MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 30 Desember 2018

KAJIAN TENTANG SALAH KAPRAH CARA WUDHU SESUAI SUNNAH


Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno kembali jadi bahan gunjingan di media sosial. Hal itu terkait caranya berwudhu yang tertangkap kamera video.

Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, bermula saat pasangan Prabowo Subianto bermula itu hendak mengambil air wudhu.

Di depan sorotan banyak kemera telepon genggam, Sandi mengambil air dari sebuah gayung bewarna kuning.

Dalam berwudhu itu, Sandi mencelupkan tangannya ke dalam gayung yang ia letakkan di pinggir bak air.

Mengenai tata cara berwudhu diterangkan dalam hadits berikut,

حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.

Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat”. (HR. Bukhari Muslim)

Dari hadits ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut.

1. Berniat untuk menghilangkan hadats.
2. Membaca basmalah: ‘bismillah’.
3. Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur atau madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq) sekaligus –melalui satu cidukan-. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
5. Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.
6. Membasuh tangan –kanan kemudian kiri- hingga siku dan sambil menyela-nyela jari-jemari.
7. Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR Ibnu Majah).
8. Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela-sela jemari kaki

*Batasan Air Untuk Wudhu*

Imam An-Nawawi dalam karyanya Khulâshatul Ahkâm fî Muhimmâtis Sunan wa Qawâ‘idil Islâm menyebutkan secara eksplisit larangan boros air dalam berwudhu sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وحديث مرفوع: قال لمتوضِّئٍ "لا تُسْرِفْ"

“Rasulullah Shallqllahu 'alaihi wa sallam berkata kepada salah seorang sahabatnya yang akan mengambil air sembahyang, ‘Jangan berlebihan (dalam penggunaan air).’”

Sejumlah riwayat menyebutkan seberapa banyak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan air untuk mandi dan berwudhu. Demikian disampaikan Imam An-Nawawi dalam karyanya Khulâshatul Ahkâm fî Muhimmâtis Sunan wa Qawâ‘idil Islâm.

عن أنس: "كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَغْتسِلُ بالصَّاعِ إلى خمسةِ أمْدادٍ، ويتَوَضَّأُ بالمُدِّ" متفق عليه

Dari Anas ra, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi menggunakan air sebanyak satu sha‘ hingga lima mud. Sedangkan untuk mengambil air sembahyang, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghabiskan air sebanyak satu mud,” (HR Bukhari dan Muslim).

Satu mud seukuran 675 gram atau ¾ liter. Sementara satu sha‘ seukuran empat mud atau 2.700 gram. Dalam kitab Khulâshatul Ahkâm, Imam An-Nawawi meriwayatkan seberapa banyak air yang digunakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berwudhu.

وعن أمِّ عِمَارَة الأنصارية رضي الله عنها: "أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَوَضَّأَ بِإِنَاءٍ فيه قَدْرَ ثُلُثَيْ مُدٍّ" رواه أبو دود والنسائ بإسناد حسن.

Dari Ummi ‘Imarah Al-Anshariyah ra, “Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dengan sebuah wadah berisi air sekira dua per tiga mud,” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Dari pelbagai riwayat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa agama melarang keras penggunaan air secara berlebihan termasuk dalam berwudhu. Karenanya mereka menetapkan bahwa boros air dalam berwudhu adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (makruh).

Berikut ini kutipan dari Syekh Imam Nawawi Banten dalam Qûtul Habîbil Gharîb, Tausyîh ‘alâ Fathil Qarîbil Mujîb.

وأما مكروهات الوضوء فالإسراف في الماء وتقديم اليسرى على اليمنى والزيادة على الثلاث يقينا والنقص عنها ولو شكا...

“Adapun hal-hal yang dimakruhkan dalam mengambil air untuk wudhu adalah berlebihan dalam menggunakan air, mendahulukan anggota tubuh kiri dibanding yang kanan, menambah lebih dari tiga basuhan secara yakin, mengurangi basuhan kurang dari tiga basuhan meskipun ragu...”

Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.”
(HR. Bukhari no.187)

Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma’rifah, Beirut).

*Air musta'mal suci yang tidak mensucikan?*

أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُوري المرأة أو قال بسؤرها؛ قال ابو عيسى هذا حديث حسن

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang laki-laki berwudhu dengan bekas air yang dipakai bersuci perempuan dan Abu Isa (Tirmidzi) mengatakan Hadits ini hasan." (H.R. at-Turmidzi)

وهو المنفصل من أعضاء المتوضئ والمغتسل

“Air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota badan orang yang berwudhu atau mandi” (Fiqhus Sunnah, 1/18).

Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta’mal.

Kata musta’mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan atau memakai. Maka air musta’mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah yaitu berwudhu atau mandi janabah.

Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.

Air sisa bekas cuci tangan cuci muka cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.

Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal :

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu’ atau mandi.

Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu’ sunnah atau mandi sunnah.

Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu’ atau mandi.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu’ atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu’ atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al-Hanafiyah mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.

Artinya bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu’ atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

3. Mazhab Asy-Syafi’iyyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu’ atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu’.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu’ maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.

Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu’ atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.

4. Mazhab Al-Hanabilah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu’) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka ibadah maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu’. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu’.

Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu’ atau mandi maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu’ atau mandi lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu’ atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.

Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah maka tidak mengakibatkan air itu menjadi ‘tertular’ kemusta’malannya.

Secara global atau garis besar penggunaan air musta’mal dibagi menjadi 3 pendapat. Ada yang membolehkan bersuci dengannya dan tidak membedakan antara air must’amal dengan air muthlak, pendapat ini dinisbatkan kepada mazhab Azh-Zhahiriyah, Abu Tsaur (w 240 H) dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (w 241 H), ada juga yang tidak membolehkan bersuci dengannya dan pendapat ini dinisbatkan kepada mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad (w 241 H). Pendapat yang ketiga yaitu memakruhkannya serta tidak boleh bertayammum jika masih ada air musta’mal namun jika berwudhu dengan menggunakannya dianggap sah wudhunya, pendapat ini dinisbatkan kepada mazhab Maliki. Namun Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah punya pendapat yang lain yaitu air must’amal dihukumi najis dan pendapat ini diklaimnya berasal dari Imam Abu Hanifah (w 150 H), hanya saja pendapat ini dinyatakan sebagai pendapat yang syadz. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 29 Desember 2018

4 GOLONGAN HARAM MASUK NERAKA

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ، ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ،ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﻻَ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻛُﻢْ ﺑِﻤَﻦْ ﺗُﺤَﺮَّﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﺑَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻫَﻴِّﻦٍ، ﻟَﻴِّﻦٍ، ﻗَﺮِﻳﺐٍ، ﺳَﻬْﻞٍ.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Maukah kalian aku tunjukkan orang yg haram (tersentuh api) neraka..? Para sahabat berkata, “Iya, wahai Rasulallah..!!! Beliau menjawab, *“(Haram tersentuh api neraka) orang yg Hayyin, Layyin, Qorib, Sahl.”* (HR. At Tirmidzi & Ibnu Hibban)

*1⃣ Hayyin*

Orang yg memiliki ketenangan dan keteduhan dzahir maupun batin. Tidak labil gampang marah, grusah-grusuh dalam segala hal, penuh pertimbangan. Tidak gampangan memaki, melaknat dan ngamuk tersulut berita yg sampai padanya. Teduh jiwanya…

*2⃣ Layyin*

Orang yg lembut dan kalem, baik dalam bertutur-kata atau berbuat. Tidak kasar, main cantik sesuai aturan, tidak semaunya sendiri, segalanya tertata rapi. Tidak galak yg suka memarahi orang yg berbeda berbeda pendapat denganya. Identik tidak suka melakukan pemaksaan pendapat. Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk saudaranya sesama muslim.

*3⃣ Qorib*

Bahasa jawanya “gati”, sunda “deudeuh” akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan orang bagi yg mengajak bicara. Tidak acuh tak acuh, cuek-bebek, gampang berpaling. Biasanya murah senyum jika bertemu dan wajahnya berseri-seri dan enak dipandang. Mudah untuk diajak berteman.

*4⃣ Sahl*

Orang yg gampangan, tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan membuat orang lain lari dan menghindar.

Keempat kata memiliki makna yg mirip, sama dan saling melengkapi dalam bingkai Akhlakul Karimah.

Semoga kita termasuk semua golongan tersebut diatas…Aamiin.

اللهم كما احسنت خلقي فأحسن خلقي…

“Ya Allah sebagaimana Engkau telah menciptakanku dengan baik maka perbaikilah akhlakku." Aamiin

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan dari Jl. Moh. Thoha Priuk Jaya Kotabumi Tangerang dalam rangka Kopdar Sarkub Minggu, 30 Des 2018 pukul : 01.57 wib. di Pondok Pesantren Al-Husna asuhan KH. Thobary Syadzily Al-Bantani

*Koordinat Lokasi dan Peta*:
-6.163077, 106.599677
Jl. Moh. Toha No.35, RT.2/RW.2, Periuk Jaya, Periuk, Kota Tangerang, Banten 15131, Indonesia

http://mapcoordinates.co.nf/?q=-6.163077,106.599677

Map Coordinates: https://goo.gl/za7XD6.

Senin, 24 Desember 2018

KHILAFIYAH MASALAH UCAPAN NATAL



Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam riwayat Anas bin Malik:

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ) ـ

“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata, “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul Qasim (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)

Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).

Adapun menurut pendapat ulama fiqih ada perbedaan dalam menghukuminya yaitu :

*HARAM*

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah sbb,

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم ، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثماً عند الله ، وأشد مقتاً من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس ، وارتكاب الفرج الحرام ونحوه ، وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” *(Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441)*

*HALAL*

Syekh Said Ramadhan Al-Buthi dalam kitab Istifta’ an-Nas hal. 41 masalah ke-93 beliau mengemukakan:

السؤال:هل يجوز تهنئة غير المسلمين بأعيادهم وخاصة النصارى ؟ وماذا اذا إضطر لذلك هل من صيغة مفضلة ؟ وهل تجوز تعزيتهم أو القول “رحمه الله” ؟

الجواب: يجوز تهنئة الكتابيين : النصارى واليهودي بأفراحهم ويجوز تعزيتهم بمصائبهم بل يسن ذلك كما نص عليه الفقهاء ويجوز الدخول لمعابدهم لمناسبة ما بشرط ان لا يشترك معهم في عبادتهم

Bolehkah mengucapkan kata ‘selamat’ pada non-muslim saat hari raya agama mereka, terlebih umat Nasrani (Kristen)? Dan bagaimana saat hal tersebut sudah tidak bisa dihindari, apakah malah lebih baik untuk disampaikan? Lebih jauh, bolehkah takziyah kepada mereka, atau sekedar mengucapkan kata “semoga Allah mengasihi kalian” kepada mereka?

