaga-lembaga pengelola zakat lainnya yang telah diangkat oleh imam.

Berikut beberapa perbedaan dan konsekuensi hukumnya menunaikan zakat pada amil dan panitia yang bukan amil.

1. Amil zakat mempunyai legalitas hukum dalam mengelola zakat, sedangkan panitia yang bukan amil tidak

Artinya, zakat yang diserahkan kepada amil zakat sudah dianggap sah secara syari'at, meski amil zakat belum mendistribusikan zakatnya pada mustahiq. Sementara zakat yang diserahkan kepada panitia yang bukan amil, baru bisa dianggap sah jika panitia tersebut telah mendistribusikan zakatnya kepada mustahiq zakat.

2. Amil merupakan wakil mustahik (penerima zakat), sedangkan panitia yang bukan amil adalah wakil dari muzakki (pemberi zakat)

Misalnya, setelah muzakki menyerahkan zakatnya kepada amil zakat, kemudian amil tersebut diketahui terdapat kesalahan dalam mendistribusikan zakatnya, maka zakat muzakki akan tetap sah dikarenakan status amil adalah wakil dari mustahiq zakat. Namun seandainya kesalahan itu dilakukan oleh panitia yang bukan amil, maka zakat muzakki akan dinyatakan tidak sah dan berpotensi dianggap belum menunaikan zakat fitrah.

Pada konteks permasalahan ini, Imam Nawawi telah memaparkan penjelasannya dalam kitab Majmu Syarh al-Muhadzdzab Juz 6 halaman 165 :

في بيان الأفضل قال أصحابنا تفريقه بنفسه أفضل من التوكيل بلا خلاف

"Dalam menjelaskan keutamaan, Ashabuna (para ulama mazhab Syafii) berkata bahwa memisahkan (penyaluran zakat) dengan sendiri lebih utama daripada mewakilkannya dengan tanpa adanya khilaf (perbedaan pendapat para ulama),".

3. Amil boleh mencampur beras zakat untuk dibagikan kepada para mustahik, Sedangkan panitia yang bukan amil tidak diperbolehkan

Jika yang mengumpulkan zakat para muzakki itu adalah amil, maka amil boleh mencampurkan hasil zakat untuk didistribusikan kepada para muzakki (seandainya muzakki tersebut adalah salah satu ashnaf mustahiq zakat). Namun jika hal tersebut dilakukan oleh panitia yang bukan amil, maka mencampurkan hasil zakat dari para muzakki, dan memberikan sebagian zakat muzakki pada muzakki itu tidak diperbolehkan. Sebagaimana penjelasan Imam Syafi'i dalam kitabnya al-Umm bahwa kembalinya sebagian zakat yang telah dikeluarkan itu tidak diperbolehkan, karena itu akan mempengaruhi keabsahan ibadah zakat fitrah. 

4. Amil berhak mendapat bagian hasil zakat, sedangkan panitia yang bukan amil (bukan ashnaf) tidak diperbolehkan

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa amil adalah salah satu ashnaf mustahik zakat (penerima zakat), sedangkan panitia yang bukan amil tidak menjadi bagian dari ashnaf mustahiq zakat. Jika panitia yang bukan amil membawa hasil zakat padahal dia bukan salah satu bagian dari ashnaf mustahik zakat, maka dia telah merampas hak golongan ashnaf mustahik zakat. Kecuali jika seandainya panitia yang bukan amil tersebut memang benar-benar faqir atau miskin (salah satu ashnaf mustahik zakat), maka dia berhak mendapatkan bagian zakat yang telah diatur oleh amil zakat atas nama kefakiran atau kemiskinannya (salah satu ashnaf), bukan karena atas nama panitia.

5. Amil boleh menggunakan biaya operasional dari hasil zakat, sedangkan panitia yang bukan amil tidak diperbolehkan

Dalam pelaksanannya, seandainya hasil zakat dari para muzakki ini harus dipindah tempatkan karena suatu alasan, maka amil boleh memakai biaya yang diambil dari hasil zakat sebagai biaya operasionalnya. Sementara panitia yang bukan amil, tidak boleh memakai biaya operasional dari hasil zakat.

