MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 29 Desember 2020

KAJIAN TENTANG BENARKAH TAHUN BARU LEBIH BURUK DARI TAHUN SEBELUMNYA?

Salah satu gambar meme yang banyak tersebar di banyak media tempel adalah poster presiden kedua Soeharto dengan kalimat sindirian, “Masih enak zamanku tho? Wallahu a’lam, apa sebenarnya yang diinginkan dengan meratanya tulisan semacam itu beberapa waktu yang silam. Apakah era orde baru akan bangkit kembali, atau sekedar ungkapan bahwa kehidupan saat ini bukan semakin baik namun semakin memburuk. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa zaman dimana hari ini kita hidup memang secara global mengalami kemerosotan dalam hampir seluruh lini kehidupan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh sebuah riwayat hadits berikut ini,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنْ الْحَجَّاجِ فَقَالَ اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Zubair bin ‘Adi mengatakan, pernah kami mendatangi Anas bin Malik, kemudian kami mengutarakan kepadanya keluh kesah kami tentang ulah para jamaah haji. Maka dia menjawab, "Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalani suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian. Aku mendengar hadits ini dari Nabi kalian Shallallahu ’alaihi wa sallam”. (HR. Bukhari no.6541)

Mereka datang kepada Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Anas bin Malik termasuk diantara sahabat yang diberikan umur panjang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai melewati 100 tahun dan ini adalah keberkahan dari doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beliau diberi umur yang panjang dan kelebihan pada harta dan keturunan sehingga beliau mendapati zaman kepemimpinan Al Hajjaj ibn Yusuf As Tsaqafi yang dikenal dengan Mubir Tsaqif dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwasanya akan keluar dari Tsaqif nama sebuah tempat yang menumpahkan darah yang banyak, seseorang yang dzalim yang dimaksudkan adalah Al Hajjaj bin Yusuf As Tsaqafi adapun Al Kadzab yang dimaksudkan adalah Al Mukhtar As Tsaqafi yang mana Al Mukhtar As Tsaqafi dahulu adalah orang yang sholeh bahkan termasuk diantara komandan pasukan dari Ibnu Zubair di zaman Kekhailafahan beliau bahkan beliau ikut memerangi orang-orang yang membunuh Husain Ibnu Ali Radhiyallahu ‘anhuma akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membolak balikkan hati seorang hamba sehingga Al Mukhtar As Tsaqafi yang mana Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu menikahi saudara perempuannya.

Di kemudian hari Al Mukhtar As Tsaqafi mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Nabi memberi julukan Al Kadzab (pendusta). Ketika disampaikan kepada Ibnu Umar bahwasanya iparnya yang bernama Al Mukhtar As Tsaqafi mengaku mendapatkan wahyu, Ibnu Umar berkata:”Apa yang dia katakan itu benar”, karena Allah Subhanahu wata’ala berfirman di dalam Al-Qur’an,

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

”Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kalian; dan jika kalian menuruti mereka, sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al-An’am : 121). Yang dia maksudkan oleh Ibnu Umar adalah wahyu dari syaithan dan bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Al Hajjaj bin Yusuf banyak menumpahkan darah bahkan dari kalangan para ulama Rahimakumullah dan ketika hal ini diadukan kepada Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata kepada para tabi’in dan ini menunjukkan tentang keutamaan para ulama yang menjadi rujukan terutama di zaman yang penuh dengan fitnah beliau kemudian tidak menyuruh memberontak kepada penguasa apalagi dengan membawa pedang karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal yang seperti ini dan ini adalah aqidah dari Ahlusunnah Wal Jama’ah yaitu tidak melakukan pemberontakan kepada hakim terutama hakim yang menerapkan syariat islam walaupun nampak kedzaliman dari hakim itu karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah yang lebih besar terutama untuk menjaga darah dan nyawa manusia dan kaum muslimin. Inilah mengapa Al Hajjaj bin Yusuf digelari imam yang dzalim itu lebih baik dari pada fitnah yang terus menerus dan tidak terhenti.