Jawab: Boleh mengucapkan kata ‘selamat’ pada ahlul kitab saat hari raya mereka, baik itu umat Yahudi ataupun Nasrani.  Juga boleh takziyah kepada mereka saat terkena musibah. Bahkan hal tersebut disunnahkan, seperti halnya yg dijelaskan oleh ulama’ Ahli fiqh.

*JUMHUR ULAMA' MENGHARAMKAN UCAPAN SELAMAT NATAL*

Mayoritas ulama salaf dari madzhab empat - Syafi'i, Hanafi Maliki, Hanbali, mengharamkan ucapan selamat pada hari raya non-Muslim. Berikut pendapat mereka:

*1. MADZHAB SYAFI'I*

Al Imam Ad Damiri dalam Al-Najm Al-Wahhaj fi Syarh Al-Minhaj, "Fashl Al-Takzir", hlm. 9/244, dan Khatib Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Ma'ani Alfadzil Minhaj, hlm. 4/191, menyatakan:)

*تتمة : يُعزّر من وافق الكفار في أعيادهم ، ومن يمسك الحية ، ومن يدخل النار ، ومن قال لذمي : يا حاج، ومَـنْ هَـنّـأه بِـعِـيـدٍ ، ومن سمى زائر قبور الصالحين حاجاً ، والساعي بالنميمة لكثرة إفسادها بين الناس ، قال يحيى بن أبي كثير : يفسد النمامفي ساعة ما لا يفسده الساحر في سنة*

Ditakzir (dihukum) orang yang sepakat dengan orang kafir pada hari raya mereka, orang yang memegang ular, yang masuk api, orang yang berkata pada kafir dzimmi "Hai Haji", orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama lain), orang yang menyebut peziarah kubur orang saleh dengan sebutan haji, dan pelaku adu domba karena banyaknya menimbulkan kerusakan antara manusia. Berkata Yahya bin Abu Katsir: Pengadu domba dalam satu jam dapat membuat kerusakan yang baru bisa dilakukan tukang sihir dalam setahun.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah, hlm. 4/238-239, menyatakan:

*ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكرما يوافق ما ذكرته فقال : ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم } من تشبه بقوم فهو منهم { بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك ومنها اهتمامهم في النيروز... ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم*

Aku melihat sebagian ulama muta'akhirin menuturkan pendapat yang sama denganku, lalu ia berkata: Termasuk dari bid'ah terburuk adalah persetujuan muslim pada Nasrani pada hari raya mereka dengan menyerupai dengan makanan dan hadiah dan menerima hadiah pada hari itu. Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah kalangan orang Mesir. Nabi bersabda ; "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka iabagian dari mereka". Ibnu Al-Haj berkata: Tidak halal bagi muslim menjual sesuatu pada orang Nasrani untuk kemasalahan hari rayanya baik berupa daging, kulit atau baju. Hendaknya tidak meminjamkan sesuatu walupun berupa kendaraan karena itu menolong kekufuran mereka. Dan bagi pemerintah hendaknya mencegah umat Islam atas hal itu. Salah satunya adalah perayaan Niruz (Hari Baru)... dan wajib melarang umat Islam menampakkan diri pada hari raya non-muslim.

 *2. MADZHAB HANAFI*

Ibnu Najim dalam Al-Bahr Al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq, hlm. 8/555,

*قال أبو حفص الكبير رحمه الله : لو أن رجلا عبد الله تعالى خمسين سنة ثمجاء يوم النيروز وأهدى إلى بعض المشركين بيضة يريد تعظيم ذلك اليوم فقد كفر وحبط عمله وقال صاحب الجامع الأصغر إذا أهدى يوم النيروز إلى مسلم آخر ولم يرد به تعظيم اليوم ولكن على ما اعتاده بعض الناس لا يكفر ولكن ينبغي له أن لا يفعل ذلك في ذلك اليوم خاصة ويفعله قبله أو بعده لكي لا يكون تشبيها بأولئك القوم , وقد قال صلى الله عليه وسلم } من تشبه بقوم فهو منهم { وقال في الجامع الأصغر رجل اشترى يوم النيروز شيئا يشتريه الكفرة منه وهو لم يكن يشتريه قبل ذلك إن أراد به تعظيم ذلك اليوم كما تعظمه المشركون كفر, وإن أراد الأكل والشرب والتنعم لا يكفر*

Abu Hafs Al-Kabir berkata: Apabila seorang muslim yang menyembah Allah selama 50 tahun lalu datang pada Hari Niruz (tahun baru kaum Parsi dan Kurdi pra Islam -red) dan memberi hadiah telur pada sebagian orang musyrik dengan tujuan untuk mengagungkan hari itu, maka dia kafir dan terhapus amalnya.

Berkata penulis kitab Al-Jamik Al-Asghar: Apabila memberi hadiah kepada sesama muslim dan tidak bermaksud mengagungkan hari itu tetapi karena menjadi tradisi sebagian manusia maka tidak kafir akan tetapi sebaiknya tidak melakukan itu pada hari itu secara khusus dan melakukannya sebelum atau setelahnya supaya tidak menyerupai dengan kaum tersebut. Nabi bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka." Penulis kitab Al-Jamik Al-Asghar berkata: Seorang lelaki yang membeli sesuatu yang dibeli orang kafir pada hari Niruz dia tidak membelinya sebelum itu maka apabila ia melakukan itu ingin mengagungkan hari itu sebagaimana orang kafir maka ia kafir. Apabila berniat untuk makan minum dan bersenang-senang saja tidak kafir.

*3. MADZHAB MALIKI*

Ibnul Haj Al-Maliki dalam Al-Madkhal, Juz 2/Hal 46-48 menyatakan:

*ومن مختصر الواضحة سئل ابن القاسم عن الركوب في السفن التي يركب فيها النصارى لأعيادهم فكره ذلك مخافة نزول السخط عليهم لكفرهم الذي اجتمعوا له . قال وكره ابن القاسم للمسلم أن يهدي إلى النصراني في عيده مكافأة له . ورآه من تعظيم عيده وعونا له على مصلحة كفره . ألا ترى أنه لا يحل للمسلمين أن يبيعوا للنصارى شيئا من مصلحة عيدهم لا لحما ولا إداما ولا ثوبا ولا يعارون دابة ولا يعانون على شيء من دينهم ; لأن ذلك من التعظيم لشركهم وعونهم على كفرهم وينبغي للسلاطين أن ينهوا المسلمين عن ذلك , وهو قول مالك وغيره لم أعلم أحدا اختلف في ذلك*

Ibnu Qasim ditanya soal menaiki perahu yang dinaiki kaum Nasrani pada hari raya mereka. Ibnu Qasim tidak menyukai (memakruhkan) hal itu karena takut turunnya kebencian pada mereka karena mereka berkumpul karena kekufuran mereka. Ibnu Qasim juga tidak menyukai seorang muslim memberi hadiah pada Nasrani pada hari rayanya sebagai hadiah. Ia melihat hal itu termasuk mengagungkan hari rayanya dan menolong kemaslahatan kufurnya. Tidakkah engkau tahu bahwa tidak halal bagi muslim membelikan sesuatu untuk kaum Nasrani untuk kemaslahatan hari raya mereka baik berupa daging, baju; tidak meminjamkan kendaraan dan tidak menolong apapun dari agama mereka karena hal itu termasuk mengagungkan kesyirikan mereka dan menolong kekafiran mereka. Dan hendaknya penguasa melarang umat Islam melakukan hal itu. Ini pendapat Malik dan lainnya. Saya tidak tahu pendapat yang berbeda.

*4. MADZHAB HANBALI*

Al-Buhuti dalam Kasyful Qina' an Matnil Iqnak, hlm. 3/131, menyatakan:

 *ويحرم تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم ( ; لأنه تعظيم لهم أشبه السلام .) وعنه تجوز العيادة ( أي : عيادة الذمي ) إن رجي إسلامه فيعرضه عليه واختاره الشيخ وغيره ( لما روى أنس } أن النبي صلى الله عليه وسلم عاد يهوديا , وعرض عليه الإسلام فأسلم فخرج وهو يقول : الحمد لله الذي أنقذه بي من النار { رواه البخاري ولأنه من مكارم الأخلاق .) وقال ( الشيخ ) ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى ( وغيرهم من الكفار ) وبيعه لهم فيه ( . وفي المنتهى : لا بيعنا لهم فيه ) ومهاداتهم لعيدهم ( لما في ذلك من تعظيمهم فيشبه بداءتهم بالسلام.*

Haram mengucapkan selamat, takziyah (ziarah orang mati), iyadah (ziarah orang sakit) kepada non-muslim karena itu berarti mengagungkan mereka menyerupai (mengucapkan) salam. Boleh iyadah kafir dzimmi apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajak masuk Islam. Karena, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi pernah iyadah pada orang Yahudi dan mengajaknya masuk Islam lalu si Yahudi masuk Islam lalu berkata, "Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan aku dari neraka." Dan karena iyadah termasuk akhak mulia. Haram menghadiri perayaan mereka karena hari raya mereka, karena hal itu termasuk mengagungkan mereka sehingga hal ini menyerupai memulai ucapan salam.

Meski demikian alangkah bijaksana jika kita bisa memahami saudara muslim kita yang memgucapkan selamat natal kepada keluarga, teman dan kerabat, mungkin memgikuti hujjah ulama yang membolehkan. Dan bagi kita yang memghindari ucapan tersebut harus menyadari bahwa seringkali kita ikut libur natal dan tahun baru mereka bahkan semangat dalam merayakannya. Jadi saling mengerti dan memahami itu lebih indah dalam bermasyarakat. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menjelaskan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله ااموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 23 Desember 2018

KAJIAN TENTANG MUSIBAH SEBAGAI UJIAN, TEGURAN ATAU ADZAB


Apakah musibah itu sebagai ujian untuk meninggikan derajat hamba? Atau musibah sebagai teguran? Ataukah musibah sebagai siksa (azab) yang disegerakan di dunia? Ketiga kemungkinan itu bisa ada. Sehingga dengan mengetahui hikmah musibah tersebut seharusnya membuat kita giat dan berusaha keras untuk bersabar serta meraih pahala lewat ujian.

