MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 02 Maret 2016

KAJIAN TENTANG BACAAN AL-QUR’AN MELALUI KASET, RADIO DAN SEJENISNYA


Pertanyaan :
Assalamualaikum wr wb Ustad... di RT lingkungan tempat tinggal saya semula selain giliran ronda malam tdk ada lagi pertemuan2 warga Alhamdulillah sdh 3 bln ini sdh berjaln acara rutin tahlil dan yasin bulanan berawal dr usul salah satu warga Dan dlm pertemuan terakhir ada yg usul selain baca tahlil dan yasin yaitu ada sesi shering masalh agama....ok Nah untuk bln dpn insyaallah membahas masalah tersebut. Apa hukumnya dan bolehkah?
1. HUKUMNYA nyetel kaset ngaji tartil di rumah (terangilah rumahmu dg bacaan Al Qur’an)....
2. Nyetel kaset tahlil di atas makam alm/ah?....
3. Wudhu di dlm kamar mandi (bukan di bak mandinya) krn di dlmnya ada WC
4. Tentang setelah wudhu tersentuh istri
MOHON PENCERAHANNYA BESERTA DALIL/REFERENSINYA
NB: Tknis pengajiannya BULAN INI kt kumpulkan soal2 dr jamaah bln BERIKUTNYA kt Share jawabannya. Di majlis kt tdk ada kiyainya....setengah2 Suwon Maaf menganggu
Jawaban :
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Akhi fillah yg dirahmati Allah Subhanahu Kwa Ta’ala
1. Mendengarkan Al-Qur’an melalui kaset, radio atau rekaman yang lain, pernah menjadi tema pembahasan pada Mukamar NU ke-26. Dalam Muktamar tersebut diputuskan bahwa Al-Qur’an yg didengar dari Kaset itu sama dengan Al-Qur’an yg didengar dari Jamadat (benda-benda mati), maka tidak dihukumi Al-Qur’an. Jadi, boleh mendengarkannya atau tidak mendengarkannya. Salah satu rujukannya adalah Kitab Al Fatawa Asy-Syar’iyah karangan Hasanain Makhluf, juz 1 hal 288-289 ;
MADZHAB HANAFI
وَقَدْ نَصَّ الْحَنَفِيَّةُ إِنْ سَمِعَ آيَةَ السَّجْدَةِ مِنَ الطَّيْرِ كَالْبَبْغَاءِ لاَ يَجِبُ عَلَيْهِ السَّجْدَةُ فِي الْقَوْلِ الْمُخْتَارِ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ قِرَآءَةً بَلْ مُحَاكَةً لِعَدَمِ التَّمْيِـيْزِ
“Ulama Hanafiyah menjelaskan, jika seseoang mendengar ayat sajadah dari burung seperti Beo, menurut pendapat yang terpilih, dia tidak wajib sujud (tilawah) karena bukan bacaan yg sebenarnya, namun sekedar kicauan yg tidak dimengerti“.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa orang yg stay-on seharian mendengar bacaan Al-Qur’an via radio tanpa menyimaknya tidak berdosa.
