MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 29 Desember 2020

KAJIAN TENTANG BENARKAH TAHUN BARU LEBIH BURUK DARI TAHUN SEBELUMNYA?

Salah satu gambar meme yang banyak tersebar di banyak media tempel adalah poster presiden kedua Soeharto dengan kalimat sindirian, “Masih enak zamanku tho? Wallahu a’lam, apa sebenarnya yang diinginkan dengan meratanya tulisan semacam itu beberapa waktu yang silam. Apakah era orde baru akan bangkit kembali, atau sekedar ungkapan bahwa kehidupan saat ini bukan semakin baik namun semakin memburuk. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa zaman dimana hari ini kita hidup memang secara global mengalami kemerosotan dalam hampir seluruh lini kehidupan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh sebuah riwayat hadits berikut ini,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنْ الْحَجَّاجِ فَقَالَ اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Zubair bin ‘Adi mengatakan, pernah kami mendatangi Anas bin Malik, kemudian kami mengutarakan kepadanya keluh kesah kami tentang ulah para jamaah haji. Maka dia menjawab, "Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalani suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian. Aku mendengar hadits ini dari Nabi kalian Shallallahu ’alaihi wa sallam”. (HR. Bukhari no.6541)

Mereka datang kepada Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik termasuk diantara sahabat yang diberikan umur panjang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai melewati 100 tahun dan ini adalah keberkahan dari doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beliau diberi umur yang panjang dan kelebihan pada harta dan keturunan sehingga beliau mendapati zaman kepemimpinan Al Hajjaj ibn Yusuf As Tsaqafi yang dikenal dengan Mubir Tsaqif dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwasanya akan keluar dari Tsaqif nama sebuah tempat yang menumpahkan darah yang banyak, seseorang yang dzalim yang dimaksudkan adalah Al Hajjaj bin Yusuf As Tsaqafi adapun Al Kadzab yang dimaksudkan adalah Al Mukhtar As Tsaqafi yang mana Al Mukhtar As Tsaqafi dahulu adalah orang yang sholeh bahkan termasuk diantara komandan pasukan dari Ibnu Zubair di zaman Kekhailafahan beliau bahkan beliau ikut memerangi orang-orang yang membunuh Husain Ibnu Ali Radhiyallahu ‘anhuma akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membolak balikkan hati seorang hamba sehingga Al Mukhtar As Tsaqafi yang mana Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu menikahi saudara perempuannya.

Di kemudian hari Al Mukhtar As Tsaqafi mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Nabi memberi julukan Al Kadzab (pendusta). Ketika disampaikan kepada Ibnu Umar bahwasanya iparnya yang bernama Al Mukhtar As Tsaqafi mengaku mendapatkan wahyu, Ibnu Umar berkata:”Apa yang dia katakan itu benar”, karena Allah Subhanahu wata’ala berfirman di dalam Al-Qur’an,

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

”Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kalian; dan jika kalian menuruti mereka, sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al-An’am : 121). Yang dia maksudkan oleh Ibnu Umar adalah wahyu dari syaithan dan bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Al Hajjaj bin Yusuf banyak menumpahkan darah bahkan dari kalangan para ulama Rahimakumullah dan ketika hal ini diadukan kepada Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata kepada para tabi’in dan ini menunjukkan tentang keutamaan para ulama yang menjadi rujukan terutama di zaman yang penuh dengan fitnah beliau kemudian tidak menyuruh memberontak kepada penguasa apalagi dengan membawa pedang karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal yang seperti ini dan ini adalah aqidah dari Ahlusunnah Wal Jama’ah yaitu tidak melakukan pemberontakan kepada hakim terutama hakim yang menerapkan syariat islam walaupun nampak kedzaliman dari hakim itu karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah yang lebih besar terutama untuk menjaga darah dan nyawa manusia dan kaum muslimin. Inilah mengapa Al Hajjaj bin Yusuf digelari imam yang dzalim itu lebih baik dari pada fitnah yang terus menerus dan tidak terhenti.

Sahabat Anas Bin Malik kemudian memberikan arahan kepada para tabi’in dengan berkata, “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalani suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian. Aku mendengar hadit ini dari Nabi kalian Shallallahu ’alaihi wa sallam”. Hal ini disebabkan karena semakin waktu bergulir atau zaman berlalu semakin jauh dari zaman kenabian dan semakin banyak orang-orang yang berilmu meninggal dan ini yang menjadi jawaban Mungkin ada yang bertanya, ”Bukankah setelah ke khalifahan Al Hajjaj bin Yusuf ada khilafah Umar bin Abdul Azis yang terkenal dengan keadilannya beliau hanya memimpin kurang lebih 2 tahun sampai beliau digelari dengan khalifatul khamis khalifah yang ke 5 setelah Abu Bakar As shiddiq, Umar, Ustman, Ali karena keadilannya sebagaimana yang disifatkan oleh imam Syafi’i Rahimahullah Tabaraka wa Ta’ala bahkan sebagian ulama ketika menafsirkan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara tanda dan ciri akhir zaman adalah harta yang berlimpah sampai-sampai orang kaya tidak tahu kemana zakatnya untuk dibayarkan dan ini pernah berlangsung di zaman khilafah Umar bin Abdul Azis sampai beliau perintahkan pegawainya untuk mengeluarkan gandum-gandum yang melimpah di gudang-gudang penyimpanan zakat untuk di tebarkan di jalan atau dilapangan agar dimakan oleh ayam, unggas dan burung-burung dan beliau berkata, ”Agar tidak ada yang mengadu di hari kiamat yang merasa terdzalimi dibawah khilafah Umar bin abul Azis Rahimahullah”. Beliau takut kepada Subhanahu wa Ta’ala, sebelum menjadi khalifah beliau adalah orang yang kaya raya termasuk istrinya Fatimah namun ketika beliau menjabat sebagai khalifah beliau memerintahkan kepada Fatimah untuk menyerahkan hartanya ke Baitul Maal Muslimin dan beliau meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa untuk anak atau keturunannya, ketika beliau ditanya mengapa engkau tidak meninggalkan sesuatu yang bisa engkau wariskan kepada anak-anakmu, beliau berkata, ”Andaikan anak-anak saya adalah orang-orang yang sholeh maka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan menanggung kehidupan mereka dan andaikan mereka adalah orang-orang yang buruk maka saya tidak meninggalkan harta untuk membantu mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.

Di zaman Al Hajjaj bin Yusuf ada sahabat yang masih hidup dan tentu ini menunjukkan kebaikan di zaman itu dibandingkan zaman setelahnya bagaimanapun kondisi dan keadaannya ketika masih ada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup ditengah-tengah mereka maka itu adalah alamat kebaikan sebagaimana sahabat yang kita bahas dalam hadist ini Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَي مِنَ الْحَجَّاجِ فَقاَلَ مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوا رَبَّكُمْ سَمِعْتُ هذَا مِنْ نَبِيِّكُمْ صلى الله عليه وسلم

Dari az-Zubair bin Adi, ia berkata, Saya menemui Anas bin Malik. Kami mengadukan apa yang kami temukan dari (kekejaman) al-Hajjaj. Anas berkata, “Tidak ada satu tahun pun kecuali setelahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian bertemu Tuhan kalian.” Saya mendengar ini dari Nabi kalian Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi, IV : 492 no. 2206).

Hadits semakna didapatkan dalam shahih al-Bukhari,

عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنْ الْحَجَّاجِ فَقَالَ اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صلى الله عليه وسلم

Dari az-Zubair bin Adi, ia berkata, Saya menemui Anas bin Malik. Kami mengadukan apa yang kami temukan dari (kekejaman) al-Hajjaj. Anas berkata, “Sabarlah kalian, karena tidak ada satu zaman pun kecuali setelahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian bertemu Tuhan kalian.” Saya mendengar ini dari Nabi kalian Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, XVII : 557, no. 7068)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjuk pada zaman yang khusus dan tidak dapat dimaknai secara umum. Karena terbukti setelah masa Al-Hajjaj, yaitu Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi yang termasyhur. Ia dikatakan oleh para ahli tarikh memiliki reputasi buruk sebagai pekerja pada masa keamiran Abdul Malik bin Abdullah bin Az-Zubair. Dan pada riwayat ini mengenai keadaan dan kejadian-kejadian buruk yang diadukan oleh Az-Zubair bin Adi kepada Anas bin Malik ini adalah perilaku buruk dan keji yang dilakukan oleh Al-Hajaj bin Yusuf. Akan tetapi tidak lama masanya setelah itu datanglah masa Umar bin Abdul Aziz yang diketahui dan disepakati oleh para ulama bahwa masa Umar bin Abdul Aziz jauh lebih baik dari masa Al-Hajjaj. Oleh karena itu para ulama memaknainya dengan aghlab wa aktsar (biasanya atau pada umumnya). Oleh karena itu tidak akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini apabila didapatkan suatu masa yang baik, lalu datang berikutnya masa yang lebih baik, atau setelah masa yang buruk datang kemudian masa yang baik.

