MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 14 Desember 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGULUNG PAKAIAN SAAT SHALAT

Pada saat shalat, sebetulnya kita sedang “sibuk” bermunajat kepada Allah dengan membaca al-Quran, berzikir dan berdoa, serta menjalankan kaifiyat shalat, baik yang wajib maupun sunat dengan khusyu’ dan tu’maninah. 

عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا

Dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau sedang shalat dan Beliau membalas salam kami. Ketika kami kembali dari (negeri) An-Najasyi kami memberi salam kembali kepada Beliau namun Beliau tidak membalas salam kami. Kemudian Beliau berkata, “Sesungguhnya dalam shalat ada kesibukan” (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 2/62)

Riwayat dari sahabat Anas bin Malik radiyallahu anhu,

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ

Nabi Sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "sesungguhnya mukmin itu jika sedang shalat, maka hakikatnya dia sedang bermunajat dengan rabbnya. Maka janganlah meludah ke depan atau ke kanan akan tetapi (jika hajat untuk meludah), maka (boleh meludah) ke kiri atau di bawah telapak kakinya." (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1/90)

Terlebih dalam keadaan sujud. Sujud merupakan simbol puncak kepasrahan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah. Ketika kepala, tangan dan kaki merendah sejajar pada titik terendah bumi yang mengubur keangkuhan dan kesombongan diri. Karena itu saat yang paling dekat antara hamba dan Allah adalah ketika sujud.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Dari Abu Hurairah Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “keadaan paling dekat antara hamba dan tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa” (HR. Muslim, Sahih Muslim, 2/49)

Diantara hadits kaifiyat sujud adalah sebagai bersujud dengan tujuh tulang dengan tidak menahan rambut dan baju, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Ibn Abbas Radiyallahu anhuma,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ ، وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. Dan kami dilarang mengumpulkan pakaian dan rambut. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut” dengan mengatakan: “Yang dimaksudkan bahwa dia (orang yang shalat) tidak mengumpulkan pakaiannya dan rambutnya di dalam shalat. Dan zhahirnya menunjukkan, larangan itu dalam keadaan shalat. Ad Dawudi condong kepada pendapat ini. Dan penyusun (Imam Bukhari) membuat bab setelah ini ‘Bab: Tidak boleh (orang yang shalat) menahan pakaiannya di waktu shalat’.”, ini menguatkan (pendapat Dawudi) itu. Tetapi al Qadhi ‘Iyadh membantahnya, bahwa itu menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas ulama). Mereka tidak menyukai hal itu bagi orang shalat, sama saja, apakah orang yang shalat itu melakukannya (yaitu menahan pakaian) di waktu shalat, atau sebelum memasuki shalat. Dan mereka (para ulama) sepakat, bahwa hal itu tidak merusakkan shalat. Tetapi Ibnul Mundzir meriwayatkan kewajiban mengulangi (shalat) dari al Hasan”. [Fathul Bari, syarh hadits no. 809].

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

اتفق العلماء علي النهي عن الصلاة وثوبه مشمرا وكمه أو نحوه أو ورأسه معقوص أو مردود شعره تحت عمامته أو نحو ذلك فكل هذا مكروه باتفاق العلماء وهي كراهة تنزيه فلو صلى كذلك فقد ارتكب الكراهة وصلاته صحيحة

"Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang pakaian atau lengannya tersingsingkan. Larangan menyingsingkan pakaian adalah larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu, berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah." (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/209), Al Majmu’ asy Syarh al Muhadzdzab (4/98).

Al-Kaftu mempunyai arti yang sama dengan al-Kaffu yaitu mengumpulkan dan menahan. Kalimat “tidak boleh menahan rambut dan pakaian” secara manthuq (tersurat) maksudnya larangan menahan rambut ketika salat (sujud) sehingga tidak terurai dan menyentuh tanah. Kedua, larangan menahan atau menyingsingkan pakaian, sehingga tidak menyentuh tanah ketika salat. Namun berdasarkan qorinah hadits sebelumnya dan secara mafhum muwafaqahnya maka yang dituntut adalah menghindari segala gerakan yang tidak mencerminkan kekhusyuan dan tidak sesuai dengan kaifiyat salat, kecuali ada hajat atau dalam keadaan darurat. Dimana ketika salat, pada hakikatnya kita sedang bermunajat kepada Allah sehingga dituntut khusyu’ dan tuma’ninah dalam menjalankannya, terlebih dalam sujud, saat yang paling dekat dengan Allah. 

Adapun shalat dengan keadaan baju sudah terlipat atau dilipat sebelum shalat, maka shalatnya tetap sah dan tidak termasuk dalam kategori yang dimakruhkan dalam hadits diatas. Namun, jika melipat bajunya ketika sedang shalat, maka masuk dalam apa yang dimakruhkan dalam hadits diatas.