Musibah atau bencana yang menimpa orang yang beriman yang tidak lalai dari keimanannya, sifatnya adalah ujian dan cobaan. Allah ingin melihat bukti keimanan dan kesabaran kita. Jika kita bisa menyikapi dengan benar, dan mengembalikan semuanya kepada Allah, maka Allah akan memberikan pertolongan dan rahmat sesudah musibah atau bencana tersebut.

Sebaliknya bagi orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan,  bencana atau musibah yang menimpa, itu adalah sebagai teguran agar mereka sadar dari kesalahannya dan memperbaikinya. Bahkan merupakan siksa atau azab dari Allah atas dosa-dosa mereka. Apabila ada orang yang hidupnya bergelimang kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lolos dari bencana/musibah, maka Allah sedang menyiapkan bencana yang lebih dahsyat untuknya, atau bisa jadi ini merupakan siksa atau azab yang ditangguhkan, yang kelak di akhiratlah balasan atas segala dosa dan kejahatan serta maksiat yang dilakukannya.

Sebenarnya yang terpenting bukan musibahnya, tetapi apa alasan Allah menimpakan musibah itu kepada kita. Untuk di ingat, jika musibah itu terjadi, disebabkan dosa-dosa kita, maka segeralah bertobat kepada Allah. Kalau musibah yang terjadi karena ujian keimanan kita, maka kuatkan iman dan berpegang teguhlah kepada Allah.

Siapa saja berbuat kebaikan, maka manfaatnya akan kembali kepadanya. Sedangkan siapa saja berbuat kejahatan, maka bencananya juga akan kembali kepada dirinya sendiri. Bisa dibalas didunia atau di akhirat.

*1- Musibah yang menimpa adalah ujian sebagaimana yang menimpa para Nabi dan Rasul.*

Misalnya dengan ditimpakan penyakit dan tidak diberikan keturunan. Maksud musibah seperti ini adalah untuk meninggikan derajat, memperbesar pahala, dan sebagai qudwah (teladan) bagi yang lainnya untuk bersabar.

Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi.” (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad 1: 185).

*2- Musibah bisa jadi pula sebagai sebab dihapuskannya dosa.*

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ

“Barang siapa yang melakukan keburukan (baca:maksiat) maka dia akan mendapatkan balasan karena keburukan yang telah dilakukannya”(QS An Nisa: 123).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (وصب) (yang terus menerus), rasa capek (نصب), kekhawatiran (pada pikiran), sedih  (ولا هم ولا حزن) (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati (غم) atau sesuatu yang menyakiti (ولا أذى) sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)

*Keterangan*

Kata “وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ” keduanya adalah penyakit hati. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)

Kata “غَمٍّ” termasuk penyakit hati yang berarti kesempitan (kesulitan) yang diderita hati. Ada ulama yang merinci makna dari tiga kata “الْهَمّ وَالْغَمّ وَالْحُزْن”. Kata “الْهَمّ” muncul dari pikiran yang timbul bentuk menyakiti dari orang lain. Kata “وَالْغَمّ” timbul pada hati. Sedangkan “وَالْحُزْن” timbul karena sesuatu yang hilang sehingga membuat susah. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)

Ada yang menyatakan bahwa maksudnya adalah umum. Ada yang menyatakan khusus pada bentuk menyakiti dari orang lain padanya. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)

*3- Musibah bisa jadi adalah hukuman yang disegerakan (baca: siksaan atau adzab) di dunia disebabkan tumpukan maksiat dan tidak bersegera untuk bertaubat.*

Dari Anas bin Malik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi no. 2396

Musibah dan bencana dalam Kitab dan Sunah ada dua sebab secara langsung –disamping hikmah Allah Ta’ala dalam qodo dan qadar-Nya:

*Sebab pertama;* dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang. Baik kekufuran,  kemaksiatan atau dosa besar. Maka Allah 'Azza wa Jalla menguji disebabkan pelaku kemaksiatan melakukannya berlebihan sebagai hukuman yang disegerakan.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

( وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ) النساء/79

“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa;: 79).

Para ahli tafsir mengatakan maksdunya disebabkan dosa anda. Dan Firman Subhanahu wa Ta’ala:

( وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ ) الشورى/30

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. As-Syuro: 30)

Silahkan melihat ‘Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, (2/363).

Dari Anas radhiallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

( إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ). رواه الترمذي (2396)

“Ketika Allah menginginkan hamba-Nya suatu kebaikan, maka disegerakan hukumannya di dunia. Kalau Allah menginginkan hamba-Nya suatu kejelekan, maka dosanya ditahan sampai dibalas nanti di hari kiamat.” (HR. Tirmizi, 2396)

*Sebab kedua;* keinginan Allah Ta’ala untuk meninggikan derajat orang mukmin yang sabar. Sehingga dicoba dengan musibah agar ridho dan bersabar. Dan akan diberikan pahala orang-orang sabar di akhirat. Ditulis di sisi Allah termasuk orang yang beruntung. Dimana cobaan seringkali mengiringi para nabi dan orang-orang sholeh tanpa meninggalkan mereka. Allah menjadikan sebagai kemulyaan bagi mereka agar mendapatkan derajat tinggi di surga. Oleh karena itu telah ada hadits shoheh dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,

( إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ). رواه أبو داود (3090) 

“Sesungguhnya seorang hamba ketika didahului kedudukan di sisi Allah, dimana amalannya tidak sampai (kepada-Nya), maka Allah akan mengujinya di badan atau harta atau anaknya.” (HR. Abu Dawud, (3090)

Dan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا ، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ ) . رواه الترمذي (2396)

“Sesungguhnya agungnya pahala disertai dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah ketika mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang redo maka Dia akan redo dan siapa yang murka, maka Dia juga akan murka.” (HR. Abu Dawud, (2396)

Sehingga dikumpulkan dua sebab dalam hadits Aisyah radhiallahu anha sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

( مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً ، أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً )
رواه البخاري (5641) ، ومسلم (2573)

“Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya. Atau dihapuskan kesalahannya dengannya.” HR. Bukhori, (5641) dan Muslim, (2573).

Kemudian saling terkait diantara dua sebab ini, hal itu lebih agung dibandingkan hanya sendirian. Tidaklah anda melihat, bahwa orang yang dicoba oleh Allah dengan suatu musibah dikarenakan dosanya dan dia bersabar serta bersyukur. Maka Allah akan mengampuni dosanya, mengangkat derajatnya di surga dan dipenuhi pahala orang-orang yang sabar dan orang yang mengharap pahala.

Sebagaimana orang yang dicoba oleh Allah dengan suatu musibah, agar mendapatkan kedudukan tinggi yang telah Allah tulis di surga baginya. Menghapuskan dosa-dosa yang lalu. Dan hal itu termasuk balasan baginya di dunia, tidak terulang nanti di akhirat. Sebagaimana yang terjadi pada sebagian Rasul dan Nabi. Seperti Adam alaihis salam, Yunus alaihis salam. Ketika Allah menguji Adam dengan mengeluarkannya dari surga. Yunus bin Matta dicoba dengan masuk ke dalam perut ikan paus. Sehingga Allah mengangkat keduanya dengan cobaan ini karena kesabaran dan harapan (menggapai) pahala di sisi Allah Subhanah. Hal itu sebagai tebusan karena kesalahan yang terjadi padanya pada kedua nabi alaihimas salam.

Yang menunjukkan hal itu bahwa balasan dunia tidak terpisah dengan balasan akhirat. Dan menyatuan dua sebab ini telah ada pada banyak hadits nabawi yang shoheh. Diantaranya diriwayatkan oleh Sa’d bin Abi Waqqos radhiallahu anhu berkata,

( قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ! أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَمَا يَبْرَحُ البَلاَءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ). رواه الترمذي (2398) وقال : حسن صحيح

“Saya bertanya, Wahai Rasulullah !! siapakah manusia yang paling berat cobaannya? Beliau menjawab, “Para Nabi kemudian yang paling bagus dan paling bagus. Sehingga seseorang dicoba sesuai dengan agamanya. Kalau agamanya kuat, maka dia akan diberi cobaan yang berat. Kalau agamanya lemah, maka dicoba sesuai dengan agamanya. Tidaklah cobaan berada dari seorang hamba sampai dia meniggalkannya dan berjalan di atas bumi sementara dia tidak mempunyai kesalahan.” (HR. Tirmizi, (2398) dan mengatakan, “Hasan Shoheh).

Meskipun begitu terkadang salah satu sebab lebih menonjol pada sebagian contoh cobaan dari sebab lainnya. Mungkian hal itu dapat dipahami di sela-sela kaitan kondisi yang terkait dengan musibah itu.

Kalau yang dicoba orang kafir, maka tidak mungkin cobaannya itu mengangkat derajatnya. Karena kafir disisi Allah tidak ada harganya pada hari kiamat. Akan tetapi hal itu bisa menjadi pelajaran dan peringatan bagi yang lainnya agar tidak melakukan prilaku sepertinya. Bisa jadi hal itu termasuk balasan Allah yang disegerakan di dunia. Tambahan dari apa yang disimpan di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman:

( أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ قُلْ سَمُّوهُمْ أَمْ تُنَبِّئُونَهُ بِمَا لا يَعْلَمُ فِي الأرْضِ أَمْ بِظَاهِرٍ مِنَ الْقَوْلِ بَلْ زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مَكْرُهُمْ وَصُدُّوا عَنِ السَّبِيلِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ * لَهُمْ عَذَابٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَعَذَابُ الآخِرَةِ أَشَقُّ وَمَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَاقٍ ) الرعد /33-34

“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)? Mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah. Katakanlah: "Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu." Atau apakah kamu hendak memberitakan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di bumi, atau kamu mengatakan (tentang hal itu) sekadar perkataan pada lahirnya saja. Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan dihalanginya dari jalan (yang benar). Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorangpun yang akan memberi petunjuk. Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah.” (QS. Ar-Ra’du: 33-34).

Sementara kalau yang terkena musibah itu orang Islam, berbuat kemaksiatan secara terang-terangan. Atau orang fasik yang Nampak kefasikannya. Bisa jadi persangkaan kuat itu sebagai balasan dan hukuman dari cobaan ini. Karena menghapus kesalahan itu lebih dahulu dibandingkan mengangkat derajat. Orang bermaksiat lebih membutuhkan menghapus kesalahan dibandingkan dengan mengangkat derajatnya.

Sebaliknya kalau seorang muslim itu ahli ibadah taat dan sholeh. Tidak ada antara dia dengan Allah hanya ibadah saja. Bersyukur, memuji, kembali dan tunduk kepada-Nya subhanah. Persangkaan kuat, dalam cobaannya itu dari sisi kemulyaan dan menaikkan derajatnya. Orang ahli ibadah adalah para saksi Allah di bumi, ketika diketahui pada dirinya ada kebaikan, maka mereka diberi kabar gembira dengan menaikkan derajat di sisi Allah kalau dia sabar dalam cobaannya.

Sementara kalau orang yang terkena musibah Nampak  tidak rela dan mengeluh, tidak disangka kalau hal itu menjadi penghormatan dari Allah untuk mengangkat derajatnya. Allah telah mengatahui ketidak sabaran dan ketidak redoan. Yang lebih dekat dari fenomena ini adalah balasan dan hukuman. Sebagian orang sholeh mengatakan “Tanda cobaan itu sebagai balasan dan imbalan adalah tidak sabar ketika ada cobaan dan mengeluh serta mengaduh kepada makhluk.

Tanda cobaan itu sebagai penghapus dan filter kesalahan adalah adanya kesabaran nan indah tanpa ada keluhan. Tidak mengeluh dan tidak mengaduh. Tidak berat dalam menunaikan perintah ketaatan.

Tanda cobaan untuk mengankat derajat adalah adanya keredoan dan persetujuan, jiwanya tenang serta damai dalam ketentuan sampai terlampaui (terselesaikan).” Selesai

Begitulah, tidak ada kecuali qorinah persangkaan memungkinkan seorang hamba memperhatikan agar dapat mengetahui sesuatu dari hikmah Allah ta’ala dalam musibah dan bencana. Bukan menentukan hikmah pada diri atau kepada hamba Allah yang terkena musibah.

Mungkin yang terpenting dari penjelasan ini semua adalah dapat dikatakan, “Sesungguhnya faedah amal yang selayaknya seorang hamba merenungkannya adalah bahwa semua musibah dan cobaan bagi dia akan mendapatkan kebaikan dan pahala selagi dia sabar dan mengharap pahala. Dan semua cobaan serta musibah bagi dia buruk dan jelek kalau dia mengeluh dan mengaduh. Kalau dirinya dapat menerima musibah dan reda terhadap qodho’ Allah, hal itu tidak akan berpengaruh baginya setelah itu, apakah mengetahui sebab cobaan atau tidak mengetahui. Bahkan yang lebih utama, hendaknya dia selalu menyalahkan dirinya dengan dosa dan kekurangan. Mengevaluasi diri dari kekurangan atau kesalahan. Semua kita mempunyai kesalahan. Siapakah diantara kita yang tidak kurang di sisi Allah Ta’ala. Kalau Allah Subhanahu wata’ala telah menimpakan musibah pada waktu Uhud dengan keguguran yang besar. Mereka adalah para shahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam, manusia terbaik setelah para Rasul dan para Nabi disebabkan menyalahi perintah Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Bagaimana seseorang menyangka hal itu pada dirinya layak untuk mengangkat derajatnya pada setiap musibah yang menimpanya. Dahulu Ibrohim bin Adham rahimahullah -ketika beliau melihat hembusan angin kencang dan perubahan (cuaca) di langit- beliau mengatakan, “Ini disebabkan dosaku. Kalau sekiranya saya keluar diantara kamu semua, maka tidak akan menimpa pada kalian semua.”

Bagaimana dengan kondisi kita yang kurang dan berdosa?.

Kemudian yang lebih utama dan lebih penting dari itu semua, hendaknya seorang hamba senantiasa berprasangka baik kepada Tuhannya. Dalam setiap kondisi. Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Mengetahui, Maha Menghendaki dan Sang Pemilik Ampunan.

Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar mengasihi dan mengampuni kita semua. Mengajarkan apa yang bermanfaat untuk kita. Memberikan pahala terhadap musibah dan ujian kita. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

* والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 22 Desember 2018

KAJIAN TENTANG SYUKURAN MENEMPATI RUMAH BARU


Walimah yang diadakan ketika seseorang selesai membangun rumah atau membelinya dalam perspektif fiqih dikenal dengan istilah Walimah Wakîroh. Sedang hukum mengadakan acara walimah tersebut menurut jumhurul ulama' adalah sunnah.

*Al-Bayân :*

Terlebih dahulu perlu diketahui, bahwa selamatan (walimahan) yang diadakan ketika seseorang menempati rumah baru, menurut perspektif fiqih dikenal dengan istilah " Walimah Wakîroh". hal ini sesuai dengan keterangan:

وَإِذَا بَنَى الرَّجُلُ دَارًا أَوِ اشْتَرَاهَا فَأَطْعَمَ قِيلَ
الْوَكِيرَةِ أَيْ مِنْ الْوَكْرِ

Ketika seseorang telah selesai membangun rumah atau membeli rumah, kemudian ia memberi jamuan makanan kepada orang lain, maka itu disebut tho'âmul wakîroh. *(Musykil al-Atsâr (CD Maktabah Syâmelah). vol IV hlm: 303. al-Fiqhu 'Alâ al-Madzâhib al-Arba'ah (CD Maktabah Syâmelah). vol II hlm: 22.. Al-Hâwî fî Fiqhi As-Syâfi'i (CD Maktabah Syâmelah). vol IX hlm: 555).*

Hukum mengadakan acara walimah sebagaimana dalam diskripsi diatas menurut ulama' madzhab Syâfi'i terjadi perbedaan pendapat. Versi pertama menghukumi sunnah. sedang menurut versi ke-dua menghukumi wajib. Hal ini sesuai dengan  keterangan:

اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ فِعْل الْوَكِيرَةِ وَالدَّعْوَةِ إِلَيْهَا : فَقَال الشَّافِعِيَّةُ : الْوَكِيرَةُ كَسَائِرِ الْوَلاَئِمِ غَيْرَ وَلِيمَةِ الْعُرْسِ مُسْتَحَبَّةٌ، وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ، اهــ

“Pakar ulama' fiqh masih terjadi perbeadaan pendapat tentang hukum mengadakan acara walimah wakiroh dan menghadiri undangannya. Ulama' Syâfi'iyyah berkata, Walimah Wakirah hukumnya sama seperti walimah-walimah lainya, selain Walimatul 'Urs, yaitu sunnah bukan wajib menurut pendapat madzhab. Pendapat ini didukung olehjumhurul ulama' ". *(Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuawtiyyah, (CD Maktabah Syâmelah). vol 45 hlm 116).*

Sedang menurut versi kedua yang menghukumi wajib adalah sebagaimana keterangan:

الْوَلِيمَةُ لِلْبِنَاءِ : هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ ، كَبَقِيَّةِ الْوَلاَئِمِ الَّتِي تُقَامُ لِحُدُوثِ سُرُورٍ أَوِ انْدِفَاعِ شَرٍّ ، وَتُسَمَّى الْوَلِيمَةُ لِلْبِنَاءِ ( وَكِيرَةٌ ) -إِلَى أَنْ قَالَ- وَقَدْ ذَكَرَ بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ قَوْلاً بِوُجُوبِهَا ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَال : بَعْدَ ذِكْرِ الْوَلاَئِمِ وَمِنْهَا الْوَكِيرَةُ  : وَلاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا . اهــ

“Mengadakan acara Walimah Lil Bina' hukumnya sangat dianjurkan oleh agama (mustahabbah), sebagaimana walimah-walimah lainnya. Walimah Lil Bina' adalah walimah yang diadakan karena mendapatkan kebahagian yang baru atau terhindar dari kejelekan (malapetaka). Walimah lil Bina' juga disebut dengan Walimah Wakirah… Sebagian ulama' madzhab Syâfi'i mengutarakan satu pendapat yang menghukumi wajib, karena imam Syâfi'i setelah menyebutkan beberapa walimah, kemudian ia berkata, termasuk walimah adalah Walimah Wakirah, dan saya (imam Syâfi'i) tidak memberikan rukhsoh (tidak memberikan kemurahan) untuk meninggalkannya". *(al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuawtiyyah, (CD Maktabah Syâmelah). vol VII hlm 207).*

Dari beberapa penjelasan diatas, kiranya sudah cukup bisa dijadikan bukti (dalil) bahwa acara selamatan rumah baru itu juga dilegalkan oleh agama.

Setiap orang pasti ingin mempunyai rumah dengan keadaan damai, memberikan ketenangan dan kenyaman serta rasa aman bagi para penghuninya. Agar semua ini bisa terwujud, maka setiap muslim yang akan menempati rumah baru ada beberapa hal yang dianjurkan untuk dilakukan yaitu :

*Pertama, bersyukur kepada Allah atas nikmat ini*

Allah berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Ingatlah ketika Tuhanmu mengumumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

وَاشْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An Nahl : 114)

Imam As-Sa’di menjelaskan, inti syukur ada 3:

1. Mengakui bahwa nikmat itu dari Allah, dan bukan semata hasil karyanya
2. Memuji Allah atas nikmat yang telah Dia anugerahkan
3. Menggunakan nikmat itu untuk kegiatan yang Allah ridhai, dan bukan untuk sesuatu yang terlarang.

Kebalikan dari hal itu adalah kufur nikmat yang hukumnya terlarang. (Tafsir As-Sa’di, 422).

*Kedua, syukuran rumah baru*

Sebagai bentuk menyempurnakan rasa syukur itu, kita dianjurkan untuk mengadakan walimah, mengundang orang lain untuk makan-makan. Walimah ini sering diistilahkan dengan Al-Wakirah. Sebagian ulama sangat menganjurkan hal ini, diantaranya Al-Imam As-Syafii. Beliau mengatakan tentang Al-Wakirah:

ومنها الوكيرة، ولا أرخص في تركها

“Diantara bentuk walimah adalah Al-Wakirah. Saya tidak memberi kelonggoran untuk meninggalkannya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 8/207).

Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

الْوَلِيمَةُ لِلْبِنَاءِ مُسْتَحَبَّةٌ ، كَبَقِيَّةِ الْوَلاَئِمِ الَّتِي تُقَامُ لِحُدُوثِ سُرُورٍ أَوِ انْدِفَاعِ شَرٍّ

“Acara makan-makan untuk rumah baru itu dianjurkan sebagaimana walimah (acara makan-makan) lainnya (seperti pada pernikahan) yang di mana walimahan tersebut dilakukan untuk berbagi kebahagiaan atau menghilangkan suatu bahaya (rasa tidak senang dari lainnya).”