عَنْ أَبِي جَمْرَةَ سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ

Dari Abu Hamzah, saya mendengar Zahdam bin Mudharib, saya mendengar Imran bin Hushain r.a berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, “Sebaik-baik umat adalah masaku lalu umat setelahnya dan umat setelahnya.” Imran berkata, “Saya tidak tahu apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut dua masa atau sampai tiga masa.” Lalu beliau berbada, “Sesungguhnya setelah kalian akan ada kaum yang yang menyaksikan tetapi menolak memberikan kesaksian, berkhianat dan tidak amanah, bernadzar dan tidak menunaikannya, dan kegemukan muncul subur di antara mereka.” (HR. Bukhari VI : 560 no. 2651).

Kata siman dimaknai oleh para ulama dengan beberapa makna. Yaitu hanya isi perut yang dipikirkan mereka (konsumtif), senang dipuji dengan tidak pada kepantasannya, merasa mulia dan terhormat padahal tidak, saling berrmegah-megah dengan banyaknya harta dan kesenangan duniawi, dan lain-lain. (Fathul Bari, V : 260).  

Jadi pada dasarnya yang dimaksud zaman dan masa atau generasi itu adalah para penghuni dan pelaku sejarah pada masa dimaksud. Maka zaman akan dikatakan buruk padahal yang dimaksud adalah aqidah, ibadah dan muamalah umat pada masa itu yang buruk. Nasehat dari para ulama adalah bahwa manusia sebagai pengisi zaman, wajib bagi dirinya untuk menjadi manusia yang baik, penuh dengan kesalehan, sehingga zaman yang menjadi masanya dapat dikategorikan baik atau lebih baik.

Dari jalur Abu Ishaq, Ibnu Hajar juga meriwayatkan perkataan Ibnu Mas‘ud ra dengan redaksi: “lebih buruk daripada hari sebelumnya”, Ada orang yang berkata, “Bukankah kita telah merasakan kemakmuran selama setahun ini?” Maka pernyataan ini dijawab oleh Ibnu Mas‘ud ra, “Bukan itu yang aku maksudkan, tetapi maksudku itu adalah banyaknya ulama yang wafat.”

Atsar-atsar di atas menerangkan dengan jelas kondisi buruk yang dimaksud, yaitu meliputi lemahnya nilai-nilai agama serta wafatnya para ulama dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya, seperti kezhaliman, kefasikan, dan maraknya kebodohan. Kemudian semua pertanda ini benar-benar terwujud dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Dengan demikian, hendaknya setiap muslim merasa lebih gelisah atas urusan agamanya ketimbang dunianya. Sebab, inilah fitnah terbesar yang akan menimpa kepada mereka yang hidup di akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 28 Desember 2020

KAJIAN TENTANG BADAN LEMBAGA ZAKAT ATAU BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)

Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dan kecil, dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. namun ada juga yang menyebutnya sebagai Balai Usaha Mandiri dan Terpadu (BMT). Yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadist. Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. 

Adapun secara terminologis (ma’na ishtilahi), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara' dan tidak ditentukan individu pemiliknya walaupun telah tertentu pihak yang berhak menerimanya maka harta tersebut menjadi hak Baitul Mal Wat Tamwil, yakni sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Mal Wat Tamwil. 

Secara hukum, harta-harta itu adalah hak Baitul Mal Wat Tamwil, baik yang sudah benar-benar masuk ke dalam tempat penyimpanan Baitul Mal Wat Tamwil maupun yang belum. Demikian pula setiap harta yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya, atau untuk merealisasikan kepentingan kaum muslimin, atau untuk biaya penyebarluasan dakwah, adalah harta yang dicatat sebagai pengeluaran Baitul Mal, baik telah dikeluarkan secara nyata maupun yang masih berada dalam tempat penyimpanan Baitul Mal Wat Tamwil. 

Dengan demikian, Baitul Mal Wat Tamwil dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah lembaga atau pihak yang menangani harta masyarakat, baik pendapatan maupun pengeluaran. Namun demikian, Baitul Mal Wat Tamwil dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan suatu lembaga dalam sebuah organisasi. Istilah Baitul Mal atau Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) belakangan ini populer seiring dengan bangkitnya semangat umat untuk berekonomi secara Islam. 

Istilah itu biasanya dipakai oleh sebuah lembaga khusus (dalam sebuah organisasi, perusahaan atau instansi) yang bertugas menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq, shadaqah) dari masyarakat, para pegawai atau karyawannya. Kadang dipakai pula untuk sebuah lembaga ekonomi berbentuk koperasi serba usaha yang bergerak di berbagai lini kegiatan ekonomi umat, yakni dalam kegiatan sosial, keuangan (simpan-pinjam), dan usaha pada sektor riil.

Dalam bahasa fikih badan atau lembaga BMT dalam praktek akad dan realisasinya disebut murabahah. Murabahah merupakan suatu bentuk transaksi jual-beli dengan tujuan utama berbagi laba/keuntungan penjualan antara pemodal dan wakilnya. Harta zakat, infaq dan shadaqah sebagai pemodal, sementara pengurus Baitul Maal Wat Tamwil sebagai wakilnya. Adapun bagian hasil untuk pemodal (dari harta zakat, infaq dan shadaqah) dipergunakan untuk program sosial dan semisalnya.

Suatu misal, ada seorang pedagang (A) tidak mampu mendapatkan barang sendiri dari sebuah produsen. Kemudian ia meminta seorang agen (B) untuk mengusahakan langganan barang tersebut secara tetap dan rutin dengan perjanjian, kelak ia akan mendapatkan keuntungan dari sekian jumlah unit barang yang dipesan, pihak B akan mendapatkan nisbah keuntungan sekian persen (misal 10 persen). Akad seperti ini disebut dengan akad murabahah (berbagi laba).  

Contoh lain dari penerapan akad murabahah ini adalah seorang pedagang dari Semarang hendak membeli barang di Jakarta. Jika ia berangkat sendiri, maka akan keluar biaya yang besar untuk ongkos transportasi dan lain-lain. Agar dapat memangkas hal tersebut, ia mengangkat seorang wakil di Jakarta agar mengusahakan barang dagangan yang ia butuhkan, kemudian mengirimkan barang tersebut secara rutin setiap bulannya. Dari setiap unit barang yang dipesan, pihak wakil akan mendapatkan keuntungan 10 persen. Ongkos kuli ditanggung oleh pedagang dari Semarang. Akad antara pedagang dan wakilnya seperti ini dikenal sebagai akad murabahah, karena keberadaan rasio keuntungan yang diketahui dan disepakati bersama-sama antara ia dan si wakil.  

Dengan demikian, apa pengertian murabahah dalam fiqih kita? Berikut ulasannya. Imam al-Mawardi dalam kitab al-Iqna’ fi Hillil Alfadh Abi Sujja’ (1/468), mendefinisikan akad murabahah ini sebagai berbagi keuntungan antara pemodal dan pedagang dengan nisbah/rasio keuntungan yang diketahui di awal.

بيع المرابحة جائز من غير كراهة وهو عقد يبنى الثمن فيه على ثمن المبيع الأول مع زيادة بأن يشتري شيئاً بمائة ثم يقول لغيره بعتك هذا بما اشتريته وربح درهم زيادة أو بربح درهم لكل عشرة أو في كل عشرة 

“Hukum transaksi jual beli murabahah adalah boleh tanpa adanya unsur makruh. Murabahah merupakan akad yang dibangun dengan jalan menetapkan harga suatu barang di atas harga belinya ditambah keuntungan. Misalnya, seseorang membeli barang dengan harga 100 kemudian berkata kepada pihak kedua, aku jual barang ini ke kamu sesuai dengan harga dasar aku membelinya ditambah laba sekian dirham sebagai laba, atau dengan laba sekian dirham untuk tiap-tiap 10 dirhamnya, atau tiap 10 persennya. 

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, akad murabahah merupakan jenis transaksi yang diperbolehkan dalam syariat. Kedua, unsur pelaku akad ini adalah adanya pemodal dan adanya wakil (orang yang dimodali). Ketiga, diketahuinya harga beli barang (harga dasar), dan Keempat, adanya perhitungan nisbah rasio keuntungan yang mafhum dan diketahui oleh wakil (orang yang dimodali). 