SYEKH ABDUL QADIR AL-AHDAALI
Suara yg didengar dari piringan hitam atau kaset sama dengan suara Al-Qur’an yg didengar dari jamadaat, maka tidak di hukumi Al-Qur’an (Kitab al-Anwaar al-Syuruuq fii Ahkaam as-Shunduq Hal. 31), Syekh Abdul Qadiir Al-Ahdaali membolehkan mendengarkan piringan hitam dengan istilah laa ba’sa bihi (tidak ada masalah dengannya) beliau mendengarkan ini dengan syairnya :
وقد سئلت عن سماع طربه * فقلت بحثا انه لاباءس به
“Aku pernah ditanya tentang mendengarkan alat musik, maka aku jawab sesuai dengan penelitian, yg demikian tidak mengapa”
SYEKH MUHAMMAD ALI AL-MALIKI
Merekam Al-Qur’an dalam kaset atau piringan hitam dalam menggunakan selanjutnya itu tidak bisa lepas dari unsur menghina atau merendahkan martabat Al-Qur’an, karenanya merekam Al-Qur’an dalam kaset atau piringan hitam sebagaimana yg maklum hukumnya haram, juga mendengarkan Al-Qur’an dari padanya. (Kitab al-Anwaar al-Syuruuq fii Ahkaam as-Shunduq Hal. 31),
Mengenai bacaan Al-Qur’an yg keras melalui pengeras suara sehingga mengganggu orang lain, ulama menghukumi dilarang. Dalam kitab Al-Adzkar hal. 198 disebutkan:
جاءت آثارٌ بفضيلة رفع الصوت بالقراءة، وآثارٌ بفضيلة الإِسرار؛ قال العلماءُ: والجمع بينهما أن الإِسرار أبعد من الرياء، فهو أفضل في حقّ مَن يخاف ذلك، فإن لم يَخَفِ الرياءَ، فالجهر أفضل، بشرط ألا يؤذي غيره من مصلٍّ، أو نائم، أو غيرهما
“Banyak hadits yg menerangkan keutamaan membaca Al-Qur’an dengan keras dan hadits yg menerangkan membaca Al-Qur’an dengan suara lirih. Ulama mengatakan : hasilnya adalah bahwa melirihkan suara lebih dapat menghindarkan diri dari riya, maka hal itu lebih utama bagi orang yg khawatir riya. Namun, jika tidak khawatir riya maka mengeraskan suaranya lebih utama dengan catatan tidak mengganggu orang lain seperti orang sholat, orang tdur atau yg lain.
Penjelasan tersebut sesuai dengan hadits nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg terdapat dalam Musnad Imam Ahmad ;
أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّو نَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَا تُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ: أَنَّ الْمُصَلِّي يُنَا جِيْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَىَ بَعْضٍ بِالْقِرْ آنِ.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui para sahabatnya, dan saat itu, mereka sedang menunaikan shalat, sedangkan suara bacaan mereka saling meraung satu sama lain. Maka beliau pun bersabda: "Seorang yg menunaikan shalat, pada hakekatnya sedang bermunajat kepada Rabb-nya 'Azza wa Jalla. Karena itu, hendaknya setiap orang mencermati doa yg dibacanya, dan janganlah salah seorang di antara kalian mengeraskan bacaan Al-Qur’an terhadap saudaranya yg lain."
Dengan demikian, kita harus bisa melihat situasi dan kondisi. Jika memungkinkan untuk membaca Al-Qur’an dengan suara keras maka bacalah dengan suara keras, tapi jika tidak memungkinkan maka bacalah dengan suara lirih.
2. Pertanyaan kedua ini memiliki dua pengertian dan dua jawaban tentunya, yaitu pertama tentang hukum tahlil, dan kedua menfa’at bacaan tahlil via kaset.
Pertama; Hukum Tahlilan
Kata Tahlilan berasal dari bahasa Arab tahliil (تَهْلِيْلٌ) dari akar kata: هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا
yg berarti mengucapkan kalimat: لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. رواه مسلم
Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
Dalil-dalil tentang kebolehan dzikir bersama
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ مُعَاوِيَةُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا أَجْلَسَكُمْ ؟. قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا. قَالَ: آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ؟ قَالُوا: وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ. قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلَائِكَةَ . رواه أحمد و مسلم و الترمذي و النسائي
Dari Abu Sa'id al-Khudriy radliallahu 'anhu, Mu'awiyah berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar menuju halaqah (perkumpulan) para sahabatnya, beliau bertanya: "Kenapa kalian duduk di sini?". Mereka menjawab: "Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah dan memujiNya sebagaimana Islam mengajarkan kami, dan atas anugerah Allah dengan Islam untuk kami". Nabi bertanya kemudian: "Demi Allah, kalian tidak duduk kecuali hanya untuk ini?". Jawab mereka: "Demi Allah, kami tidak duduk kecuali hanya untuk ini". Nabi bersabda: "Sesungguhnya aku tidak mempunyai prasangka buruk terhadap kalian, tetapi malaikat Jibril datang kepadaku dan memberi kabar bahwasanya Allah 'Azza wa Jalla membanggakan tindakan kalian kepada para malaikat". (HR. Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi dan An-Nasa`i).
