MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 26 Maret 2019

KAJIAN TENTANG HUKUM FIDYAH SHOLAT DAN PUASA


Firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah: 184).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”. (HR. Bukhari no. 4505)

*Definisi Fidyah*

Menurut Ibnu Al-Manzhur dalam Lisan Al-Arab fidyah secara bahasa berarti:

مَالٌ أَوْ نَحْوُهُ يُسْتَنْقَذُ بِهِ الأَسِيرُ أَوْ نَحْوُهُ فَيُخَلِّصُهُ مِمَّا هُوَ فِيهِ

“Harta atau sejenisnya yang dipakai untuk meyelamatkan tawanan atau sejenisnya sehigga dia terbebas darinya”

Sedangkan menurut istilah, Imam Al-Jurjani dalam Ta’rifatnya memberikan penjelasan bahwa fidyah itu adalah:

هِيَ الْبَدَلُ الَّذِي يَتَخَلَّصُ بِهِ الْمُكَلَّفُ مِنْ مَكْرُوهٍ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ

“Pengganti untuk membebaskan seorang manusia mukallaf dari suatu larangan yang berlaku padanya”

Dalam bahasa Arab kata “fidyah” adalah bentuk masdar dari kata dasar “fadaa”, yang artinya mengganti atau menebus. Adapun secara terminologis (istilah) fidyah adalah sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang telah ditinggalkan.

Misalnya, fidyah yang diberikan akibat ditinggalkannya puasa Ramadhan oleh orang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakannya, atau oleh keluarga orang yang belum sempat meng-qadha atau mengganti puasa yang ditinggalkannya (menurut sebagian ulama). Dengan memberikan fidyah tersebut, gugurlah suatu kewajiban yang telah ditinggalkannya.

عَن أَنَس بنِ مَالِك رضي الله عنه أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (HR. Ad-Daruquthni)

Bagi wanita yang tidak bepuasa karena hamil atau menyusui maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya sendiri atau pada diri dan bayinya maka ia hanya wajib mengganti puasanya setelah bulan Ramadhan dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap anak atau bayinya saja maka ia wajib meng-qadha dan membayar fidyah sekaligus.

عن مالك عن نافع أن ابن عمر سئل عن المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة

Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (HR. Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i dan sanadnya sahih)

*Meninggal dan Mempunyai Hutang Puasa*

Untuk mereka yang berbuka puasa karena sakit, lalu setelah sembuh dari sakitnya belum sempat untuk megqadha puasa dan meninggal dunia, maka dalam kondisi seperti ini menurut ulama madzhab selain madzhab Syafi’i menilai bahwa wajib atas atas orang meninggal ini membayar fidyah. 

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُل يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Orang yang wafat dan punya hutang puasa, maka dia harus memberi makan orang miskin (membayar fidyah) satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan.” (HR. At-Tirmidzi)

Ibnu Abbas ra menyatakan:

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سُئِل عَنْ رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ يَصُومُ شَهْرًا وَعَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ . قَال : أَمَّا رَمَضَانُ فَيُطْعَمُ عَنْهُ وَأَمَّا النَّذْرُ فَيُصَامُ عَنْهُ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa beliau ditanya dengan kasus orang yang meninggal dunia dan punya hutang nadzar puasa sebulan dan hutang puasa Ramadhan. Maka Ibnu Abbas menjawab: ”Hutang puasa Ramadhan dibayar dengan membayar fidyah, hutang puasa nadzar dibayar dengan orang lain berpuasa untuknya”

Namun dalam madzhab Syafi’i bagi mereka yang meninggal dunia dan mempunyai hutang puasa maka wajib atas ahli warisnya membayarkan hutang puasa tersebut. Sebagaimana pesan dari Nabi Muhammad SAW,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa yang meninggal dunia dan punya hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

*Hutang Puasa Nadzar*

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

أنّ امرأة ركبَت البحر فنذَرت، إِنِ الله -تبارك وتعالى- أَنْجاها أنْ تصوم شهراً، فأنجاها الله عز وجل، فلم تصم حتى ماتت. فجاءت قرابة لها إِلى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فذكرت ذلك له، فقال: أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟ قالت: نعم، قال: فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فاقضِ عن أمّك

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, "Ada wanita yang naik perahu di tengah laut, kemudian dia bernazar, jika Allah menyelamatkan dirinya maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah menyelamatkan dirinya, namun dia belum sempat puasa sampai mati. Hingga datang putri wanita itu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia menyebutkan kejadian yang dialami ibunya. Lantas beliau bertanya: ‘Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?’ ‘Ya.’ Jawab wanita itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Hutang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Lakukan qadha untuk membayar hutang puasa ibumu.’ (HR. Ahmad 1861, Abu Daud 3308, Ibnu Khuzaimah 2054, dan sanadnya dishahihkan Al-A’dzami).

Juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أنّ سعد بن عبادة -رضي الله عنه- استفتى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: إِنّ أمّي ماتت وعليها نذر فقال: اقضه عنها

Bahwa Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ibuku mati dan beliau memiliki utang puasa nadzar.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lunasi hutang puasa ibumu.’ (HR. Bukhari 2761, An-Nasai 3657 dan lainnya).

*Berapakah Besarnya Fidyah?*

Fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud = 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa (Madzab Syafi'i).

Beberapa pendapat lain tentang besamya fidyah tersebut yakni;

1) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sebesar 2,8 Kg bahan makanan pokok, beras misalnya. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud dari Salmah bin Shakhr, yang menyatakan bahwa dalam peristiwa seorang lelaki berbuat jima' pada siang hari di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW menyuruh lelaki itu untuk memberikan 1 wasaq kurma, dimana 1 wasaq terdiri dari 60 sha, sehingga setiap orang miskin akan mendapatkan kurma sebanyak 1 sha.

2) pendapat yang menyata­kan bahwa besamya fidyah tersebut sebanyak 1/2 sha bahan makanan pokok, dengan dasar hadits riwayat Ahmad dari Abu Zaid Al Madany, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada seorang lelaki yang berbuat dzihar (menyamakan isteri dengan ibunya) untuk memberikan 1/2 wasaq kurma kepada 60 orang miskin, dan

3) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sama dengan fidyah atas orang yang bercukur ketika sedang ihram, yakni sebesar 1/2 sha atau 2 mud.

Tiga pendapat itu dinilai lemah. Dalil-dalil yang kuat menunjukkan besarnya fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud atau 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa.