Selanjutnya, Imam al-Mawardi menyebutkan,

ويجوز أن يضم إلى رأس المال شيئاً ثم يبيعه مرابحة مثل أن يقول اشتريته بمائة وقد باعتكه بمائتين وربح درهم زيادة وكأنه قال بعت بمائتين وعشرين وكما يجوز البيع مرابحة يجوز محاطة مثل أن يقول بعت بما اشتريت به وحط درهم زيادة 

“Murabahah boleh dilakukan dengan jalan menotal pokok harta/modal (ra’sul-mâl) sebagai aset, kemudian menjual aset tersebut dengan murabahah. Contoh: Aku (pemodal) beli barang ini seharga 100, dan aku jual ke kamu (pedagang) dengan harga 200 dengan nisbah keuntungan sekian dirham yang ditambahkan. Seolah ia (pemodal) bilang, ‘Aku (pemodal) jual barang ini ke kamu seharga 220.’ Akad ini sama kebolehannya dengan praktik jual beli muhâthah, misalnya ucapan seorang pemodal: Aku (pemodal) jual barang ini sesuai dengan harga membelinya, ditambah dengan sekian dirham sebagai tambahan keuntungan.” (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Iqna’ fi Hillil Alfadh Abi Sujja’ [1/468]) 

Penjelasan di atas menyebutkan bahwa boleh menetapkan margin keuntungan oleh wakil kepada pihak yang diwakilinya (pedagang). Harga dasar 100, dijual dengan harga 200 ditambah dengan nisbah keuntungan. Melihat proses bagaimana lahirnya akad murabahah ini, beberapa fuqaha’ mu’ashirah (ahli fiqih kontemporer) menyebut akad ini sebagai akad jual beli atas dasar amanah (‘aqdul buyu’u al-amânah). Mengapa? Karena dalam prosesnya, akad ini terjadi atas dasar amanah yang diberikan oleh pemilik modal (pedagang) kepada orang yang menjalankan (orang yang dimodali). Oleh karena itu, ia sangat berharap kejujuran orang yang menjalankannya dan berharap orang yang ditugasi menjalankan tidak melakukan hal-hal yang berbuah hilangnya kepercayaan (amanah) tersebut.  

Hikmah dari hal bai’ul amanah/murabahah ini, adalah kendati pihak pemodal berhak menentukan harga dan nisbah keuntungan, namun ia tidak akan berani menetapkan harga semaunya. Karena, jika hal tersebut ia lakukan, maka “sanksinya” adalah ia akan kehilangan pelanggan/nasabah yang memanfaatkan jasanya. 

Beberapa literatur khazanah Islam klasik menyebutkan bahwa akad murabahah ini dijalankan bila ada seseorang yang berniat menjalankan sebuah usaha, namun ia kekurangan modal. Agar usahanya berjalan, maka ia menjalin kerja sama dengan pihak kedua (pemodal), dengan nisbah pembagian keuntungan yang diketahui dan disepakati bersama-sama.

Dalam masa sekarang ini kita tak pernah tertinggal dari yang namanya lembaga keuangan, banyak sekali lembaga keuangan yang disediakan pemerintah untuk keperluan kita dalam kehidupan bermasyarakat,ada salah satu hadist yang menjelaskan tentang ini, 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله ﷺ: بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar ra berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Islam dibangun atas lima perkara, persaksian sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusanNya, mendirikaan shalat, mengeluarkan zakat, haji dan puasa ramadhan'' (HR . Bukhari)

Makna dari hadist diatas adalah Keuangan islam bersumber dari perintah yang ada dalam Al-Qur'an, dimana bagian ini sama pentingnya dalam agama. Ekonomi tidak pernah terlepas dari manusia . dalam QS. Al-Baqarah(2): 282 disebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah : 282)

Nah ayat tersebut sudah jelas dan begitu rinci mengatus aturan muamalah diantara manusia diera yang sekarang ini. Pada masa sekarang ini banyak muncul lembaga keuangan islam yang dikenal dwngan sebutan BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) tersebut. 

*1. Dasar Hukum Zakat*

Diatur dalam QS. Al-Baqarah : 43 yang bunyinya, 

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah : 43).

*2. Dasar Hukum Infak*

Dijelaskan dalam QS. Ibrahim : 31 yang isinya, 

قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خِلَالٌ

"Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan." (QS. Ibrahim : 31)

*3. Dasar Hukum Shadaqah*

Dijelaskan dalam Hadist riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصبِحُ العِبادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلانِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tidak ada hari kecuali setiap hari tersebut ada dua malaikat yang turun setiap pagi dan berkata salah seorang diantara mereka, ‘Ya Allah berilah ganti bagi orang yang berinfaq‘, dan berkata malaikat yang lain, ‘berilah kebinasaan bagi orang yang kikir.'” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan diatas kita harus memahami bahwa riba itu haram hukumnya sedangkan sistem yang dipakai BMT adalah sistem bagi hasil dimana perhitungannya menurut ekonomi islam ada 2 macam yaitu : 

*(1) Profit sharing atau bagi hasil,* dimana total pendapatan usaha dikurangi biaya operasional untuk mendapatkan profit alias keuntungan bersih. 

*(2) Revenue sharing* yaitu laba berdasarkan total pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya operasional alias pendapatan kotornya. Sedangkan untung untuk pihak lembaga dan nasabah sudah diputuskan saat akad ditandatangani. 

*Adapun fungsi BAZ atau BMT sebagai berikut :*

(1) Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus dan pengelola menjadi profesional dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuanh dan berusaha menghadapi tantangan global, 

(2) Mengorganisasi dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal didalam dan diluar organisasi untuk kepentingan rakyat banyak, 

(3) Mengembangkan kesempatan kerja, 

(4) Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk anggota. memperkuat dan meningkatkan kuakitas lembaga-lembaga ekonomi dan sosial masyarakat banyak.

*Fungsi dan peran BAZ atau BMT di masyarakat adalah :* 

(1) Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak, 

(2) Ujung tombak pelaksanaan sistem ekonomi islam, 

(3) Penghubung antara kaum aghnia (orang kaya) dan kaim dhu'afa (orang miskin),  

(4) Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang barakah, ahsanu 'amala 

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum investasi dana zakat. Dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003, zakat yang ditangguhkan boleh diinvestasikan (istismar) dengan beberapa syarat yang ketat.  Zakat ditangguhkan (ta'khir), yakni zakat yang penyalurannya ditangguhkan oleh lembaga zakat atau muzaki menangguhkan pembayaran ke lembaga zakat.

Zakat ditangguhkan bisa diterima sepanjang belum ada mustahik dan ada kemaslahatan lebih besar berdasarkan penilaian lembaga zakat atau muzaki. MUI lantas mencantumkan persyaratan zakat yang di-ta'khir-kan bisa diinvestasikan. Pertama, dana zakat harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan yang berlaku. Kedua,  diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang diyakini dapat memberikan keuntungan atas dasar studi kelayakan. Ketiga, dibina dan diawasi pihak-pihak berkompeten.

Ulama kontemporer semisal Yusuf Qaradhawi mengungkapkan, investasi  dana zakat adalah halal. Al-Qaradhawi juga berpendapat, lembaga zakat boleh menginvestasikan dana zakat yang diterima secara melimpah dalam bentuk apa pun, seperti ruko dan sejenisnya. Hasil yang didapat dari investasi tersebut bisa disalurkan kepada para mustahik secara periodik. Bentuk investasi dana zakat itu tidaklah boleh dijual dan dialihkan kepemilikannya sehingga menjadi bentuk setengah wakaf." (Yusuf Qaradhawi, "Atsar al-Zakat lil afrad wa al-mujtamaat", paper dalam seminar Zakat I tahun 1984).

Alasan dibolehkannya investasi dana zakat, di antaranya adanya riwayat yang mengatakan bahwa Nabi dan para Khulafaur Rasyidin pernah menginvestasikan dana-dana zakat lewat unta dan kambing. Berdasarkan riwayat Anas bin Malik, Nabi pernah meminum susu dari hewan-hewan ternak zakat di Madinah. Hewan itu ditempatkan di tempat peternakan khusus dengan diurus para penggembala yang digaji sehingga peternakan tersebut menghasilkan pengembangan ternak secara signifikan. (HR. Bukhari).

Hal ini diperkuat oleh pendapat Imam An-Nawawi yang menyatakan bahwa imam boleh menyalurkan dana zakat secara langsung atau tidak langsung melalui penyewaan atau investasi bentuk apapun.(An-Nawawi, al-Majmu, jilid 6 h. 160).

*Metode Pengelolaan Badan Amil Zakat (BAZ) atau Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)*

*1. Pendayagunaan Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif*

Pendagyagunaan dana zakat era kaitannya dengan bagaimana cara pendistribusiannya. Kondisi itu dikarenakan jika pendistribusiannya tepat sasaran dan tapat guna, maka akan sesuai dengan visi zakat yaitu merubah mereka para penerima zakat (mustahiq) menjadi pembayar zakat (muzakki).

Dalam pendistribusian zakat ada 2 macam yaitu: 

1). pendistribusian/pembagian dalam bentuk konsumtif untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. 

2). Pendistribusian dalam bentuk dana untuk kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. (Ahmad Rafiq, Fiqh Kontekstual (dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 259).

Dalam pengelolaan kekayaan zakat masa kini. Hampir seluruh lembaga zakat menerapkan dua metode  pendistribusian zakat. Secara umum kedua katagori zakat ini dibedakan berdasarkan bentuk pemberian zakat dan pengunaan dana zakat itu oleh mustahiq. Masing-masing dari kebutuhan konsumtif dan produktif tersebut kemudian dibagi dua, yaitu konsumtif tradisional dan konsumtif kreatif. Sedangkan yang berbentuk produktif adalah produktif konvensional dan produktif kreatif. Adapun penjelasan lebih rinci dari keempat bentuk penyaluran zakat tersebut adalah:

*Konsumtif Tradisional*

Maksud dari pendistribusian zakat secara konsumtif tradisional adalah bahwa zakat dibagi kepada mustahiq dengan cara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, seperti pembagian zakat fitrah berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap idul fitri atau pengembangan zakat mal secara langsung oleh para mizakki kapada mustahiq yang sangat membutuhkan karena ketiadaan pangan atau karena mengalami musibah. Pola ini merupakan progran jangka pendek dalam rangka mengatasi masalah umat.

