MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 09 Oktober 2016

KAJIAN TENTANG SHALAT JAMA' DAN QASHAR DI JAMAN MODEREN


Saya bingung ketika seorang jama`ah haji menanyakan, bolehkah menjama` sholat ashar ketika kita dalam keadaan darurat (macet ) dan berhadats, sedangkan jarak perjalanannya tidak jauh misalnya, dari MINA ke Makkah?
Lalu saya menjawab, hal tersebut boleh2 saja karena shalat merupakan suatu kewajiban. Dan saya menambahkan sedikit dengan kaidah ushul fiqih :
المشقة تجلب التيسر
"Kesulitan akan mendatangkan kemudahan."
الضرورة تبيح المحظورات
"Keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang.
إذا ضاق الامر اتسع
"Bila suatu perintah itu menyusahkan, maka meluas [mudah].
ما أبيح للضرورة يتقدر بقدرها
"Sesuai yg dibolehkan karena darurat sesuai dengan ukuran kedaruratan itu."
Pembahasan Fiqhiyah:
Sebelum membahas masalah jama' dan qashar ini, ada 2 perkara yg harus diperhatikan:
1. Shalat yg terkena qashar (pengurangan rakaat) hanyalah shalat yg rakaatnya 4 (zuhur, ashar, dan isya). Adapun maghrib dan subuh maka rakaatnya tetap dalam keadaan safar, tidak dikurangi. Ini adalah kesepakatan di kalangan ulama, sebagaimana yg dinukil oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dan selainnya.
2. Qashar shalat hanya syariat yg diperuntukkan bagi imam atau yg shalat sendiri. Adapun bagi mereka yg bermakmum kepada seorang imam dalam shalat berjamaah, maka mereka mengikuti jumlah rakaat imamnya.
Dari Musa bin Salamah Al-Hudzali dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas:
كَيفَ أُصَلِّي إِذَا كُنتُ بِمَكَّةَ إِذَا لَم أُصَلِّ مَعَ الإِمَامِ؟ فَقَالَ: رَكعَتَينِ سُنَّةَ أبي القَاسِمِ
“Bagaimana saya shalat jika saya berada di Makkah (sedang safar) dan saya tidak ikut shalat di belakang imam (berjamaah)?” Maka beliau menjawab, “Shalatlah 2 rakaat, itu merupakan sunnahnya Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Muslim: 5/197-Syarh An-Nawawi)
Maka dari atsar di atas bisa dipahami, bahwa jika seseorang shalat di belakang imam yg mukim maka dia mengikuti rakaat imamnya yaitu 4 rakaat.
3. Boleh menjama' atau mengqashar shalat jika safarnya tidak untuk maksiat
4. Shalat yg bisa dimana' adalah zhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya'. Sementara shubuh tidak bisa dijama'
5. Menjama' shalat sebab Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan di atas. Allah Ta'ala berfirman:
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj: 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”. (HR Muslim 705).
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
6.Menjama’ Shalat Karena Macet
Kita yg hidup di tengah belantara metropolitan ini seringkali disulitkan dengan urusan macet, khususnya masalah waktu shalat maghrib. Sedangkan shalat Dzhur, Ashar, Isya dan Shubuh relatif tidak terlalu berpengaruh karena waktunya leluasa.
Yang paling mengkhawatirkan adalah shalat Maghrib yang waktunya sangat singkat. Padahal jam2 seperti itu adalah jam macet di mana2. Sehingga banyak orang yg berpikiran bahwa macet itu ‘boleh’ dijadikan alasan untuk menjama’ shalat.
Tetapi apa dalilnya? Bisakah dalil darurat dijadikan alasan? Dan seberapakah nilai darurat sebuah kemacetan itu sehingga boleh menggeser waktu shalat? Adakah dalil yg shahih dan sharih dari Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam yg membolehkan jama lantaran macet?
Jawabannya tentu tidak ada. Tidak ada hadits yg bunyinya bila kalian kena macet, maka silahkan menjama’ shalat.
Lalu apakah kondisi macet sesuai dengan salah satu penyebab di atas? Misalnya dengan urusan safar, hujan, sakit, haji atau keperluan mendesak?
Kalau dikaitkan dengan safar, maka macet yg sering kita alami tidak memenuhi syarat, karena dari segi jarak tidak memenuhi standar minimal. Kalau dikaitkan dengan keperluan mendesak, di sana ada syarat bahwa hal itu tidak boleh terjadi tiap hari. Dan yg namanya darurat itu tidak boleh terjadi sepanjang waktu.
Bukankah kita masih bisa turun dari bus atau mobil untuk shalat di mana pun? Bukankah shalat itu tidak harus di dalam sebuah masjid atau musholla? Bukankah kalau tidak ada air kita masih diperbolehkan bertayamum? Bukankah air tersedia di mana2, bahkan para penjual air minum kemasan pun berkeliaran saat macet?
Maka kaidah fiqhiyah yg anda sampaikan itu masih ada pasangannya, yaitu:
الضرورة تقدر بقدرها
"Sesuatu yg dharurat itu diukur berdasarkan kadarnya."
Batasan Jama' Shalat
Ada silang pendapat yg besar di kalangan ulama dalam masalah ini, sampai2 sebagian ulama ada yg menyebutkan sampai 20 pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini lahir akibat perbedaan dalam menshahihkan sebuah hadits dan dalam memahami hadits2 yg menyebutkan adanya penyebutan jara' dalam safar Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di antara hadits2 yg menyebutkan adanya jarak tertentu adalah:
1. Hadits Anas di atas yg menunjukkan beliau shalat qashar di Zil Hulaifah. Sementara Zul Hulaifah jaraknya sekitar 3 mil atau 4,8 km dari Madinah, karena mil = 1,6 km
Hanya saja para ulama menyebutkan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa itu merupakan jarak minimal safar, tapi hanya menunjukkan bahwa beliau melakukan qashar di Zul Hulaifah.
2. Hadits Anas riwayat Muslim no. 691 dia berkata, “Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh, maka beliau shalat 2 rakaat.”
Hanya saja dalam hadits di atas juga tidak ada keterangan itu adalah jarak safar minimal yg diizinkan qashar. Lagipula riwayat Muslim di atas terjadi perbedaan lafazh yg mengharuskan perbedaan hukum, yaitu dalam penyebutan jarak antara 3 mil atau 3 farsakh. 1 mil = 1,6 km dan 1 farsakh = 5,541 km (walaupun tentunya ukuran 1 farsakh ini bukanlah ukuran yg disepakati).
3. Menjama’ Shalat Ketika Penuh Lumpur yg Merintangi Jalan
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yg lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunujukkan bahwa hujan dan tanah yg berlumpur (karena sebelumnya hujan) merupakan udzur (alasan) untuk tidak melakukan shalat jum’at. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Abbas di atas ”Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat)” yg merupakan illah (sebab) untuk meninggalkan shalat jum’at ketika hujan dan ketika tanah berlumpur (becek). Dan kedua hal ini termasuk kesulitan.
4. Menjamak Shalat Ketika Angin Kencang Disertai Hawa Dingin
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,”
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُنَادِي مُنَادِيْهِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ أَوْ اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ذَاتَ الرِّيْحِ صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa mengumandangkan adzan ketika malam yang hujan dan malam yang dingin disertai angin kencang, lalu diucapkan ”shalatlah di rumah-rumah kalian”.” (HR. Ibnu Majjah)
5. Menjamak Shalat Karena Kesulitan
Dari Ibnu ’Abbas, beliau mengatakan,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya' di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yg berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yg Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim)
6. Menjamak Shalat Ketika Sakit
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits2 seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yg jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yg telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yg si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing2 adalah suatu hal yg lebih layak lagi.” (Maumu' Fatawa Ibnu Taimiyah 24/84).
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ”Semua alasan yg menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yg membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yg menghadang di jalan, anging yg kencing membawa hawa dingin menurut pendapat yg nampak pada Imam Ahmad. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yg mengalami istihadhah dan wanita yg menyusui (yg harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)”. (Maumu' Fatawa Ibnu Taimiyah 24/14).
Batasan Qashar Shalat
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ
“Jika kalian mengadakan perjalanan di muka bumi maka tidak mengapa atas kalian untuk mengqashar shalat jika kalian khawatir orang-orang kafir akan membahayakan kalian.” (QS. An-Nisa’: 101)
Dari Ya’la bin Umayyah dia berkata kepada Umar bin Al-Khaththab meminta penjelasan ayat di atas:
فَقَد أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ: عَجِبتُ مِمَّا عَجِبتَ مِنهُ فَسَأَلتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – عَن ذَلِكَ فَقَالَ: ((صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بِهَا عَلَيكُم فَاقبَلُوا صَدَقَتَهُ)).
“Sekarang manusia sudah merasa aman (tidak ada bahaya dari orang kafir). Maka Umar menjawab, “Aku juga mengherankan hal tersebut, karenanya aku juga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Itu (qashar) adalah sedekah yang Allah bersedekah kepada kalian, karenanya terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim no. 686)
Dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha dia berkata:
فَرَضَ الله الصَّلاةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّت صَلاةُ السَّفَرِ وَزِيدَ في صَلاةِ الحَضَرِ
“Dia awal kali Allah mewajibkan shalat, Dia mewajibkannya 2 rakaat 2 rakaat dalam keadaan mukim dan safar. Belakangan, shalat dalam keadaan safar ditetapkan sebagaimana awalnya, dan shalat dalam keadaan mukim ditambah (jadi 4 rakaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1090 dan Muslim no. 685
Hukum Qashar Shalat
Pendapat yg lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa mengqashar shalat bagi musafir hukumnya adalah wajib. Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Hasan bin Saleh, dan merupakan mazhab Zhahiriah dan selainnya, serta yg dikuatkan oleh Asy-Syaukani dalam Nail Al-Authar: 3/202.
Di antara dalil-dalil mereka adalah:
1. Hadits Ya’la bin Umayyah di atas. Sisi pendalilannya adalah adanya perintah Nabi shallallahi alaihi wasallam untuk menerima sedekah dari Allah (shalat qashar), sementara hukum hukum asal perintah beliau adalah wajib.
2. Hadits Aisyah di atas yg tegas menunjukkan bahwa dalam safar, shalat kembali kepada rakaat asalnya yaitu dua rakaat. Karenanya barangsiapa yang shalat itmam (4 rakaat) dalam safar maka dia telah menambah 2 rakaat tanpa ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya.
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata:
صَحِبتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – فَكَانَ لا يَزِيدُ في السَّفَرِ عَلَى رَكعَتَينِ وَأَبَا بَكرٍ وَعُمَرَ وَعُثمَانَ كَذَلِكَ
“Saya bersahabat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebegitu lama), akan tetapi dalam safar beliau tidak pernah shalat lebih dari 2 rakaat. Demikian pula yg dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. Al-Bukhari no. 1102)
Kapan musafir mulai mengqashar?
Ibnu Al-Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yg kami hafal pendapat mereka telah bersepakat bahwa siapa yg ingin safar maka dia boleh mengqashar jika dia sudah meninggalkan semua rumah yg ada di kampung yang dia keluar darinya.”
Apa yg disebutkan oleh Ibnu Al-Mundzir di sini akan adanya ijma’ adalah sebatas apa yg beliau hafal -sebagaimana yg beliau sendiri ingatkan-, karena kenyataannya ada silang pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Pendapat yg beliau sebutkan tersebut adalah pendapat mayoritas ulama, dan di antara dalil mereka adalah atsar dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau pernah safar lalu beliau melakukan qashar bersama yg lainnya dalam keadaan mereka melihat rumah2 (di dalam kampung). Lalu ketika mereka pulang, mereka mengqashar dalam keadaan mereka melihat rumah2.
Atsar di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/569) secara mu`allaq dengan konteks al-jazm (pemastian keshahihannya).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
أَقَامَ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – تِسعَةَ عَشَرَ يَقصُرُ، فَنَحنُ إِذَا سَافَرنَا تِسعَةَ عَشَرَ قَصَرنَا وَإِن زِدنَا أَتمَمنَا
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya selama 19 hari sambil mengqashar shalat. Karenanya, jika kami safar selama 19 hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami melakukan shalat itmam (rakaat sempurna).” (HR. Al-Bukhari no. 1080)
Dan pembatasan 19 hari inilah yang dipilih oleh Ishaq bin Rahawaih dan yg dikuatkan oleh Asy-Syaukani.
Maraji': Dhiya` As-Salikin fii Ahkam wa Adab Al-Musafirin karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.
Demikian Ibnu Mas'ud menjelaskan dalam kajiannya semoga bermanfaat. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق

Tidak ada komentar:

Posting Komentar