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia masih dapat bermanfaat untuknya  amalan orang yang masih hidup seperti doa, sadaqah, haji.  Namun ada beberapa amalan yang diperselisihkan seperti fidyah shalat.  Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :

وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ الْمَاوَرْدِيُّ البصرى الفقيه الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الْحَاوِي عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ الْكَلَامِ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ثَوَابٌ فَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَطْعًا وَخَطَأٌ بَيِّنٌ مُخَالِفٌ لِنُصُوصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ فَلَا الْتِفَاتَ إِلَيْهِ وَلَا تَعْرِيجَ عَلَيْهِ

Adapun yang dihikayah oleh Aqzha al-Quzha Abu al-Hasan al-Mawardi al-Bashri al-Faqih al-Syafi’i dalam kitabnya al-Hawi dari sebagian ashhab kalam, bahwa simati tidak dihubungkan pahala apapun setelah kematiannya merupakan mazhab bathil secara pasti dan tersalah serta menyalahi nash-nash al-Kitab, al-Sunnah dan ijmak ummat. Karena itu, tidak boleh memperhatikannya dan memperdulikannya. (Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 133)

*Pendapat Mu’tamad Mazhab Syafi'i*

Menurut pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’i, orang yang sudah meninggal tidak diberikan fidyah. Namun demikian ada ulama dari kalangan Syafi’iyah seperti al-Baghwi dan lainnya yang berpendapat berbeda dengan mazhabnya. Ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini :

1.    Imam al-Nawawi tokoh mazhab Syafi’i dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan,

لَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يَفْعَلْهُمَا عَنْهُ وَلِيُّهُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْفِدْيَةِ صَلَاةٌ وَلَا اعْتِكَافٌ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ وَالْمَعْرُوفُ مِنْ نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ فِي الام وغيره ونقل الْبُوَيْطِيُّ عَنْ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ فِي الِاعْتِكَافِ يعتكف عنه وليه وفى وراية يُطْعِمُ عَنْهُ قَالَ الْبَغَوِيّ وَلَا يَبْعُدُ تَخْرِيجُ هَذَا فِي الصَّلَاةِ فَيُطْعَمُ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ

Jika seseorang mati dan atasnya ada kewajiban shalat atau i’tikaf, maka tidak dilakukan untuknya oleh walinya dan tidak gugur shalat dan i’tikaf dengan sebab fidyah. Ini yan masyhur dalam mazhab dan ma’ruf dari nash-nash Syafi’i dalam al-Um dan lainnya . Namun al-Buwaithi pernah menaqal dari Syafi’i bahwa beliau mengatakan dalam masalah i’tikaf, mengi’tikaf oleh walinya untuk simati. Dalam satu riwayat,diberikan makanan. Al-Baghwi mengatakan, Tidak jauh untuk ditakhrij (dihubungkan hukumnya) ini kepada shalat, maka diberikan satu mud untuk setiap shalat. (Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 420)

2.    Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim,

وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي كِتَابِهِ التَّهْذِيبُ لَا يَبْعُدُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ ضَعِيفَةٌ وَدَلِيلُهُمُ الْقِيَاسُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ فَإِنَّهَا تَصِلُ بِالْإِجْمَاعِ وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مات بن آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Imam Abu Muhammad al-Baghwi dari kalangan Syafi’yah mengatakan dalam kitabnya al-Tahzib, tidak jauh bahwa diberikan makanan untuk setiap shalat satu mud makanan. Semua pendapat ini dhaif. Dalil mereka adalah qiyas kepada doa, shadaqah dan haji, karena semuanya itu sampai pahalanya dengan ijmak. Dalilnya Imam Syafi’i dan yang setuju dengannya firman Allah : “Tidak ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya dan hadits Nabi SAW : “Apabila mati anak Adam, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara, yakni sadaqah jariah, ilmu yan bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya. (Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah,Juz. I,  Hal. 133-134)

3.    Al-Nawawi mengatakan,

(وَلَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يَفْعَلْ) ذَلِكَ. (عَنْهُ) وَلِيُّهُ (وَلَا فِدْيَةَ) لَهُ.

Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya,maka walinya tidak boleh melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat. (An-Nawawi dan Qalyubi, Minhaj at-Thalibin dan Hasyiahnya, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 67)

Diantara dalil yang kemukakan ulama-ulama yang berpendapat boleh memberikan fidyah shalat, antara lain :

1.    Hadits Ibnu Abbas,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ

"Dari Ibnu Abbas, mengatakan tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa seseorang untuk orang lain, akan tetapi memberikan makanan untuknya untuk setiap hari satu mud hinthah." (HR. An-Nasa'i) [An-Nasa-i, Sunan al-Nisa-i, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 257, No. 2930]

2.        Hadits Ibnu Umar berbunyi,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا تَصَدَّقْتَ عَنْهُ أَوْ أَهْدَيْتَ

"Dari Ibnu Umar mengatakan, tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa seseorang untuk orang lain, akan tetapi seandainya kamu melakukannya, maka bersedekahlah atau memberikan hadiah." (HR. Abdurrazaq) [Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61, No. 16346]

Kebolehan memberikan fidyah shalat orang yang sudah meningggal dunia lebih  masyhur dikenal dalam mazhab Hanafi. Bahkan Ibnu ‘Abidin salah seorang ulama mutakhirin Hanafiyah mengatakan memberi fidyah shalat ini hanya ada dalam mazhab Hanafi. Dalam Majmu’ah Rasailnya, beliau mengatakan,

اعلم ان فدية الصلاة مما انفرد بها مذهب ابي حينفة رحمه الله تعالى الذي قاسه مشائخ مذهبه على الصوم واستحسنوه وامروا به

Ketahuilah sesungguhnya fidyah shalat termasuk yang menyendiri mazhab Abu Hanifah rhm, dimana para masyaikh mazhab Abu Hanifah mengqiyasnya kepada puasa dan mereka mengistihsan dan memerintahkannya. (Ibnu Abidin, Majmu’ ah Rasail Ibnu Abidin, Juz. I, Hal. 223)

Dengan demikian, sejauh pernyataan Ibnu Abidin ini, maka mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’i (pendapat mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i sebagaimana penjelasan setelah ini) tidak mengenal pemberian fidyah shalat.