*Konsumtif Kreatif*

Pendistribusian zakat secara konsumtif kreatif adalah zakat yang diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain berupa alat-alat sekolah dan beasiswa untuk para pelajar, bantuan sarana ibadah seperti sarung dan mukena, bantuan alat pertanian, seperti cangkul untuk petani, gerobak jualan untuk pedagang kecil dan lain-lain.

*Produktif Konvensional*

Pendistribusian zakat secara produktif konvensional adalah zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, di mana dengan mengunakan barang-barang tersebut, para mustahiq dapat menciptakan suatu usaha, seperti pemberian bantuan ternak kambing, sapi atau untuk membajak sawah, alat pertukangan, mesin jahit.

*Produktif Kreatif*

Pendistribusian zakat secara produktif kreatif adalah zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk pemodalan proyek sosial, seperti bangunan sosial, pembangunan sekolah, sarana kesehatan atau tempat Ibadah maupun sebagai modal usaha untuk membantu pengembangan usaha para pedagang atau pengusaha kecil. (Muhammad Abdul Qadir Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, (Semarang: Diana Utama Semarang, 1993), hlm 1-2).

Hasil dari analisi di atas, maka dapat disimplkan bahwa pengembangan zakat produktif dapat merubah mustahiq menjadi muzakki, karena dari hasil pengamatan kami selama ini, pendayagunaan zakat secara konsumtif belum mampu memperbaiki perekonamian umat. Oleh karena itu solusi untuk membangun kesejahteraan umat adalah melalui pemberian modal atau pengembangan zakat secara produktif.

Pengembangan Zakat Produktif sebagai Solusi untuk Membangun Kesejahteraan Umat

Dana zakat produktif diwujudkan dalam bentuk bantuan modal terhadap usaha mustahiq. Zakat produktif yaitu zakat yang diberikan oleh lembaga Badan Amil Zakat (BAZ) atau Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan modal, bantuan zakat produktif sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi yaitu untuk mengembangkan kondisi ekonami dan potensi produktivitas mustahiq.

Zakat untuk usaha produktif harus diberikan kepada mustahiq sebagai modal atau sumber pendapatan bagi mustahiq. (M. Dawan Raharjo, Islam dan Tranformasi Sosial Ekonomi, ( Jakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), hlm 445).

Model pengelolaan zakat secara produktif ini telah dicontohkan pada masa Khalifah Umar Ibn Khathab yang menyerahkan berupa tiga ekor unta sekaligus kepada salah seorang mustahiq yang sudah rutin meminta zakatnya, tapi belum berubah nasibnya, pada saat penyerahan tiga ekor untah itu, khalifah mengharapkan agar yang bersangkutan tidak datang lagi sebagai penerima zakat, tetapi diharapkan oleh khalifah sebagai pembayar zakat. Harapan Khalifah Umar Ibn Khathab tersebut ternyata menjadi kenyataan, karena pada tahun berukutnya, orang ini datang kepada Khalifah Umar Ibn Khathab bukan meminta zakat, tetapi untuk menyerahkan zakatnya. (Irfan Mahmud Ra’ana, Economics Sistem Under The Great (Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Khathab), terj. Mansuruddin Djoely, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1979), hlm 88).

Dalam pendayagunaan dana zakat untuk aktivitas-aktivitas produktif memiliki beberapa prosedur, aturan tersebut terdapat dalam Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, BAB V pasal 29 yaitu sebagai berikut :

1. Melakukan studi kelayakan.

2. Menetapkan jenis usaha produktif.

3. Melakukan bimbingan dan penyuluhan.

4. Melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan.

5. Melakukan evaluasi.

6. Membuat laporan

Dalam pendistribusian dana zakat produktif, apabila Badan Amil Zakat (BAZ) atau Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) melaksanakan sesuai dengan amanat Undang-undang, maka tujuan pendayagunaan dana zakat dalam menghadirkan Muzakki-muzakki baru akan tercapai, karena dalam pembagian dana zakat merupakan tranfer kekayaan (membagi kekayaan), itu merupakan tujuan pengumpulan zakat.  Kaitannya dengan firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Hasyr : 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS. Al-Hasyr : 7).

Kandungan makna dari QS. Al-Hasyr : 7 tersebut mengisyaratkan harta dibagi-bagi pada setiap orang yang membutuhkan, agar harta tidak hanya beredar atau tidah hanya menjadi milik orang-orang kaya saja. Namun demikian pola peredaran harta juga harus memperhatikan Syari’at Islam atau tuntutan Agama yang mengatur hal tersebut. Di sinilah pentingnya pengelolaan zakat yang cerdas dan kreatif dalam hal pengelolaan sumber daya yang tersedia. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 23 Desember 2020

MEKANISME PEMILIHAN AHWA (AHLUL HALLI WAL AQDI) KONFERENSI KE-3 MWC NU CIPAYUNG 26 DESEMBER 2020

I. Peserta Konferensi terdiri dari 8 Ranting masing-masing memiliki dua (2) suara yaitu satu (1) suara utusan Rois Syuriah dan satu (1) suara utusan Tanfidziyah,

2. Setiap Ranting bagi pemilik suara utusan mandat dari Rois Syuriah dan Tanfidziyah masing-masing menyepakati satu nama kyai untuk masuk dalam Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA). Kemudian nama-nama kyai dengan pemilih suara tertinggi diambil 5 orang sebagai AHWA,

3. Dari 5 nama-nama kyai yang terpilih menjadi AHWA bermusyawarah untuk menentukan satu (1) pilihan calon Rois Syuriah baik dari internal anggota AHWA maupun dari eksternal (di luar AHWA),

4. Setelah Rois Syuriah sudah terpilih maka dari 8 Ranting masing-masing mengusulkan satu nama bakal calon Ketua Tanfidziyah,

5. SC menghitung jumlah bakal calon Ketua Tanfidziyah yang diusulkan Ranting-Ranting dan meminta kesediaan menjadi bakal calon sebagai Ketua Tanfidziyah,

6.. Bakal calon Ketua Tanfidziyah mendaftar ke SC,

7. SC melakukan verfikasi berkas dan data bakal calon Ketua Tanfidziyah, dan nama-nama bakal calon yang lolos verfiikasi berhak berkompetisi dalam pemilihan calon Ketua Tanfidziyah,

8. Dilakukan pemilihan calon Ketua Tanfidziyah oleh peserta pemilik suara utusan Tanfidziyah dari setiap Ranting. Kemudian dari nama-nama bakal calon tersebut yang mendapatkan suara pemilih dukungan terbanyak sebagai calon Ketua Tanfidziyah,

9. Tiga nama peraih suara terbanyak diserahkan ke Rois Syuriah terpilih untuk dimintakan restu,

10. Jika cuma satu orang yang direstui, maka Ketua Tanfidziyah langsung terpilih,

11. Tapi kalau semua atau minimal dua nama saja yang direstui, maka dua atau tiga nama itu dikembalikan pada peserta untuk dipilih kembali,

12. Kandidat yang dipilih paling banyak dukungan oleh peserta pemilik hak suara setelah mendapat restu Rois Syuriah, dinyatakan sebagai Ketua Tanfidziyah terpilih.

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Kamis, 17 Desember 2020

EDISI KHUTBAH JUM'AT (Menjaga Lisan)

*Khutbah  Pertama*

اَلْحَمْدُ للهِ الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ، عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ، أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. ـ أَمَّا بَعْدُ، 

فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْقَدِيْرِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (الأحزاب: ٥٨)

*Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,* 

Diantara maksiat lisan adalah mencaci seorang Muslim, melaknatnya, melecehkannya, dan mengatakan setiap perkataan yang menyakiti hatinya tanpa ada sabab syar’i (alasan yang dibenarkan oleh syariat). Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الفَاحِشِ وَلَا البَذِيْءِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا)

“Seorang Mukmin yang sempurna imannya bukanlah seorang pencaci, pelaknat, bukan pula orang yang berkata keji dan kotor” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, dan lain-lain). 

Mencaci dan melaknat saudara sesama Muslim bukanlah sifat seseorang Mukmin yang sempurna imannya sebagaimana ditegaskan Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

“Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan” (HR al-Bukhari). 

Hadits ini menyebut perbuatan mencaci seorang Muslim sebagai kefasikan karena ia tergolong dosa besar. Sedangkan melaknat artinya adalah mencaci orang lain serta  mendoakannya agar dijauhkan dari kebaikan dan rahmat Allah. Seperti mengatakan: Semoga Allah melaknatmu, semoga laknat Allah menimpamu, engkau terlaknat, atau engkau termasuk orang yang pantas mendapat laknat Allah. Melaknat seorang Muslim hukumnya dosa besar.  

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan,

لَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Melaknat seorang Mukmin serupa dengan membunuhnya” (Muttafaqun ‘alaih). 

