MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 31 Maret 2016

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMINUM KOPI DAN MEROKOK


Hukum asal dari meminum kopi adalah mubah, sebab hukum asal dari segala sesuatu adalah halal, karena pada hakekatnya semua yg diciptakan Alloh adalah untuk kemanfaatan manusia, sebagaimana firman Alloh dalam surat al an’am;
 
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
 
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya “. (Q.S. Al An’am :145)
 
Namun, hukum ini dapat berubah karena hal2 diluar kopi tersebut, seperti karena kondisi orang yg meminumnya. Semisal, orang yg menderita suatu penyakit, dan salah satu pantangannya adalah tidak boleh minum kopi, maka hukum minum kopi baginya bisa menjadi makruh atau bahkan haram tergantung dari seberapa besar efek negatif setelah meminumnya, dan bisa juga hukumnya berubah menjadi sunat apabila dengan minum kopi akan menjadikan pikirannya lebih berkonsentrasi saat belajar atau bekerja, bahkan bisa menjadi wajib, semisal bagi orang yg belum mengerjakan sholat tapi dia ngantuk berat, maka hukum meminum kopi menjadi wajib apabila cara itu dengan meminum kopi ia tidak mengantuk lagi dan bisa mengerjakan sholat.
 
Intinya, hukum meminum kopi dapat berubah darihukum asalnya, yaitu mubah tergantung dari kondisi orangnya, waktunya dan tujuannya.
 
Disebutkan dalam Kitab Al-Fatawi Al-Kubro Al-Fiqhiyah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami juz 4 hal. 38-39
 
( باب الشرب والتعزير ) ( سئل ) رحمه الله عن جماعة يشربون القهوة مجتمعين لا على وجه منكر بل يذكرون الله تعالى ويصلون على النبي صلى الله عليه وسلم بسبب أنها تعين على السهر في الخير فهل يحرم شربها لقول بعض إنها مسكرة أم لا وهل يعمل بقول الجم الغفير أنها غير مسكرة ولا مخدرة أم بقول عدد قليل بخلافه وهل يعمل بقول مستعملها بأنها غير مسكرة ولا مخدرة أم بقول غيرهم وهل تقاس على غيرها مما يحرم أو لا ؟ ( فأجاب ) بأنه يحل شربها ؛ لأن الأصل في الأعيان الحل ؛ لأنها مخلوقة لمنافع العباد ولآية ( قل لا أجد في ما أوحي إلي محرما ) ؛ ولأنها غير مسكرة ولا مخدرة فقد أخبرني جمع ممن أثق بهم” – ص 39 -” من طلبة العلم ممن استعملها أنها لا تسكر ولا تخدر ويقدم إخبار الجم الغفير على إخبار العدد القليل ، وإخبار مستعملها على إخبار غيرهم ولا يصح قياسها على غيرها في التحريم إلا إن وجد فيها علة حكم المقيس عليه من إسكار أو تخدير أو إضرار ، وقد تقدم أن ذلك غير موجود فيها ثم رأيت فتوى لبعض علماء اليمن وهو القاضي أحمد بن عمر المزجد اليمني أنها لا تغير العقل ، وإنما يحصل بها نشاط ، وروحنة وطيب خاطر لا ينشأ عنه ضرر بل ربما كان معونة على زيادة العمل فيتجه أن لها حكمه فإن كان ذلك العمل طاعة فتناولها طاعة أو مباحا فمباح فإن للوسائل حكم المقاصد ا هـ .
 