Dalam literatur mazhab Hanafi lainnya, kebolehan memberikan fidyah shalat ini dapat dilihat antara lain :

1.    Al-Sarkhasi tokoh mazhab Hanafi mengatakan,

وَعَلَى هَذَا إذَا مَاتَ، وَعَلَيْهِ صَلَوَاتٌ يُطْعِمُ عَنْهُ لِكُلِّ صَلَاةٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ حِنْطَةٍ وَكَانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ يَقُولُ أَوَّلًا: يُطْعِمُ عَنْهُ لِصَلَوَاتِ كُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ عَلَى قِيَاسِ الصَّوْمِ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: كُلُّ صَلَاةٍ فَرْضٌ عَلَى حِدَةٍ بِمَنْزِلَةِ صَوْمِ يَوْمٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ

Berdasarkan ini, apabila seeorang mati dan diatasnya ada kewajiban shalat, maka diberikan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya setengah sha’ hinthah. Muhammad bin Muqatil mengatakan, pertama : diberikan makanan untuk simati karena semua shalat setiap satu hari setengah sha’ dengan jalan qiyas kepada puasa, kemudian beliau ruju’ dari pendapat tersebut dan mengatakan, setiap shalat fardhu atas hitungan sama dengan puasa satu hari. Ini pedapat shahih. (Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 90)

2.    Ibnu Abidin tokoh mazhab Hanafi mengatakan,

قَالَ فِي الْفَتْحِ وَالصَّلَاةُ كَالصَّوْمِ بِاسْتِحْسَانِ الْمَشَايِخِ. وَجْهُهُ أَنَّ الْمُمَاثَلَةَ قَدْ ثَبَتَتْ شَرْعًا بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْإِطْعَامِ وَالْمُمَاثَلَةُ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ ثَابِتَةٌ وَمِثْلُ مِثْلِ الشَّيْءِ جَازَ أَنْ يَكُونَ مِثْلًا لِذَلِكَ الشَّيْءِ وَعَلَى تَقْدِيرِ ذَلِكَ يَجِبُ الْإِطْعَامُ وَعَلَى تَقْدِيرِ عَدَمِهَا لَا يَجِبُ فَالِاحْتِيَاطُ فِي الْإِيجَابِ

Pengarang al-Fath mengatakan, shalat seperti puasa dengan jalan istihsan para masyaikh. Jalan istihsannya sesungguhnya kesamaaan antara puasa dan memberikan makanan telah shahih ada pada syara’, sedangkan kesamaan antara shalat dan puasa juga shahih ada pada syara’. Adapun yang sama dengan yang sama dengan sesuatu boleh sama dengan sesuatu tersebut. Berdasarkan ini, maka wajib memberikan makanan dan berdasarkan tidak sama, maka tidak wajib. Namun ihtiyathnya wajib. (Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar ala Dar al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 245) Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 15 Maret 2019

DARI MULUTMU SURGA DAN NERAKAMU


Diantara nikmat Allah Ta’ala yang paling besar manfaatnya kepada manusia adalah lisan (lidah) dan dua bibir. Allah Ta’ala mengingatkan kedua nikmat tersebut dalam firmanNya:

أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ – وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ – وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”. (QS. Al-Balad: 8-10).

Syekh Abdurrahman As-Sa’dy dalam tafsirnya Jilid 5 halaman 418 menjelaskan, bahwa: tiga ayat ini menyebutkan tentang dua kelompok nikmat Allah Ta’ala pada manusia. Yaitu nikmat duniawi dan nikmat diniyah. Perkataaan ‘ainain (dua mata), lisan (lidah) dan syafatain (dua bibir) merupakan nikmat-nikmat duniawi yang sangat penting, yang berfungsi untuk keindahan, penglihatan dan komunikasi, sedangkan nikmat diniyah disebutkan dalam redaksi ayat: “wahadaynahun najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan).

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” (QS. Al-Ahzab : 70-71)

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. (HR. al-Bukhori di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam”. [HR al-Bukhâri, no. 6478].

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan makna “dia tidak menganggapnya penting”, yaitu dia tidak memperhatikan dengan fikirannya dan tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu. [Lihat Fat-hul-Bâri, penjelasan hadits no. 6478]

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اْلجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَ حُسْنُ اْلخُلُقِ وَ سُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ قَالَ: اْلفَمُ وَ اْلفَرَجُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau juga ditanya tentang sesuatu apakan yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. (HR at-Turmudzi: 2004, Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442)

Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga”. (HR. Ahmad)

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Muslim dari Jabir ra)

Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan - kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”. (HR. Bukhari Muslim)

أدركنا السلف وهم لا يرون العبادة في الصوم ، ولا في الصلاة ، ولكن في الكف عن أعراض الناس ، فقائم الليل وصائم النهار ، إن لم يحفظ لسانه أفْلَس يوم القيامة .

“Kami mendapati para pendahulu kita yang shalih tidak melihat nilai suatu ibadah pada puasa atau pun shalat. Akan tetapi melihat nilai ibadah ada pada menahan diri dari membicarakan kehormatan manusia. Maka orang yang banyak shalat pada malam hari dan puasa pada siang harinya jika dia tidak bisa menjaga lisannya, maka dia akan bangkrut pada hari kiamat nanti.” (Umar bin Abdul Aziz)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang Dia cinta dan Dia ridhai. Aamiin

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini memyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

Jumat, 08 Maret 2019

NASEHAT INDAH KEHIDUPAN

بالفكر الثاقب يدرك الراى العازب،
Dengan berfikir kritis akan ditemukan pandangan yg jujur,

وبالتانى تسهل المطالب،
Dengan pelan-pelan yg diharapkan
mudah dicapai,

وبلين الكلمة تدرك المحبة وتدورم المودة،
Dengan kata-kata yg lembut, ditemukan cinta dan kasih yg abadi,

وبسعة الخلاق يطيب العيش ويكمل السرور،
Dengan kelapangan budi hidup jadi indah dan penuh kegembiraan,

وبحسن الصمت جلالة الهيبة،
Dengan diam yg tenang akan muncul keagungan,

وباصابة المتطق يعظمم القدر ويرتقى الشرف،
Dengan logika yg benar terlihat kebesaran dan kemulyaan diri,

وبالانصاف يجب التواضع،
Dengan kesederhanaan menunjukkan rendah hati,

وبالتواضع تكثر المحبة،
Dengan sikap rendah hati kecintaan seseorang akan makin meningkat,

وبالعفاف تزكو الاعمال،
Dengan menjaga diri, kerja-kerja menjadi bersih,

وبالحلم يكثر الانصر،
Dengan kesabaran makin banyak teman yg menolong,

وبالرفق تستخدم القلوب،
Dengan tindakan yg lembut, banyak hati orang yg mengabdi,

وبالايثار يستوجب اسم الح ود،
Dengan mendahulukan orang lain, ia dikenal pemurah,

وبالوفاء يدوم الاخاء،
Dengan kesetiaan persaudaraan jadi langgeng,

وبالصدق يدوم الفضل (أرسطو طاليس).
Dengan kejujuran kehormatan diri jadi kekal.

Salam silaturrahmi dari Asimun Mas'ud At-Tamanmini dan salam ukhuwah

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 07 Maret 2019

KAJIAN TENTANG "2019 GANTI USTADZ DAN PENGAJIAN" YANG PROVOKATIF


Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengharapkan para pendakwah dalam menyampaikan dakwahnya tidak hanya menerangkan tapi mencerahkan dan tidak melakukan provokasi menghasut lewat dakwah.

"Dakwah yang mencerahkan lebih luas lagi konteksnya, tidak hanya menjelaskan, tapi mampu menjelaskan mengapa ada pandangan yang membolehkan dan mengapa ada pandangan yang tidak membolehkan. Masing-masing dijelaskan sehingga kemudian umat tercerahkan, arif dan tahu ada beragam pandangan di Islam terkait sebuah persoalan," kata Menag di Jakarta, hari Sabtu (16/1/2019).

Dakwah yang memprovokasi, kata Menag, adalah dakwah yang menyatakan pandangan - pandangannya saja yang paling benar, menjelek-jelekkan kelompok lain dan sejenisnya.

Menteri agama meminta umat Islam tidak terlalu mudah diprovokasi dengan tindakan-tindakan oknum tidak bertanggung jawab seperti sandal dengan Allah, kejadian terompet yang menggunakan cover Alquran dan lainnya.

"Inilah bentuk-bentuk dakwah yang harus kita hindari karena dakwah-dakwah seperti itulah yang menyebabkan Islam di Indonesia ini selalu disibukkan dengan hal-hal yang tidak produktif," kata Menag

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

فَإِنَّ الرِّفْقَ لَمْ يَكُنْ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ نُزِعَ مِنْ شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan memperkeruhnya”(HR. Abu Dawud, sanad: shahih).

Hadits ini menjelaskan bahwa kelembutan akan menjadi penghias bagi sesuatu, sedangkan hilangnya kelembutan membuat suatu perkara menjadi tidak lagi indah. Di antara perkara yang membutuhkan kelembuatan adalah dakwah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah contoh terbaik dalam berdakwah, beliaulah manusia yang memiliki kelembutan kepada setiap orang yang didakwahinya. Hari ini banyak di antara manusia yang menolak dakwah Islam, salah satu sebabnya adalah hilangnya kelembutan dalam dakwah tersebut. Islam ibarat mutiara sedangkan kelembutan adalah bak bungkusnya. Ketika bungkusnya tak lagi indah dan kotor, maka jangan pernah berharap manusia mau membukanya. Membuka saja tidak, apalagi menerima mutiara yang ada di dalamnya. Seseorang ketika berdakwah hendaknya memperhatikan akhlak yang mulia ini, janganlah ia sampai gegabah dan bertindak kasar dalam dakwahnya. Allah Ta’ala telah menjelaskan tiga metode dasar dakwah yang salah satu diantaranya adalah dengan hikmah. Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl : 125).

Dakwah merupakan amalan yang begitu mulia dan ia adalah jalan yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul. Inilah jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS.Yusuf : 108)

Jangan sampai dakwah yang mulia ini dikotori dengan kekerasan, ketergesa-gesaan yang akan berakibat penolakan atas sebuah kebenaran yang disampaikan.

Banyak hal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat menjadi contoh bagaimana lembutnya beliau dalam berdakwah. Di antaranya adalah kisah seorang Arab Badui, yang datang dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ

“bahwa Abu Hurairah berkata, “Seorang ‘Arab badui berdiri dan kencing di masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lihatlah kelembutan beliau, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap membiarkan Arab Badui tersebut menyelesaikan hajatnya, kemudian barulah beliau menyuruh para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk membersihkan bekas air kencingnya. Kelembutan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bukan tanpa alasan, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan orang-orang mengusirnya maka bisa jadi air kencing akan lebih banyak menyebar di lanatai masjid dan Nabi memberikan uzur kepada Arab Badui tadi dikarenakan ketidak tahuannya. Selain itu, agama ini datang dengan berbagai kemudahan bukan kesulitan.

Bagaimana dengan model dakwah talafi dewasa ini? Talafi adalah sekelompok orang-orang bergamis, berjenggot, bercelana cingkrang, tapi hobinya tukang ghibah; tukang merusak kehormatan orang atas nama “menjaga agama”, tukang merusak nama baik para da’i dan ulama atas nama “tahdzir”, tukang membid'ah-bid'ahkan kaum muslimin yang berbeda pendapat & ijtihad dengannya tanpa kaedah yang benar; tukang memvonis-vonis orang, tukang mencaci maki orang; gampang nyesat-nyesatin orang; tukang memecah belah dan merusak ukhuwah serta persatuan umat. Itulah Talafi. gaya berpenampilannya islami, tapi tabiatnya tabiat Yahudi. Umat islam diluar kelompoknya, yang tidak satu pengajian dengannya, dia anggap Ahli Bid'ah, Hizbiyyah, khawarij, Ahli Neraka, dll. Itulah Talafi. ciri mereka (baik ustadznya maupun para pengikutnya) gampang memvonis orang tanpa rasa bijak dan rahmat (kasih sayang).

Singkat kata, dakwah talafi itu adalah orang-orang yang terlihat nyunnah dalam berpenampilan, tapi tidak sesuai sunnah dalam ber-akhlaq dan berprilaku keseharian.

Sedangkan dakwah yang mengikuti ulama salafus shaleh adalah kaum asing di akhir zaman yang istiqomah menteladani Rasulullah dan Sahabat-Nya (menteladani Aqidahnya dan juga akhlaqnya). Jadi, Dakwah Salafiyah itu Aqidahnya Ahlus Sunnah; Ahkhlaqnya Akhlaqul Karimah. Cara dakwah dan prilakunya sesuai Sunnah. Saling menasehati dalam kebenaran, berlapang dada dalam perbedaan (furu’iyyah), murah senyum dan cinta kepada sesama ikhwan. Sedangkan dakwah ala talafi, rata-rata aqidahnya mirip khawarij. Ditambah akhlaqnya buruk dan suka memecah belah.

Singkatnya, 2019 tahun ini disamping sebagai tahun politik yang menjadi salah satu penyebab dakwah kaum talafi (dakwah provokatif) juga saatnya umat islam mengganti pengajian yang ustadznya suka menebar kebencian, cacian dan memecahbelah umat islam khususnya menuju dakwah yang lemah lembut, arif dan bijaksana sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dan para sahabatnya.

Salah satu contoh pengajian yang harus diganti adalah ustadz (penceramah) pengajian yang pernah viral dalam pemberitaan yang menyebut adanya pembubaran pengajian Khalid Basalamah di Sidoarjo diklarfikasi oleh Gerakan Pemuda Ansor Sidoarjo. Menurut Ketua GP Ansor Sidorja Riza Ali Faizin, pihaknya tak pernah membubarkan pengajian yang berlokasi di Masjid Shalahuddin Perum Puri Surya Jaya itu. Yang dilakukan ialah meminta pencermahanya, Khalid Basalamah, diganti dengan yang lain.

Permintaan untuk mengganti penceramah menurut Riza karena pada saat melakukan ceramah, Khalid Basalamah sering menjelek-jelekan umat Islam yang lain. Tak hanya itu, ia juga memprovokasi sesama umat dan rentan menimbulkan konflik.

Seperti diberitakan islamindonesia.id September silam, kedatangan Khalid Basalamah juga pernah ditolak oleh masyarakat Gresik. Tokoh yang kerap tampil ceramah di media-media seperti YufidTV, Radio Rodja, dan WesalTV itu juga dipersoalkan oleh GP Ansor Kabupaten Gresik karena isi ceramahnya diketahui sarat nada kebencian dan memecah-belah kerukunan umat.

Tak hanya di Gresik, penolakan serupa terhadap Khalid Basalamah, juga dilakukan GP Ansor dan Banser Kabupaten Lamongan. Mereka bersikeras menolak kedatangan Khalid Basalamah yang rencananya akan memberikan ceramah di Lamongan.

Alasannya, isi ceramah Khalid dinilai sangat berbahaya, provokatif, mengadu domba umat, bahkan merongrong NKRI. Jadi bukan saja merusak ukhuwah umat beragama, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kelangsungan NKRI. Sudah saatnya 2019 ganti dan jauhi pengajian yang provokatif. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 02 Maret 2019

NON MUSLIM DI KOMUNITAS ISLAM


غير المسلمين بدل "الكفار"

ومن الجدال بالتي هي أحسن، المطالب به المسلمون، وخصوصا في عصر العولمة: ألا نخاطب المخالفين لنا باسم الكفار، وإن كنا نعتقد كفرهم. ولاسيما مخالفونا من أهل الكتاب.

وذلك لأمرين:

أولهما: إن كلمة (كفار) لها عدة معان، بعضها غير مراد لنا يقينا، من هذه المعاني: الجحود بالله تعالى وبرسله وبالدار الآخرة، كما هو شأن الماديين الذين لا يؤمنون بأي شيء وراء الحس، فلا يؤمنون بإله ولا بنبوة ولا بآخرة.

ونحن إذا تحدثنا عن أهل الكتاب لا نريد وصفهم بالكفر بهذا المعنى، إنما نقصد أنهم كفار برسالة محمد وبدينه. وهذا حق، كما أنهم يعتقدون أننا كفار بدينهم الذي هم عليه الآن وهذا حق أيضا.
________________________________
*والثاني: أن القرآن علمنا ألا نخاطب الناس - وإن كانوا كفارًا - باسم الكفر؛ فخطاب الناس - غير المؤمنين - في القرآن، إما أن يكون بهذا النداء (يا أيها الناس) أو (يا بني آدم) أو (يا عبادي) أو (يا أهل الكتاب).*
________________________________
ولم يجئ في القرآن خطاب بعنوان الكفر إلا في آيتين: إحداهما خطاب لهم يوم القيامة: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} (التحريم: 7).

والأخرى قوله تعالى: { قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ.لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ.وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ.وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ.لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ} (الكافرون: 1-6). فكان هذا خطابا للمشركين الوثنيين الذين كانوا يساومون الرسول الكريم على أن يعبد آلهتهم سنة ويعبدوا إلهه سنة، فأرادت قطع هذه المحاولات بأسلوب صارم، وبخطاب حاسم، لا يبقي مجالا لهذه المماحكات، فأمر الرسول أن يخاطبهم بهذه الصورة القوية، بما فيها من تكرار وتوكيد، ومع هذا ختمت السورة بهذه الآية التي تفتح بابا للسماحة مع الآخر، حين قالت: { لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ }.

ولهذا آثرت من قديم أن أعبر عن مخالفينا من أهل الأديان الأخرى بعبارة (غير المسلمين). وأصدرت من قديم كتابي "غير المسلمين في المجتمع الإسلامي". وقد طبع مرات ومرات، وترجم إلى عدة لغات

*Non-Muslim pengganti (sebutan) "orang kafir"*

Dan diantara bantahan yang terbaik, dimaksudkan untuk umat Islam, terutama di era globalisasi: untuk tidak menyebut panggilan nama "kafir", meskipun kami meyakini kekafiran mereka. Terutama para penentang dengan buku ini.

Karena dua alasan:

Yang pertama adalah bahwa kata "orang kafir" memiliki beberapa makna, beberapa di antaranya tidak dimaksudkan untuk kita. Makna kafir ini adalah: Kesombongan dengan membantah Allah, para utusan-Nya dan negeri akhirat, seperti halnya para materialis yang tidak percaya pada apa pun di luar nalar. Maka mereka tidak percaya ketuhanan, kenabian dan alam akhirat.

Jika kita berbicara tentang ahli kitab, kita tidak ingin menggambarkan mereka sebagai orang kafir dalam pengertian ini, tetapi kita maksudkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengingkari risalah dakwah Nabi Muhammad dan agamanya. Ini kenyataan, karena mereka pun meyakini bahwa kita adalah orang-orang kafir (mengingkari) agama mereka sebagaimana adanya sekarang dan ini juga benar.
________________________________
*Yang kedua adalah bahwa Al-Qur'an mengajarkan kita untuk tidak berbicara kepada orang-orang, meskipun mereka adalah orang kafir, dengan sebutan kafir. Sebutan buat orang-orang yang tidak beriman (non muslim) dalam Al-Qur'an jika ini bentuk seruan memakai kata (يأيها الناس = hai manusia) atau (يا بني أدم = hai anak Adam) atau (يا عبادي = hai hamba-hamba-Ku) atau (يا أهل الكتاب = hai ahli kitab).*
________________________________
Al-Quran tidak diturunkan dalam membahas tentang masalah kekafiran kecuali hanya dalam dua ayat: Salah satunya adalah (firman Allah) yang dikatakan buat mereka (orang-orang kafir) pada Hari Kebangkitan:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} (التحريم: 7).

"Hai orang-orang kafir janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan." (QS. At-Tahrim : 7).