Jika kita perhatikan hadits ini, dzikir bersama yang dilakukan para sahabat tidak hanya sekedar direstui oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi Nabi juga memujinya, karena pada saat yang sama Malaikat Jibril memberi kabar bahwa Allah 'Azza wa Jalla membanggakan kreatifitas dzikir bersama yg dilakukan para sahabat ini kepada para malaikat.
Sekarang marilah kita perhatikan hadits berikut ini
عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ أَنَّهُ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ. رواه مسلم
Dari Al-Agharr Abu Muslim, sesungguhnya ia berkata: Aku bersaksi bahwasanya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudzriy bersaksi, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tidak duduk suatu kaum dengan berdzikir bersama-sama kepada Allah 'Azza wa Jalla, kecuali para malaikat mengerumuni mereka, rahmat Allah mengalir memenuhi mereka, ketenteraman diturunkan kepada mereka, dan Allah menyebut mereka dalam golongan orang yg ada disisiNya". (HR. Muslim)
Kedua; Menyetel bacaan Tahlil via kaset dan manfa’atnya
Sebagaimana ulama hanafiyah menjelaskan terkait bacaan Al-Qur’an diatas bahwa tidak duhukumi sebagai Al-Qur’an jika mendengarkan melalui kaset dan sejenisnya. Demikian halnya bacaan Al-Qur’an ayat2 dan surat2 yg ada dalam rangkaian tahlil juga hukumnya sama. Artinya bacaan tahlil via kaset bermanfa’at untuk yg mendengarkan demi menguatkan hafalan dan mendengarkan ayat2 Al-Qur’an demi menguatkan keimanan, hal itu boleh saja dilakukan tetapi tidak bermanfa’at buat jenazah/mayit. Karena menurut para ulama baca’an Al-Qur’an maupun kalimah2 thoyyibah tidak akan tersampai kepada jenazah/mayit manakala dalam do’a tidak dibacakan kalimah taushil (ditujukan/disampaikan) seperti contoh do’a berikut:
اللهم تقبل واوصل ثواب ما قرأناه من القرأن العظيم ......
Allohumma taqobbal wa aushil tsawaba ma qoro’nahu minal Qur’anil ‘azhim.....
(Ya Alloh, terimalah dan sampaikanlah apa yg kami bacakan untuknya (mayit) dari Al-Qur’an yg agung....) Sementara bacaan tahlil melalui kaset tentunya tidak dibarengi dengan do’a2 tersebut.
Terkait dengan tahlilan Ibnu Taimiyah yg diakui sebagai imam atau panutan golongan yg anti tehadap tahlilan dengan jelas memberi nilai baik pada tradisi tahlilan seperti apa yg terjadi prakteknya di sekitar kita.
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم؟” فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك) وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibnu Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”. Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).
Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
3. Hukum wudhu di kamar mandi (MCK)
Hukumnya BOLEH TETAPI MAKRUH berwudhu' berikut bacaan sunnahnya didalam WC, dengan bacaan di dalam hati untuk menghormati bacaan2 tersebut. Sebab kita dalam situasi dan kondisi tempat yg kotor (WC).