Sahabat Anas Bin Malik kemudian memberikan arahan kepada para tabi’in dengan berkata, “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalani suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian. Aku mendengar hadit ini dari Nabi kalian Shallallahu ’alaihi wa sallam”. Hal ini disebabkan karena semakin waktu bergulir atau zaman berlalu semakin jauh dari zaman kenabian dan semakin banyak orang-orang yang berilmu meninggal dan ini yang menjadi jawaban Mungkin ada yang bertanya, ”Bukankah setelah ke khalifahan Al Hajjaj bin Yusuf ada khilafah Umar bin Abdul Azis yang terkenal dengan keadilannya beliau hanya memimpin kurang lebih 2 tahun sampai beliau digelari dengan khalifatul khamis khalifah yang ke 5 setelah Abu Bakar As shiddiq, Umar, Ustman, Ali karena keadilannya sebagaimana yang disifatkan oleh imam Syafi’i Rahimahullah Tabaraka wa Ta’ala bahkan sebagian ulama ketika menafsirkan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara tanda dan ciri akhir zaman adalah harta yang berlimpah sampai-sampai orang kaya tidak tahu kemana zakatnya untuk dibayarkan dan ini pernah berlangsung di zaman khilafah Umar bin Abdul Azis sampai beliau perintahkan pegawainya untuk mengeluarkan gandum-gandum yang melimpah di gudang-gudang penyimpanan zakat untuk di tebarkan di jalan atau dilapangan agar dimakan oleh ayam, unggas dan burung-burung dan beliau berkata, ”Agar tidak ada yang mengadu di hari kiamat yang merasa terdzalimi dibawah khilafah Umar bin abul Azis Rahimahullah”. Beliau takut kepada Subhanahu wa Ta’ala, sebelum menjadi khalifah beliau adalah orang yang kaya raya termasuk istrinya Fatimah namun ketika beliau menjabat sebagai khalifah beliau memerintahkan kepada Fatimah untuk menyerahkan hartanya ke Baitul Maal Muslimin dan beliau meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa untuk anak atau keturunannya, ketika beliau ditanya mengapa engkau tidak meninggalkan sesuatu yang bisa engkau wariskan kepada anak-anakmu, beliau berkata, ”Andaikan anak-anak saya adalah orang-orang yang sholeh maka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan menanggung kehidupan mereka dan andaikan mereka adalah orang-orang yang buruk maka saya tidak meninggalkan harta untuk membantu mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.

Di zaman Al Hajjaj bin Yusuf ada sahabat yang masih hidup dan tentu ini menunjukkan kebaikan di zaman itu dibandingkan zaman setelahnya bagaimanapun kondisi dan keadaannya ketika masih ada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup ditengah-tengah mereka maka itu adalah alamat kebaikan sebagaimana sahabat yang kita bahas dalam hadist ini Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَي مِنَ الْحَجَّاجِ فَقاَلَ مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوا رَبَّكُمْ سَمِعْتُ هذَا مِنْ نَبِيِّكُمْ صلى الله عليه وسلم

Dari az-Zubair bin Adi, ia berkata, Saya menemui Anas bin Malik. Kami mengadukan apa yang kami temukan dari (kekejaman) al-Hajjaj. Anas berkata, “Tidak ada satu tahun pun kecuali setelahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian bertemu Tuhan kalian.” Saya mendengar ini dari Nabi kalian Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi, IV : 492 no. 2206).