*Ketiga, masuklah rumah baru dengan mambaca:*

مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

MASYAA-ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH

Bacaan ini terdapat dalam firman Allah di surat Al-Kahfi,

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالاً وَوَلَداً

“Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS. Al-Kahfi: 39).

Ketika membahas ayat ini, Ibnul Qayim mengatakan,

فينبغي لمن دخل بستانه أو داره أو رأى في ماله وأهله ما يعجبه ، أن يبادر إلى هذه الكلمة، فإنه لا يرى فيه سوءا

“Selayaknya bagi orang yang memasuki kebunnya, atau rumahnya, atau terheran terhadap harta dan keluarganya, hendaknya dia segera membaca kalimat ini. Karena dia tidak akan melihat sesuatu yang buruk terhadap nikmat itu.” (Al-Wabilus Shayyib, hlm. 165).

Kemudian Ibnul Qayim membawakan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَنعَمَ اللهُ عَلَى عَبدٍ نِعمَةً فِي أَهلٍ وَمَالٍ وَوَلَدٍ فَقَالَ : (مَا شَاءَ اللهُ لَا قُوَّةَ إِلا بِاللهِ)، فَيَرَى فِيهَا آفَةً دُونَ المَوتِ

Jika Allah memberi kepada seorang hamba nikmat kebaikan terhadap keluarga, harta, atau anak, kemudian dia membaca: “masyaa-allah, laa quwwata illaa billaah” maka dia tidak akan melihat adanya cacat dalam nikmat selain kematian. (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath 6/126, dishahihkan Ibnul Qoyim).

Keempat, kami tidak menjumpai adanya doa khusus atau bacaan khusus ketika memasuki rumah baru. Hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk banyak beramal ketika di rumah, namun sifatnya umum berlaku untuk semua rumah, tidak hanya rumah baru. Berikut diantaranya,

*1. Rajin baca Al-Qur'an dan ibadah apapun di dalam rumah. Terutama membaca surat Al-Baqarah.*

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تجعلوا بيوتكم مقابر، إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة

“Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya.” (HR. Muslim 780, At-Turmudzi 2877)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menkontraskan antara rumah dengan kuburan. Beliau memerintahkan agar rumah kita tidak dijadikan seperti kuburan. Salah satu sifat yang mencolok dari kuburan adalah itu bukan tempat ibadah. Agar rumah kita tidak seperti kuburan yang bisa jadi banyak setan pengganggu, gunakan rumah kita untuk ibadah.

Hadits ini sekaligus menuntut kita yang belum bisa membaca Al-Qur'an agar segera dan serius dalam belajar Al-Qur'an. Untuk menjadikan rumah kita sebagai taman bacaan Al-Qur'an, tidak mungkin setiap hari kita harus mengundang orang lain untuk membaca Al-Qur'an di rumah anda.

Melihat esensi dari hadits diatas, Nabi memerintahkan kepada kita, agar rumah kita dijadikan sebagai tempat beribadah, baik untuk shalat, dzikir, berdo'a dan membaca al-Qur'an. Lebih jauh lagi, membaca surat al-Baqarah di dalam rumah juga memiliki keistemewaan yang sangat agung. Diantaranya  dapat menghidarkan penghuninya dari gangguan syetan dan bisa mengusir syetan-syetan dari rumah tersebut.
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعوْدٍ t قَالَ : إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا وَ سَنَامُ الْقُرْآنِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَ إِنَّ الشَيْطَانَ إِذَا سَمِعَ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ تُقْرَأُ خَرَجَ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ .

Dari 'Abdullah bin Mas'ûd ra, ia berkata, "Sesungguhnya segala sesuatu ada puncaknya (punuknya). Sedang puncak dari Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah. Dan sesungguh syetan bila mendengar dibacaan surat Al-Baqarah, ia akan keluar dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tersebut.” (HR. al-Hakim).

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: مَا مِنْ بَيْتٍ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ إِلاَّ خَرَجَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضِرَاطٌ. (رواه الدارمي في مسنده)

"Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ûd, ia berkata; tiada rumah yang didalamnya dibacakan surat Al-Baqoroh kecuali syetan akan keluar dari rumah tersebut dan lari terbirit-birit ". (HR: ad-Dârimî didalam karya Musnadnya)

Dalam hadits yang lain, dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

“Jadikanlah bagian shalat kalian di rumah kalian. Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Bukhari 432, Muslim 777, dan yang lainnya).

Maksud shalat di sini adalah shalat sunah yang dikerjakan sendiri dan tidak berjamaah. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits:

إِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلاَةَ المَكْتُوبَةَ

Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah shalat yang dikerjakan di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari 7290 dan yang lainnya).

*2. Baca doa ketika masuk rumah*

Hal kecil yang mungkin perlu dibiasakan adalah memulai segala yang penting dengan doa atau dzikir. Salah satunya, ketika kita masuk rumah. Meskipun kelihatanya remeh, namun hasilnya luar biasa.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يُذْكَرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ

“Apabila ada orang yang masuk rumah, kemudian dia mengingat Allah ketika masuk, dan ketika makan, maka setan akan mengatakan (kepada temannya): ‘Tidak ada tempat menginap dan tidak ada makan malam.’ Tapi apabila dia tidak mengingat Allah (bismillah dan jangan lupa ucapkan salam) ketika masuk, maka setan mengatakan: ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’.” (HR. Muslim 2018, Abu Daud 3765 dan yang lainnya)

*3. Baca basmalah ketika tutup pintu*

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan banyak saran agar kita tidak terganggu setan. Salah satunya:

وَأَغْلِقُوا الأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا

“Tutuplah pintu, dan sebutlah nama Allah. Karena setan tidak akan membuka pintu yang tertutup (yang disebut nama Allah).” (HR. Bukhari 3304, Muslim 2012 dan yang lainnya)

*4. Berdoa ketika keluar rumah*

Satu doa ketika keluar rumah. Ringkas, mudah dihafal, tapi khasiatnya besar:

بسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

BISMILLAHI TAWAKKALTU ‘ALALLAAH, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH
Dengan nama Allah aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.

Dalam hadis dinyatakan, siapa yang keluar rumah kemudian dia membaca doa di atas, maka disampaikan kepadanya: Kamu diberi petunjuk, dicukupi dan dilindungi. Maka setan kemudian berteriak:

كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ

“Bagaimana kalian bisa mengganggu orang yang sudah diberi hidayah, dicukupi, dan dilindungi.” (HR. Abu Daud 5095, Turmudzi 3426 dan dishahihkan al-Albani)

Disamping amalan dan dzikir di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan sikap tertentu agar rumahnya dimasuki malaikat dan dihindari setan. Diantara sikap itu adalah menjauhkan rumah dari gambar makhluk bernyawa.

Siapa sangka, ternyata gambar makhluk bernyawa bisa membuat jin dan setan nakal itu semakin betah di rumah kita.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَّ المَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ

“Sesungguhnya malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar.” (HR. Bukhari 3224, Nasai 5348 dan yang lainnya).

Ketika malaikat penebar rahmat tidak memasuki rumah Anda, di saat itulah makhluk lain, yang juga tidak kelihatan, akan menggantikan posisi mereka.

Intinya, hendaklah pemilik rumah baru bersyukur pada Allah atas kediaman baru yang ia peroleh. Jadikanlah rumah baru tersebut sebagai ladang kebaikan dan ibadah serta tempat berdzikir pada Allah. Janganlah jadikan tempat tersebut sebagai tempat kehancuran karena diisi dengan maksiat. Lakukanlah hal-hal di kediaman baru tersebut yang bisa mendatangkan ridho Allah Subhanahu waa Ta'ala. Selamat menempati rumah baru, semoga diberkahi. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Sabtu, 15 Desember 2018

SAMBUTAN WAKIL KEDUA KELUARGA MEMPELAI


*السلام عليكم ورحمة الله وبركاته*

*بسم الله، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله محمد بن عبد الله، أما بعد :*

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat ALLAH Subhanahu wa Ta'ala atas  segala nikmat-Nya yang tak terhingga, dan semoga shalawat serta salam Nya dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabatnya.

*Bapak2, ibu2 dan para undangan yang kami muliakan*

Mengawali sambutan kami mewakili dua keluarga yang sedang bersanding saat ini yaitu *Bapak Munarno dan ibu Umi Riyanti  dengan Puang Mulyana dan ibu Tatik Sumiati.*

Pertama kami memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha PENYAYANG, yang dengan ridho-Nya, kita dapat bersama sama hadir dalam acara Resepsi Penikahan anak-anak beliau yaitu
*RIZKI SAGA PUTRA Putra pertama Bapak Munarno dan ibu Umi Riyanti  dengan Kery Utami putri ketiga dari Bapak Puang Mulyana dan ibu Tatik Sumiati.*

Yang akad nikahnya telah berlangsung pada hari Senin, 03 September 2018 dirumah mempelai wanita, dengan selamat dan lancar sesuai rencana.

Sungguh kami merasa bahagia atas kehadiran Bapak2, Ibu2 dan Saudara saudara para hadirin memenuhi undangan kami turut merayakan pernikahan putra putri kami *RIZKI SAGA PUTRA dengan KERY UTAMI.*

Kami atas nama keluarga besar kedua mempelai mengucapkan banyak terima kasih atas kehadirannya dan mohon ma’af atas kekeliruan dan kekhilafan dalam penghormatan, penerimamaan, dan pelayanan kami kepada bapak2, ibu2 dan para undangan.

Kami sangat menyadari bahwa resepsi pernikahan ini, tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik dan semeriah ini tanpa bantuan dari berbagai pihak, termasuk sanak keluarga, tetangga, teman sejawat, handai tolan termasuk para undangan, khusus kepada segenap  Panitia yang dengan ikhlas meluangkan waktu dan tenaga demi suksesnya acara ini.

Atas kehadiran bapak2, ibu2  kami mengucapkan syukur serta memanjatkan do’a, *"Semoga ALLAH Subhanahu wa Ta'ala  melimpahkan pahala-Nya atas kehadiran dan doa restu bapak2, ibu2 dan hadirin sekalian.