Jadi petugas zakat yang tidak diangkat (tanpa legalitas) oleh pemerintah tidak dapat disebut amil, melainkan hanya panitia zakat biasa yang dibentuk oleh swakarsa masyarakat. Konsekuensinya adalah amil berhak menerima bagian dari zakat seukuran upah yang sesuai dengan pekerjaannya, sedangkan panitia zakat tidak berhak. 

Mengelola zakat bisa dilakukan siapa saja baik yang berstatus amil atau panitia zakat. Tapi karena zakat adalah ibadah yang memiliki ketentuan syariat maka perlu diperhatikan aturan penyalurannya.

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat 🙏

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 31 Mei 2024

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGUSAP WAJAH SETELAH SHALAT DAN BERDOA

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. 

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود

Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275) 

Dalam hal ini, Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,

وَمِنْ آَدَابِ الدُّعَاءِ كَوْنُهُ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ وَالْأَحْوَالِ الشَّرِيْفَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَرَفْعُ يَدَيْهِ وَمَسْحُ وَجْهِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ وَخَفْضُ الصَّوْتِ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْمُخَافَتَةِ).

“Di antara beberapa adab dalam berdoa adalah, adanya doa dalam waktu-waktu, tempat-tempat dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah setelah selesai berdoa, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 4 hal. 487).

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka.

Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy Ad-Damsyiqi Asy-Syafi’i (w. 676 w) dalam kitab Al-Adzkar min Kalami Sayyidi Al-Abrar menyampaikan,

وَروينَا فِي كِتَابِ ابْنِ السُّنِّيِّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ اللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ)).

Telah diriwayatkan pada kami (hadits) dalam kitab Ibnu Sinny dari Anas bin Malik ra, ia berkata: “Rasulullah ﷺ Apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu Beliau berdo’a

أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.

“Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan.”

Dalam kitab Bughyah Al-Musytarsyidin karya As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar (w. 1320 h) juga menyebutkan,

فَائِدَةٌ: روى ابْنُ مَنْصُورٍ: أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَضَى صَلَاتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَمَرَهَا عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ الشَّرِيفَةِ وَقَالَ : “بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ ، اَللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّيْ الْغَمَّ وَ الْحُزْنَ وَ الْهَمَّ ، اَللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ ، وَ بِذَنْبِيْ اعْتَرَفْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ ، وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جُهْدِ بَلَاءِ الدُّنْيَا ، وَ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ”.

“(Sebuah Faidah) Ibnu Mansyur meriwayatkan bahwa Beliau (Rasulullah ﷺ) saat usai sholat mengusap dahi dengan telapak tangan kanan kemudian beliau gerakkan kearah wajah hingga sampai pada jenggotnya yang mulia seraya berdoa:

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ ، اَللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّيْ الْغَمَّ وَ الْحُزْنَ وَ الْهَمَّ ، اَللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ ، وَ بِذَنْبِيْ اعْتَرَفْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ ، وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جُهْدِ بَلَاءِ الدُّنْيَا ، وَ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ “

“Dengan menyebut asma Allah ﷻ yang tiada Tuhan selain-Nya, Yang Mengetahui suatu yang ghaib dan nyata Yang Pengasih dan Penyayang, Ya Allah hilangkan kesedihan, kegelisahan dan kesusahan dariku, Ya Allah dengan memuji-Mu aku berpaling (selesai dari sholat), dengan dosaku aku mengakui, aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang telah aku perbuat dan aku berlindung kepada-Mu dari keadaan berat dunia dan siksa akhirat”.

Semua keterangan ini juga dikutip oleh Syaikh Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyatiy asy-Syafi’i (w. 1310 h) dalam kitab I’anah al-Thalibin ala Hilli Alfadzi Fathu Al-Mu’in.

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat dan berdoa memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengusap muka setelah shalat. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 16 Mei 2024

KAJIAN TENTANG HAJI MODEREN, THAWAF NAIK KENDARAAN

Pada saat menjalankan ibadah haji, terdapat beberapa rangkaian rukun haji yang wajib dilaksanakan, salah satunya adalah thawaf. 

وأما أركان الحج فهي أربعة: الإحرام؛ وطواف الزيارة، ويسمى طواف الإفاضة. والسعي بين الصفا والمروة، والوقوف بعرفة، وهذه الأركان لو نقص واحد منها بطل الحج، باتفاق ثلاثة من الأئمة

"Adapun rukun-rukun haji, maka dianya ada 4 perkara, Ihram, Thawaf Ifadah, sa'i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, dan ini rukun-rukun haji, jika kurang salah satu, maka batal haji." (Syekh Abdurrahman Al Jaziri, al-Fiqhu ala al-Mazabi al-Arba’ah, jilid I [Beirut; dar Kutub al-Alamiyah, 2003], halaman 578).

Thawaf ifadah termasuk salah satu bagian dari rukun haji. Adapun cara thawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan putaran dalam arah searah jarum jam. Thawaf ini  hukumnya wajib dilakukan semua jamaah haji, dan tidak bisa digantikan dengan bayar dam. Untuk itu, bagi jemaah haji yang meninggalkan rukun haji ini, maka hajinya jadi tidak sah. Namun bagi sebagian jamaah haji atau umrah melakukan thawaf harus menaiki kendaraan. Lalu apa hukumnya bila thawaf menggunakan skuter/mobil listrik atau kursi roda?

Seiring dengan kemajuan teknologi, kursi roda, skuter/mobil listrik telah menjadi alat transportasi yang populer dan efisien dalam berbagai situasi. Pada artikel ini, kita akan membahas penggunaan kendaraan alternatif modern untuk melakukan thawaf. 

Penggunaan skuter/mobil listrik dan kursi roda saat thawaf adalah boleh dan sah, hal ini didasari oleh sebuah hadits sebagai berikut.

عن أم سلمة قالت : حججت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم فاشتكيت قبل أن أطوف بالبيت فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( اركبي فطوفي راكبة وراء الناس ) وهو يصلي حينئذ إلى حاشية البيت

"Dari Ummi Salamah, ia berkata, aku haji bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku mengeluh kepada beliau ketika akan thawaf. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Naiklah, thawaflah berkendara di belakang rombongan. Rasulullah pada saat itu akan melaksanakan shalat di sisi ka'bah." (Mu'jam Tabrani Kabir, 24473).

*Manfaat Skuter/Mobul Listrik dalam Tawaf*

Dalam kerumunan yang padat di Masjidil Haram, berjalan kaki untuk menyelesaikan thawaf bisa menjadi proses yang memakan waktu dan melelahkan. Penggunaan skuter/mobil listrik memungkinkan para jamaah untuk bergerak lebih cepat, mengurangi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan thawaf. Dengan begitu, jamaah memiliki lebih banyak waktu untuk berdoa dan merasakan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Di samping itu, bagi  jemaah haji yang mempunyai keterbatasan mobilitas atau masalah kesehatan, thawaf dapat menjadi tantangan yang signifikan. Seperti bagi jemaah haji lansia, atau jemaah disabilitas, maka skuter/mobil listrik menjadi alat yang sangat membantu.  

Skuter/mobil listrik memungkinkan mereka yang memiliki masalah tersebut untuk tetap berpartisipasi dalam ritual rukun haji yaitu thawaf dengan lebih mudah. Alat ini memberikan kemerdekaan dan mandiri dalam menjalankan ibadah, menjaga kesetaraan dalam kesempatan berpartisipasi bagi semua jamaah.