(Bab minuman dan hukuman) (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ra ditanya) tentang sekelompok peminum kopi secara bersama-sama tidak untuk kemungkaran, tetapi mereka mengingat Alloh dan bersholawat kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam karena dengan meminum kopi menghilangkan kemalasan dalam melakukan kebaikan, maka apakah haram meminumnya seperti sebagian orang mengatakan kopi memabukkan atau tidak? Apakah boleh mengikuti perkataan Al-Jim Al-Ghofir bahwa kopi tidak memabukkan dan tidak berbahaya? Ataukah mengikuti perkataan kopi tidak memabukkan jika sedikit? Dan apakah boleh mengikuti perkataan boleh meminumnya karena tidak memabukkan dan tidak mmbahayakan? Apakah kopi haram atau tidak?
(Maka Dijawab) Meminum kopi adalah halal, sebab hukum asal dari segala sesuatu adalah halal, karena pada hakekatnya semua yg diciptakan Alloh adalah untuk kemanfaatan manusia, sebagaimana firman Alloh dalam surat al an’am;
 
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
 
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya “. (Q.S. Al An’am :145)
 
Karena sesungguhnya kopi tidak memabukkan dan tidak membahayakan dan sungguh aku telah memilih dari kebanyakan pendapat mereka yg kuat.”. – Hal. 39 -” Dari para penuntut ilmu termasuk orang yg meminumnya sesungguhnya kopi tidak memabukkan atau membahayakan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya oleh Al-Jim Al-Ghofir jika dalam jumlah yg sedikit dan menggunakan penjelasan yg lain tidaklah sah mengqiyaskan (menyamakan) penjelasan yg lainnya untuk mengharamkan kecuali didapat alasan hukum qiyas karena memabukkan, membahayakan dan merusakkan. Sungguh di awal tidak ditemukan penjelasan mengenai hal itu. Kemudian aku melihat fatwa dari beberapa ilmuwan Yaman menilai Ahmed bin Umar Al-Mazjadi Al-Yamani sesungguhnya kopi itu tidak merubah pikiran, tetapi menghasilkan semangat dan spiritualitas dan tidak menimbulkan bahaya tetapi dimungkinkan membantu untuk meningkatkan kinerja maka hikmah yg dihadapinya, jika itu adalah amal ketaatan maka ketaatan yg diperolehnya atau perbuatan yg diperbolehkan maka dibolehkan karena suatu pertanyaan berarti tergantung hukum tujuannya.
 
Dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamiyah Wa Adillatuh Imam Wahbah Az-Zuhaili juz 6 hal. 166-167
 
القهوة والدخان : سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة فاجاب للوسائل حكم المقاصد فان قصد للاعانة علي قربة كانت قربة او مباح فمباحة او مكروه فمكروهة او حرام فمحرمة. وأيده بعض الحنابلة علي هذا التفصيل وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهي ويجته حل شرب الدخان والقهوة. والأولي تركها لكل ذي مروءة (الفقه الاسلامي وأدلته وهبة الزحيلي ج 6 ص 166-167)
 
“Kopi dan rokok : Al-Abab As-Shafi’i ditanya tentang masalah kopi. Maka dia menjawab pertanyaan tentang kopi berarti tergantung hukum tujuan yg dimaksud. Jika dengan kopi bertujuan untuk membantu taqorrub (mendekatkan diri kepada Alloh) maka hukumnya taqorrub, atau untuk menolong hal yg mubah maka hukumnya mubah, untuk menolong hal yg makruh maka hukumnya makruh, untuk menolong hal yg haram maka hukumnya haram. Dia didukung oleh beberapa pendapat ulama Hambali pada penjelasan ini, Syeikh Mar’i bin Yusuf Al-Hanbali pemilik kitab Ghoyah Al-Muntaha mengatakan HALAL MENGHISAP ROKOK DAN MEMINUM KOPI. Yang paling utama untuk meninggalkannya (meminum kopi dan merokok) tergantung masing-masing individu.” (Al-Fiqh Al-Islamiyah Wa Adillatuhu Wahbah Az-Zuhaili juz 6 hal. 166-167)
 
Dalam Kitab Tadzkiirun Naas hal 177 dan kitab At-Tadzkir Al-Musthafa li Aulaadi Al-Musthofa Wa Ghairohum Min Man Ijtabaahullooh Wasthofa karangan Alhabib Abu Bakar al-Atthas bin Abdullah bin alwy bin Zain Alhabsyi hal. 117 atau di hal. 119 beda percetakan beda nomor
 
هذه هي الصوفية في حضرموت – للشيخ علي بابكر (ص: 56) وذكر رضي الله عنه عن شيخه الحبيب أبي بكر بن عبد الله العطاس أنه قال : كان السيد أحمد علي بحر القديمي يجتمع مع رسول الله يقظة ، فقال ك يا رسول الله أريد أن أسمع منك حديثاً بلا واسطة . فقال ك صلى الله عليه وسلم أحدثك بثلاثة أحاديث : الأول ، ما زال ريح قهوة البن في فم الإنسان تستغفر له الملائكة ، الثاني ، من اتخذ سبحة ليذكر الله بها كتب من الذاكرين الله كثيراً ، إن ذكر بها أو لم يذكر ، الثالث، من وقف بين يدي ولي لله حي أو ميت فكأنما عبد الله في زوايا الأرض حتى يتقطع إرباً أرباً.
 
قال سيدي رضي الله عنه : وكان الحبيب أبو بكر بن عبد الله العطاس يقول : إن المكان الذي يُترك خالياً يسكنون فيه الجن ، والمكان الذي تفعل به القهوة لا يسكنونه الجن ولا يقربون
 
Dalam As-Shufiyah Fii Hadramaut oleh Syeikh Ali Baabkar hal. 56 telah menyebutkan Alhabib Ahmad bin Hasan Al-Aththos dari Alhabib Abu Bakar bin Abdulloh Al-Aththos sesungguhnya beliau berkata, ‘Adalah Syid Ahmad bin Ali Al-Qodimi bertemu dengan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa salam dalam keadaan terjaga. Maka beliau berkata, ‘Wahai Rosululloh aku ingin mendengarkan sebuah hadits darimu langsung dengan tanpa perantara.’ Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa salam bersabda, “Aku akan mengajarkanmu tiga hadits :
1. Selama bau biji kopi ini masih tercium aromanya dimulut seseorang maka selama itu pula para malaikat beristighfar (memintakan ampunan) untukmu
2. Barang siapa yg menyimpan tasbih untuk dibuat berdzikir maka Allah akan mencatatnya sbg orang yg banyak berdzikir, baik ia menggunakan tasbihnya atau tidak
3. Barang siapa yg duduk bersama waliyullah yg hidup atau sudah wafat maka pahalanya sama saja dgn ia menyembah Allah di seluruh penjuru bumi.
 
Habib Abu Bakar bin Abdulloh Al-Athos berkata :
“Sesungguhnya tempat/rumah jika tinggalkan dalam keadaan sepi/kosong/suwung maka para jin akan enempatinya,,,,sedangkan rumah/suatu tempat yg dibiasakan membuat hidangan wedang kopi maka para jin tidak akan menempatinya dan tidak akan bisa mendekat alias mengganggu .
 
Kita perhatikan lagi ucapan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ;
 
ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار وقد اختلف في حلها اولا وحاصل ما رجحه ابن حجر في شرح العباب بعد ان ذكر أنها حدثت في اول قرن العاشر . ان للوسائل حكم المقاصد ،فمهما طبخت للخير كانت منه وبالعكس فافهم الأصل
 
“Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli shofwah (orang orang yg bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia tuhan, penghapus kesusahan. sementara para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya alhasil yg di unggulkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad 10 hijriyah memandang dari Qoidah ‘bagi perantara menjadi hukum tujuannya’ selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya maka pahami asalnya.”
 
Dalam Diwan Syeikh Bamakhromah beliau berkata ; “Dalam gelas kerinduan itu membuat orang yg meminumnya berada dalam tingkatan para perindu dan memakaikannya pakaian ahli pecinta dalam kedekatan kepada Alloh bahkan jika seandainya diminum oleh seorang Yahudi maka niscaya hatinya akan mendapatkan tarikan hidayah dan inayah Tuhan.”
 