Dan firman Allah lainnya:
(قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 1-6)

Dialog (Firman Allah) ini ditujukan buat kaum musyrikin penyembah berhala yang melakukan tawar-menawar dengan Nabi yang mulia untuk menyembah berhala (tuhan) mereka selama setahun dan mereka pun akan menyembah Tuhannya Nabi (Allah Ta'ala) setahun, dan tujuan untuk memotong perdebatan ini dengan cara yang tepat dan jawaban yang tegas yang tidak memberikan ruang untuk perdebatan ini, maka Nabi diperintahkan untuk menyampaikan kepada mereka suatu gambaran (QS. Al-Kaafiruun) yang kuat ini, dengan pengulangan ayat didalamnya tentang ke-Esa-an (ketauhidan), dan bersamaan dengan surat (Al-Kaafirun) ini ditutup dengan ayat yang membuka pintu kemuliaan dengan orang lain, ketika dia berkata:
 { لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ }.

"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 6)

Inilah mengapa saya mengikuti jejak para pendahulu yang mengekspresikan ketidaksepakatan kita terhadap agama-agama lain dengan kata-kata "non-Muslim". Dan saya telah menerbitkan buku terdahulu berjudul :
"غير المسلمين في المجتمع الإسلامي".

 "Non-Muslim di komunitas Islam". Sudah dicetak beberapa kali dan diterjemahkan ke beberapa bahasa. Wallahu a'lam
 
*(Dikutip dari Kitab Manhaj Al-Khithab Ad-Dini Kama Rasmuhu Al-Qur'an oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi)*

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaiakan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

QS. AL-KAFIRUN ADALAH SEBUAH JAWABAN DAN BUKAN PERINTAH MEMANGGIL "KAFIR" KEPADA SELAIN MUSLIM

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١) لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٣) وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (٤) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ   (٥) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (٦

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 1-6)

Surat Al-Kafirun adalah termasuk golongan surat Makkiyah, terdiri dari 6 ayat, dan diturunkan setelah surat Al-Ma’un. Surat ini adalah jawaban tegas terhadap upaya kompromi kafir Quraisy kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan urusan ibadah.

نَزَلَتْ فِي (رَهْطٍ مِنْ قُرَيْشٍ) ، قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ! هَلُمَّ فَاتَّبِعْ دِينَنَا وَنَتَّبِعُ دِينَكَ: تَعْبُدُ آلِهَتَنَا سَنَةً، وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ سَنَةً. فَإِنْ كَانَ الَّذِي جِئْتَ بِهِ خَيْرًا مِمَّا بِأَيْدِينَا، [كُنَّا] قَدْ شَرَكْنَاكَ فِيهِ، وَأَخَذْنَا بِحَظِّنَا مِنْهُ. وَإِنْ كَانَ الَّذِي بِأَيْدِينَا، خَيْرًا مما في يَديك، [كُنْتَ] قَدْ شَرَكْتَنَا فِي أَمْرِنَا، وَأَخَذْتَ بِحَظِّكَ. فَقَالَ: مَعَاذَ اللَّهِ أَنَّ أُشْرِكَ بِهِ غَيْرَهُ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ. فَغَدَا رسولُ اللَّه- صلى اللَّه عليه وسلم- إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَفِيهِ الْمَلَأُ مِنْ قريش، فقرأها عليها حَتَّى فَرَغَ مِنَ السُّورَةِ. فَأَيِسُوا مِنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ.]
(874) عزاه في الدر (6/ 404) لابن أبي حاتم وابن جرير والطبراني

Diriwayatkan bahwa Al-Walid ibnul Mughirah, Al-‘Ash ibnu Wail As-Sahmy, Al-Aswad ibnu ‘Abdil Muthalib, Umayyah ibnu Khalaf dan yang lainnya, mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Hai Muhammad, marilah engkau mengikuti agama kami, dan kami mengikuti agamamu. Kami juga akan senantiasa mengajakmu dalam segala kegiatan kami. Kamu menyembah Tuhan kami selama setahun, dan kami menyembah Tuhanmu selama setahun juga. Jika ternyata yang engkau bawa itu adalah lebih baik, maka kami akan mengikutimu dan melibatkan diri di dalamnya. Dan jika ternyata yang ada pada kami itu lebih baik, maka engkau mengikuti kami, dan engkau pun melibatkan diri di dalam agama kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya”. Kemudian Allah menurunkan surat ini sebagai balasan atas ajakan mereka.

Selanjutnya, Rasulullah berangkat menuju Masjidil Haram yang ketika itu di tempat tersebut sedang berkumpul para pembesar Quraisy. Nabi berdiri di hadapan mereka membacakan surat yang baru saja turun hingga selesai. Akhirnya, mereka tampak berputus asa. Sehingga, mereka berupaya merubah siasat dengan melakukan penindasan dan penyiksaan terhadap Nabi dan para pengikutnya, hingga Nabi melakukan hijrah.

(Lihat Tafsir Al-Maraghi, jilid 30, hal. 427 – 428. Riwayat sebab turunnya surat ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Thabrani)

هذه السورة سورة البراءة من العمل الذي يعمله المشركون ، وهي آمرة بالإخلاص فيه ، فقوله : ( قل يا أيها الكافرون ) شمل كل كافر على وجه الأرض ، ولكن المواجهين بهذا الخطاب هم كفار قريش .

وقيل : إنهم من جهلهم دعوا رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عبادة أوثانهم سنة ، ويعبدون معبوده سنة ، فأنزل الله هذه السورة ، وأمر رسوله صلى الله عليه وسلم فيها أن يتبرأ من دينهم بالكلية ، فقال : ( لا أعبد ما تعبدون ) يعني : من الأصنام والأنداد ( ولا أنتم عابدون ما أعبد ) وهو الله وحده لا شريك له . ف ” ما ” هاهنا بمعنى ” من

Surat ini merupakan surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dimana ia memerintahkan untuk ikhlas di dalam mengerjakannya. Dengan demikian Allah ta’ala berfirman: “Katakanlah Hai orang-orang kafir” mencakup orang-orang kafir yang ada di muka bumi ini, tetapi orang-orang yang dituju oleh khithab (pembicaraan) ini adalah orang-orang kafir Quraisy.

Ada juga yang mengatakan bahwa karena kebodohan mereka, mereka mengajak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Rabb beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dalam satu tahun. Kemudian Allah ta’ala menurunkan surat ini dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan, di mana Dia berfirman: “Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah” (yakni patung berhala dan tandingan) “Dan kamu juga bukan penyembah ilah yang aku sembah.” yaitu Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan kata ما (Maa: apa) di sini bermakna من (Man: siapa). (Lihat tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Kafiruun)

Dalam al-Quran Allah Ta'ala melarang orang-orang Muslim untuk menghina orang lain. Hal ini dapat ditemukan dalam QS al-Hujurat ayat 11 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون

"Wahai orang-orang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-okok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buru. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS al-Hujurat : 11)

Al-Dhahhak sebagaimana dikutip oleh al-Baghawi menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan delegasi Bani Tamim yang datang ke Madinah dan melihat para sahabat yang fakir seperti Bilal dan Salman dan menghina mereka. Atas sikap mereka tersebut, turunlah ayat ini.

أن القرأن علمنا ألا نخاطب الناس وإن كانوا كفارا بأسم الكفر فخطب الناس غير المؤمنين فى القرأن إما أن يكون بهذا النداء (يأيها الناس) أو (يابني أدم) أو (ياعبادي) أو (ياأهل الكتاب)

Ini lho salah satu dasar kenapa kita dihimbau untuk tidak memanggil orang2 kafir dengan "hai KAFIR, atau semisal panggilan hai bangsat, hai goblok, dan yg lain" karena al-Qur'an memgajarkan kepada kita, bagaimanapun mereka manusia yg punya perasaan dan harga diri.
Tuhan saja dalam al-Qur'an memanggil manusia yg mngkn beriman atau tidak saja dengan panggilan "hai para manusia, hai anak2 Adam, hai hamba-hamba-Ku, hai ahli kitab, dan lain-lain".


Justru kita kalau bisa berbicara dan memanggil mereka dg panggilan yg santun dan hormat, siapa tahu saatnya nnt mereka dapat hidayah-Nya.

Kemanusiaan itu lbh diutamakan daripada hanya sekedar memberi cap mereka yg non-muslim itu dengan panggilan KAFIR.

Soal kekafiran mereka biarkan dipertanggungjawabkan secara pribadi mereka dgn Tuhan, bukan ranah kita ikut2 menghukumi mereka.

Ini namanya hikmah...

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa menggunakan istilah tertentu untuk menyebut kelompok-kelompok tertentu, perlu diperhatikan konteks dan juga perasaan mereka. Jika kata kafir yang ditujukan kepada non-Muslim dapat melukai hati dan kurang berkenan di hati mereka, maka harus dihindari. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menjelaskan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Jumat, 01 Maret 2019

CARA NABI BERDAKWAH DAN MEMANGGIL NON MUSLIM (KAFIRUN ROMAWI DAN MESIR)


Kita bisa lihat, teks surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada raja romawi,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ” وَ {يَا أَهْلَ الكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}

Bismillahir rahmanir rahiim…

Dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya

Kepada Heraclius, raja Romawi

Salaamun ‘ala manit-taba’al huda, amma ba’du,

(keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk, selanjutnya)

Saya mengajak Anda dengan seruan Islam. Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Allah akan memberikan pahala kepada-Mu dua kali. Jika Anda berpaling (tidak menerima) maka Anda menanggung semua dosa kaum Arisiyin. Katakanlah, *“Hai Ahli Kitab,* marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran: 64). *(HR. Bukhari 2941, Muslim 4707, dan yang lainnya).*

Kita lihat teks surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada raja Mesir dan Iskandariyah, Raja Muqauqis,

بسم الله الرحمن الرحيم

من محمد عبد الله ورسوله إلى المقوقس عظيم القبط، سلام على من اتبع الهدى، أما بعد،

فإني أدعوك بدعاية الإسلام، أسلم تسلم، وأسلم يؤتك الله أجرك مرتين، فإن توليت فإن عليك إثم أهل القبط. يا أَهْلَ الْكِتابِ تَعالَوْا إِلى كَلِمَةٍ سَواءٍ بَيْنَنا وَبَيْنَكُمْ، أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ، وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً، وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنا بَعْضاً أَرْباباً مِنْ دُونِ اللَّهِ، فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Bismillahirrahmanirahim,

Dari Muhammad, Hamba Allah dan utusan-Nya, kepada al-Muqauqis, raja Mesir. Semoga keselamatan untuk mereka yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du,

Aku mengajak anda dengan membawa ajakan islam. Masuklah islam, anda akan selamat. Masuklah islam, Allah akan memberimu pahala dua kali untuk anda. Jika anda tidak menngikuti islam, anda akan menanggung dosa semua penduduk Mesir.

*“Hai Ahli Kitab,* marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim.” *(Kitab Zadul Ma’ad, 3/61)**

Dua surat dakwah islam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diatas sebagai contoh bagaimana beliau memanggil non muslim dengan panggilan *"Hai ahli kitab"* dan bukan dengan memanggilnya *"Hai kafir"*. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻

KAJIAN TENTANG PANGGILAN DAN SEBUTAN KAFIR KEPADA NON MUSLIM, BOLEHKAH?


Banyaknya orang yang mudah mengkafir-kafirkan orang lain tak bisa dimungkiri memang sudah berada dalam fase yang sangat mengkhawatirkan. Terlebih di masa agama banyak dijadikan sebagai alat dalam perang politik seperti sekarang ini. Maklum, jaman sekarang, banyak orang yang sok-sokan pengin magang jadi tangan kanannya Tuhan.

Hal tersebut rupanya menjadi perhatian tersendiri bagi para kiai dan ulama yang hadir dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, pada Kamis, 28 Februari 2019 lalu.

Dalam sesi Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah yang merupakan salah satu bagian dari agenda Munas Alim Ulama dan Konbes NU, para ulama dan kiai secara khusus membahas tentang penggunaan kata “kafir”.

Dalam sidang tersebut, para ulama sepakat untuk menyarankan warga Indonesia agar tidak melabelkan kata “kafir” kepada warga non-muslim. Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah menganggap bahwa pelabelan kafir mengandung unsur kekerasan teologis. Hal tersebut konteksnya untuk menunjukkan kesetaraan status Muslim dan non muslim di dalam sebuah negara yang tentunnya menyebut dengan sebutan non muslim lebih bijaksana.

*Pengertian Kafir*

Kafir (bahasa Arab: ﻛﺎﻓﺮ kafir; kata jama' ﻛﻔﺎﺭ kuffar). Kafir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak atau menutup, menyembunyikan sesuatu, atau menyembunyikan kebaikan yang telah diterima atau mengingkari kebenaran. Dalam al-Quran, kata kafir dengan berbagai bentuk kata disebut sebanyak 525 kali.

