MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 31 Oktober 2016

KAJIAN TENTANG HUKUM NAMA KUN-YAH “ABU, UMMU ATAU IBNU” MENJADI IDENTITAS SESEORANG


Nama adalah lafazh dimana seseorang dipanggil dengannya. Islam memberikan perhatian sangat besar terhadap masalah ini, hingga Allah pun menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an : 
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا 
“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” [QS. Maryam : 7].
 Hingga kelak di hari kiamat, manusia akan dipanggil dengan nama yang mereka dipanggil dengannya semasa di dunia. 
عن أبي الدرداء قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “إنكم تُدعون يوم القيامة بأسمائكم وأسماء آبائكم فأحسنوا أسماءكم”.
 Dari Abu Dardaa’, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian” [HR. Abu Dawud no. 4948, Ad-Daarimiy no. 2736, Al-Baihaqi 9/306
 Banyak akun di dunia maya (FB, WA, BBM, dll) terutama di facebook yang menggunakan nama kunyah seperti Abu Faiz, Abu Ahmad, Abu Jahal dan Abu Lahab (belum ada yg memakai), Ummu Jamil dan Abu-Abu yang lain (contoh), dan mereka udah ngerasa paling islam dan paling nyunnah hehehe…. Padahal itu tdak lebih baik daripada menggunakan Nama Asli (tanpa kunyah), malah sebaliknya.
 Seperti yang disebutkan oleh Imam Ibnul Arabi dalam kitab Ahkamul Qur’an ketika menafsirkan Surat Al-Lahab:
 الثالث أن الاسم أشرف من الكنية ، فحطه الله عن الأشرف إلى الأنقص ؛ إذ لم يكن بد من الخيار عنه ، ولذلك دعا الله أنبياءه بأسمائهم ، ولم يكن عن أحد منهم.
 Ketiga: Nama asli (seperti Muhammad, Isa, Musa dll) itu lebih mulia daripada nama kunyah (nama dengan Abu … dan Ummu …). Alasannya karena dalam ayat ini demi menghinakan Abu Lahab, ia tidak disebut dengan nama aslinya namun dengan nama kunyahnya. Sedangkan para Nabi dalam Al Quran selalu disebut dengan nama aslinya (seperti Muhammad, Isa, Musa, Yusuf, Yunus dll) dan tidak pernah mereka dipanggil dengan nama kunyahnya. (Ahkamul Quran, Ibnul ‘Arobi, 8/145)
 Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah mengatakan,
 ومن التعريف المبهم ما تسرب إلى قلب الجزيرة العربية من الأفاقين، إذا قيل له: من المتكلم؟ قال: أبو فلان.
 فما عرفنا هذا من طريقة السلف، أنهم يعرفون الناس علي ذواتهم بالكني، وإنما يكون التعريف بجر النسب: فلان الفلاني.
كانوا يكتنون ليدعوهم الطالب بها.
 هذا ما لم يشتهر الشخص بالكنية حتي قامت مقام الاسم، ومنها في الصحابة رضي الله عنهم أبو بكر، أبو ذر، أم هانئ، رضي الله عنهم
 “Diantara bentuk memperkenalkan diri yang terlarang karena tidak jelas adalah sebuah kebiasaan yang menyebar di jantung Jazirah Arab berasal dari orang-orang non Arab, jika ditanyakan kepadanya “Siapa anda?” maka dijawab dengan “Abu Fulan”. 
Kami tidak mengetahui hal semacam ini dilakukan oleh salaf, memperkenalkan diri sendiri dengan menggunakan nama kun-yah. Memperkenalkan diri itu dengan menyebutkan nasab, fulan yang berasal dari suku al fulan. Salaf itu memiliki nama kun-yah dengan tujuan agar orang lain memanggil dirinya dengan nama kun-yah tersebut.
 Ketentuan di atas berlaku selama orang tersebut tidaklah terkenal dengan nama kun-yah-nya sehingga nama kun-yah itu menggantikan fungsi nama nasab. Diantara orang yang kondisinya semacam itu dikalangan para shahabat adalah Abu Bakr, Abu Dzarr dan Ummu Hani’ (Adabul Hatif hal 18, terbitan Dar Alifa, Kairo Mesir cet pertama 1427 H)
 Hukum Mengganti Nama
 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyenangi nama-nama yang bagus/baik dan membenci nama-nama yang buruk. Termasuk sunnah dalam hal ini adalah merubah nama-nama yang buruk dan diganti dengan nama-nama yang bagus/baik.
 عن ابن عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير اسم عاصية، وقال (أنت جميلة).
 Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama ‘Aashiyyah (=pelaku maksiat), dan bersabda : “Namamu Jamiilah (indah)” [HR. Muslim no. 2139].
 عن أسامة بن أخدريٍّ : أن رجلاً يقال له أصرم كان في النفر الذين أتوا رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “ما اسمك؟” قال: أنا أصرم، قال: “بل أنت زرعة”.
Dari Usamah bin Akhdariy : Bahwasannya seorang laki-laki bernama Ashram (=tandus) dan ia termasuk salah seorang yang datang menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Siapakah namamu ?”. Ia menjawab : “Ashram”. Maka beliau bersabda : “Gantilah namamu dengan Zur’ah (=subur)” [HR. Abu Dawud 4954 dan Al-Haakim no. 7729, ; shahih].
عن هانئ بن هانئ عن على رضي الله عنه قال : لما ولد الحسن سميته حربا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسن فلما ولد الحسين سميته حربا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسين فلما ولد الثالث سميته حربا فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قلت حربا قال بل هو محسن قال سميتهم بأسماء ولد هارون شبر وشبير ومشبر
Dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Ali radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Ketika Al-Hasan lahir, aku member nama Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda : “Gantilah namanya Hasan”. Ketika Al-Husain lahir, aku pun kembali menamainya Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda : “Gantilah namanya Husain”. Ketika anakku yang ketiga lahir, kembali aku namakan Harb. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda : “Gantilah namanya Muhsin”. Beliau meneruskan : “Sesungguhnya aku memberi nama mereka dengan nama anak-anak Harun, yaitu Syabbar, Syabiir, dan Musyabbir” [HR. Ahmad 1/98 no. 769, Haakim no. 4773, Al-Baihaqi 6/166, dan yang lainnya; hasan].
Memang sebuah anjuran untuk mengganti nama yg lebih baik. Namun saat ini nama kunyah sebagai pilihan ikhwan wa akhwat di medsos menjadi tanda identitas seseorang dari golongan atau pemahamannya, misal yg biasa memakai nama kunyah Abu, Ummu itu adalah pengikut paham salafi wahabi. Mereka sepertinya lebih suka menamakan dirinya dengan menasabkan anaknya (Abu Faiz = Ayahnya Faiz, Ummu Husain = Ibunya Husain). Sementara pengikut paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) biasanya lebih suka memakai nama kunyah dengan menasabkan dirinya dengan ayahnya. Misal, Asimun Mas’ud memakai nama kunyah Ibnu Mas’ud = anak lelakinya Pak Mas’ud atau Asimun Ibnu Mas’ud = Asimun anak lelakinya Pak Mas’ud dll. Contoh nama-nama kunyah diatas hanyalah sebagai contoh, tinggal pilih mana nama kunyah yg diinginkan hehehehe………. (kepo)
 Definisi Kunyah
 Kunyah adalah nama yang diawali dengan “Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki, seperti Abu Abdillah dan Ibnu Hajar. Sedangkan “Ummu” atau “Bintu” adalah untuk perempuan, seperti Ummu Aisyah dan bintu Malik.
 Kunyah apabila bergabung dengan nama asli maka kunyah boleh diawalkan atau diakhirkan. Contoh Abu Hafsh Umar atau Bakr Abu Zaid. Namun yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena maksud dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada dzat bukan sebagai sifat. (Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah Ibni Malik 1/115 dan al-Qowaid al-Asasiyyah Li Lughotil Arobiyyah hlm. 67 oleh Sayyid Ahmad al-Hasyimi)
Kunyah secara umum merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan. Seorang peyair berkata:
 أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ
 “Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya, Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah)
 Namun terkadang kunyah juga bisa bermakna celaan seperti Abu Jahl, Abu Lahab dan lain sebagainya.
Dalil Nama Kunyah
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَبِيُّ – صلى الله عليه وسلم-أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟
 Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir (Nughoir adalah sejenis burung)?’” (HR. Bukhari 6203, Muslim 2150)
 Imam Bukhori rahimahulloh membuat bab hadits ini dengan ucapannya “Bab kunyah untuk anak dan orang yang belum mempunyai anak”. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Imam Bukhori mengisyaratkan dalam bab ini untuk membantah anggapan orang yang melarang kunyah bagi yang belum mempunyai anak dengan alasan bahwa hal itu menyelisihi fakta.” ( Fathul Bari 10/714)
 Imam Ibnul Qosh asy-Syafi’i rahimahulloh berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah tentang bolehnya memberi kunyah kepada orang yang belum mempunyai anak.” ( Juz Fiihi Fawaid Hadits Abi Umair hlm. 27, Tahqiq Shobir Ahmad al-Bathowi)
 عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم-: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
 Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam:“Wahai Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyahradhiyallahu ‘anha selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.” (HR. Ahmad 6/107, 151, Abu Dawud 4970, Abdur Rozzaq dalam al-Mushannaf 19858 dengan sanad shohih)
 أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ. قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِأَبِى يَحْيَى.
 “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam yang memberiku kunyah Abu Yahya.’” (HR. Ibnu Majah: 3738 dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ahadits al-Aliyat no. 25)
 Kunyah Para Salafus Shaleh
 Berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan orang dewasa sekalipun belum mempunyai anak, maka merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak. Imam az-Zuhri rahimahulloh berkata: “Adalah beberapa sahabat, mereka berkunyah sebelum dikaruniai anak.” (al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/26278))
1. Ath-Thobroni meriwayatkan dengan sanad shohih dari Alqomah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberinya kunyah Abu Abdirrohman sebelum dikarunia anak.”
2. Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod meriwayatkan dari Alqomah radhiyallahu ‘anhu: “Abdulloh bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
3. Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibrahim, berkata: “Adalah Alqomah radhiyallahu ‘anhu diberi kunyah Abu Syibl padahal dia mandul tidak mempunyai anak.”
4. Al-Bukhori meriwayatkan dari Hilal al-Wazan berkata: “Urwah memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
5. Al-Bukhori dalam Tarikh Kabir meriwayatkan dari Hisyam: “Muhammad bin Sirin memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.” (Lihat atsar-atsar ini dalam Fathul Bari 10/714 oleh Ibnu Hajar)
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan mengenai penggunaan kunyah bagi kaum laki-laki dengan menggunakan kunyah Abul Qosim, beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ- صلى الله عليه وسلم -: سَمُّوْا بِاسْمِيْ, وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ
 Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata, Abul Qosim shalallahu ‘alayhi wa sallam berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.” ( HR. Bukhori 3539, Muslim 2134)
 Para ulama berselisih dalam penggunaan kunyah Abul Qosim ini, al-Hafizh Ibnu Qoyyim rahimahulloh berkata: “Pendapat yang benar adalah boleh bernama dengan nama Muhammad dan dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qosim. Larangan ini lebih keras lagi pada masa beliau dan dilarang pula menggabung nama beserta kunyah beliau yakni Muhammad dan Abul Qosim.” (Zaadul Ma’ad 2/347. Lihat perbedaan ‘ulama dalam masalah ini secara luas beserta dalil-dalilnya dalamAhkamul Maulud Fi Sunnah Muthohharoh hlm. 95-103 oleh Salim asy-Syibli dan Muhammad Kholifah ar-Robbah)
 Dengan referensi diatas alangkah baiknya khususnya yg memiliki nama yg dianggap kurang nyunnah sesegera mungkin ganti nama atau memakai nama kunyah. Misal, Paijo, Paino, Paimin atau Mukidi menjadi Abu Hasan, Abu Husein, Abu Ahmad atau Abu Ubaidillah asal jangan Abu Jahal dan Abu Lahab. Ok !
 Demikianlah penjelasan singkat Ibnu Mas’ud At-Tamanmini tentang sunnahnya mengganti nama yg lebih baik atau memakai kunyah dalam nama. Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin
 والله الموفق الى اقوم الطريق

Senin, 24 Oktober 2016

KAJIAN TENTANG HUKUM MENDIRIKAN 2 SHALAT JUM'AT DALAM 1 DESA


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yg dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yg sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067).
Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
لأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ قَالَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِى هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِى بَيَاضَةَ فِى نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضِمَاتِ. قُلْتُ كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُونَ.
“As’ad bin Zararah adalah orang pertama yg mengadakan shalat Jum’at bagi kami di daerah Hazmi An-Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yg terkenal dengan Naqi’ Al-Khadhamat. Saya bertanya kepadanya, “Waktu itu, ada berapa orang?” Dia menjawab, ”Empat puluh.” (HR. Abu Daud no. 1069 dan Ibnu Majah no. 1082).
Shahih Bukhari, hadits no. 902 Juz 4 hal 10 dalam Al-Maktabah Syamilah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَتْ كَانَ النَّاسُ يَنْتَابُونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَالْعَوَالِى ، فَيَأْتُونَ فِى الْغُبَارِ ، يُصِيبُهُمُ الْغُبَارُ وَالْعَرَقُ ، فَيَخْرُجُ مِنْهُمُ الْعَرَقُ ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهْوَ عِنْدِى ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا »
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Adalah orang2 berduyun-duyun pada hari jum'at (pergi ke masjid) dari tempat2 mereka dan dari dataran tinggi 'Awali (yaitu daerah yg ada di timur kota Madinah sejauh 4 mil). Mereka datang dengan penuh debu. Mereka berdebu dan berkeringat." Maka aku ('Aisyah) datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan berkata, 'Seseorang dari mereka dia sudah disampingku,' Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika seandainya kalian sudah bersuci niscaya dia akan mengimami (shalat) ini." (HR. Bukhari)
Ada perbedaan pendapat dalam soal 2 (dua) Jum'atan dalam satu tempat (desa/kota) dalam madzhab Syafi'i yg detilnya sebagai berikut:
Pendapat pertama, tidak boleh dengan pengecualian. Ini pendapat Imam Syafi'i sendiri dan didukung oleh ulama2 madzhab Syafi'i. Kecuali apabila tempat tersebut cukup luas dan ramai penduduknya sehingga sulit mengumpulkan mereka semua dalam satu masjid untuk shalat Jum'at. Dalam kasus seperti ini maka boleh mendirikan dua shalat Jum'at atau lebih seperti yg terjadi di banyak tempat (kota/desa) di Indoensia.
Diantara referensi yg digunakan pada waktu itu adalah:
1. Dalam kitab Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atain karya Ahmad Khatib al-Minangkabawi beliau menjelaskan sbb:
إِذَا عَرَفْتَ أَنَّ أَصْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَدَمُ جَوَازِ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ وَأَنَّ جَوَازَ تَعَدُّدِهِ أَخَذَهُ اْلأَصْحَابُ مِنْ سُكُوْتِ الشَّافِعِيِّ عَلَى تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَغْدَادَ وَحَمَّلُوْا الْجَوَازَ عَلَى مَا إِذَا حَصَلَتِ الْمَشَقَّةُ فِي الاجْتِمَاعِ كَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ حَصَلَتْ بِبَغْدَادَ وَلَمْ يُضْبِطُوْهَا بِضَابِطٍ لَمْ يَخْتَلِفْ فَجَاءَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَضَبَطَهَا كُلُّ عَالِمٍ مِنْهُمْ بِمَا ظَهَرَ لَهُ
وَبَنَى الشَّعْرَانِيُّ أَنَّ مَنْعَ التَّعَدُّدَ لِأَجْلِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ وَقَدْ زَالَ. فَبَقِيَ جَوَازُ التَّعَدُّدِ عَلَى اْلأَصْلِ فِيْ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ وَقَالَ أَنَّ هَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّارِعِ وَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا بِذَاتِهِ لَوَرَدَ فِيْهِ حَدِيْثٌ وَلَوْ وَاحِدًا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ شَيْءٌ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ سُكُوْتَ النَّبِيِّ كَانَ لِأَجْلِ التَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ
“Jika Anda tahu, bahwa dasar mazhab Syafi’i tidak memperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah. Namun kebolehannya telah diambil oleh para Ashhab dari diamnya Imam Syafi’i atas Jum’atan lebih dari satu di kota Baghdad, dan para Ashhab memahami kebolehannya pada situasi para jamaah sulit berkumpul, seperti kesulitan yg terjadi di Baghdad, mereka pun tidak memberi ketentuan kesulitan itu yg tidak (pula) diperselisihkan, lalu muncul para ulama dan generasi sesudahnya, dan setiap ulama menentukan kesulitan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka.
As-Sya’rani menyatakan bahwa pencegahan jum’atan lebih dari satu adalah karena kekhawatiran tertentu dan hal itu sudah hilang. Kebolehan Jum’atan lebih dari satu itu juga berdasarkan hukum asal tentang pelaksanaan shalat Jum’at. Beliau berkata: “Inilah maksud (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) pembawa syari’ah.” Beliau berargumen, bahwa bila pendirian shalat Jum’at lebih dari satu itu dilarang secara dzatnya, niscaya akan terdapat hadits yg menerangkannya, meskipun hanya satu. Sementara tidak ada satupun hadits yg menyatakan begitu. Maka hal itu menunjukkan bahwa diamnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Itu bertujuan memberi kelonggaran kepada umatnya.”
2. Bughyah al-Mustarsyidin karya Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi
وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ ضَيِّقُ مَحَلِّ الصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ اْلُمجْتَمِعِينَ لَهَا غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ
“Dan kesimpulan pendapat para imam adalah boleh mendirikan Jum’atan lebih dari satu tempat karena tiga sebab. (i) Tempat shalat Jum’at yg sempit, yakni tidak cukup menampung para jama’ah Jum’at secara umum. (ii) Pertikaian antara dua kelompok masyarakat dengan syaratnya. (iii) Jauhnya ujung desa, yaitu bila seseorang berada di satu tempat (ujung desa) tidak bisa mendengar adzan, atau di tempat yg bila ia pergi dari situ setelah waktu fajar ia tidak akan menemui shalat Jum’at, sebab ia tidak wajib pergi jum’atan melainkan setelah fajar.”
3. Abu Yahya Zakariya bin Syaraf An-Nawawi yg lebih dikenal dengan Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Talibin wa Umdatul Muftin (روضة الطالبين وعمدة المفتين)
dalam bab "كتاب صلاة الجمعة" menulis:
الشرط الثالث : أن لا يسبق الجمعة ، ولا يقارنها أخرى . قال الشافعي - رحمه الله - : ولا يجمع في مصر - وإن عظم ، وكثرت مساجده - إلا في موضع واحد . وأما بغداد ، فقد دخلها الشافعي - رحمه الله - وهم يقيمون الجمعة في موضعين . وقيل : في ثلاثة ، فلم ينكر عليهم . واختلف أصحابنا في أمرها على أوجه . أصحها : أنه إنما جازت الزيادة فيها على جمعة ، لأنها بلدة كبيرة يشق اجتماعهم في موضع واحد ، فعلى هذا تجوز الزيادة على الجمعة الواحدة في جميع البلاد ، إذا كثر الناس وعسر اجتماعهم ، وبهذا قال أبو العباس ، وأبو إسحاق ، وهو الذي اختاره أكثر أصحابنا تصريحا وتعريضا . وممن رجحه : القاضي ابن كج ، والحناطي - بالحاء المهملة المفتوحة ، وتشديد النون - والقاضي الروياني ، والغزالي
Arti kesimpulan: Saat berada di Baghdad Imam Syafi'i tidak mengingkari adanya kenyataan bahwa shalat Jum'at di sana dilakukan di dua atau tiga tempat yg berbeda sekaligus. Para ulama madzhab Syafi'i menafsiri sikap Imam Syafi'i dalam soal Baghdad tersebut dengan beragam pendapat. Pertama dan yg paling sah, karena Baghdad merupakan kota besar yg sulit mengumpulkan jamaah dalam satu tempat. Dalam kasus ini maka boleh mengadakan lebih dari satu Jum'atan di satu kota/desa. Ini adalah pendapat Abul Abbas, Abu Ishaq dan menjadi pandangan mayoritas ulama Syafi'i dan sudah ditarjih oleh Qadhi Ibnu Kajj, Hannati, Qadhi Rauyani dan Imam Ghazali.
Uraian Imam Nawawi di atas sy kira cukup menjadi dalil bolehnya mendirikan dua (2) Jum'at atau lebih di satu tempat (kota/desa) kalau memang jama'ahnya mencukupi.
Adapun pandangan lain ulama Madzhab Syafi'i dalam menafsiri sikap Imam Syafi'i dalam soal Jum'at lebih dari satu di Baghdad adalah sebagai berikut (bagi yg ingin mengetahuinya):
والثاني : إنما جازت الزيادة فيها ، لأن نهرها يحول بين جانبيها فيجعلها كبلدتين . قاله أبو الطيب ابن سلمة . وعلى هذا لا يقام في كل جانب إلا جمعة . فكل بلد حال بين جانبيه نهر يحوج إلى السباحة ، فهو كبغداد . واعترض عليه ، بأنه لو كان الجانبان كبلدين ، لقصر من عبر من أحدهما إلى الآخر ، والتزم ابن سلمة المسألة ، وجوز القصر . والثالث : إنما جازت الزيادة ، لأنها كانت قرى متفرقة ، ثم اتصلت الأبنية ، فأجري عليها حكمها القديم ، فعلى هذا يجوز تعدد الجمعة في كل بلد هذا شأنه . واعترض عليه أبو حامد بما اعترض على الثاني . ويجاب بما أجيب في الثاني . وأشار إلى هذا الجواب صاحب " التقريب " . والرابع : أن الزيادة لا تجوز بحال ، وإنما لم ينكر الشافعي ، لأن المسألة اجتهادية ، وليس لمجتهد أن ينكر على المجتهدين . وهذا ظاهر نص الشافعي - رحمه الله - المتقدم . واقتصر عليه الشيخ أبو حامد وطبقته ، لكن المختار عند الأكثرين ما قدمناه
Kedua, Bolehnya shalat Jum'at di dua masjid di Baghdad karena sungainya berada di antara dua sisi sehingga terkesan seperti dua kota/tempat seperti dikatakan oleh Abu Tayyib Ibnu Salamah. Oleh karena itu, maka tidak ditempati dalam setiap sisi kecuali satu jum'at. Maka setiap kota yg terdapat sungai di antara dua sisinya, maka itu seperti Baghdad (artinya boleh dua masjid dan dua jum'at). Pendapat ini ditentang: bahwa kalau dua sisi itu seperti dua kota/desa niscaya orang yg menyeberang sungai dari satu sisi ke sisi yg lain boleh mengqashar shalat. Ibnu Salamah mengkonfirmasi hal itu dan boleh mengqashar shalat.
Ketiga, Bolehnya lebih dari satu Jum'at dan satu masjid karena Baghdad dulunya adalah terdiri dari beberapa desa yg terpisah lalu tersambung oleh sejumlah bangunan lalu Imam Syafi'i memperlakukan hukum Qaul Qadim oleh karena itu boleh dilakukannya Jum'at lebih dari satu dalam setiap kota. Pandangan ini ditentang oleh Abu Hamid (al Ghazali) sebagaimana pada argumen kedua. Dan dijawab sebagaimana jawaban kedua. Secara implisit jawaban ini ditunjukkan oleh pengarang kitab At Taqrib.
Keempat, lebih satu Jum'at dalam satu kota tidak boleh. Bahwa Imam Syafi'i tidak mengingkari adanya dua Jum'at karena ini masalah ijtihad. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari pendapat mujtahid lain.
Rujukan kitab Al-Um juz I hal. 221 dalam Al-Maktabah Syamilah :
(قال الشافعي) رحمه الله تعالى ولا يجمع في مصر وإن عظم أهله وكثر عامله ومساجده إلا في موضع المسجد الاعظم وإن كانت له مساجد عظام لم يجمع فيها إلا في واحد وأيها جمع فيه أولا بعد الزوال فهى الجمعة وإن جمع في آخر سواه يعده لم يعتد الذين جمعوا بعده بالجمعة وكان عليهم أن يعيدوا ظهرا أربعا
"Tidak boleh mendirikan shalat Jum’at dalam satu tempat (desa atau kota) meskipun penduduk dan pegawainya banyak serta masjidnya besar2, kecuali dalam satu masjid yg paling besar (masjid jami’). Kalau mereka memiliki beberapa masjid yg besar, maka pada masjid2 tersebut tidak boleh didirikan shalat Jum’at kecuali hanya pada satu masjid saja. Dan (jika ada lebih dari satu masjid yg mendirikan shalat Jum’at, maka) shalat Jum’at yg lebih dahulu dilakukan setelah tergelincirnya matahari itulah shalat Jum’at (yg sah). Kalau ada masjid yg di dalamnya didirikan shalat Jum’at juga setelah ini, maka tidak dianggap shalat Jum’at, dan mereka wajib mengerjakan shalat zhuhur empat rakaat." Wallahu a'lam bis -Shawab
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya semoga bermanfaat. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

KAJIAN TENTANG DEMONSTRASI, BOLEHKAH?


Demonstrasi, disingkat demo atau unjuk rasa dalam bahasa Arab disebut mudzaharah (مظاهرة) adalah ungkapan protes yg dilakukan secara bersama-sama untuk menyampaikan tujuan tertentu seperti tujuan politis, protes atas suatu keadaan, perubahan peraturan, dan lain-lain. Aksi demonstrasi bermula pada pertengahan abad ke-19 di Irlandia yg terinspirasi oleh Daniel O'Connell. Di Indonesia, tradisi demo baru sangat sering terjadi pasca Reformasi. Selama masa Orde Baru, demo relatif tidak ada karena memang dilarang.
DEFINISI DEMONSTRASI (UNJUK RASA)
Demonstrasi atau unjuk rasa atau protes jalanan adalah aksi yg dilakukan kelompok massa atau sekumpulan kelompok massa untuk tujuan politis atau yg lain. Demonstrasi umumnya dilakukan dengan cara berjalan dalam format parade massal yg biasanya diawali di suatu tempat dan menuju lokasi yg ditentukan. Demonstrasi terkadang diakhiri dengan bacaan petisi oleh ketua demo atau tuntutan untuk berbicara dengan perwakilan pihak yg didemo. Dalam bahasa Arab demonstrasi disebut mudzaharah (مظاهرة).
Aksi duduk-duduk atau memblokade jalan disebut juga dengan demontrasi walaupun kurang umum.
DEMO DAMAI DAN KEKERASAN
Ada beberapa jenis aksi demo sebagai berikut:
a) Aksi damai (non-violent/peaceful demontration)
b) Aksi kekerasan (violent /militant demonstration)
c) Aksi damai yg berujung kekerasan.
TUJUAN DEMONSTRASI
Tujuan demonstrasi adalah sebagai berikut:
a) Untuk mengungkapkan pendapat (setuju atau tidak setuju) terkait isu publik seperti ketidakadilan, penderitaan kaum dhuafa, dll.
b) Protes terkait isu politik
c) Protes terkait permasalahan ekonomi
d) Protes terkait isu sosial
FORMAT/BENTUK DEMONSTRASI
Bentuk demontrasi ada beberapa macam format seperti:
a) March atau berbaris yaitu berbaris dari satu tempat ke tempat lain yg dituju.
b) Rally atau penggalangan orang yaitu sekumpulan orang berkumpul di suatu tempat untuk mendengarkan pembicara.
c) Picketing atau pengepungan yaitu sekekompok massa mengepung suatu tempat tertentu.
d) Sit-ins atau duduk bersama yaitu peserta demo duduk bersama di suatu lokasi untuk waktu tertentu atau tak terbatas sampai tuntutan dipenuhi atau sampai mereka dipaksa meninggalkan tempat.
e) Hunger strike atau mogok makan yaitu peserta demo tidak makan apapun kecuali minum air untuk waktu yg ditentutkan atau sampai tuntutan dipenuhi.
f) Nudity atau telanjang. Ini terjadi di negara-negara Barat (Eropa dan Amerika). Demo dilakukan oleh sekolompok perempuan atau pria wanita dengan bertelanjang dada atau telanjang bulat atau mengancam untuk bertelanjang apabila tuntutan tidak dipenuhi.
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG DEMONSTRASI
Demonstrasi adalah fenomena modern dan umumnya hanya terjadi pada negara yg menganut sistem demokrasi. Karena itu demonstrasi tidak diijinkan dan tidak terjadi di negara2 otoriter yg berada di bawah penguasa diktator, kerajaan, dan komunisme. Seperti, Arab Saudi, China, Korea Utara, Mesir sebelum revolusi, Indonesia pada era pra-Reformasi, dan lain-lain.
Pendapat ulama pun berbeda sesuai dengan negara tempat di mana mereka tinggal. Para ulama Arab Saudi, yg dikenal dengan sebutan ulama Wahabi Salafi, mengharamkan demonstrasi dengan berbagai argumennya. Pendapat mereka tentu dapat dimaklumi kalau dicurigai sarat dengan kepentingan untuk membela penguasa. Maklum, gerakan Wahabi mendapat dukungan politik dan finanasial penuh dari penguasa kerajaan. Kerajaan bubar, gerakan Wahabi akan bubar juga. Atau minimal tidak akan berkembang.
Karena itu, demi mendapat pandangan dari ulama yg relatif obyektif dan netral, saat ini membahas soal dari sudut pandang ulama di luar Arab Saudi. Walaupun tetap mengutip pandangan kalangan ulama Wahabi untuk sekedar diketahui.
Karena demo merupakan fenomena negara modern yg demokratis, maka tidak ada satu pun dalil Al-Qur'an dan hadits yg mengena persis dengan permasalahan. Memang, ulama yg berargumen - terutama yg mengharamkan - memakai dalil Qur'an dan hadits untuk mendukung pandangannya, namun apakah dalil yg digunakan itu relevan atau tidak masih perlu kajian lebih lanjut.
DALIL DAN PENDAPAT ULAMA YANG MEMBOLEHKAN DEMONSTRASI
Yusuf Qardhawi termasuk salah satu ulama kontemporer yg membolehkan demonstrasi. Bagi Qaradhawi unjuk rasa hukumnya boleh dalam Islam selagi bertujuan baik dan di dalamnya tidak terkandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah Islam. Lihat :http://www.alsaha.com/sahat/4/topics/285042.html
Qardhawi mengatakan:
فمن حق المسلمين – كغيرهم من سائر البشر- أن يسيروا المسيرات وينشئوا المظاهرات، تعبيرا عن مطالبهم المشروعة، وتبليغا بحاجاتهم إلى أولي الأمر، وصنّاع القرار، بصوت مسموع لا يمكن تجاهله. فإن صوت الفرد قد لا يسمع، ولكن صوت المجموع أقوى من أن يتجاهل، وكلما تكاثر المتظاهرون، وكان معهم شخصيات لها وزنها: كان صوتهم أكثر إسماعا وأشد تأثيرا. لأن إرادة الجماعة أقوى من إرادة الفرد، والمرء ضعيف بمفرده قوي بجماعته
Arti kesimpulan: Adalah menjadi hak umat Islam untuk berdemonstrasi. Karena tuntutan yg disampaikan secara bersama lebih kuat dibanding apabila dilakukan sendirian.
Dalil yg dipakai Qardhawi antara lain
- QS Al-Maidah : 2
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
"Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa."
- Hadits Nabi
المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا
"Orang mukmin dengan mukmin lain itu ibarat bangunganyang saling menguatkan."
- Kaidah fiqih
أن الأصل في الأشياء الإباحة
"Hukum asal dalam semua hal itu adalah boleh (kecuali ada nash yg menyatakan sebaliknya)."
Menurut Qardhawi, seorang ulama hendaknya tidak mudah mengharamkan sesuatu kecuali bdrdasarkan dalil nash Qur'an dan hatits sahih yg menetapkan atas keharamannya. Adapun dalil hadits yg dha'if sanadnya atau sahih tapi penetapan keharamannya tidak sharih (eksplisit), maka hukumnya tetap pada kebolehan sehingga tidak terjebak pada mengharamkan sesuatu yg dihalalkan Allah ( لا نحرم ما أحل الله)
Menurut Qardhawi, dalam Islam perkara yg halal jauh lebih luas dari perkara yg haram karena sesuatu yg tidak dinyatakan haram pada dasarnya adalah halal. Nabi bersabda dalam sebuah hatits:
إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها، وحد حدودا فلا تعتدوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة بكم غير نسيان فلا تبحثوا عنه
"Allah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kau sia-siakan. Memberi batasan-batasan, jangan kau lewati. Mengharamkan beberapa hal, jangan kau langgar. Diam atas beberapa hal sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, maka jangan kau cari-cari (status hukum) darinya." (HR. Darulquthni hadits hasan. Hadits no 30 dalam Hadits Arab'in Nawawi)
ULAMA WAHABI SALAFI MENGHARAMKAN DEMONSTRASI
Seperti disinggung di muka, ulama Wahabi hampir pasti akan mengharamkan demonstrasi. Karena demonstrasi dilarang di negara-negara non-demokrasi seperti Arab Saudi. Sedang gerakan Wahabi Salafi mendapat dukungan penuh secara politik dan finansial dan terintegrasi dalam sistem kerajaan Arab Saudi. Oleh karena itu, para ulama Wahabi "berkewajiban" untuk mendukung rezim Ibnu Saud.
Berikut pendapat ulama Wahabi tentang demonstrasi. Lihat :http://muntada.islamtoday.net/t71131.html
1. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan:
فالمسيرات في الشوارع والهتافات ليست هي الطريق الصحيح للإصلاح والدعوة فالطـــريق الصحيح، بالزيارة والمكاتــــــــبات بالتي هي أحســن
"Rally (berbaris) di jalan bukanlah jalan yg benar untuk melakukan ishlah (perbaikan), dakwah. Cara yg benar adalah dengan kunjungan atau tulisan."
2. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:
فان المظاهرات أمر حادث، لم يكن معروفاً في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ولا في عهد الخلفاء الراشدين، ولا عهد الصحابة رضي الله عنهم. ثم إن فيه من الفوضى والشغب ما يجعله أمرا ممنوعاً لذلك نرى إن المظاهرات أمر منكر
"Demonstrasi itu perkara baru yg tidak ada di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, masa Khalifah Islam yg empat (khulafaur Rashidin), dan masa Sahabat. Unjuk rasa itu terlarang karena menimbulkan kekacaaun dan kerusuhan. Kami berpendapat bahwa demonstrasi itu perkara yg munkar."
3. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan mengatakan:
والمظاهرات ليست من أعمال المسلمين ،وما كان المسلمون يعرفونها ،ودين الإسلام دين هدوء ودين رحمة ودين اضباط لافوضى ولاتشويش ولاإثارة فتن ،هذا هو دين الإسلام، والحقوق يتوصل إليها بالمطالبة الشرعية والطرق الشرعية، والمظاهرات تحدث سفك دماء وتحدث تخريب أموال ،فلاتجوز هذه الأمور
Arti ringkasan: Demonstrasi bukan perilaku umat Islam dan tidak dikenal oleh umat Islam zaman dahulu. Demonstrasi menimbulan pertumpahan darah dan kerusakan harta benda. Maka, hal ini tidak boleh."
KESIMPULAN
Demonstrasi hukumnya boleh dalam Islam karena itu termasuk forum untuk menyampaikan pendapat dan bentuk ekspresi amar makruf nahi munkar (menyeru kebaikan, dan mencegah kemungkaran). Dengan syarat, dalam melaksanakan demontrasi tidak terdapat perilaku atau perbuatan yg melanggar syariah Islam seperti melakukan tindak kekerasan, terjadinya pengrusakan, atau menyebabkan pelaku demo meninggalkan kewajiban agama seperti shalat 5 waktu, atau melakukan pelanggaran dosa , dll. Wallahu a'lam bis -Shawab
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini melaporkan dalam kajiannya semoga bermanfaat. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

Sabtu, 15 Oktober 2016

KAJIAN TENTANG MEMPELAJARI ILMU TAFSIR AL-QUR’AN



Al-Qur’an perlu dipahami, dan oleh karenanya diperlukan tafsir atasnya. Beragam bentuk, pendekatan dan cara penafsiran telah ditunjukkan oleh para ahli tafsir (mufassir) dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan ternyata belum memuaskan rasa haus para pecintanya untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, para mufassir (hingga kini) senantiasa berupaya menemukan kaedah penafsiran yang paling tepat untuk memahami kandungan (makna) Al-Qur’an dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda.

Di dunia ini tak ada kitab yang penanganannya begitu banyak menuntut keahlian, begitu banyak meminta tenaga, waktu dan biaya, seperti dilakukan orang terhadap Al-Qur’an. Kalau kita lihat sepintas saja Al-Itqan Fî ‘Ulum al-Qur’an oleh as-Suyuthî (w. 911 H.), atau Kasyfuzh-Zhunun oleh Haji Khalifah (w. 1059 H.), sudah dapat kita ketahui betapa luas ilmu-ilmu Al-Qu’ran pada masa itu.

Apa itu Ilmu Tafsir ?

Kata ﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ secara bahasa berasal dari kataﻓﺴﺮ - ﻴﻔﺴﺮ -ﺗﻔﺴﻴﺮ yang berarti mengungkapkan atau menampakkan Tafsir dapat juga diartikan al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. (Abu al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz. 4. Beirut: Dar al-Jail. 1976. hlm. 13)

Kata “tafsir”, ada beberapa pendapat yang menyatakan tentang asal katanya, yaitu:

1). Mengikuti wazan taf’il (تَفْعِيْلُ) dari akar kata al-fasr (الفَسْرُ) yang berarti al-idhah “الإِيْضَاحُ” (menjelaskan), Tibyan “تِبْيَانُ” (menerangkan), al-izhar “الإِظْهَارُ” (menampakkan), al-ibanah “الإِبَانَةُ” dan al-kasyf “الكَشْفُ” (mengungkap) makna yang abstrak. Keduanya (al-ibanah dan al-kasyf) berarti membuka (sesuatu) yang tertutup. Kata al-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Kamus Lisanul ‘Arab dinyatakan; kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata al-tafsir berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Di antara kedua bentuk kata itu (al-fasr dan al-tafsir), kata al-tafsir yang paling banyak dipergunakan.

2). Ada pendapat lain menyatakan bahwa kata al-tafsir berasal dari kata kerja yang terbalik, yaitu kata safara سَفَرَ yang berarti al-kasyf “الكَشْفُ”, seperti ungkapan “safaratil mar’atu sufuran”- سَفَرَةِ اْلمَرْأَةُ سُفُوْرًا (wanita itu membuka kerudung dari mukanya.

Menurut al-Raghib al-Asfahani seorang pakar tata bahasa Al-Qur’an, kata “al-fasr” dan “al-safr” adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafaznya. Tetapi yang pertama untuk menunjukkan arti menampakkan makna yang abstrak, sedangkan yang kedua untuk menampakkan benda kepada penglihatan mata.

Adapaun tafsir secara terminologis (istilah) terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh ulama, diantaranya 

1. Menurut Muhammad ibn Abdul 'Azhim al-Zarqani :

علم يبحث فيه عن القرأن الكريم من حيث دلالة على مراد الله تعالى بقدر الطاعة البشرية

Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur'an dari segi dilalahnya sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta’ala menurut kemampuan manusia.

2. Muhammad Badaruddin al-Zarkasyi

علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه وإستخراج حكامه وحكمته

Tafsir adalah ilmu untuk mengetahui kitab Allah (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menerangkan makna, hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

3. Abu Hayyan

علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلولاتها وأحكامها الإفرادية والتركيبية ومعانيها التي تحتمل عليها حالة التركيب وتتمات لذالك.

Tafsir adalah Pengetahuan yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an tentang sesuatu yang ditunjuk oleh suatu lafaz, tentang hukum-hukumnya ketika ia menjadi kalimat tunggal, maupun ketika ia tersusun dalam kalimat dan makna-makna yang dikandungnya ketika tersusun serta hal-hal yang menyempurnakannya.

4. Al-Dzahabi

Tafsir adalah pengetahuan yang membahas tentang maksud-maksud Allah (yang terkandung di dalam Al-Qur’an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka ia mencukupkannya (meliputi segala aspek pengetahuan yang diperlukan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu.

Tafsir adalah rangkaian penjelasan dari suatu pembicaraan atau teks, dalam hal ini adalah Al-Qur'an atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur'an.

5. Menurut Al-Jurjani bahwa Tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun asbabun nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukkan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.

6. Menurut Al-Maturidi bahwa tafsir merupakan penjelasan yang pasti dari maksud satu lafal dengan persaksian bahwa Allah bermaksud demikian dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti melalui para periwayat yang adil dan jujur.

Kata tafsir hanya dijumpai satu kali dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat al-Furqan ; 33 :

ولا يأتونك بمثل إلا جئناك باالحق وأحسن تفسيرا (الفرقان : 33)

"Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (dengan membawa) suatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasan ". (al-Furqan ; 33)

Dari pengertian di atas, tafsir dan ilmu tafsir itu sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat dari :
1. Tafsir adalah penjelasan atau keterangan tentang Al-Qur'an. Ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana cara menerangkan atau menafsirkan aA-Qur'an.
2. Ilmu tafsir adalah sarana atau alatnya. Sedangkan tafsir adalah produk yang dihasilkan oleh ilmu tafsir.

Dalam Al-Qur'an, kata “tafsir” diartikan sebagai “penjelasan”, hal ini sesuai dengan lafal tafsir yang terulang hanya satu kali, yakni dalam (QS. Al-Furqan [25]: 33)

Tafsir diambil dari riwayat dan dirayat, yakni ilmu lughat, nahwu, sharaf, ilmu balaghah, ushul fiqh dan dari ilmu asbabun nuzul, serta nasikh mansukh.

Hukum Mempelajari Ilmu Tafsir

Mempelajari ilmu tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah,

كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad : 29)

Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata, “Di dalam petunjuk Allah Ta’ala epada hamba-hamba-Nya agar mereka mengambil ibroh dari ayat-ayat Al-Qur’an terpadat perintah yang mewajibkan mereka mengetahui tafsir ayat-ayat yang mampu diketahui oleh manusia.” (Tafsir Thobari: 1/161).

Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Sungguh seseorang di antara kami (sahabat) jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur’an tidak akan melampauinya sampai dia mengetahui maknanya dan mengamalkannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad yang shahih).

Sa’id bin Jubair ra. berkata, “Barangsiapa membaca Al-Qur’an kemudian tidak tahu tafsirnya, maka seakan-akan dia seperti orang buta atau orang badui (Arab gunung).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad hasan.

Dan Juga Firman-Nya
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? ” (QS. Muhammad : 24)

Tujuan dari mempelajari tafsir, ialah :memahamkan makna-makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya, akhlaq-akhlaqnya, dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa, faidah yang kita dapati dalam mempelajari tafsir ialah : “terpelihara dari salah dalam memahami Al-Qur’an”.

Sedangkan maksud yang diharap dari mempelajarinya, ialah : “mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hukum-hukumnya degan cara yang tepat”.

Perhatian Para Ulama Terhadap Ilmu Tafsir Al-Quran

Para ulama sangat mencurahkan perhatian mereka kepada ilmu Al-Quran. Dan salah satu bentuk perhatian mereka adalah menulis kitab-kitab tentang tafsir dan menjelaskan makna-makna yang terkandung di dalam Al-Quran. Mereka menarik kesimpulan hukum dan faedah dari ayat-ayatnya sesuai dengan kadar ilmu, iman, dan takwa yang telah Allah berikan kepada mereka.

Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan : “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk tiga perkara, yaitu: beribadah dengan membacanya, menghayati makna-maknanya, dan mengamalkan isinya. Oleh karena itu, para sahabat tidaklah beranjak dari 10 ayat yang telah mereka pelajari, hingga mereka mempelajari kandungan dari ayat-ayat tersebut. Mereka mengatakan,’kami mempelajari Al-Qur’an tentang ilmu dan amal sekaligus’.” (Syarh Muqoddimah Tafsir, hal. 7, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin)

Tafsir bil ma’tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata, “Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf”.

Ilmu Tafsir memiliki beberapa metode :

1. Metode Tahlili (analitik)

Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.

2. Metode Ijmali (global)

Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.

3. Metode Muqarran

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhui (tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Kesimpulan

Al-Qur’an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan Al-Qur’an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari deperlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kehendak tujuan ayat Al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.

Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simpel dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yg lainnya.

Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil, dimana segala sesuatu yg berhubungan dengan ayat, surat, asbabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yg bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah Ta’ala tersebut. Wallahu a’lam bis-Shawab

Demikian Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menyampaiakan dalam kajiannya semoga bermanfa’at. Aamiin

والله الموفق الى اقوم الطريق