Dan Al-Habib Abdurrohman Shofi Assegaf mengatakan ; “Ini semua menunjukkan bahwa kopi yg di siapkan oleh para sufi ini esensinya untuk menarik Hati kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala maka pahamilah isyarah dan bedakan antara setiap argumentasi”
 
Imam Ahmad Assubki juga berkata ;
 
قال احمد بن علي السبكى ; واما منافعها يعني القهوه تقريبا … فالنشاط للعبادة والأشغال المهمة وهضم الطعام وتحليل الرياح والقولنج والبلغم كثيرا
 
“Kopi manfa’atnya yaitu kira kira untuk membuat semangat ibadah dan pekerjaan penting juga menghancurkan makanan, agar tidak masuk angin dan menghilangkan dahak yg banyak.”
 
Adapun yg mengkritik haram mengenai penamaan qohwah dalam bahasa arab (kopi) dianggap mirip dengan nama khomer maka Ulama memberikan jawaban dalam Kitab Inasus Shofwah sebagai berikut ; “Penamaan qohwah bagi sebagian orang dianggap menyerupai nama khomer, tentu tuduhan ini tidak mendasar karena tidak harus kesamaan nama juga menunjukkan sama maknanya, bahkan para sholihin membuktikan bahwa kopi digunakan untuk beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.”
 
Dalam Tarikh Ibnu Toyyib dikatakan
 
يا قهوة تذهب هم الفتى # انت لحاوى العلم نعم المراد شراب اهل الله فيه الشفا # لطالب الحكمة بين العباد حرمها الله على جاهل # يقول بحرمتها بالعناد
 
“Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda, kau bagi para pencari ilmu merupakan paling enaknya keinginan. kopi adalah minuman orang yg dekat pada Alloh didalamnya ada kesembuhan bagi pencari hikmah diantara manusia. Kopi diharamkan bagi orang bodoh dan mengatakan keharamannya dengan keras kepala.” (Umdatus Shofwah Hal, 174)
 
Kopi menurut beberapa penelitian memberikan beberapa efek positif bagi kesehatan, antara lain;
1. Kandungan antioksidan dalam kopi bisa membuat harapan hidup lebih panjang, ini merupakan hasil penelitian Institut di AS, selain itu kopi juga bisa mengurangi kadar merokok.
2. Mengurangi beberapa resiko timbulnya penyakit. Meminum kopi 1-3 cangkir setiap hari, menurut penelitian di Universitas Harvard akan mengurangi resiko diabetes, penyakit parkinson, kanker usus dan kanker payudara.
3. Menambah kebugaran. Kandungan endorfin pada kopi membantu menjaga kebugaran, sedangkan kafein bisa meningkatkan tenaga.
4. Kemampuan kognitif lebih baik. Kopi membantu menjaga fungsi otak untuk bekerja lebih baik. Kafein dalam kopi menghalangi plak beta-amyloid di otak, sehingga otak bisa berfungsi lebih baik.
5. Mengurangi resiko stroke. Penelitian di Korea dan Finlandia menemukan hasil bahwa minum kopi satu cangkir setiap hari bisa mengurangi terjadinya stroke. Wallohu a’lam bis-Showab
 
Demikian Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin
 
والله الموفق الى اقوم الطريق

Jumat, 18 Maret 2016

KAJIAN TENTANG MENAMBAHKAN NAMA SUAMI DIBELAKANG NAMA ISTRI, HARAMKAH?



Penggunaan nisbah (nisbat) pada praktiknya adalah memberikan tambahan keterangan spesifik pada nama seseorang, yang mana tambahan tersebut menunjukan tempat asal, suku, atau keturunan. Asalnya nisbah adalah istilah tata bahasa untuk membuat kata benda menjadi kata sifat dengan menambahkan akhiran -iy (-ii) atau -iyyah. Misalnya, kata ‘Arabii (عربي) artinya "Arab, berhubungan dengan Arab, Orang Arab".