Pada kesempatan inipun kami mohon keikhlasan bapak2 ibu2 dan para undangan untuk mendo’akan pasangan suami isteri anak kami *RIZKI SAGA PUTRA dengan KERY UTAMI.* yang mulai sa’at ini hidup bersama sebagai suami istri.

Semoga senantiasa dalam limpahan kasih sayang dan barokah ALLAH Ta'ala, dikaruniakab keturunan  yang shaleh dan shalehah. Dipanjangkan umur dan jodoh sampai akhir hayat dan dimurahkan rizki halalnya dan sempurna ibadahnya.  Aamiin ya Robbal ‘Aalamiin.     

Akhir kata sekali lagi kami menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang dalam, atas kehadiran, kehormatan dan partisipasi yang diberikan, serta mohon ma’af bila dalam pelayanan kami, terutama hidangan yang kurang memenuhi selera bapak2,  ibu2 serta para undangan. Semua itu merupakan kekurangan dan kelemahan kami.

Akhirnya, marilah kita panjatkan doa kehadirat Allah Ta'ala semoga bimbingan, petunjuk, kemudahan dan keberkahan dari Allah senatiasa menyertai keduanya dan keluarga besarnya.

*بسم الله الرحمن الرحيم*
*الحمد لله رب العالمين*

*Yaa Allah, ya Rohman....*
*Jadikanlah resepsi pernikahan ini pernikahan yang penuh barakah,*
*Menjadi pembuka pintu rahmat bagi kedua mempelai, bagi kedua orang tuanya, bagi keluarganya dan bagi seluruh ummat,*
*Menjadi penyempurna keimanan dan keislamannya,*
*Menjadi tungku tempat mereka menempa sabar dan syukur,*
*Menjadi sekolah tempat mereka belajar menjadi dewasa,*
*Menjadi jalan bagi keduanya menuju cinta-Mu.*

*Yaa Allah, ya Ghoffar*
*Ampuni dosa keduanya, atas kesalahan2 dalam perjalanannya menuju pelaminan ini ya Robb,*
*Atas kesalahan kepada kedua orang tuanya, dan atas kesalahan lainnya,*
*Maafkan segala khilaf mereka, Sucikan hati mereka,*
*Luruskanlah niat mereka,*
*Kuatkan tekad mereka,*
*Bimbing keduanya ke jalan yang Engkau ridhai dan Lindungi mereka dari segala tipu daya syaitan, agar dapat menapaki jalan kehidupan baru ini, di jalan-Mu yang lurus.*

*Ya Allah ya Ahad*
*Satukan hati kedua mempelai ya Allah,*
*Sebagaimana Engkau satukan Adam dan Hawa,*
*Sebagaiman Engkau jadikan telaga kasih sayang antara Rasulullah dan Khadijatul Kubra,*
*Sebagaimana Engkau sematkan cinta kasih yang tulus antara Ali bin Abi Thalib dan Fatimatus Zahra,*

*Ya Allah ya Wadud*
*Jadikanlah kedua mempelai suami Istri yang,*
*Saling mencintai di kala dekatnya,*
*Saling menjaga diri di kala jauhnya,*
*Saling menghibur di kala dukanya,*
*Saling mengingatkan untuk ketaatannya,*
*Saling mendoakan untuk kebaikannya,*
*Serta saling menyempurnakan dalam ibadahnya.*

 *ربنا تقبل منا انك أنت السميع العليم، وتب علينا انك أنت التواب الرحيم*
*ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار*
*وصلى الله على خير خلقه محمد وعلى أله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين*

Sebelum kami akhiri ada sebuah ungkapan indah,
*Kota Metropolitan Jakarta Surabaya,*
*Wis dadi kewajiban bebojoan golek sandang pangan,*
*Sing teko gak teko hajatan mugo mlebu suwargo,*
*Dungakno ananda Saga dan Kery uripe mapan.*

Akhir kata, terima kasih dan mohon maaf

*والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته*

Jumat, 14 Desember 2018

MABOK AGAMA TAPI KRISIS MORAL


Allâh Azza wa Jalla berfirman,

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Ankabût :45)

Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah shalat lima waktu adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar, yang pada hakikatnya adalah membentuk manusia berakhlak mulia.

Salah satu syarat kehidupan manusia yang teramat penting adalah keyakinan (i'tiqad), yang oleh umat islam disebut agama. Agama ini bertujuan untuk mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan jasmani serta selamat dunia hingga akhirat. Dan untuk mencapai kedua ini harus diikuti dengan syarat yaitu percaya dengan adanya Allah Subhanahu wa Ta'ala  Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dikenal pula kata Ad-Diin (الدين) dari bahasa arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Memang agama mengandung ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.

Agama, dalam hal ini adalah Islam (اسلام)  berasal dari kata-kata :
1. Salam (سلام) yang berarti damai dan aman
2. Salamah (سلامة) berarti selamat
3. Istilah islaam (الاسلام) sendiri berarti penyerahan diri secara mutlak kepada Allah SWT untuk memperoleh ridho-Nya dengan mematuhi perintah dan larangan-Nya.

Sehingga seseorang yang beragama dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik semestinya juga memiliki moral yang baik. Salah satu fungsi dari agama adalah penanaman nilai moral dan memperkuat ketaatan terhadap nilai moral yang ada.

Agama dan moralitas merupakan dua kata yang tidak asing di telinga kita. Dalam pemikiran populer agama dan moralitas tidak terpisahkan. Bagaimana kedua hal tersebut berpengaruh dalam kehidupan kita?

Dalam islam, moral disebut dengan akhlak atau perangai, sedang akhlak berasal dari perkataan (al-akhlaqu) yaitu kata jama’ daripada perkataan (al- khuluqu) berarti tabiat, kelakuan, perangai, tingkah laku, muru'ah, adat kebiasaan. Perkataan (al-khulq) ini di dalam Al-Quran terdapat satu ayat dari firman Allah Ta'ala yaitu,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qolam : 4)

Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan kepada kita, baik dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla maupun dalam berakhlak dan bermuamalah dengan sesama makhluk. Tidak seperti kondisi umat manusia saat ini yang sungguh sangat memprihatinkan. Budi pekerti tidak lagi diperhatikan, moral tidak lagi terpelihara dan akhlak mulia tidak menjadi ukuran sehingga eksistensi kehidupan merosot kepada titik yang paling nadir. Akibatnya budaya kekerasan, kedzaliman, kecurangan, penindasan, caci-maki, memfitnah, saling menyalahkan dan berbagai prilaku buruk lainnya melanda  masyarakat di negeri ini. Tegur sapa, sopan santun, simpati dan empati sulit ditemukan. Yang ada hanyalah memanfaatkan kesempitan, kesusahaan dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh Ahmad Syauqi,

إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ # فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا

"Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung pada akhlaknya # Apabila akhlak mereka pudar maka punahlah eksistensinya."

Terlebih di tahun-tahun politik seperti sekarang ini tidak jarang penipuan, kebohongan, kecurangan, kezhaliman, fitnah dan adu domba dengan mengatasnamakan dalih agama, yang pada akhirnya muncul istilah *"Mabok agama tapi krisis moral."* Dan bila dibiarkan dan tidak disadari bersama akan berubah menjadi *"Gila agama, tapi krisis moral."* Agama dipolitisasi sesuai keinginan dengan menghalalkan berbagai macam cara meski melanggar larangan agama demi tercapai ambisi politiknya.

*SIAPAKAH ORANG YANG BENAR BENAR GILA?*

Syaikh Abdullah Al-Ghazali dalam Risalah Tafsir menyampaikan sebuah riwayat (hadits) sebagai berikut،

مر رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم على جماعة فقال: علامَ اجتمعتم؟ فقالوا: يا رسول الله هذا مجنون يُصرع، فاجتمعنا عليه، فقال صلى الله عليه وآله وسلم: ليس هذا بمجنون ولكنه المبتلى، وأضاف: ألا أخبركم بالمجنون حق الجنون؟ قالوا: بلى يا رسول الله! فقال: المتبختر في مشيه، الناظر في عطفيه، المحرّك بمنكبيه، يتمنّى على الله جنّته وهو يعصيه، الذي لا يؤمن شرّه، ولا يرجى خيره، فذلك المجنون وهذا المبتلى ـ

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berjalan melewati sekelompok sahabat yang sedang berkumpul. Lalu beliau bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian berkumpul disini” Para sahabat tersebut lalu menjawab: “Ya Rasulullah, ada orang gila yang sedang mengamuk. Oleh sebab itulah kami ber-kumpul disini.”

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bersabda, “Sesungguhnya  orang  ini tidaklah  gila (al-majnun), tapi orang ini hanya sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, siapakah orang gila yang sebenar-benarnya disebut gila  (al-majnuun haqqul majnuun) “.

Para sahabat lalu menjawab, “Tidak ya Rasulullah. Hanya Allah dan rasul-Nya jualah yang mengetahuinya.”

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, “Orang gila yang sesungguhnya gila (al-majnun haqqul majnun) adalah orang yang berjalan dengan penuh kesombongan; yang membusungkan dadanya; yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan; lalu berharap Tuhan akan memberinya surga; padahal ia selalu berbuat maksiat kepada-Nya. Selain itu orang-orang yang ada di sekitarnya, tidak pernah merasa aman dari kelakuan buruknya. Dan di sisi yang lain, orang juga tak pernah mengharapkan perbuatan baiknya. Nah, orang semacam inilah yang disebut sebagai orang gila yang sebenar-benarnya gila (al-majnuun haqqul majnuun). Adapun orang yang kalian tonton ini hanyalah  sedang mendapat musibah dari Allah.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya dari Anas bin Malik ra)

Maka benar pepatah Arab mengatakan *"Al-Junun Funun" (gila itu bermacam-amacam).*

*Jadi, orang yang merasa paling kaya, dialah orang gila. Orang yang merasa "paling beragama", dialah orang gila. Orang Islam yang merasa "paling Islam", dialah orang gila. Ustadz yang merasa "paling alim", dialah orang gila. Ilmuan yang marasa "paling berilmu" dialah orang gila."* Sebelum masuk pada fase gila, biasanya didahului dengan mabok.

Adakah orang yang mabok agama? Mabok bisa terjadi di dalam hal apa saja. Mabok bahasa Jawa "mendem" yakni kebanyakan. Kalau beragama kebanyakan ya bisa mendem, disebut mabok agama. Ciri-cirinya orang mabok agama di antaranya:

1. Banyak ngomong ke mana-mana.
2. Memaksa orang lain ikut omongannya.
3. Kalau ada yang tidak sefaham dikafirkan.
4. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Jika umat islam sudah mabok agama tetapi krisis moral, ingatlah bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beraabda,

يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الْأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ أو مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللّٰهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّاللّٰهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ قالوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

"Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh apakah lantaran  jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bahkan kalian ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih seperti buih banjir, dan Allâh akan menarik dari hati musuh kalian perasaan takut kepada kalian, lalu Allâh akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn. Mereka bertanya: Wahai Rasûlullâh apakah wahn itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  “Cinta dunia dan benci mati.“ (HR. Ahmad no.22296 dan Abu Daud no. 4297)

Singkatnya, moralitas Islam adalah jalan yang di tuntut Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Al-Quran sebagai pedomannya. Akhlak dalam Islam menjadi penghubung yang erat dengan keimanan seorang muslim. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi adalah sosok yang jauh dari karakter pemarah dan pendendam, walaupun sebelumnya beliau dizalimi oleh kaum musyrikin. Karena penghormatan terhadap musuh ini, Abu Sufyan musuh utama Nabi, dengan sukarela masuk Islam.

Dalam riwayat yang lain, pernah suatu seketika Nabi berdiri untuk menghormati iring-iringan jenazah yang lewat. Seketika sahabat mengingatkan Nabi bahwa yang lewat adalah jenazah Yahudi. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menjawab: “Bukankah ia juga manusia?” Dalam sebuah hadits shahih juga dinyatakan, ”Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah Al-Hanafiyah As-Samhah (yang lurus dan toleran) “. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat.   Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 11 Desember 2018

KAJIAN TENTANG JIHAD; DAKWAH MENYAMPAIKAN KEBENARAN BUKAN DEMONSTRASI DAN PROVOKASI



Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H), bahwa اَلْـجَهْدُ berarti kesulitan dan اَلْـجُهْدُ berarti kemampuan. Kata jihad ( اَلْـجِهَادُ ) diambil dari kata: جَاهَدَ – يُـجَاهِدُ – جِهَادًا (Mufradat Alfazhil Qur'an (hlm. 208)

Menurut istilah (terminologi), arti jihad adalah,

اَلْـجِهَادُ : مُـحَارَبَةُ الْكُفَّارِ وَهُوَ الْمُغَالَبَةُ وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِـيْ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ.

“Jihad adalah memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan, baik berupa perkataan atau perbuatan.” (An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319), karya Ibnul Atsir).

Dikatakan juga,

اَلْـجِهَادُ وَالْمُجَاهَدَةُ: اِسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِـيْ مُدَافَعَةِ الْعَدُوِّ.

“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”

*Jihad ada tiga macam*

1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan setan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.

Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H), “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.”

Istilah jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu, melawan setan, dan melawan orang-orang fasik. Adapun melawan hawa nafsu yaitu dengan belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya, kemudian mengajarkannya. Adapun jihad melawan setan dengan menolak segala syubhat dan syahwat yang selalu dihiasi oleh setan. Jihad melawan orang kafir dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan tangan, lisan, dan hati.

Menasehati penguasa yang zhalim dengan berani mengatakan kebenaran termasuk jihad bahkan semulia-mulianya jihad. Namun dengan catatan di sini, menasehati mereka adalah dengan cara baik, bukan dengan mengumbar aib mereka di hadapan khalayak ramai.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Abu Daud Sulaiman bin Al Asy’ats As Sajistani membawakah hadits ini dalam kitab sunannya pada Bab “Al Amru wa An Nahyu”, yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Abu ‘Isa At Tirmidzi membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan atau hati”. Muhammad bin Yazid Ibnu Majah Al Qozwini membawakan hadits di atas dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.” Begitu pula Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan hadits ini dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran”, beliau sebutkan hadits ini pada urutan no. 194 dari kitab tersebut.

*Demonstrasi Bukan Jihad*

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

المجاهد من جاهد نفسه

“Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ

“Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr Al-Ghifari ra)

قدمتم خير مقدم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه

“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad besar itu?” Beliau bersabda: Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah).

Gejolak unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa ini dipelopori oleh oknum-oknum tertentu.”

Adapula yang berkomentar, “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.” Sedangkan yang lain berkata, “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat.” Sebagian lain justru mendukung mati-matian dan menganggapnya sebagai jihad.

Namun dalam tulisan ini kita tidak menilai mana pendapat pengamat yang benar dan mana yang salah. Tetapi kita berbicara dari sisi apakah demonstrasi ini bisa digunakan sebagai sarana/alat dakwah kepada pemerintah atau tidak? Atau apakah tindakan ini bisa dikatakan sebagai jihad?

*Demonstrasi Pertama Dalam Sejarah Islam*

Kasus terbunuhnya Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu dan timbulnya pemikiran Khawarij sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Utsman radliyallahu ‘anhu adalah berawal dari isu-isu tentang kejelekan Khalifah Utsman yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ di kalangan kaum Muslimin.

Permusuhan kaum Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati janji mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, merendahkan kaum Muslimin, mencerca ajaran Islam, dan banyak lagi (makar-makar busuk mereka). Setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam juz 3 halaman 191 dan 199)

Di tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu ‘anhu di saat kondisi masyarakat mulai heterogen, banyak muallaf dan orang awam yang tidak mendalam keimanannya, mulailah orang-orang Yahudi mengambil kesempatan untuk mengobarkan fitnah.

Amar ma’ruf nahi mungkar menurut kaum Khawarij yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak, memperingatkan kesalahan aparat pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum, dan demonstasi-demonstasi yang semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah.

Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu, peperangan sesama kaum Muslimin, dan terbukanya pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman sampai zaman kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu. (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati fil Fitnati min Riwayat Al Imam Ath Thabari wal Muhadditsin juz 2 halaman 342)

Sebenarnya amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan tameng belaka. Buktinya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda kepada Utsman, “Hai Utsman, nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam –dalam riwayat lain :– Orang-orang munafik ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 6 halaman 75 dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya)

Syaikh Muhammad Amhazurn berkomentar : “Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang *Khawarij tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran akan tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi dibalik tabir syiar perdamaian dan amar ma’ruf nahi mungkar.*

Tidak diketahui di satu jaman pun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi agama Islam dan kaum Muslimin daripada orang-orang munafik.” (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati juz 1 halaman 476)

Inilah hakikat amar ma’ruf nahi mungkar kaum Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang?!

Di jaman ini ternyata ada *Khawarij Gaya Baru* yaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran Khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk rasa, dan sebagainya sebagai alat dan metode dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman Abdul Khaliq yang mengatakan (Al Fushul minas Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 31-32) : “Termasuk metode atau cara Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”

*Cara Menasehati Pemimpin*

Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang zhalim.

Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang zhalim, sesungguhnya kezhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat.

Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.

Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”
(HR. Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229).

*Mentaati Pemimpin Yang Sah*

Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ

“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ.

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847).

Singkatnya, jika ada seorang pemimpin yang zhalim, kita dilarang menghujat/menghina pemimpin tersebut. Sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai berikut,

مَنْ أَهَانَ السُّلْطَانَ أَهَانَهُ اللهُ. رواه الترمذي وقال: حديث حسن

“ Barangsiapa yang menghina seorang penguasa, maka Allah akan menghinakannya.” (HR al-Tirmidzi [2224], dan berkata: “Hadits hasan”).

Hadits ini memberikan pesan:

1) Larangan menghina atau menghujat seorang pemimpin dan anjuran menasehati dan bersabar atasnya.

2) Maksud pemimpin dalam hadits tersebut, adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan dan tanggungjawab terhadap kaum Muslimin seperti, presiden, amir, gubernur, walikota, bupati dan seterusnya.

3) Allah akan menghinakan orang yang menghina pemimpin di dunia, karena telah berusaha menghina seseorang yang diberi kemuliaan oleh Allah.

4) Allah akan menghina orang yang menghina seorang pemimpin di akhirat kelak karena telah durhaka kepada Allah. (Al-Imam Ibnu ‘Illan al-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li-Thuruq Riyadh al-Shalihin, 3/124). Wallohu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 09 Desember 2018

KAJIAN HADITS TENTANG FITNAH AKHIR ZAMAN DARI AHLUL BAIT


*Mengenal Ahlul Bait dan Habaib*

Secara bahasa, kata الأَهْل berasal dari أَهْلاً وَ أُهُوْلاً أَهِلَ – يَأهَلُ = seperti أَهْلُ المْكَاَن berarti menghuni di suatu tempat. أَهْلُ jamaknya adalah أَهْلُوْنَ وَ أَهْلاَتُ وَ أَهَاِلي misal أَهْلُ الإِسْلاَم artinya pemeluk islam, أَهْلُ مَكَّة artinya penduduk Mekah. أَهْلُ الْبَيْت berarti penghuni rumah. Dan أَهْلُ بَيْتِ النَّبي artinya keluarga Nabi yaitu para isrti, anak perempuan Nabi serta kerabatnya yaitu Ali dan istrinya.

Sedangkan menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul Bait bahwa mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga Abbas, keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib, serta para istri beliau dan anak anak mereka.

Sementara “Habib” yang secara tekstual berarti “kekasih” adalah gelar kehormatan yang ditujukan kepada para keturunan Nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa sallam yang tinggal di daerah Lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tenggara; dan Pesisir Swahili, Afrika Timur. *(Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56).*

Lebih spesifik lagi, definisi “keturunan” ini mesti dari keturunan Husein, yakni putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra (putri Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam).

Secara sosiologis dan budaya Indonesia, gelar “Habib” atau yang semakna dengan istilah itu, umumnya dilekatkan untuk orang-orang yang punya Darah Nasab yang bersambung hingga Rasulullah. Secara empirisnya, biasanya dibuktikan dengan silsilah nasab keluarga, yang diakui oleh – perkumpulan semisal- Rabithah Alawiyah. Jadi, intinya adalah di titik Nasab (darah biologis).

Jadi, Habib di kalangan Arab - Indonesia adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat Nabi Muhammad (Bani Hasyim) dan secara khusus dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra (yang berputera Husain dan Hasan) dan Ali bin Abi Thalib. Habib yang datang ke Indonesia mayoritas adalah keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

*Keutamaan Mencintai Ahlul Bait/Habaib*

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,

أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ مِنْ نِعَمِهِ وَأَحِبُّونِي بِحُبِّ اللَّهِ وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي بِحُبِّي

“Cintailah Allah karena nikmat yang diberikan kepada kalian cintailah aku karena kecintaan (kalian) kepada Allah, dan cintailah Ahlul Baitku karena kecintaan (kalian) kepadaku.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala sesuatu ada asasnya, dan asas islam adalah mencintai Rasulullah dan ahli baitnya.” (HR. Tirmidzi [no.3789])

فلو أن رجلا صفن بين الركن والمقام فصلى صام ثم لقى الله وهو مبغض لأهل بيت محمد دخل النار
حديث حسن صحيح على شرط مسلم

“Seandainya seorang beribadah diantara rukun dan maqam (di depan Ka’bah) kemudian dia bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan dia benci pada keluarga Muhammad, niscaya dia akan masuk neraka.” (HR. Al-Hakim)

Lalu, Bagaimana menurut Rasulullah; Apakah *“Yang Dikasihi” olehnya itu maksudnya adalah “Habib”* sebagaimana dalam konteks sosiologis dan budaya Indonesia tersebut?

Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnya [no.5892] dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya [no.3704]) dijelaskan sbb;

عَنْ عُمَيْرِ بْنِ هَانِئٍ الْعَنْسِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ، يَقُولُ : كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم قعودا نذكر الفتن , فأكثر ذكرها حتى ذكر فتنة الأحلاس , فقال قائل : يا رسول الله و ما فتنة الأحلاس ? قال : هي ” . الحديث . و هذا إسناد صحيح رجاله كلهم ثقات رجال البخاري غير العلاء بن عتبة و هو صدوق فتنة الأحلاس هي فتنة هرب و حرب , ثم فتنة السراء دخلها أو دخنها من تحت قدمي رجل من أهل بيتي يزعم أنه مني و ليس مني إنما وليي المتقون , ثم يصطلح الناس على رجل كورك على ضلع , ثم فتنة الدهيماء لا تدع أحدا من هذه الأمة إلا لطمته لطمة , فإذا قيل : انقطعت تمادت يصبح الرجل فيها مؤمنا و يمسي كافرا حتى يصير الناس إلى فسطاطين : فسطاط إيمان لا نفاق فيه و فسطاط نفاق لا إيمان فيه , إذا كان ذاكم فانتظروا الدجال من اليوم أو غد.

Dari ‘Umair ibn Hani Al ‘Ansiy. Ia berkata: Aku mendengar ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Pada suatu hari kami sedang duduk bersama Rasulullah. Beliau memberikan peringatan tentang fitnah-fitnah (ujian besar di akhir zaman) yang banyak bermunculan, sampai beliau menyebutkan Fitnah Ahlas.

Seseorang bertanya : *“Wahai Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah Ahlas?*

Beliau menjawab :  “Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian *FITNAH SARRA’*(karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam prilaku maksiat), yang asapnya dari bawah kaki seseorang dari *AHLI BAIT-ku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang aku kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa."*

Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian Fitnah Duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.

Jika dikatakan : ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut, di dalamnya seorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari men­jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan.

Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya." (HR. Ahmad [no.5892] dan Abu Daud [no.3704])

Kemudian, berkenaan dengan hadits ini, Imam Mula Ali Al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqatul Mafaatih Syarh Misykatul Mashabih menyatakan;

)يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي) أَيْ: فِي الْفِعْلِ وَإِنْ كَانَ مِنِّي فِي النَّسَبِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّ تِلْكَ الْفِتْنَةَ بِسَبَبِهِ، وَأَنَّهُ بَاعِثٌ عَلَى إِقَامَتِهَا ” وَلَيْسَ مِنِّي ” أَيْ: مِنْ أَخِلَّائِي أَوْ مِنْ أَهْلِي فِي الْفِعْلِ ; لِأَنَّ لَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِي لَمْ يُهَيِّجِ الْفِتْنَةَ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ} [هود: 46] ، أَوْ لَيْسَ مِنْ أَوْلِيَائِي فِي الْحَقِيقَةِ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُهُ: ” إِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ “، وَهَذَا أَبْلَغُ مِنْ حَدِيثِ ” آلُ مُحَمَّدٍ كُلُّ تَقِيٍّ”

(Maksudnya) Ia mengaku bagian dariku, karena nyatanya ia bagian dariku dalam hal Nasab. Adapun hasil nyatanya; fitnah tersebut ada karena disebabkan olehnya, dan ia mensupport akan tegaknya fitnah tersebut. Maka, Rasulullah bersabda “laisa minni”, yang artinya; hakekatnya justru ia bukanlah Ahli Baitku (keluargaku). Sebab, jikalau ia benar-benar Ahli Bait Rasulullah, maka tentu tidaklah ia berkontribusi pd adanya fitnah ini.

Terjadinya fitnah sarra’ ini diawali oleh seorang yang secara nasab bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam (Ahlul Bait). Namun perilakunya yang menyebabkan bencana ini menjadikannya tidak bisa dianggap bagian darinya.

Ini persis sebagaiman yang Allah ta’ala firmankan terhadap Nabi Nuh, sebab prilaku anaknya;

إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

"Sesungguhnya ia (anakmu yang durhaka) bukanlah Keluargamu, krna sesungguhnya prilakunya begitu buruk." (Q.S. Huud; 46)

Senada dengan hal itu, sabdanya,

إِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ

"Sesungguhnya Orang-Orang yang Kukasihi hanyalah Al-Muttaqun (Yang Bertakwa)." (HR. Thabrani)

Beberapa waktu lalu dalam kunjungannya ke kediaman Gus Mus, Prof HM. Quraisy Syihab mengatakan bahwa sebutan Habib mempunyai makna orang yang dicintai sekaligus mencintai. Jadi menurut penulis Kitab Tafsir al-Misbah ini, seseorang dengan sebutan Habib tidak hanya ingin dincintai, tetapi juga harus mencintai.

Prof. HM. Quraisy Syihab memberikan penekanan bahwa ada persoalan mendasar terkait sebutan Habib, yaitu akhlak. Terkait dengan akhlak ini, menjadi alasan fundamental bahwa tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut habib.

Dari beberapa literatur, keturunan Nabi dari Sayyidina Husein disebut sayyid, sedangkan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyidah Fatimah binti Muhammad dari hasil pernikahannya dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Habib atau sayyid adalah sebutan atau gelar penghormatan dari masyarakat untuk mereka yang memiliki garis keturunan (nasab) yang bersambung hingga Rasulullah Muhammad Shallallqhu 'alaihi wa sallam. Secara nasab para habib (habaib) itu jelas sangatlah mulia dan umat Islam wajib memuliakan dan menghormati mereka. Merendahkan dan menghina nasab mereka merupakan perbuatan tercela dan berdosa. Tidak memandang rendah atau meremehkan nasab (garis keturunan) habaib kecuali mereka yang berpenyakit hati seperti sombong dan dengki.

Meskipun habaib itu bernasab hingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka juga manusia yang memiliki berbagai kelebihan dan tentu saja kekurangan. Berbeda dari para Nabi dan Rasul, termasuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dijamin oleh Allah terjaga dari perbuatan dosa, maka para habib itu tidak terjaga (ma'shum) dari melakukan kesalahan, maksiat atau dosa.

Ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. yang paling dasar tentang “keistimewaan” di dalam Islam adalah hadits ini,

لا فضل لعربيّ على أعجميّ ولا لعجميّ على عربيّ، ولا لأحمر على أسود ولا لأسود على أحمر إلاّ بالتقوى.

“Tidak ada yang lebih mulia orang Arab atas orang asing, atau orang asing atas orang orang Arab; tidak juga kulit merah atas kulit hitam, atau kulit hitam atas kulit merah, kecuali dengan dengan taqwa.” *(Musnad Imam Ahmad Juz 5, hal. 411)*

Suatu hari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di hadapan keluarganya,

يا بني هاشم لا تأتيني الناس بأعمالهم وتأتوني بأنسابكم

“Wahai Bani Hasyim, janganlah datang kepadaku dengan membawa nasab kalian, sementara manusia datang kepadaku dengan amal mereka,” *(Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Juz 1, hal. 314; Al-Zayla’I, Takhrij Al-Akhbar, Juz 1, hal. 91; Al-Masyhadi, Kanz Al-Daqaiq, Juz 1, hal. 349).*

Tetapi pada beberapa sumber, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan dengan kalimat begini,

لا أغني عنكم من الله شيئاً ،وعنه صلى الله عليه وآله وسلم مَنْ أبطأ به عملُه، لم يُسرع به نسبُه

“Aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah.” Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barang siapa yang amalannya kurang lagi lamban, maka nasabnya tak dapat menutupi kekurangannya.”
*(Al-Jashshash, Ahkam al-Quran, Juz 1. Hal. 1)*

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda,

يا معشر قريش اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا.يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا.ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا.ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا.

”Wahai orang-orang Qurays belilah diri kalian sendiri, saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah Subhanahu wa Ta'ala, wahai Bani Manaf saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah Ta'ala, wahai Abbas bin Abdul Muththalib saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah Ta'ala, wahai Shofiyah bibi Rasulullah, saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari azab Allah, wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah harta sebanyak apa pun dariku, tapi saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari adzab Allah.“ *(HR. Bukhari, Juz 3, hal. 191)*

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

إن أكرمكم عند الله أتقاكم

“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling taqwa.” *(QS. Al-Hujurat 13)*

Kecintaan umat Islam Indonesia kepada para habib (habaib) itu telah mentradisi, khususnya di kalangan warga NU. Barangkali tidak ada penghormatan di negara lain kepada habaib yang bisa melibihi penghormatan warga NU yang kadangkala, bahkan terkesan berlebihan.

Sebaliknya, kita jangan pernah melontarkan sekerat pujian kepada habaib yang jahil, yang sering kali tertipu oleh perasaannya sendiri, yang tidak punya bashirah dalam beragama, tidak punya pengetahuan dan keyakinan kuat, karena pujian itu pasti merusak hatinya dan itu hanya menambah keangkuhannya.

Sesungguhnya nasab semata tidaklah bermanfaat dan tidak meninggikan martabat seseorang bila tidak diiringi oleh ketakwaan. Bila nasab orang yang mulia itu tidak mampu menunjukkan kemuliaan jiwa seperti para pendahulunya, maka patutkah seseorang itu hanya membangga-banggakan nasab sepanjang hayatnya? Sesungguhnya yang paling mulia menurut Allah hanyalah yang paling takwa kepada-Nya. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