Kitab Al-Adzkar
يكره الذكر و الكلام حال قضاء الحاجة، سواء كان فى الصحراء او فى البنيان، سواء فى ذلك جميع الاذكار و الكلام ، الا كلام الضرورة حتى قال بعض اصحابنا اذا عطس لا يحمد الله تعالى، ولا يشمت عاطسا ولا يرد السلام ولا يجيب المؤذن و ويكون المسلم مقصورا لا يستحق جوابا و الكلام بهذا كله مكروه كراهة تنزيه ولا يحرم فان عطس فحمد الله تعالى بقلبه و لم يحرك لسانه فلا باس، و كشلك يفعل حال الجماع. الاذكار ٢٨
"Dimakruhkan membaca dzikir dan bercakap-cakap ketika buang hajat, baik ditanah lapang atau bangunan. Kemakruhan ini berlaku untuk semua jenis dzikir dan ucapan. Kecuali ucapan karena keterpaksaan. Bahkan sebagian ulama berpendapat ketika bersin,maka dilarang membaca Alhamdulillah, tidak boleh mendoakan orang yg bersin, tidak boleh menjawab salam, menjwab adzan. Apabila ini dilakukan maka hukumnya makruh tanzih tdk haram. Adapun misal dia bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillah tetapi sebatas hati saja, tanpa diucapkan maka tidak jadi mengapa. Hukum makruh ini juga berlaku ketika sedang berhubungan badan.
Kitab Tuhfah Al-Muhtaj
(وَلَا يَتَكَلَّمُ) أَيْ يُكْرَهُ لَهُ إلَّا لِمَصْلَحَةٍ تَكَلَّمَ حَالَ خُرُوجِ بَوْلٍ أَوْ غَائِطٍ وَلَوْ بِغَيْرِ ذِكْرٍ أَوْ رَدِّ سَلَامٍ لِلنَّهْيِ عَنْ التَّحَدُّثِ عَلَى الْغَائِطِوَلَوْ عَطَسَ حَمِدَ بِقَلْبِهِ فَقَطْ كَمُجَامَعٍ، فَإِنْ تَكَلَّمَ وَلَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ فَلَا كَرَاهَةَ أَوْ خَشِيَ وُقُوعَ مَحْذُورٍ بِغَيْرِهِ لَوْلَا الْكَلَامُ وَجَبَ
Kitab Hasyiyah As-Syarwani
(قَوْلُهُ: أَيْ يُكْرَهُ) إلَى قَوْلِهِ كَمُجَامَعٍ فِي النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي (قَوْلُهُ: إلَّا لِمَصْلَحَةٍ) عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ وَشَرْحِ بَافَضْلَ إلَّا لِضَرُورَةٍ كَإِنْذَارِ أَعْمَى فَلَا يُكْرَهُ بَلْ قَدْ يَجِبُ اهـ.
(قَوْلُهُ أَوْ رَدِّ سَلَامٍ) مِنْ عَطْفِ الْخَاصِّ (قَوْلُهُ: حَمِدَ بِقَلْبِهِ) وَهَلْ يُثَابُ عَلَى ذَلِكَ أَمْ لَا فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَقْرَبُ الْأَوَّلُ وَلَا يُنَافِيهِ مَا فِي الْأَذْكَارِ لِلنَّوَوِيِّ مِنْ أَنَّ الذِّكْرَ الْقَلْبِيَّ بِمُجَرَّدِهِ لَا يُثَابُ عَلَيْهِ لِأَنَّ مَحَلَّهُ فِيمَا لَمْ يُطْلَبْ وَهَذَا مَطْلُوبٌ فِيهِ بِخُصُوصِهِ ع ش (قَوْلُهُ فَلَا كَرَاهَةَ) إذْ لَا يُكْرَهُ الْهَمْسُ وَلَا التَّنَحْنُحُ مُغْنِي عِبَارَةُ ع ش.