Bahkan dalam hadits lain, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas bersabda, 

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

“Sesungguhnya termasuk manusia yang paling buruk adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain karena takut akan perkataan keji dan kotornya” (HR. Al-Bukhari). 

Sebaliknya, Mukmin yang baik adalah seorang mukmin yang orang lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya. Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Muslim yang sempurna imannya adalah seseorang yang orang Muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya” (Muttafaqun ‘alaih). 

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,* 

Oleh karena itulah, mari kita jaga lidah kita. Jangan sampai menjadi sumber bencana bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Lidah bisa menjadi bencana bagi diri sendiri, karena jika tidak hati-hati, ucapan-ucapan yang haram dan mengandung dosa akan meluncur dari lidah kita. Imam al-Ghazali menuturkan: “Lidah adalah nikmat yang agung, bentuknya kecil. Tapi akibat yang ditimbulkannya bisa sangat besar.”  

Dengan sebab lidah, seorang anak bisa bertengkar dengan kedua orang tuanya. Dengan sebab lidah, bisa terjadi perceraian antara suami istri. Dengan sebab lidah, kerusuhan dan huru-hara dapat meletus di mana-mana dan meluas ke mana-mana. Dengan sebab lidah, seseorang bisa membunuh teman atau tetangganya. Dengan sebab lidah, bisa saja terjadi kekacauan yang memporak-porandakan seluruh penjuru negeri. Dan dengan sebab lidah, bisa jadi kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagi keutuhan sebuah negara, yaitu persatuan dan kesatuan. Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Muttafaqun ‘alaih). 

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,* 

Suatu ketika, sahabat Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu mendaki gunung Shafa. Setelah tiba di puncaknya, beliau memegang lidahnya sembari berucap: “Wahai lidah, ucapkanlah perkataan yang baik niscaya engkau beruntung. Diamlah dari perkataan yang buruk niscaya engkau selamat. Lakukanlah itu sebelum engkau menyesal. Sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثَـرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ مِنْ لِسَانِهِ (رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ)

“Sebagian besar dosa dan kesalahan manusia itu bersumber dari lidahnya” (HR ath-Thabarani). 

Sahabat Nabi yang lain, Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu suatu ketika bertanya kepada Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita bicarakan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya balik,

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟ (رَوَاهُ التِّـرْمِذِيُّ)

“Adakah sesuatu yang menjerumuskan manusia ke neraka lebih banyak daripada perkataan yang diucapkan lidah-lidah mereka?” (HR at-Tirmidzi). 

Baginda Nabi juga menasihatkan,

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ، ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ،ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﻻَ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻛُﻢْ ﺑِﻤَﻦْ ﺗُﺤَﺮَّﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﺑَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻫَﻴِّﻦٍ، ﻟَﻴِّﻦٍ، ﻗَﺮِﻳﺐٍ، ﺳَﻬْﻞٍ .

Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam berkata, "Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram (tersentuh api) neraka?" Para sahabat berkata, "Iya, wahai Rasulallah!". Beliau menjawab, "(Haram tersentuh api neraka) orang yang Hayyin, Layyin, Qorib, Sahl" [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Hiban.]

*Hayyin*

Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan dzahir maupun batin. Tidak labil gampang marah, grusah-grusuh dalam segala hal, penuh pertimbangan. Tidak gampangan memaki, melaknat dan ngamuk tersulut berita yg sampai padanya. Teduh jiwanya...

*Layyin*

Orang yang lembut dan kalem, baik dalam bertutur-kata atau berbuat. Tidak kasar, main cantik sesuai aturan, tidak semaunya sendiri, segalanya tertata rapi. Tidak galak yang suka memarahi orang yg berbeda berbeda pendapat dengannya. Identik tidak suka melakukan pemaksaan pendapat. Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk saudaranya sesama muslim.

*Qorib*

Bahasa jawanya 'gati', akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan orang bagi yang mengajak bicara. Tidak acuh tak acuh, cuek-bebek, gampang berpaling. Biasanya murah senyum jika bertemu dan wajahnya berseri-seri dan enak dipandang. Mudah untuk diajak berteman. 

*Sahl*

Orang yang gampangan, tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan membuat orang lain lari dan menghindar.

Keempat kata memiliki makna yg mirip, sama dan saling melengkapi dalam bingkai ```Akhlakul karimah.```

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,* 

Jauhkan lisan kita dari sumpah serapah, mencaci, memaki, mencela, menista, mengejek, melaknat, mengutuk, menghina, mengolok-olok, melecehkan, merendahkan, mencibir, mencemooh, menjelekkan, menghasut, menggunjing, mengadu domba dan memfitnah. Ingat, setiap apa yang kita ucapkan, akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat. 

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin. 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. 

*Khutbah Kedua* 

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، 

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، 

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. 

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.ـ

Senin, 14 Desember 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGULUNG PAKAIAN SAAT SHALAT

Pada saat shalat, sebetulnya kita sedang “sibuk” bermunajat kepada Allah dengan membaca al-Quran, berzikir dan berdoa, serta menjalankan kaifiyat shalat, baik yang wajib maupun sunat dengan khusyu’ dan tu’maninah. 

عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا

Dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau sedang shalat dan Beliau membalas salam kami. Ketika kami kembali dari (negeri) An-Najasyi kami memberi salam kembali kepada Beliau namun Beliau tidak membalas salam kami. Kemudian Beliau berkata, “Sesungguhnya dalam shalat ada kesibukan” (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 2/62)

Riwayat dari sahabat Anas bin Malik radiyallahu anhu,

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ

Nabi Sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "sesungguhnya mukmin itu jika sedang shalat, maka hakikatnya dia sedang bermunajat dengan rabbnya. Maka janganlah meludah ke depan atau ke kanan akan tetapi (jika hajat untuk meludah), maka (boleh meludah) ke kiri atau di bawah telapak kakinya." (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1/90)

Terlebih dalam keadaan sujud. Sujud merupakan simbol puncak kepasrahan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah. Ketika kepala, tangan dan kaki merendah sejajar pada titik terendah bumi yang mengubur keangkuhan dan kesombongan diri. Karena itu saat yang paling dekat antara hamba dan Allah adalah ketika sujud.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Dari Abu Hurairah Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “keadaan paling dekat antara hamba dan tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa” (HR. Muslim, Sahih Muslim, 2/49)

Diantara hadits kaifiyat sujud adalah sebagai bersujud dengan tujuh tulang dengan tidak menahan rambut dan baju, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Ibn Abbas Radiyallahu anhuma,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ ، وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. Dan kami dilarang mengumpulkan pakaian dan rambut. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut” dengan mengatakan: “Yang dimaksudkan bahwa dia (orang yang shalat) tidak mengumpulkan pakaiannya dan rambutnya di dalam shalat. Dan zhahirnya menunjukkan, larangan itu dalam keadaan shalat. Ad Dawudi condong kepada pendapat ini. Dan penyusun (Imam Bukhari) membuat bab setelah ini ‘Bab: Tidak boleh (orang yang shalat) menahan pakaiannya di waktu shalat’.”, ini menguatkan (pendapat Dawudi) itu. Tetapi al Qadhi ‘Iyadh membantahnya, bahwa itu menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas ulama). Mereka tidak menyukai hal itu bagi orang shalat, sama saja, apakah orang yang shalat itu melakukannya (yaitu menahan pakaian) di waktu shalat, atau sebelum memasuki shalat. Dan mereka (para ulama) sepakat, bahwa hal itu tidak merusakkan shalat. Tetapi Ibnul Mundzir meriwayatkan kewajiban mengulangi (shalat) dari al Hasan”. [Fathul Bari, syarh hadits no. 809].

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

اتفق العلماء علي النهي عن الصلاة وثوبه مشمرا وكمه أو نحوه أو ورأسه معقوص أو مردود شعره تحت عمامته أو نحو ذلك فكل هذا مكروه باتفاق العلماء وهي كراهة تنزيه فلو صلى كذلك فقد ارتكب الكراهة وصلاته صحيحة

"Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang pakaian atau lengannya tersingsingkan. Larangan menyingsingkan pakaian adalah larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu, berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah." (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/209), Al Majmu’ asy Syarh al Muhadzdzab (4/98).

Al-Kaftu mempunyai arti yang sama dengan al-Kaffu yaitu mengumpulkan dan menahan. Kalimat “tidak boleh menahan rambut dan pakaian” secara manthuq (tersurat) maksudnya larangan menahan rambut ketika salat (sujud) sehingga tidak terurai dan menyentuh tanah. Kedua, larangan menahan atau menyingsingkan pakaian, sehingga tidak menyentuh tanah ketika salat. Namun berdasarkan qorinah hadits sebelumnya dan secara mafhum muwafaqahnya maka yang dituntut adalah menghindari segala gerakan yang tidak mencerminkan kekhusyuan dan tidak sesuai dengan kaifiyat salat, kecuali ada hajat atau dalam keadaan darurat. Dimana ketika salat, pada hakikatnya kita sedang bermunajat kepada Allah sehingga dituntut khusyu’ dan tuma’ninah dalam menjalankannya, terlebih dalam sujud, saat yang paling dekat dengan Allah. 

Adapun shalat dengan keadaan baju sudah terlipat atau dilipat sebelum shalat, maka shalatnya tetap sah dan tidak termasuk dalam kategori yang dimakruhkan dalam hadits diatas. Namun, jika melipat bajunya ketika sedang shalat, maka masuk dalam apa yang dimakruhkan dalam hadits diatas.

Walaupun dinilai Ma'ruh (baik) namun melipat rambut dan pakaian ketika shalat tetap boleh diingkari, hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam satu riwayat,

عن عبد الله بن عباس أنه رأى عبد الله بن الحارث يصلى ورأسه معقوص من ورائه فقام فجعل يحله فلما انصرف أقبل إلى ابن عباس فقال ما لك ورأسى فقال إنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما مثل هذا مثل الذى يصلى وهو مكتوف

Dari Abdullah bin ‘Abbas Radliyallahu ‘Anhuma , sesungguhnya beliau pernah melihat Abdullah bin al-Harits sedang shalat dalam keadaan rambutnya Ma’qush (dilipat ke bagian akar rambut) dari bagian belakangnya, maka Abdullah bin Abbas berdiri dan mengurai rambutnya abdullah bin al-harits, dan manakala ia telah selesai dari shalatnya ia pun menghampiri Abdullah bin Abbas seraya berkata, “ada apa engkau dengan rambutku?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seperti yang (kamu lakukan) ini seperti orang yang shalat dalam keadaan Maktuf. (yaitu rambutnya yang panjang dibawa ke bagaian atas dibawah imamah atau peci). (HR. Muslim No. 1101 / al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Bin Hajjaj/ 3-4/Hal.432/Cet. Darul Ma'rifah/Tahun 2001.M/1422.H).

Imam an-Nawawi Rahimahullah memberikan keterangan atas riwayat Abdullah bin Abbas di atas dan beliau berkata,

فيه الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وأن ذلك لا يؤخر إذ لم يؤخره بن عباس رضي الله عنهما حتى يفرغ من الصلاة وأن المكروه ينكر كما ينكر المحرم

“Di dalam hadits ini ada anjuran amar ma'ruf nahi munkar dan hal itu tudak boleh diundur karena Ibnu Abbas Radliyallahu ‘Anhuma tidak mengundurkannya sampai ia (Abdullah bin Al-Harits) selesai dari shalatnya, dan sesungguhnya yang Makruh boleh diingkari sebagaimana diingkarinya sesuatu yang diharamkan.” (Al-Minhaj Sharh Shahih Muslim ibnul Hajjaj 3-4/432./Cet. ke-2 Darul-Makrifah Tahun 2001.M/1422.H)

Adapun terkait tentang makna Ma’qush dan Maktuf yang disebutkan di dalam hadits di atas, Imam Ibnul Atsir (Wafat 606 H.) Rahimahullah mengatakan bahwa maksud dari kata Ma’qush atau Maktuf adalah keadaan seorang yang rambutnya terurai jatuh ke bumi (lantai) saat ia bersujud sehingga ia diberikan pahala sujud dengan sebab itu, namun apabila rambutnya diikat maka jadilah hal itu ke dalam makna seperti seorang yang tidak bersujud.” (An-Nihayah Fii Ghariibil Hadiits Wal Atsar 2/237/ Cet. Ke-2 Darul Makifah 1427 H./2006 M).

Larangan melipat pakaian yang dinilai hanya sampai kepada hukum Makruh saja dalam masalah ini nampaknya dipengaruhi oleh adanya dalil lain yang mengalihkan hukum asal dari sebuah larangan yaitu haram kemudian berubah menjadi tidak haram. Dalil tersebut adalah sebuah perbuatan yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang intinya adalah,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج في حلة مشمرا فصلى ركعتين

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dengan pakaian yang Musyammir (pakaian yang diangkat bagian paling bawahnya) lalu beliau shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menukil perkataan al-Isma’ili bahwa dari hadits ini dapat diambil simpulan Fiqh bahwa larangan melipat pakaian di dalam shalat letaknya terdapat pada selain ujung Izar (setelan pakaian bawah seperti sarung ). (Fathul Bari 13/254-255/ Cet. Pertama 1426 H-2005 M. Dar Thayyibah-Riyadl.]-255/ Cet. Pertama 1426 H-2005 M. Dar Thayyibah-Riyadl).

Kesimpulannya pertama, shalat dengan dengan baju terlipat hukumnya mubah dan shalatnya tetap sah. Kedua, melipat atau menggulung baju lengan dalam ketika shalat hukumnya makruh, karena dapat menganggu kekhusyu'an dan ketu’maninahan gerakan shalat. ketiga, menggulung atau melipat diluar shalat hukumnya mubah. Wallahu a'lam

Rabu, 02 Desember 2020

PENDAPAT 4 IMAM MADZHAB TENTANG KESESATAN PAHAM WAHABI SALAFI

1. ULAMA KALANGAN MADZHAB HANAFI

Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar tantang Wahhabi sebagai berikut,

“ ﻣَﻄْﻠَﺐٌ ﻓِﻲ ﺃَﺗْﺒَﺎﻉِ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ اﻟْﺨَﻮَﺍﺭِﺝِ ﻓِﻲْ ﺯَﻣَﺎﻧِﻨَﺎ : ﻛَﻤَﺎ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲْ ﺯَﻣَﺎﻧِﻨَﺎﻓِﻲْ اﺗْﺒَﺎﻉِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَﺧَﺮَﺟُﻮْﺍ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﺪٍ ﻭَﺗَﻐَﻠَّﺒُﻮْﺍ علىﺍﻟْﺤَﺮَﻣَﻴْﻦِ ﻭَﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ينتنلحوا ﻣَﺬْﻫَﺐَ اﻟْﺤَﻨَﺎﺑِﻠَﺔِ ﻟَﻜِﻨَّﻬُﻢْ ﺍِﻋْﺘَﻘَﺪُﻭْﺍ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣَﻦْ خاﻟَﻔَﺎﻋْﺘِﻘَﺎﺩَﻫُﻢْ ﻣُﺸْﺮِﻛُﻮْﻥَ ﻭَﺍﺳْﺘَﺒَﺎﺣُﻮْﺍ بذاﻟِﻚَ ﻗَﺘْﻞَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻭَﻗَﺘْﻞَ ﻋُﻠَﻤَﺎﺋِﻬِﻢْ ﺣَﺘَﻰ ﻛَﺴَﺮَ ﺍﻟﻠﻬُﺸَﻮْﻛَﺘَﻬُﻢْ ﻭَﺧَﺮَﺏَ ﺑِﻼَﺩَﻫُﻢْ ﻭَﻇَﻔِﺮَ ﺑِﻬِﻢْ عساﻛِﺮُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻋَﺎﻡَ ﺛَﻼَﺙٍ ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴْﻦَ ﻭَﻣِﺎﺋَﺘَﻴْﻨِﻮَﺃَﻟْﻒٍ.” ﺍﻫـ ‏( ﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ، ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺭﺩ اﻟﻤﺤﺘﺎﺭ ، ٤ / ٢٦٢ ).

“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al- Mukhtar, juz 4, hal. 262).

2. ULAMA KALANGAN MADZHAB MALIKI

Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut,

ﻫَﺬِﻩِ ﺍْﻵَﻳَﺔُ ﻧَﺰَﻟَﺖْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨَﻮَﺍﺭِﺝِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳُﺤَﺮِّﻓُﻮْﻥَ ﺗَﺄْﻭِﻳْﻞَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻭَﻳَﺴْﺘَﺤِﻠُّﻮْﻥَ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺩِﻣَﺎﺀَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﻣُﺸَﺎﻫَﺪٌ ﺍْﻵَﻥَ ﻓِﻲْ ﻧَﻈَﺎﺋِﺮِﻫِﻢْ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﺮْﻗَﺔٌ ﺑِﺄَﺭْﺽِ ﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺯِ ﻳُﻘَﺎﻝُ لهم ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺑِﻴَّﺔُ ﻳَﺤْﺴَﺒُﻮْﻥَ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻋَﻠﻰَ ﺷَﻲْﺀٍ ﺃَﻻَ ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺑُﻮْﻥَ. ‏(ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺼﺎﻭﻱ ﻋﻠﻰ تفسير ﺍﻟﺠﻼﻟﻴﻦ ، ٣ / ٣٠٧ ).

“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).

3. ULAMA KALANGAN MADZHAB SYAFI’I

Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i, al-Imam al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I’anah al-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif (mu’tabar) di kalangan ulama di Indonesia, berkata tentang Wahhabi,

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺪُ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤﻦِ ﺍﻟْﺄَﻫْﺪَﻝُ ﻣُﻔْﺘِﻲْ ﺯَﺑِﻴْﺪَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﻻَ ﻳُﺤْﺘَﺎﺝُ ﺍﻟﺘَّﺄْﻟِﻴْﻒُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺩِّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺑْﻦِ عبد ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ، ﺑَﻞْ ﻳَﻜْﻔِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺩِّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳِﻴْﻤَﺎﻫُﻢُ ﺍﻟﺘَّﺤْﻠِﻴْﻖُ، فأنه ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﻌَﻠْﻪُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺒْﺘَﺪِﻋَﺔِ ﺍﻫـ ‏( ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﻨﻲ ﺩﺣﻼﻥ، ﻓﺘﻨﺔ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ص / ٥٤ ).

“Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata, “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda- tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah al Wahhabiyah, hal. 54).

4. ULAMA KALANGAN MADZHAB HAMBALI

Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahabi, sebagai berikut,

ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ﺑْﻦُ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥَ ﺍﻟﺘَّﻤِﻴْﻤِﻲُّ ﺍﻟﻨَّﺠْﺪِﻱُّ ﻭَﻫُﻮَ ﻭَﺍﻟِﺪُ ﺻَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺍﻧْﺘَﺸَﺮَﺷَﺮَﺭُﻫَﺎ فىﺍْﻷَﻓَﺎﻕِ ﻟَﻜِﻦْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺗَﺒَﺎﻳُﻦٌ ﻣَﻊَ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻈَﺎﻫَﺮْ ﺑِﺎﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﺑَﻌْﺪَﻣَﻮْﺕِ ﻭَﺍﻟِﺪِﻩِ وﺃَﺧْﺒَﺮَﻧِﻲْ ﺑَﻌْﺾُ ﻣَﻦْ ﻟَﻘِﻴْﺘُﻪُ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻋَﻤَّﻦْ ﻋَﺎﺻَﺮَ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦَ ﻋَﺒْﺪَﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ﻫَﺬَﺍ ﺃَﻧَّﻪُ كاﻥَ ﻏَﺎﺿِﺒًﺎ ﻋَﻠﻰَ ﻭَﻟَﺪِﻩِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻟِﻜَﻮْﻧِﻪِ ﻟَﻢْ ﻳَﺮْﺽَ ﺃَﻥْ ﻳَﺸْﺘَﻐِﻞَ ﺑِﺎلفقه ﻜَﺄَﺳْﻼَﻓِﻪِ ﻭَﺃَﻫْﻞِ ﺟِﻬَﺘِﻪِ وﻳَﺘَﻔَﺮَّﺱُ ﻓِﻴْﻪ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺤْﺪُﺙُ ﻣِﻨْﻪُ ﺃَﻣْﺮٌ . ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ : ﻳَﺎ ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻭْﻥَ ﻣِﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﺮِّ فقدﺭَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻥْ ﺻَﺎﺭَ ﻣَﺎﺻَﺎﺭَ ﻭَﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺍﺑْﻨُﻪُ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥُ ﺃَﺧُﻮْ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﻨَﺎﻓِﻴًﺎ ﻟَﻪُ ﻓِﻲْ ﺩَﻋْﻮَﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺩَّ عليه ﺭَﺩًّﺍ ﺟَﻴِّﺪﺍًﺑِﺎْﻵَﻳﺎَﺕِ ﻭَﺍْﻵَﺛﺎَﺭِ ﻭَﺳَﻤَّﻰ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦُ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥُ ﺭَﺩَّﻩُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ‏( ﻓَﺼْﻞُ ﺍﻟْﺨِﻄَﺎﺏِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺩِّ علىﻤُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ‏) ﻭَﺳَﻠَّﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّﻩِ ﻭَﻣَﻜْﺮِﻩِ ﻣَﻊَ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟﺼَّﻮْﻟَﺔِ ﺍﻟْﻬَﺎﺋِﻠَﺔِ التيأﺭْﻋَﺒِﺖَ ﺍْﻷَﺑَﺎﻋِﺪَ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﺑَﺎﻳَﻨَﻪُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻭَﺭَﺩَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻘْﺪِﺭْ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺘْﻠِﻪِ ﻣُﺠَﺎﻫَﺮَﺓًﻳُﺮْﺳِﻞُ اﻟَﻴْﻪِ ﻣَﻦْ ﻳَﻐْﺘَﺎﻟُﻪُ ﻓِﻲْ ﻓِﺮَﺍﺷِﻪِ ﺃَﻭْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴُّﻮْﻕِ ﻟَﻴْﻼً ﻟِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﺑِﺘَﻜْﻔِﻴْﺮِ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻔَﻬُﻮَﺍﺳْﺘِﻝَﻼْﺤِ ﻗَﺘْﻠِﻪِ. اﻫـ ‏( ﺍﺑﻦ ﺣﻤﻴﺪ ﺍﻟﻨﺠﺪﻱ، ﺍﻟﺴﺤﺐ ﺍﻟﻮﺍﺑﻠﺔ ﻋﻠﻰ ﺿﺮﺍﺋﺢ ﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ، ٢٧٥ ).

“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.” *(Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al- Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).*

Demikian pernyataan ulama terkemuka dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang menegaskan bahwa golongan Wahhabi termasuk Khawarij bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Tentu saja masih terdapat ratusan ulama lain dari madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan bahwa Wahhabi itu Khawarij dan tidak mungkin kami kutip semuanya.

*WAHABI ADALAH KHAWARIJ AKHIR ZAMAN*

ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﻗَﺎﻝَ ﺫُﻛِﺮَ ﻟِﻰ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻗَﺎﻝَ ﻭَﻟَﻢْ ﺃَﺳْﻤَﻌْﻪُ ﻣِﻨْﻪُ ‏« ﺇِﻥَّ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻗَﻮْﻣﺎً ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻥَ ﻭَﻳَﺪْﺃَﺑُﻮﻥَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻌْﺠَﺐَ ﺑِﻬِﻢُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺗُﻌْﺠِﺒَﻬُﻢْ ﻧُﻔُﻮﺳُﻬُﻢْ يمرﻗُﻮﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻣُﺮُﻭﻕَ ﺍﻟﺴَّﻬْﻢِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮَّﻣِﻴَّﺔِ .

“Dari Anas, ia berkata, disebutkan kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda – dan aku (Anas) mendengarnya langsung dari beliau, “Sesungguhnya di antara kalian ada suatu kaum yang sangat rajin beribadah sehingga orang-orang kagum kepada mereka, bahkan diri mereka sendiri pun kagum.Mereka keluar dari agama laksana panah keluar dari busurnya.”

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, “Di akhir zaman akan ada sekelompok orang yang akan berbicara kepada kalian dengan hal yang belum pernah terdengar oleh kalian dan orang-orang sebelum kalian, maka hindarilah mereka!”

Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Akan ada di akhir zaman para dajjal pendusta. Mereka akan berbicara kepada kalian dengan hal yang belum pernah terdengar oleh kalian dan orang-orang sebelum kalian. Berhati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka menyesatkan kalian dan menebarkan fitnah di tengah kalian.”

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

ﺳَﻴَﺨْﺮُﺝُ ﻓِﻲ ﺁﺧِﺮِ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥِ ﻗَﻮْﻡٌ ﺃَﺣْﺪَﺍﺙُ ﺍﻷَﺳْﻨَﺎﻥِ ﺳُﻔَﻬَﺎﺀُ ﺍﻷَﺣْﻠَﺎﻡِ

“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang umurnya masih muda dan cara berpikirnya lemah.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ahdatsul asnan maksudnya adalah mereka adalah golongan para pemuda. Sedangkan “Sufaha al-Ahlam” maksudnya adalah pikiran mereka dangkal.”

ﺳَﻴَﺨْﺮُﺝُ ﻗَﻮْﻡٌ ﻓِﻲ ﺁﺧِﺮِ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥِ ﺃَﺣْﺪَﺍﺙُ ﺍﻟْﺄَﺳْﻨَﺎﻥِ ﺳُﻔَﻬَﺎﺀُ ﺍﻟْﺄَﺣْﻠَﺎﻡِ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮِ ﻗَﻮْﻝِ ﺍﻟْﺒَﺮِﻳَّﺔِ لا ﻳُﺠَﺎﻭِﺯُ ﺇِﻳﻤَﺎﻧُﻬُﻢْ ﺣَﻨَﺎﺟِﺮَﻫُﻢْ ﻳَﻤْﺮُﻗُﻮﻥَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻤْﺮُﻕُ ﺍﻟﺴَّﻬْﻢُ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺮَّﻣِﻴَّﺔِ ﻓَﺄَﻳْﻨَﻤَﺎ لقيتموهم فاﻗْﺘُﻠُﻮﻫُﻢْ ﻓَﺈِﻥَّ ﻓِﻲ ﻗَﺘْﻠِﻬِﻢْ ﺃَﺟْﺮًﺍ ﻟِﻤَﻦْ ﻗَﺘَﻠَﻬُﻢْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ.” ‏(ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ وﻣﺴﻠﻢ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﻲ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ)

“Di akhir zaman nanti akan keluar segolongan kaum yang muda usianya, bodoh cara berpikirnya, mereka berbicara dengan sabda Rasulullah, namun iman mereka tidak sampai melewati kerongkongan. Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Maka apabila kamu bertemu dengan mereka bunuhlah, karena membunuh mereka mendapat pahala disisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Nasa’i, dan lainnya)

Maknanya,mereka adalah orang-orang yang masih muda lagi dangkal pikirannya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Nanti akan muncul diantara umatku kaum yang membaca Al-Quran, bacaan kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka, dan shalat kamu tidak ada nilainya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka, mereka membaca Al-Qur'an sehingga kamu akan menyangka bahwasanya Quran itu milik mereka saja, padahal sebenarnya Qur'an itu akan melaknat mereka, Tidaklah shalat mereka melalui kerongkongan mereka, mereka itu akan memecah agama Islam sebagaimana keluarnya anak panah daripada busurnya ” (HR. Muslim no.2467, Sunan Abu Daud no.4748 ).

Said al Khudri menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Nanti akan muncul diantara kamu kaum yang menghina shalat kamu dibandingkan dengan shalat mereka, dan puasa kamu dibandingkan dengan puasa mereka, amal perbuatan kamu dibandingkan dengan perbuatan mereka, mereka itu membaca Al-Qur'an tetapi bacaan mereka tidakakan melewati kerongkongan mereka, dan mereka akan memecah agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.” (HR. Bukhari/5058 ).

Lihatlah tingkah laku wahabi saat ini sangat sesuai prediksi Rasulullah bahwa diakhir zaman ini hanya wahabi yg merasa dirinya paling alim sejagat raya sampai sampai semua umat islam diluar golongan mereka anggap tidak ada yg baik. Ini fakta yg bisa kita lihat dari tingkah pola wahabi. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan ulang artikel Von Edison Alauisci semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 01 Desember 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM ADZAN UNTUK JIHAD

Video adzan Hayya Alal Jihad yang dilakukan oleh sekelompok umat islam beredar luas di media sosial. Aksi mengumandangkan adzan dengan membubuhkan lafazh hayya alal jihad ini viral setelah Polda Metro Jaya melayangkan surat panggilan pemeriksaan kepada Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab terkait kasus dugaan pelangggaran protokol kesehatan.

Tertulis dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah sebagai berikut,

شُرِعَ الأَْذَانُ أَصْلاً لِلإِْعْلاَمِ بِالصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّهُ قَدْ يُسَنُّ الأَْذَانُ لِغَيْرِ الصَّلاَةِ تَبَرُّكًا وَاسْتِئْنَاسًا أَوْ إِزَالَةً لِهَمٍّ طَارِئٍ وَالَّذِينَ تَوَسَّعُوا فِي ذِكْرِ ذَلِكَ هُمْ فُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةِ فَقَالُوا : يُسَنُّ الأَْذَانُ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ حِينَ يُولَدُ ، وَفِي أُذُنِ الْمَهْمُومِ فَإِنَّهُ يُزِيل الْهَمَّ ، وَخَلْفَ الْمُسَافِرِ ، وَوَقْتَ الْحَرِيقِ ، وَعِنْدَ مُزْدَحِمِ الْجَيْشِ ، وَعِنْدَ تَغَوُّل الْغِيلاَنِ وَعِنْدَ الضَّلاَل فِي السَّفَرِ ، وَلِلْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ ، وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إِنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ ، وَعِنْدَ إِنْزَال الْمَيِّتِ الْقَبْرَ قِيَاسًا عَلَى أَوَّل خُرُوجِهِ إِلَى الدُّنْيَا .

Pada dasarnya azan disyariatkan sebagai pemberitahuan untuk shalat, hanya saja adzan juga disunahkan selain untuk shalat dalam rangka mencari keberkahan, menjinakkan, dan menghilangkan kegelisahan yang luar biasa.

Pihak yang memperluas masalah ini adalah para ahli fiqih Syafi’iyah. Mereka mengatakan:

1. Disunahkan adzan ditelinga bayi saat lahirnya

2. Di telinga orang yang sedang galau karena itu bisa menghilangkan kegelisahan,

3. Mengiringi musafir,

4. Saat kebakaran,

5. Ketika pasukan tentara kacau balau,

6. Ketika diganggu makhluk halus,

7. Disaat tersesat dalam perjalanan,

8. Terjatuh,

9. Saat marah,

10. Menjinakan orang atau hewan yang jelek perangainya,

11. Saat memasukan mayit ke kubur diqiyaskan dengan saat manusia terlahir ke dunia. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 2 hal. 372-373)

Ada pun Imam Malik memakruhkan semua hal ini, tapi berbeda dengan pengikutnya (Malikiyah) yang justru sepakat dengan kalangan Syafi’iyah.  Berikut ini keterangannya,

وَكَرِهَ الإْمَامُ مَالِكٌ هَذِهِ الأْمُورَ وَاعْتَبَرَهَا بِدْعَةً ، إِلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ نَقَل مَا قَالَهُ الشَّافِعِيَّةُ ثُمَّ قَالُوا : لاَ بَأْسَ بِالْعَمَل بِهِ

Imam Malik memakruhkan semua ini dan menyebutnya sebagai bid’ah, kecuali sebagian Malikiyah yang mengambil pendapat yang sama dengan Syafi’iyah, menurut mereka: “Tidak apa-apa mengamalkannya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 2 hal. 372-373)

Inilah ucapan adzan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sahabat Abu Mahdzurah,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

(HR. Muslim, no. 379)

Sepengetahuan saya yang bisa digantikan adalah kalimat di tengah adzan dengan kalimat SHOLLU FII RIHAALIKUM atau SHOLLU FII BUYUUTIKUM, artinya shalatlah di rumah kalian yang dikumandangkan saat hujan deras dan menyulitkan.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, ”Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, diucapkan “Sholluu fii rihalikum” di tengah adzan. Dalam hadits Ibnu Umar, diucapkan lafadz ini di akhir adzan. Dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah– dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan, begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah.”

Hadits tentang masalah ini adalah sebagai berikut.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Akan tetapi, ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun, aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 699) 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tak pernah mengubah redaksi adzan. Bahkan saat perang pun tak ada redaksi adzan yang diubah.

Redaksi adzan itu tak boleh diubah menjadi ajakan jihad. Karena itu ibadah yang sifatnya tauqifi (langsung dari Syariah). Dalil yang tak boleh menambah atau mengurangi redaksi adzan adalah,

فقد اتفق الفقهاء على الصيغة الأصلية للأذان المعروف الوارد بكيفية متواترة من غير زيادة ولا نقصان,وهو مَثْنى مَثْنى،كَمَا اتفقوا على التَّثويب,أي الزيادة في أذان الفجر بعد الفلاح وهي:” الصلاة خير من النوم” مرتين،عملاً بما ثبت في السنة عن بلال.  (رواه الطبراني وغيره.نقلاً من حاشية الفقه الإسلامي وأدلته (1/543).

“Ulama telah sepakat tentang redaksi adzan adalah sebagaimana diketahui secara umum tanpa ditambah atau dikurangi. Yaitu dua-dua dan ditambahkan redaksi “shalat lebih baik daripada tidur” untuk salat subuh dua kali. Inilah untuk mengamalkan sunnah Nabi saw”. Dinukil dari Kitab Alfiqh al-Islami wa adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Al Zuhaili.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami,

(قَوْلُهُ: فَإِنْ جَعَلَهُ) أَيْ لَفْظَ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ (قَوْلُهُ: لَمْ يَصِحَّ أَذَانُهُ) ، وَالْقِيَاسُ حِينَئِذٍ حُرْمَتُهُ؛ لِأَنَّهُ بِهِ صَارَ مُتَعَاطِيًا لِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ

“Apabila lafadz adzan diubah seperti merubahnya menjadi “hayya ‘ala khairil’ amal – marilah berbuat kebaikan”, maka adzannya TIDAK SAH. Secara qiyas hukumnya adalah haram, karena orang yang mengubah kalimat adzan telah melakukan ritual ibadah yang rusak.”(Tuhfatul Muhtaj, 1/468)

Dalam Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah yang diasuh oleh Syaikh Abdullah Al Faqih disebutkan,

فإن الأذان من أعظم شعائر الإسلام …..وإذا كان الأذان بهذه المنزلة، فلا شك أن المحافظة على ألفاظه الشرعية وصيانتها عن التحريف والتبديل من المحافظة على شعائر الإسلام، ولذا ذهب كثير من أهل العلم إلى أن الخطأ في ألفاظ الأذان أو أدائه بما يغير المعنى يبطل الأذان.

Adzan termasuk syiar Islam yang paling agung sehingga menjaga lafaz yang Syar’i dan melindunginya dari penyimpangan dan perubahan adalah termasuk penjagaan terhadap syiar Islam. Oleh karena mayoritas ulama menyatakan bahwa kesalahan dalam lafaz adzan atau mengucapkannya tapi berubah maknanya, membuat adzan itu BATAL. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 36609)

Maka, jika tambahan “hayya ‘alal jihad” tersebut dianggap bagian dari adzan memanggil orang shalat maka adzan tersebut batal, bahkan dinilai sebagai perbuatan haram karena telah merusak ibadah. Sudah ratusan kali kaum muslimin berjihad sejak masa Badar sampai perang di Gaza, tidak ada satu riwayat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in, ulama madzhab, sampai ulama zaman ini dan para mujahidinnya, menggunakan lafaz itu dalam adzan mereka. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*