Penggunaan nisbah (nisbat) pada praktiknya adalah
memberikan tambahan keterangan spesifik pada nama seseorang, yang mana tambahan
tersebut menunjukan tempat asal, suku, atau keturunan. Asalnya nisbah adalah
istilah tata bahasa untuk
membuat kata benda menjadi kata sifat dengan menambahkan akhiran -iy (-ii) atau
-iyyah. Misalnya, kata ‘Arabii (عربي)
artinya "Arab, berhubungan dengan Arab, Orang Arab".
Nama dalam tatabahasa
Arab memiliki patron, umumnya satu kata diikuti nama ayah, nama kakek, begitu
seterusnya ke atas. Sehingga untuk membedakan satu orang dengan lainnya yang
bernama sama, maka diberikan tambahan penjelasan spesifik, yaitu nisbah.
Nisbah yg
menunjukkan tempat lahir, tempat asal, status pernikahan, status keturunan, atau tempat menetap (jika pindah dari kota
asalnya), atau tempat di mana dia terkenal disana.
·
Al-Batawi,
berhubungan dengan Kota Batavia (Jakarta). Misal: Si Doel Al-Batawi, artinya
Doel yg berasal dari Jakarta.
·
Al-Baghdadi,
berhubungan dengan Kota Baghdad. Misal: Khatib Al-Baghdadi, artinya Khatib
dari/di Baghdad.
·
An-Nawawi,
berhubungan dengan Kota Nawa. Misal: Imam Yahya An-Nawawi,
artinya Seorang Imam yang bernama Yahya yang berasal dari Kota Nawa.
·
Al-Bukhari,
berhubungan dengan Kota Bukhara. Misal: Imam Al-Bukhari, artinya Seorang Imam
yang berasal dari Kota Bukhara.
·
Fatimah Ahmad, berhubungan dengan tali pernikahan. Misal: Fatimah istrinya
Ahmad menjadi Fatimah Ahmad, atau
·
Aisyah binti Yahya, berhubungan dengan masalah keturunan (nasab). Misal
Aisyah putrinya Pak Yahya menjadi Aisyah binti Yahya dll.
Seseorang dapat menggunakan
lebih dari satu nisbah untuk lebih menjelaskan. Misal: menyebutkan kota
asalnya, sukunya, profesinya sekaligus. Contohnya, Ibrahim bin Muhammad
Al-Qurasyi, Al-Makki, Ash-Shabuni, Al-Maliki (Ibrahim anak Muhammad dari Suku
Quraisy, asal kota Mekkah, pengusaha Sabun, pengikut mazhab Imam Malik).
Berawal dari ikhwan salafi
wahabi Indonesia yg gandrung (mengidolakan) ulama wahabi Saudi melalui fatwanya
dibawah ini yg mengusik ketenangan muslim Indonesia terkait fatwa gegabah
berikut ini :
فتاوى اللجنة الدائمةالسؤال الثالث من الفتوى رقم ( 18147 )
س : قد شاع في بعض
البلدان نسبة المرأة المسلمة بعد الزواج إلى اسم زوجها أو لقبه، فمثلا تزوجت زينب
زيدا، فهل يجوز لها أن تكتب: (زينب زيد)، أم هي من الحضارة الغربية التي يجب
اجتنابها والحذر منها؟
ج : لا يجوز نسبة
الإنسان إلى غير أبيه، قال تعالى: { ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ } (1) وقد جاء الوعيد الشديد على من انتسب إلى غير أبيه. وعلى هذا فلا
يجوز نسبة المرأة إلى زوجها كما جرت العادة عند الكفار، ومن تشبه بهم من المسلمين
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … نائب
الرئيس … الرئيس
بكر أبو زيد … صالح الفوزان … عبد الله بن
غديان … عبد العزيز آل الشيخ … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Tanya :
Telah umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah
menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya:
Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab
Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan
berhati-hati dengannya?
Jawab :
Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]
Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan
kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan
dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang
menyerupai mereka dari kaum muslimin.
وبالله التوفيق، وصلى
الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’. Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Wakil : Abdul Aziz Alu Syaikh,
Anggota : Abdulloh bin ghudayyan, Sholih al-Fauzan, Bakr Abu Zaid.
Memang Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di
belakang nama seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan di dalam
Al-Quran keharaman hal ini :
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah
mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah,
dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5)
Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ
وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya
padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan
baginya surga”[HR. Bukhari, Shahih Bukhari Kitab Faraid, Bab “Barang siapa yang
menisbatkan kepada selain bapaknya” jilid 4 hal 15 hadits no. 6766. dan Muslim]
وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ
أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْ2599)
Dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya
kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia
seluruhnya.” (HR Ibnu Majah)
Dari Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ
يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا ليْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا،
وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ،
أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Tidaklah
seseorang menyandarkan nasab kepada selain ayahnya, sedang dia mengetahuinya,
melainkan dia telah kafir. Barang siapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang bukan
haknya maka dia bukan dari golongan kami, dan hendaklah ia bersiap-siap untuk
menempati tempat duduknya di Neraka. Barang siapa yang memanggil seseorang
dengan kafir atau dia berkata : ‘Hai musuh Allah!’ padahal orang itu tidak
demikian, niscaya ucapannya itu kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq
‘alaih. Ini adalah lafazh Muslim)
Dari Watsilah
bin al-Asqa’, Rasulullah saw. bersabda, “Termasuk kedustaan terbesar adalah
menisbatkan seseorang kepada selain ayahnya…” (HR. Bukhari).