Walaupun dinilai Ma'ruh (baik) namun melipat rambut dan pakaian ketika shalat tetap boleh diingkari, hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam satu riwayat,

عن عبد الله بن عباس أنه رأى عبد الله بن الحارث يصلى ورأسه معقوص من ورائه فقام فجعل يحله فلما انصرف أقبل إلى ابن عباس فقال ما لك ورأسى فقال إنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما مثل هذا مثل الذى يصلى وهو مكتوف

Dari Abdullah bin ‘Abbas Radliyallahu ‘Anhuma , sesungguhnya beliau pernah melihat Abdullah bin al-Harits sedang shalat dalam keadaan rambutnya Ma’qush (dilipat ke bagian akar rambut) dari bagian belakangnya, maka Abdullah bin Abbas berdiri dan mengurai rambutnya abdullah bin al-harits, dan manakala ia telah selesai dari shalatnya ia pun menghampiri Abdullah bin Abbas seraya berkata, “ada apa engkau dengan rambutku?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seperti yang (kamu lakukan) ini seperti orang yang shalat dalam keadaan Maktuf. (yaitu rambutnya yang panjang dibawa ke bagaian atas dibawah imamah atau peci). (HR. Muslim No. 1101 / al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Bin Hajjaj/ 3-4/Hal.432/Cet. Darul Ma'rifah/Tahun 2001.M/1422.H).

Imam an-Nawawi Rahimahullah memberikan keterangan atas riwayat Abdullah bin Abbas di atas dan beliau berkata,

فيه الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وأن ذلك لا يؤخر إذ لم يؤخره بن عباس رضي الله عنهما حتى يفرغ من الصلاة وأن المكروه ينكر كما ينكر المحرم

“Di dalam hadits ini ada anjuran amar ma'ruf nahi munkar dan hal itu tudak boleh diundur karena Ibnu Abbas Radliyallahu ‘Anhuma tidak mengundurkannya sampai ia (Abdullah bin Al-Harits) selesai dari shalatnya, dan sesungguhnya yang Makruh boleh diingkari sebagaimana diingkarinya sesuatu yang diharamkan.” (Al-Minhaj Sharh Shahih Muslim ibnul Hajjaj 3-4/432./Cet. ke-2 Darul-Makrifah Tahun 2001.M/1422.H)

Adapun terkait tentang makna Ma’qush dan Maktuf yang disebutkan di dalam hadits di atas, Imam Ibnul Atsir (Wafat 606 H.) Rahimahullah mengatakan bahwa maksud dari kata Ma’qush atau Maktuf adalah keadaan seorang yang rambutnya terurai jatuh ke bumi (lantai) saat ia bersujud sehingga ia diberikan pahala sujud dengan sebab itu, namun apabila rambutnya diikat maka jadilah hal itu ke dalam makna seperti seorang yang tidak bersujud.” (An-Nihayah Fii Ghariibil Hadiits Wal Atsar 2/237/ Cet. Ke-2 Darul Makifah 1427 H./2006 M).

Larangan melipat pakaian yang dinilai hanya sampai kepada hukum Makruh saja dalam masalah ini nampaknya dipengaruhi oleh adanya dalil lain yang mengalihkan hukum asal dari sebuah larangan yaitu haram kemudian berubah menjadi tidak haram. Dalil tersebut adalah sebuah perbuatan yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang intinya adalah,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج في حلة مشمرا فصلى ركعتين

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dengan pakaian yang Musyammir (pakaian yang diangkat bagian paling bawahnya) lalu beliau shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menukil perkataan al-Isma’ili bahwa dari hadits ini dapat diambil simpulan Fiqh bahwa larangan melipat pakaian di dalam shalat letaknya terdapat pada selain ujung Izar (setelan pakaian bawah seperti sarung ). (Fathul Bari 13/254-255/ Cet. Pertama 1426 H-2005 M. Dar Thayyibah-Riyadl.]-255/ Cet. Pertama 1426 H-2005 M. Dar Thayyibah-Riyadl).

Kesimpulannya pertama, shalat dengan dengan baju terlipat hukumnya mubah dan shalatnya tetap sah. Kedua, melipat atau menggulung baju lengan dalam ketika shalat hukumnya makruh, karena dapat menganggu kekhusyu'an dan ketu’maninahan gerakan shalat. ketiga, menggulung atau melipat diluar shalat hukumnya mubah. Wallahu a'lam

2 komentar:

  1. Assalamualaikum
    Terima kasih
    Ilmu nya..
    #mochshodiqfuullmumpunihandayayekti Rungkut Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikumussalam wr.wb. Alhamdulillah semoga bermanfaat. Aamiin

      Hapus