Kata kafir digunakan dalam al-Qur'an berkaitan dengan perbuatan yang berhubungan dengan Tuhan, seperti :

*1. Mengingkari nikmat Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya*

لِيَكْفُرُوا۟ بِمَآءَاتَيْنٰهُمْ فَتَمَتَّعُوا۟ ۖ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ

"Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka; bersenang-senanglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya)." (QS. An-Nahl : 55)

لِيَكْفُرُوا۟ بِمَآ ءَاتَيْنَٰهُمْ ۚ فَتَمَتَّعُوا۟ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ

"Sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu)." (QS. Ar-Ruum : 34)

*2. Lari dari tanggung jawab*

 إِنِّى كَفَرْتُ بِمَآ أَشْرَكْتُمُونِ مِن قَبْلُ إِنَّ ٱلظَّٰلِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya aku mengingkari (tidak membenarkan perbuatanmu) mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih." (QS. Ibrahim : 22)

*3. Menolak hukum Allah*

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah : 44)

*4. Meninggalkan amal soleh yang diperintahkan Allah*

مَن كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُۥ وَمَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا فَلِأَنفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

"Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan)." (QS. Ar-Ruum : 44).

Ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non muslim, karena ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur, yang bermakna ingkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman. Contohnya kufur nikmat, yaitu orang yang tidak pandai/mensyukuri nikmat Tuhan, atau dalam istilah lain disebut sebagai kufrun duna kufrin (kekufuran yang tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari islam).

Secara istilah, kafir adalah orang yang menentang dan menolak kebenaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang di sampaikan oleh Rasul-Nya. atau secara singkat kafir adalah kebalikan dari iman. kalau dilihat dari sisi istilah, bisa dikatakan bahwa kafir sama dengan non muslim, yaitu orang yang tidak mengimani Allah dan Rasul-Nya serta ajarannya. Kafir adalah Lawan dari Iman.

*Kata Kafir Dalam Al-Qur’an*

Di dalam Al-Qur’an, kata kafir dan variasinya digunakan dalam beberapa penggunaan yang berbeda, diantaranya :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman." (QS. Al-Baqarah : 6)

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun)." (QS. Al-Baqarah : 152)

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ...

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu (kafarna bikum)…” (QS. Al-Mumtahanah : 4)

فَلَمَّا جَاءَهُم مَّا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ ۚ

"Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya." (QS. Al-Baqarah : 89)

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar)." (QS. Al-Hadid : 20)

*Macam Macam Kafir*

Dalam Kitab Syarah Safinatun Najah dijelaskan bahwa kafir itu ada empat macam :

*1. Kafir inkar* yaitu orang yang tidak mengenal Allah sama sekali dan tidak mau mengakui-Nya.

*2. Kafir Juhud* yaitu orang yang mengenal Allah dengan hatinya, namun tidak mau mengakui / mengikrarkannya dengan lidahnya seperti kufurnya Iblis dan Yahudi.

*3. Kafir Nifaq* yaitu orang yang mau berikrar dengan lisan namun tidak mempercayai-Nya dalam hatinya.

*4. Kafir ‘Inad* yaitu orang yang mengenal Allah Ta'ala dalam hatinya, dan mengakui dengan lidah-Nya, namun tidak mau melaksanakan ajaran-Nya, seperti Abu Thalib.

Merujuk kepada makna bahasa dan beragam makna kafir dalam ayat al-Quran, Kafir terbagi menjadi
beberapa golongan, berikut ini adalah kenis-jenis kafir :

*1. Kafir Harbi*

Yaitu orang kafir yang memerangi Allah dan Rasulullah dengan berbuat makar diatas muka bumi.

فَإِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَضَرْبَ ٱلرِّقَابِ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا۟ ٱلْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّۢا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَآءً حَتَّىٰ تَضَعَ ٱلْحَرْبُ أَوْزَارَهَا

"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir...." (QS. Muhammad : 4)

*2. Kafir Dzimmi*

Yaitu orang kafir yang tunduk pada penguasa islam dan membayar jizyah/upeti

قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS. At Taubah : 29)

*3. Kafir Muahad*

Yaitu orang kafir yang tinggal di Negara kafir, yang ada perjanjian damai dengan Negara islam.

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيَانَةً فَٱنۢبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَآءٍ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْخَآئِنِينَ

"Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (QS. Al-Anfal : 58)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

*4. Kafir Musta’man*

Yaitu orang kafir yang masuk ke Negara islam,dan mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah.

وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ٱسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُۥ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُونَ

"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui." (QS. At-Taubah : 6)

Penyebutan kata-kata kafir, tidak selamanya mempunyai konotasi berakhlak buruk, jahat, dan sifat-
sifat kotor lainnya. dan tidak juga pelecehan nilai-nilai kemanusiaan, karena semua manusia adalah ciptaan Allah. dan dari segi humaniti semua manusia adalah saudara. Akan tetapi penyebutan kata kafir lebih kepada masalah keimanan, dimana mereka tidak mau mengimani Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Tuhan, dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Rasul-Nya serta mengingkari ajaran-ajarannya.

Sebenarnya jika mereka memahami arti dan konsekuensi dari kata non muslim, sebenarnya tanpa
disadari mereka rela *disebut sebagai kafir* dari perspektif islam, Hanya mungkin kedengarannya lebih halus, ketimbang *dipanggil kafir.* Bagaimana tentang orang-orang kafir ternyata berakhlak mulia ? Bisa saja orang-orang kafir berakhlak baik, seperti jujur, tidak korupsi, tidak berzina, berbuat baik dengan tetangga, menyantuni orang miskin, dll. Namun akhlak baik itu tidak cukup untuk menghapuskan status dia dari katagori orang kafir, manakala mereka tetap ingkar kepada Allah, atau ingkar kepada rasul-rasulnya termasuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ajarannya.

Dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5 dijelaskan,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

" (Dan dihalal­kan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di an­tara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang men­jaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab se­belum kalian..." (QS. Al-Maidah : 5)

Artinya ada dari kalangan mereka yang secara manusiawi melakukan akhlak atau perilaku yang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak seharusnya seorang muslim memanggil orang kafir dengan sebutan kafir (wahai orang kafir), meskipun seorang muslim wajib yakin bahwa orang selain islam adalah kafir karena Al-Qur'an telah jelas menyatakan hal itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berinteraksi dengan orang-orang yahudi, atau orang musyrik, kafir quraisy, yang mana mereka adalah golongan orang-orang kafir, Rasulullah tidak memanggil dengan sebutan ”ya kafir”. Tapi beliau menyebut misalnya orang yahudi, nasrani, quraish, bahkan ketika mengirim surat ke raja romawi menggunakan kata-kata ”ya adhimu rum” dan bukan "ya kafir".

Nah, jika Nabi telah mencontohkan etika dan akhlak yang begitu mulia dalam berinteraksi dengan masyarakat non muslim (yahudi, nasrani dan kafir quraisy) akankah kita melakukan diluar yang di contohkan beliau?

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