Jika dilihat dari segi lingkungan  hidup, penggunaan skuter/mobil listrik sebagai alat transportasi dalam thawaf juga memiliki manfaat lingkungan yang signifikan. Dibandingkan dengan penggunaan kendaraan bermotor konvensional, skuter listrik tidak menghasilkan emisi gas buang dan berkontribusi pada pengurangan polusi udara. Hal ini membantu menjaga lingkungan di sekitar Masjidil Haram menjadi lebih bersih dan berkelanjutan.

Di atas asas manfaat tersebut, apakah boleh thawaf menggunakan skuter/mobil listrik? Atau sahkah ibadah haji jika jemaah melakukan thawaf memakai skuter/mobil listrik? Bagaimana tanggapan ulama fiqih dalam masalah ini? 

*Hukum Thawaf Pakai Kendaraan*

Menurut ulama fikih, thawaf menggunakan skuter/mobil listrik dalam thawaf diperbolehkan, baik kondisi orang tersebut ada uzur ataupun tidak ada uzur. Artinya, thawaf dalam dua kondisi diperbolehkan oleh syariat. Terlebih skuter listrik berfungsi sebagai sarana transportasi yang membantu memudahkan mobilitas jamaah, tanpa merusak atau mengganggu esensi ibadah thawaf itu sendiri. Simak penjelasan Imam Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab;

فرْعٌ: ونقل الماوردي إجماع العلماء على أن طواف الماشي أولى من طواف الراكب، فلو طاف راكبا لعذر أو غيره، صح طوافه، ولا دم عليه عندنا في الحالين

"Cabang: Al-Mawardi berpendapat bahwa para ulama sepakat bahwa thawaf berjalan kaki lebih utama dari pada berkendara, jikalau tawaf dengan berkendara tanpa ada uzur atau ada uzur, maka sah thawafnya, dan tidak dikenakan kewajiban membayar dam, menurut kami dalam dua keadaan ini [uzur atau tidak ada uzur." (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Beirut; Dar Kutub Ilmiyah, 1971], halaman 30).

Penjelasan serupa dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni, jilid III, halaman 359 bahwa thawaf dihukumi sah jika dikerjakan dengan kendaraan. Tak ada masalah, thawaf dengan kendaraan itu dikarenakan ada uzur syariat ataupun tidak.

مَسْأَلَة؛ قَالَ: (وَمَنْ طَافَ وَسَعَى مَحْمُولًا لِعِلَّةٍ، أَجْزَأَهُ) لَا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافًا فِي صِحَّةِ طَوَافِ الرَّاكِبِ إذَا كَانَ لَهُ عُذْرٌ

"Masalah; Berkata ia); barang siapa yang thawaf dan sa'i dengan berkendaraan atau dipikul, karena ada sebab maka thawafnya sah, (tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait sahnya thawaf dengan tunggangan/kendaraan apabila ada uzur padanya)". 

Terakhir, Syekh Syihabuddin Ahmad Al Qalyubi dalam Kitab Hasyiyah Al Qalyubi wa ‘Umairah, menjelaskan hal serupa (thawaf boleh menggunakan kendaraan). Ia berkata,

ولو طاف راكبا بلا عذر جاز بلا كراهة .قال الإمام : وإدخال البهيمة التي لا يؤمن تلويثها المسجد مكروه

"Jikalau thawaf menggunakan kendaraan, padahal tidak ada uzur, maka hukumnya boleh, dan tidak makruh. Imam Syafi’i berkata: 'Menunggangi hewan yang bisa menimbulkan kotoran di masjid, hukumnya makruh.”

Kesimpulannya, berdasarkan penjelasan ulama di atas  bahwa melaksanakan thawaf dengan berkendaraan, baik dalam keadaan uzur ataupun tidak, maka hukumnya boleh. Untuk itu, orang yang sehat, apalagi yang sakit, lansia, disabilitas diperbolehkan menggunakan skuter atau mobil listrik ketika thawaf ifadah. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*