عن ابي ذار رضي الله عنه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال: من ادعى الى غير ابيه وهو يعلمه الا كفر
Dari Abu Dzar
r.a. bahwa ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seseorang itu memanggil orang lain dengan nama selain ayahnya
melainkan ia telah kufur.” (HR. Bukhari)
Dalam hadist di
atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain
ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz
“fal jannatu „alaihi haramum“. Orang yang tidak boleh masuk surga adalah orang
yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah
kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang
yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga.
Penjelasan melalui referensi diatas adalah
larangan tentang penisbatan NASAB kepada selain ayah kandungnya dan bukan
larangan terkait penisbatan selain masa. Jadi harus dibedakan nisbat masa dengan
Yg bukan masa. Artinya jika nisbat selain masa untuk menjelaskan tempat
kelahiran, tempat tinggal atau status perkawinan itu hukumnya BOLEH.
Penisbatan status perkawinan telah dicontohkan
oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala sbb:
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا
تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا
عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
(١٠)وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ
قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ
فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (١١)
“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan
istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di
antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya,
tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa)
Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), "Masuklah kamu berdua ke
neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman
istri Fir'aun, ketika dia berkata, "Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku
sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahrim :
10-11)
Terkadang seseorang juga dinisbatkan kepada ibunya meskipun
nama ayahnya diketahui, seperti Ismail ibnu Ulayyah. Dapat pula dengan
hubungan pernikahan, seperti dalam ayat: " اِمْرَأَةَ
نُوحٍ وَاِمْرَأَةَ لُوطٍ /imra`atu Nuh dan imra`atu Luth"
(at-Tahrîm: 10) dan ayat: " اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ
/imra`atu Fir'aun" (at-Tahrîm: 11).
Makna asli imra`ah adalah perempuan, sehingga
makna asli dari kata-kata tersebut adalah "perempuan Nuh",
"perempuan Luth" dan "perempuan Fir'aun". Namun ketika kata
"perempuan" ini disandingkan dengan nama lelaki yang merupakan
suaminya, maka maksudnya adalah istrinya.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri radliyallahu a’nh bahwa
أَنَّ زَيْنَبَ امْرَأَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَاءَتْ تَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْكَ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِبِ؟ فَقِيَلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ؛ ائْذَنُوا لَهَا, فَأُذِنَ لَهَا
Zainab istri Ibnu Mas'ud datang kepada beliau dan meminta izin untuk bertemu. Lalu salah seorang yang ada di rumah berkata, "Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu." "Zainab siapa?" tanya beliau. "امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ istri Ibnu Mas'ud." Lalu beliau berkata, "Ya, persilahkan dia masuk."
Kesimpulannya, tidak boleh sama sekali
menyematkan nama dengan "bin" atau "binti" kepada selain ayah kandung. Dan
larangan ini disepakati oleh ulama sejagad raya ini. Jadi kalau si Ahmad nama
ayahnya ialah Hamdan, maka menjadi haram kalau dia menyematkan nama setelah "bin"-nya dengan
selain Hamdan.
Karena "bin" atau "binti" ialah kata yang menunjukkan nasab. Kalau melanggar ini maka ini yang membuat kerancuan sangat fatal. kalau tidak makai "bin" atau "binti" yaa menjadi tidak masalah, karena itu bukan menunjukkan nasab. Toh para pendahulu kita dari banyak ulama juga menyematkan di belakang namanya dengan bukan nama ayah kandungnya.
Seperti Imam Abu Hamid Al-Ghozali, "Al-Ghozali" bukanlah nama ayahnya melainkan nama daerah kelahirannya. Yang haram kalau itu memakai kata pemisah "bin", karena memang itu bukan ayahnya. Ini larangan yang disepakati oleh ulama sejagad raya. Dan kalau menyematkan dibelakang nama dengan bukan "bin", yaa menjadi tidak masalah.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa tidak dilarang kalau memanggil seseorang dengan sebutan "anak". Yang dalam bahasa Arab disebut dengan "Bunayya", (anakku)
Ini tidak dilarang jikalau maksudnya untuk sebutan kasih sayang dan bukan penetapan nasab. (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al-Ahzab ayat 5)
Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya terkait penisbatan nama suami dibelakang nama istri semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقون الطريق
Tidak ada komentar:
Posting Komentar