Nama dalam tatabahasa Arab memiliki patron, umumnya satu kata diikuti nama ayah, nama kakek, begitu seterusnya ke atas. Sehingga untuk membedakan satu orang dengan lainnya yang bernama sama, maka diberikan tambahan penjelasan spesifik, yaitu nisbah.
Nisbah yg menunjukkan tempat lahir, tempat asal, status pernikahan, status keturunan, atau tempat menetap (jika pindah dari kota asalnya), atau tempat di mana dia terkenal disana.
·         Al-Batawi, berhubungan dengan Kota Batavia (Jakarta). Misal: Si Doel Al-Batawi, artinya Doel yg berasal dari Jakarta.
·         Al-Baghdadi, berhubungan dengan Kota Baghdad. Misal: Khatib Al-Baghdadi, artinya Khatib dari/di Baghdad.
·         An-Nawawi, berhubungan dengan Kota Nawa. Misal: Imam Yahya An-Nawawi, artinya Seorang Imam yang bernama Yahya yang berasal dari Kota Nawa.
·         Al-Bukhari, berhubungan dengan Kota Bukhara. Misal: Imam Al-Bukhari, artinya Seorang Imam yang berasal dari Kota Bukhara.
·         Fatimah Ahmad, berhubungan dengan tali pernikahan. Misal: Fatimah istrinya Ahmad menjadi Fatimah Ahmad, atau
·         Aisyah binti Yahya, berhubungan dengan masalah keturunan (nasab). Misal Aisyah putrinya Pak Yahya menjadi Aisyah binti Yahya dll.

Seseorang dapat menggunakan lebih dari satu nisbah untuk lebih menjelaskan. Misal: menyebutkan kota asalnya, sukunya, profesinya sekaligus. Contohnya, Ibrahim bin Muhammad Al-Qurasyi, Al-Makki, Ash-Shabuni, Al-Maliki (Ibrahim anak Muhammad dari Suku Quraisy, asal kota Mekkah, pengusaha Sabun, pengikut mazhab Imam Malik).

Berawal dari ikhwan salafi wahabi Indonesia yg gandrung (mengidolakan) ulama wahabi Saudi melalui fatwanya dibawah ini yg mengusik ketenangan muslim Indonesia terkait fatwa gegabah berikut ini :

فتاوى اللجنة الدائمةالسؤال الثالث من الفتوى رقم ( 18147 )
س : قد شاع في بعض البلدان نسبة المرأة المسلمة بعد الزواج إلى اسم زوجها أو لقبه، فمثلا تزوجت زينب زيدا، فهل يجوز لها أن تكتب: (زينب زيد)، أم هي من الحضارة الغربية التي يجب اجتنابها والحذر منها؟

ج : لا يجوز نسبة الإنسان إلى غير أبيه، قال تعالى: { ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ } (1) وقد جاء الوعيد الشديد على من انتسب إلى غير أبيه. وعلى هذا فلا يجوز نسبة المرأة إلى زوجها كما جرت العادة عند الكفار، ومن تشبه بهم من المسلمين

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس
بكر أبو زيد … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز آل الشيخ … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Tanya :
Telah umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan berhati-hati dengannya?

Jawab :
Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]

Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’. Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Wakil : Abdul Aziz Alu Syaikh, Anggota : Abdulloh bin ghudayyan, Sholih al-Fauzan, Bakr Abu Zaid.

Memang Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang nama seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan di dalam Al-Quran keharaman hal ini :

ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5)

Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”[HR. Bukhari, Shahih Bukhari Kitab Faraid, Bab “Barang siapa yang menisbatkan kepada selain bapaknya” jilid 4 hal 15 hadits no. 6766. dan Muslim]

وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْ2599)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR Ibnu Majah)

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا ليْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Tidaklah seseorang menyandarkan nasab kepada selain ayahnya, sedang dia mengetahuinya, melainkan dia telah kafir. Barang siapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang bukan haknya maka dia bukan dari golongan kami, dan hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya di Neraka. Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kafir atau dia berkata : ‘Hai musuh Allah!’ padahal orang itu tidak demikian, niscaya ucapannya itu kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih. Ini adalah lafazh Muslim)

Dari Watsilah bin al-Asqa’, Rasulullah saw. bersabda, “Termasuk kedustaan terbesar adalah menisbatkan seseorang kepada selain ayahnya…” (HR. Bukhari).

عن ابي ذار رضي الله عنه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من ادعى الى غير ابيه وهو يعلمه الا كفر

Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang itu memanggil orang lain dengan nama selain ayahnya melainkan ia telah kufur.” (HR. Bukhari)

Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal jannatu „alaihi haramum“. Orang yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga.

Penjelasan melalui referensi diatas adalah larangan tentang penisbatan NASAB kepada selain ayah kandungnya dan bukan larangan terkait penisbatan selain masa. Jadi harus dibedakan nisbat masa dengan Yg bukan masa. Artinya jika nisbat selain masa untuk menjelaskan tempat kelahiran, tempat tinggal atau status perkawinan itu hukumnya BOLEH.

Penisbatan status perkawinan telah dicontohkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala sbb:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ (١٠)وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (١١)

Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), "Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman istri Fir'aun, ketika dia berkata, "Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahrim : 10-11)

Terkadang seseorang juga dinisbatkan kepada ibunya meskipun nama ayahnya diketahui, seperti Ismail ibnu Ulayyah. Dapat pula dengan hubungan pernikahan, seperti dalam ayat: " اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ /imra`atu Nuh dan imra`atu Luth" (at-Tahrîm: 10) dan ayat: " اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ /imra`atu Fir'aun" (at-Tahrîm: 11).

Makna asli imra`ah adalah perempuan, sehingga makna asli dari kata-kata tersebut adalah "perempuan Nuh", "perempuan Luth" dan "perempuan Fir'aun". Namun ketika kata "perempuan" ini disandingkan dengan nama lelaki yang merupakan suaminya, maka maksudnya adalah istrinya.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri radliyallahu a’nh bahwa

أَنَّ زَيْنَبَ امْرَأَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَاءَتْ تَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْكَ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيَلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ؛ ائْذَنُوا لَهَا, فَأُذِنَ لَهَا

Zainab istri Ibnu Mas'ud datang kepada beliau dan meminta izin untuk bertemu. Lalu salah seorang yang ada di rumah berkata, "Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu." "Zainab siapa?" tanya beliau. "امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ
istri Ibnu Mas'ud." Lalu beliau berkata, "Ya, persilahkan dia masuk."

Kesimpulannya, tidak boleh sama sekali menyematkan nama dengan "bin" atau "binti" kepada selain ayah kandung. Dan larangan ini disepakati oleh ulama sejagad raya ini. Jadi kalau si Ahmad nama ayahnya ialah Hamdan, maka menjadi haram kalau dia menyematkan nama setelah "bin"-nya dengan selain Hamdan. 

Karena "bin" atau "binti" ialah kata yang menunjukkan nasab. Kalau melanggar ini maka ini yang membuat kerancuan sangat fatal. kalau tidak makai "bin" atau "binti" yaa menjadi tidak masalah, karena itu bukan menunjukkan nasab. Toh para pendahulu kita dari banyak ulama juga menyematkan di belakang namanya dengan bukan nama ayah kandungnya. 

Seperti Imam Abu Hamid Al-Ghozali, "Al-Ghozali" bukanlah nama ayahnya melainkan nama daerah kelahirannya. Yang haram kalau itu memakai kata pemisah "bin", karena memang itu bukan ayahnya. Ini larangan yang disepakati oleh ulama sejagad raya. Dan kalau menyematkan dibelakang nama dengan bukan "bin", yaa menjadi tidak masalah. 

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa tidak dilarang kalau memanggil seseorang dengan sebutan "anak". Yang dalam bahasa Arab disebut dengan "Bunayya", (anakku)

Ini tidak dilarang jikalau maksudnya untuk sebutan kasih sayang dan bukan penetapan nasab. (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al-Ahzab ayat 5)

Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya terkait penisbatan nama suami dibelakang nama istri semoga bermanfa’at. Aamiin


والله الموفق الى اقون الطريق