Kitab Al-Iqna’
(وَلَا يتَكَلَّم على الْبَوْل وَالْغَائِط) أَي يسكت حَال قَضَاء الْحَاجة فَلَا يتَكَلَّم بِذكر وَلَا غَيره أَي يكره لَهُ ذَلِك إِلَّا لضَرُورَة كإنذار أعمى فَلَا يكره بل قد يجب لخَبر لَا يخرج الرّجلَانِ يضربان الْغَائِط كاشفين عَن عورتهما يتحدثان فَإِن الله يمقت على ذَلِك رَوَاهُ الْحَاكِم وَصَححهُ وَمعنى يضربان يأتيان والمقت البغض وَهُوَ إِن كَانَ على الْمَجْمُوع فبعض موجباته مَكْرُوه فَلَو عطس حمد الله تَعَالَى بِقَلْبِه وَلَا يُحَرك لِسَانه أَي بِكَلَام يسمع بِهِ نَفسه إِذْ لَا يكره الهمس وَلَا التنحنح وَظَاهر كَلَامهم أَن الْقِرَاءَة لَا تحرم حِينَئِذٍ
4. Tentang setelah berwudhu tersentuh istri
Persentuhan kulit laki2 dewasa dengan wanita dewasa yg bukan mahram (termauk juga istri) tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu. Dalam kitab Al-Iqna pada Hamisyi Al-Bujairimi juz I, halaman 171 sebagai berikut:
..والرابع من نواقض الوضوء لمــــس الرجل ببشرته المرأة الأجنبية أى بشرتها من غير حائل.
Keempat membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa lain (yg bukan muhrim) tanpa ada penghalang.
Begitu juga yang dijelaskan dalam hadits dari Muadz bin Jabal.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاه رجل فقال: يارسول الله ما تقول فى رجل لقي امرأة لايعرفها وليس يأتى الرجل من امرأته شيئا إلاأتاه منها غير أنه لم يجامعها قال فأنزل الله عز وجل هذه الأية أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل, قال فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : توضاء ثم صل..! قال معاذ فقلت يارسول الله أله خاصة أم للمؤمنين عامة؟ فقال:بل للمؤمنين عامة (رواه أحمد والدارقطنى
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan seorang lelaki lalu berkata: ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang lelaki bertemu dengan perempuan yg tak dikenalnya. Dan mereka bertemu tidak seperti layaknya suimi-istri, tidak juga bersetubuh. Namun, hanya itu saja (bersetubuh) yg tidak dilakukannya. Kata Rawi Maka turunlah ayat أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل . Rawi bercerita: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: berwudhulah kamu kemudian sembahyanglah. Muadz berkata ”wahai Rasulullah apakah perintah ini hanya untuk orang ini, atau umum untuk semua orang mu’min? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “untuk semua orang mu’min’ (HR. Ahmad dan Daruquthni)
Ada juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya:
قبلة الرجل امرأته وجسه بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أوجسها بيده فعليه الوضوء (رواه مالك فى الموطأ والشافعى )
Sentuhan tanagn seorang laki2 terhadap istrinya dan kecupannya termasuk pada bersentuhan (mulamasah). Maka barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan, wajiblah atasnya berwudhu (HR. Malik dalam Muwattha’ dan as-Syafi’i)
Hadits ini jelas menerangkan bahwa bersentuhan dengan istri itu membatalkan wudhu seperti halnya batalnya wudhu karena mencium istri sendiri.
Seperti yg ditekankan dalam salah satu riwayat Ibnu Haitam, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:
اللمس ما دون الجماع
“Yang dimaksud dengan sentuh (allamsu) adalah selain jima’.”
Ini berarti bersentuhan dengan istri tanpa penghalang baik sengaja atapun tidak membatalkan wudhu. Lebih jelas lagi riwayat At-Thabrani:
يتوضأ الرجل من المباشرة ومن اللمس بيده ومن القبلة
“Berwudhulah lelaki karena berlekatan, bersentuhan dengan tangan dan karena ciuman.” (HR. At-Thabrani). Wallahu a’lam bis-Shawab
Demianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan terkait pertanyaan diatas dan semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

Tidak ada komentar:

Posting Komentar