Hadits semakna didapatkan dalam shahih al-Bukhari,

عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنْ الْحَجَّاجِ فَقَالَ اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صلى الله عليه وسلم

Dari az-Zubair bin Adi, ia berkata, Saya menemui Anas bin Malik. Kami mengadukan apa yang kami temukan dari (kekejaman) al-Hajjaj. Anas berkata, “Sabarlah kalian, karena tidak ada satu zaman pun kecuali setelahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian bertemu Tuhan kalian.” Saya mendengar ini dari Nabi kalian Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, XVII : 557, no. 7068)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjuk pada zaman yang khusus dan tidak dapat dimaknai secara umum. Karena terbukti setelah masa Al-Hajjaj, yaitu Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi yang termasyhur. Ia dikatakan oleh para ahli tarikh memiliki reputasi buruk sebagai pekerja pada masa keamiran Abdul Malik bin Abdullah bin Az-Zubair. Dan pada riwayat ini mengenai keadaan dan kejadian-kejadian buruk yang diadukan oleh Az-Zubair bin Adi kepada Anas bin Malik ini adalah perilaku buruk dan keji yang dilakukan oleh Al-Hajaj bin Yusuf. Akan tetapi tidak lama masanya setelah itu datanglah masa Umar bin Abdul Aziz yang diketahui dan disepakati oleh para ulama bahwa masa Umar bin Abdul Aziz jauh lebih baik dari masa Al-Hajjaj. Oleh karena itu para ulama memaknainya dengan aghlab wa aktsar (biasanya atau pada umumnya). Oleh karena itu tidak akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini apabila didapatkan suatu masa yang baik, lalu datang berikutnya masa yang lebih baik, atau setelah masa yang buruk datang kemudian masa yang baik.

عَنْ أَبِي جَمْرَةَ سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ

Dari Abu Hamzah, saya mendengar Zahdam bin Mudharib, saya mendengar Imran bin Hushain r.a berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, “Sebaik-baik umat adalah masaku lalu umat setelahnya dan umat setelahnya.” Imran berkata, “Saya tidak tahu apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut dua masa atau sampai tiga masa.” Lalu beliau berbada, “Sesungguhnya setelah kalian akan ada kaum yang yang menyaksikan tetapi menolak memberikan kesaksian, berkhianat dan tidak amanah, bernadzar dan tidak menunaikannya, dan kegemukan muncul subur di antara mereka.” (HR. Bukhari VI : 560 no. 2651).

Kata siman dimaknai oleh para ulama dengan beberapa makna. Yaitu hanya isi perut yang dipikirkan mereka (konsumtif), senang dipuji dengan tidak pada kepantasannya, merasa mulia dan terhormat padahal tidak, saling berrmegah-megah dengan banyaknya harta dan kesenangan duniawi, dan lain-lain. (Fathul Bari, V : 260).  

Jadi pada dasarnya yang dimaksud zaman dan masa atau generasi itu adalah para penghuni dan pelaku sejarah pada masa dimaksud. Maka zaman akan dikatakan buruk padahal yang dimaksud adalah aqidah, ibadah dan muamalah umat pada masa itu yang buruk. Nasehat dari para ulama adalah bahwa manusia sebagai pengisi zaman, wajib bagi dirinya untuk menjadi manusia yang baik, penuh dengan kesalehan, sehingga zaman yang menjadi masanya dapat dikategorikan baik atau lebih baik.

Dari jalur Abu Ishaq, Ibnu Hajar juga meriwayatkan perkataan Ibnu Mas‘ud ra dengan redaksi: “lebih buruk daripada hari sebelumnya”, Ada orang yang berkata, “Bukankah kita telah merasakan kemakmuran selama setahun ini?” Maka pernyataan ini dijawab oleh Ibnu Mas‘ud ra, “Bukan itu yang aku maksudkan, tetapi maksudku itu adalah banyaknya ulama yang wafat.”

Atsar-atsar di atas menerangkan dengan jelas kondisi buruk yang dimaksud, yaitu meliputi lemahnya nilai-nilai agama serta wafatnya para ulama dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya, seperti kezhaliman, kefasikan, dan maraknya kebodohan. Kemudian semua pertanda ini benar-benar terwujud dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Dengan demikian, hendaknya setiap muslim merasa lebih gelisah atas urusan agamanya ketimbang dunianya. Sebab, inilah fitnah terbesar yang akan menimpa kepada mereka yang hidup di akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar