Minggu, 09 Desember 2018
KAJIAN HADITS TENTANG FITNAH AKHIR ZAMAN DARI AHLUL BAIT
*Mengenal Ahlul Bait dan Habaib*
Secara bahasa, kata الأَهْل berasal dari أَهْلاً وَ أُهُوْلاً أَهِلَ – يَأهَلُ = seperti أَهْلُ المْكَاَن berarti menghuni di suatu tempat. أَهْلُ jamaknya adalah أَهْلُوْنَ وَ أَهْلاَتُ وَ أَهَاِلي misal أَهْلُ الإِسْلاَم artinya pemeluk islam, أَهْلُ مَكَّة artinya penduduk Mekah. أَهْلُ الْبَيْت berarti penghuni rumah. Dan أَهْلُ بَيْتِ النَّبي artinya keluarga Nabi yaitu para isrti, anak perempuan Nabi serta kerabatnya yaitu Ali dan istrinya.
Sedangkan menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul Bait bahwa mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga Abbas, keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib, serta para istri beliau dan anak anak mereka.
Sementara “Habib” yang secara tekstual berarti “kekasih” adalah gelar kehormatan yang ditujukan kepada para keturunan Nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi wa sallam yang tinggal di daerah Lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tenggara; dan Pesisir Swahili, Afrika Timur. *(Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56).*
Lebih spesifik lagi, definisi “keturunan” ini mesti dari keturunan Husein, yakni putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra (putri Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam).
Secara sosiologis dan budaya Indonesia, gelar “Habib” atau yang semakna dengan istilah itu, umumnya dilekatkan untuk orang-orang yang punya Darah Nasab yang bersambung hingga Rasulullah. Secara empirisnya, biasanya dibuktikan dengan silsilah nasab keluarga, yang diakui oleh – perkumpulan semisal- Rabithah Alawiyah. Jadi, intinya adalah di titik Nasab (darah biologis).
Jadi, Habib di kalangan Arab - Indonesia adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang merupakan kerabat Nabi Muhammad (Bani Hasyim) dan secara khusus dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra (yang berputera Husain dan Hasan) dan Ali bin Abi Thalib. Habib yang datang ke Indonesia mayoritas adalah keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.
*Keutamaan Mencintai Ahlul Bait/Habaib*
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,
أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ مِنْ نِعَمِهِ وَأَحِبُّونِي بِحُبِّ اللَّهِ وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي بِحُبِّي
“Cintailah Allah karena nikmat yang diberikan kepada kalian cintailah aku karena kecintaan (kalian) kepada Allah, dan cintailah Ahlul Baitku karena kecintaan (kalian) kepadaku.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala sesuatu ada asasnya, dan asas islam adalah mencintai Rasulullah dan ahli baitnya.” (HR. Tirmidzi [no.3789])
فلو أن رجلا صفن بين الركن والمقام فصلى صام ثم لقى الله وهو مبغض لأهل بيت محمد دخل النار
حديث حسن صحيح على شرط مسلم
“Seandainya seorang beribadah diantara rukun dan maqam (di depan Ka’bah) kemudian dia bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan dia benci pada keluarga Muhammad, niscaya dia akan masuk neraka.” (HR. Al-Hakim)
Lalu, Bagaimana menurut Rasulullah; Apakah *“Yang Dikasihi” olehnya itu maksudnya adalah “Habib”* sebagaimana dalam konteks sosiologis dan budaya Indonesia tersebut?
Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnya [no.5892] dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya [no.3704]) dijelaskan sbb;
عَنْ عُمَيْرِ بْنِ هَانِئٍ الْعَنْسِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ، يَقُولُ : كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم قعودا نذكر الفتن , فأكثر ذكرها حتى ذكر فتنة الأحلاس , فقال قائل : يا رسول الله و ما فتنة الأحلاس ? قال : هي ” . الحديث . و هذا إسناد صحيح رجاله كلهم ثقات رجال البخاري غير العلاء بن عتبة و هو صدوق فتنة الأحلاس هي فتنة هرب و حرب , ثم فتنة السراء دخلها أو دخنها من تحت قدمي رجل من أهل بيتي يزعم أنه مني و ليس مني إنما وليي المتقون , ثم يصطلح الناس على رجل كورك على ضلع , ثم فتنة الدهيماء لا تدع أحدا من هذه الأمة إلا لطمته لطمة , فإذا قيل : انقطعت تمادت يصبح الرجل فيها مؤمنا و يمسي كافرا حتى يصير الناس إلى فسطاطين : فسطاط إيمان لا نفاق فيه و فسطاط نفاق لا إيمان فيه , إذا كان ذاكم فانتظروا الدجال من اليوم أو غد.
Dari ‘Umair ibn Hani Al ‘Ansiy. Ia berkata: Aku mendengar ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Pada suatu hari kami sedang duduk bersama Rasulullah. Beliau memberikan peringatan tentang fitnah-fitnah (ujian besar di akhir zaman) yang banyak bermunculan, sampai beliau menyebutkan Fitnah Ahlas.
Seseorang bertanya : *“Wahai Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah Ahlas?*
Beliau menjawab : “Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian *FITNAH SARRA’*(karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam prilaku maksiat), yang asapnya dari bawah kaki seseorang dari *AHLI BAIT-ku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang aku kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa."*
Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian Fitnah Duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.
Jika dikatakan : ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut, di dalamnya seorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari menjadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan.
Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya." (HR. Ahmad [no.5892] dan Abu Daud [no.3704])
Kemudian, berkenaan dengan hadits ini, Imam Mula Ali Al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqatul Mafaatih Syarh Misykatul Mashabih menyatakan;
)يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي) أَيْ: فِي الْفِعْلِ وَإِنْ كَانَ مِنِّي فِي النَّسَبِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّ تِلْكَ الْفِتْنَةَ بِسَبَبِهِ، وَأَنَّهُ بَاعِثٌ عَلَى إِقَامَتِهَا ” وَلَيْسَ مِنِّي ” أَيْ: مِنْ أَخِلَّائِي أَوْ مِنْ أَهْلِي فِي الْفِعْلِ ; لِأَنَّ لَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِي لَمْ يُهَيِّجِ الْفِتْنَةَ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ} [هود: 46] ، أَوْ لَيْسَ مِنْ أَوْلِيَائِي فِي الْحَقِيقَةِ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُهُ: ” إِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ “، وَهَذَا أَبْلَغُ مِنْ حَدِيثِ ” آلُ مُحَمَّدٍ كُلُّ تَقِيٍّ”
(Maksudnya) Ia mengaku bagian dariku, karena nyatanya ia bagian dariku dalam hal Nasab. Adapun hasil nyatanya; fitnah tersebut ada karena disebabkan olehnya, dan ia mensupport akan tegaknya fitnah tersebut. Maka, Rasulullah bersabda “laisa minni”, yang artinya; hakekatnya justru ia bukanlah Ahli Baitku (keluargaku). Sebab, jikalau ia benar-benar Ahli Bait Rasulullah, maka tentu tidaklah ia berkontribusi pd adanya fitnah ini.
Terjadinya fitnah sarra’ ini diawali oleh seorang yang secara nasab bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam (Ahlul Bait). Namun perilakunya yang menyebabkan bencana ini menjadikannya tidak bisa dianggap bagian darinya.
Ini persis sebagaiman yang Allah ta’ala firmankan terhadap Nabi Nuh, sebab prilaku anaknya;
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
"Sesungguhnya ia (anakmu yang durhaka) bukanlah Keluargamu, krna sesungguhnya prilakunya begitu buruk." (Q.S. Huud; 46)
Senada dengan hal itu, sabdanya,
إِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ
"Sesungguhnya Orang-Orang yang Kukasihi hanyalah Al-Muttaqun (Yang Bertakwa)." (HR. Thabrani)
Beberapa waktu lalu dalam kunjungannya ke kediaman Gus Mus, Prof HM. Quraisy Syihab mengatakan bahwa sebutan Habib mempunyai makna orang yang dicintai sekaligus mencintai. Jadi menurut penulis Kitab Tafsir al-Misbah ini, seseorang dengan sebutan Habib tidak hanya ingin dincintai, tetapi juga harus mencintai.
Prof. HM. Quraisy Syihab memberikan penekanan bahwa ada persoalan mendasar terkait sebutan Habib, yaitu akhlak. Terkait dengan akhlak ini, menjadi alasan fundamental bahwa tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut habib.
Dari beberapa literatur, keturunan Nabi dari Sayyidina Husein disebut sayyid, sedangkan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyidah Fatimah binti Muhammad dari hasil pernikahannya dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Habib atau sayyid adalah sebutan atau gelar penghormatan dari masyarakat untuk mereka yang memiliki garis keturunan (nasab) yang bersambung hingga Rasulullah Muhammad Shallallqhu 'alaihi wa sallam. Secara nasab para habib (habaib) itu jelas sangatlah mulia dan umat Islam wajib memuliakan dan menghormati mereka. Merendahkan dan menghina nasab mereka merupakan perbuatan tercela dan berdosa. Tidak memandang rendah atau meremehkan nasab (garis keturunan) habaib kecuali mereka yang berpenyakit hati seperti sombong dan dengki.
Meskipun habaib itu bernasab hingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka juga manusia yang memiliki berbagai kelebihan dan tentu saja kekurangan. Berbeda dari para Nabi dan Rasul, termasuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dijamin oleh Allah terjaga dari perbuatan dosa, maka para habib itu tidak terjaga (ma'shum) dari melakukan kesalahan, maksiat atau dosa.
Ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. yang paling dasar tentang “keistimewaan” di dalam Islam adalah hadits ini,
لا فضل لعربيّ على أعجميّ ولا لعجميّ على عربيّ، ولا لأحمر على أسود ولا لأسود على أحمر إلاّ بالتقوى.
“Tidak ada yang lebih mulia orang Arab atas orang asing, atau orang asing atas orang orang Arab; tidak juga kulit merah atas kulit hitam, atau kulit hitam atas kulit merah, kecuali dengan dengan taqwa.” *(Musnad Imam Ahmad Juz 5, hal. 411)*
Suatu hari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di hadapan keluarganya,
يا بني هاشم لا تأتيني الناس بأعمالهم وتأتوني بأنسابكم
“Wahai Bani Hasyim, janganlah datang kepadaku dengan membawa nasab kalian, sementara manusia datang kepadaku dengan amal mereka,” *(Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Juz 1, hal. 314; Al-Zayla’I, Takhrij Al-Akhbar, Juz 1, hal. 91; Al-Masyhadi, Kanz Al-Daqaiq, Juz 1, hal. 349).*
Tetapi pada beberapa sumber, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan dengan kalimat begini,
لا أغني عنكم من الله شيئاً ،وعنه صلى الله عليه وآله وسلم مَنْ أبطأ به عملُه، لم يُسرع به نسبُه
“Aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah.” Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barang siapa yang amalannya kurang lagi lamban, maka nasabnya tak dapat menutupi kekurangannya.”
*(Al-Jashshash, Ahkam al-Quran, Juz 1. Hal. 1)*
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يا معشر قريش اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا.يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا.ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا.ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا.
”Wahai orang-orang Qurays belilah diri kalian sendiri, saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah Subhanahu wa Ta'ala, wahai Bani Manaf saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah Ta'ala, wahai Abbas bin Abdul Muththalib saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah Ta'ala, wahai Shofiyah bibi Rasulullah, saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari azab Allah, wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah harta sebanyak apa pun dariku, tapi saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari adzab Allah.“ *(HR. Bukhari, Juz 3, hal. 191)*
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
إن أكرمكم عند الله أتقاكم
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling taqwa.” *(QS. Al-Hujurat 13)*
Kecintaan umat Islam Indonesia kepada para habib (habaib) itu telah mentradisi, khususnya di kalangan warga NU. Barangkali tidak ada penghormatan di negara lain kepada habaib yang bisa melibihi penghormatan warga NU yang kadangkala, bahkan terkesan berlebihan.
Sebaliknya, kita jangan pernah melontarkan sekerat pujian kepada habaib yang jahil, yang sering kali tertipu oleh perasaannya sendiri, yang tidak punya bashirah dalam beragama, tidak punya pengetahuan dan keyakinan kuat, karena pujian itu pasti merusak hatinya dan itu hanya menambah keangkuhannya.
Sesungguhnya nasab semata tidaklah bermanfaat dan tidak meninggikan martabat seseorang bila tidak diiringi oleh ketakwaan. Bila nasab orang yang mulia itu tidak mampu menunjukkan kemuliaan jiwa seperti para pendahulunya, maka patutkah seseorang itu hanya membangga-banggakan nasab sepanjang hayatnya? Sesungguhnya yang paling mulia menurut Allah hanyalah yang paling takwa kepada-Nya. Wallahu a'lam
Demikianlah Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar