MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 14 Februari 2023

KAJIAN TENTANG BENARKAH QUNUT SHUBUH DITINGGALKAN NABI?

Harus diakui sesungguhnya tidak semua muslim memahami bahwa doa qunut itu ada tiga macam. *Pertama,* doa Qunut Nazilah, yaitu doa yang dibacakan setelah ruku’ (i’tidal) pada rakaat terakhir shalat. Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Qunut Nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa (mushibah) yang menimpa, seperti bencana alam, flu burung, pandemi corona dan lainnya. Qunut Nazilah ini mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanjatkan doa qunut nazilah selama satu bulan atas mushibah terbunuhnya qurra’ (para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hafal Al-Qur’an) di Sumur Ma'unah (Bi'ru Ma'unah). Sebagaimana riwayat hadits,

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُا مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَدَ عَلَى سَرِيَّةٍ مَا وَجَدَ عَلَى السَّبْعِينَ الَّذِينَ أُصِيبُوا يَوْمَ بِئْرِ مَعُونَةَ كَانُوا يُدْعَوْنَ الْقُرَّاءَ فَمَكَثَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى قَتَلَتِهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Ashim ia berkata, aku mendengar Anas mengtaakan, "Belum pernah aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  sedemikian murkanya karena kehilangan pasukannya, sebagaimana kemurkaan beliau ketika kehilangan tujuh puluh sahabatnya yang terbantai pada peristiwa Bi'ru Ma'unah, ketujuh puluh sahabat tersebut digelari Qurra` (para Ahlul Qur'an), oleh karena itu selama sebulan penuh beliau mendoakan kecelakaan kepada kaum yang telah membunuhnya." (HR. Muslim no.1090, Ahmad no.11644-11645)

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ

Dari Anas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melakukan doa "Qunut" selama sebulan, beliau mendoakan kebinasaan terhadap sejumlah penduduk dusun Arab, setelah itu beliau meninggalkannya." (HR. Muslim no.1092, Bukhari no.948, 2934, 3780)

Juga perlu diketahui qunut nazilah inilah yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sebulan dan kemudian beliau tinggalkan setelah turun wahyu QS. Ali Imran : 128 sebagaimana hadits,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ قَالَ يَجْهَرُ بِذَلِكَ وَيَقُولُ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا حَيَّيْنِ مِنْ الْعَرَبِ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ }

Dari Abu Hurairah, dia berkata, "Bahwasanya Rasulullah ﷺ jika ingin mendoakan kecelakaan kepada seseorang atau berdoa keselamatan kepada seseorang beliau selalu qunut setelah rukuk." Kira-kira ia berkata, "Jika beliau mengucapkan, "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH, " beliau berdoa, "Wahai Rabb kami bagi-Mu segala pujian, Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, salamah bin 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang lemah dari kaum mukminin, Ya Allah keraskanlah hukuman-Mu atas Mudlor, dan timpakanlah kepada mereka tahun-tahun paceklik sebagaimana tahun-tahun pada masa Yusuf." Abu Hurairah berkata, dan beliau mengeraskan bacaan tersebut, beliau juga membaca pada salat-salat yang lainnya, beliau membaca dalam salat Subuh, "Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan dari penduduk Arab." Sampai akhirnya Allah 'Azza wa Jalla mewahyukan kepada beliau, 

لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

"Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim." [QS. Ali Imran : 128] (HR. Bukhari no.762, Muslim no.1082-1083, Ahmad no.7153 dan lainnya)

Dengan turunnya QS. Ali Imran : 128 tersebut Allah Ta'ala tidak memerintahkan dalam berdoa melaknat orang lain, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkannya dan kemudian ulama melarang berdoa dengan melaknat.

*Kedua,* qunut shalat witir. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan dirakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah witir. Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’. Menurut Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ السَّلُولِيِّ عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوَتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yunus bin Abu Ishaq dari Buraid bin Abu Maryam As Saluli dari Abu Al Haura` dari Al-Hasan bin Ali berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan ketika dalam qunut shalat Witir, 

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

(Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan sebagaimana orang yang Engkau beri perlindungan, sayangilah aku sebagaimana orang yang Engkau sayangi dan berilah berkah padaku pada apa yang Engkau berikan, dan jauhkanlah aku dari kejelekan takdir yang Engkau tentukan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan putusan dan tidak ada orang yang memutuskan putusan kepada-Mu. Sesungguhnya tidak akan terhina orang yang Engkau bela. Mahasuci Engkau Wahai Tuhan kami, dan Maha Tinggi Engkau." (HR. Ahmad no.1625, 1631, 1637, An-Nasa'i no.1725, 1726, Ad-Darimi no.1545)

*Ketiga,* qunut shubuh yaitu doa qunut pada raka’at kedua setelah ruku' dalam shalat Shubuh. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi) dan Imam Ahmad (Madzhab Hambali) doa qunut shalat Shubuh hukumnya tidak disunnahkan karena hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan kemudian ditinggalkan sebagaimana hadits,

رَوَى ابنُ مَسْعُوْدٍ: أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَنَتَ فِيْ صَلاَةِ الفَجْرِ شَهْراً ثُمَّ تَرَكَهُ

“Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud: Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Dalil hadits yang dipakai sandaran Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal tidak ada kesunahan qunut shubuh adalah dalil qunut nazilah yang ditinggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah turun wahyu surat Ali Imran ayat 128 terkait larangan melaknat saat berdoa karena urusan azab atau ampunan adalah urusan Allah Ta'ala.

Menurut pengikut Imam Malik (Malikiyyah) doa qunut shalat Shubuh hukumnya sunnah tetapi disyaratkan pelan saja (sirr). Begitu juga menurut Syafi’iyyah hukumnya sunnah ab’adh (kalau lupa tertinggal disunatkan sujud sahwi). Malikiyyah (Madzhab Malik bin Anas) berpendapat kesunnahannya bersifat sesekali saja.

Kita mengetahui bahwa mayoritas muslim indonesia mengikuti jalan yang ditunjukkan (adzhab) Imam Syafi'i. Artinya shalat shubuh disunnahkan membaca qunut dengan berlandaskan hadits,

عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْن قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا.

“Dari Muhammad bin Sirin, berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab: “Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR. Muslim)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.

“Dari Anas bin Malik, berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi  wa sallam terus membaca qunut dalam shalat fajar (shubuh) sampai meninggalkan dunia.”(HR. Ahmad dan Baihaqi)

Imam Nawawi  berkata, “Hadits diatas shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan keshahihannya adalah Al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.” (Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab juz 3 hal.504)

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  qunut pada shalat Subuh”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut demikian juga Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah dengan mereka.”(HR. Daraquthni dari Anas)

Imam Al-Qurthubi mengomentari hadits diatas ”Yang kuat diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berqunut, diriwayatkan Daruquthni dengan isnad shahih.” (Badrul Munir 3/624)

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ

“Saya shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut.” (HR. Baihaqi dari Anas)

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ

“Terus-menerus Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal.”(HR. Ibn Jauzi)

عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعلم هذا الدعاء يعني اللهم اهدني إلى آخره ليدعوا به في القنوت في صلاة الصبح [رواه البيهقي]

“Dari lbnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada para sahabat do'a Allahumma ihdini ... dst. agar dibaca dalam qunut shalat Shubuh”. (HR. Baihaqi)

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رفع رأسه من الركوع في صلاة الصبح في الركعة الثانية رفع يديه فيدعو بهذا الدعاء : اللهم اهدني فيمن هديت ..... [رواه الحاكم]

“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sudah mengangkat kepalanya dari ruku’ ketika shalat shubuh pada rakaat yang kedua, maka beliau mengadahkan kedua tangannya kemudian membaca do’a : Allahumma ihdini fi man hadait .... dan seterusnya”. (HR. Hakim)

Dalam kitab Fiqih ala Madzahibil Arba’ah juz I hal 244 disebutkan,

الشافعية قالوا : سنن الصلاة الداخلة فيها تنقسم إلى قسمين قسم يسمونه بالهيئات وقسم يسمونه بالأبعاض فأما الهيئات فلم يحصروها في عدد خاص .......... وعدد الأبعاض عشرون  - 1 القنوت في اعتدال الركعة الأخيرة من الصبح ومن وتر النصف الثاني من رمضان أما القنوت عند النازلة في أي صلاة غير ما ذكر فلا يعد من الأبعاض وإن كان سنة.

“Ulama Syafi’iyyah berkata : Amalan sunnat di dalam shalat itu ada dua bagian yakni : sunnat hai’at dan sunnat Ab’adl. Bilangan sunnat Abl’adl ada dua puluh : (1) Membaca Do’a Qunut pada I’tidal rakaat akhir shalat shubuh dan ketika shalat witir pada separo yang akhirdi bulan Ramadlan. Adapun Qunut Nazilah pada setiap shalat selain shubuh dan witir Ramadlan tidak termasuk Sunnat Ab’adl walaupun status hukumnya tetap sunnat.

Kemudian pada hal : 248 disebutkan,

الحنابلة قالوا : سنن الصلاة ثمان وستون وهي قسمان قولية وفعلية، فالقولية اثنتا عشرة، وهي دعاء الاستفتاح والتعوذ قبل القراءة والبسملة ...... إلى أن قال : والقنوت في الوتر جميع السنة 

“Ulama Hanabilah mengatakan : amalan sunnat di dalam shalat itu ada enam puluh delapan, terbagi menjadi dua : Sunnah Qouliyah dan Sunnah Fi’liyah. Sunnah qouliyah ada dua belas : Do’a Iftitah, Ta’awwudz sebelum baca Fatihah, Basmalah, ..... sampai kata-kata Mushonnif : dan membaca qunut pada shalat witir sepanjang tahun”.

Kesimpulannya, ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum doa qunut pada shalat Shubuh adalah sunnah ab’adh, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunahkan melakukan sujud sahwi. Namun demikian kita harus tetap menghargai pendapat pihak lain yang tidak mengamalkannya. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Mas'ud  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*و الله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 12 Februari 2023

KAJIAN TENTANG JANDA DAN ANAK YATIM BUKAN PENERIMA ZAKAT

Dalam menjalankan tugas mengelola zakat, seorang amil (petugas) harus memiliki persyaratan khusus sehingga mampu menjalankan amanat yang diberikan oleh muzakki (orang yang berzakat), salah satu diantara syarat amil zakat adalah memahami dengan baik fikih zakat.

Keberadaan amil atau panitia zakat infak dan shadaqah ditengah-tengah masyarakat sangat memudahkan para muzakki dalam menyalurkan zakat, infak dan shadaqahnya. Namun banyak ditemukan keberadaannya dalam penyalurannya kurang maksimal sesuai syariat karena hanya memfokuskan kepada anak-yatim dan dhu'afa (fakir miskin), sementara mustahiq (penerima zakat) lainnya terabaikan, misalnya Sabilillah dan Ibnu Sabil dan lainnya. 

Penerima zakat sudah sangat jelas, ada dalam 8 Asnaf yaitu Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharimin, Fisabilillah dan Ibnu Sabil. Tidak boleh di luar dari delapan kategori tersebut. Janda dan anak yatim tidak berhak mendapatkan zakat, namun jika janda dan anak yatim itu berasal dari keluarga fakir-miskin, barulah mereka berhak mendapatkan zakat. Hak zakat mereka bukan sebagai janda atau anak yatim, melainkan fakir-miskin.

Para ulama berpandangan bahwa anak yatim bukan merupakan golongan khusus yang dapat menerima zakat, sebab golongan yang berhak menerima zakat hanya tertentu pada delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur’an,  

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ   

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana” (QS. At-Taubah: 60).   

Anak yatim tidak termasuk dari delapan golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut. Namun jika anak yatim memiliki salah satu sifat dari delapan golongan tersebut, misalnya anak yatim tidak ada yang menafkahi atau ada orang yang menafkahi namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak yatim setiap harinya, maka dalam keadaan demikian boleh memberikan harta zakat pada anak yatim, karena ia tergolong sebagai fakir, bukan karena faktor ia adalah anak yatim.   

Anak yatim memiliki kedudukan yang spesial dalam agama Islam. Salah satu buktinya adalah diangkatnya derajat orang yang merawat dan menanggung kebutuhan anak yatim. Di surga orang-orang itu bisa dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam layaknya kedekatan jari telunjuk dan jari tengah. 

Dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Sahl bin Sa’d disebutkan,   

أَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا- وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى   

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti dua jari ini” Rasulullah bersabda dengan isyarat dua jari beliau, yakni jari telunjuk dan jari tengah” (HR al-Bukhari)   

Sementara menafkahi (membantu) janda terdapat dalam riwayat lain,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang menafkahi para janda dan orang-orang miskin, maka ia seperti halnya seorang mujahid di jalan Allah atau seorang yang mendirikan (shalat) di malam hari dan berpuasa di siang harinya." (HR. Bukhari no.4934)

Dalam salah satu ayat Al-Qur’an dijelaskan pula bahwa anak yatim merupakan salah satu objek prioritas untuk diberikan pemberian sedekah atau pemberian yang lain (selain dari zakat). Seperti yang tercantum dalam surat Al-Baqarah, Ayat 177,  

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang-orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya.” (QS. Al-Baqarah : 177)   

Memandang dari penjelasan ayat di atas, suatu pemberian atau membantu kepada anak yatim dan orang-orang miskin adalah suatu bentuk kebajikan. Berdasarkan pandangan ini, tidak semua anak yatim dapat menerima zakat dikarenakan anak yatim tersebut memiliki harta warisan yang dapat mencukupi kebutuhannya, atau anak yatim yang masih memiliki seorang ibu yang memiliki pekerjaan yang layak dan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anak yatim tersebut, maka tidak berhak menerima zakat.   

Dalam konteks zaman dahulu, anak yatim mendapat bagian khusus dari harta rampasan perang (ghanimah) sehingga kebutuhan-kebutuhannya dapat tercukupi. Namun, di zaman sekarang, harta rampasan perang sudah tidak ada lagi, terlebih mengalirkan harta rampasan untuk penyaluran kebutuhan anak yatim, sehingga anak yatim yang tidak tercukupi kebutuhan-kebutuhannya berhak menerima zakat masuk sebagai golongan fakir miskin. Hal demikian seperti dijelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar,

(فرع) الصَّغِير إِذا لم يكن لَهُ من ينْفق عَلَيْهِ فَقيل لَا يعْطى لاستغنائه بِمَال الْيَتَامَى من الْغَنِيمَة وَالأَصَح أَنه يعْطى فَيدْفَع إِلَى قيمه لِأَنَّهُ قد لَا يكون فِي نَفَقَته غَيره وَلَا يسْتَحق سهم الْيَتَامَى لِأَن أَبَاهُ فَقير قلت أَمر الْغَنِيمَة فِي زَمَاننَا هَذَا قد تعطل فِي بعض النواحي لجور الْحُكَّام فَيَنْبَغِي الْقطع بِجَوَاز إِعْطَاء الْيَتِيم إِلَّا أَن يكون شريفاً فَلَا يعْطى وَإِن منع من خمس الْخمس على الصَّحِيح وَالله أعلم   

“Cabang permasalahan, anak kecil ketika tidak ada orang yang menafkahinya, maka menurut sebagian pendapat ia tidak boleh diberi zakat, karena sudah tercukupi dengan anggaran dana untuk anak yatim dari harta ghanimah (rampasan). Menurut pendapat ashah (kuat), ia dapat diberi zakat, maka harta zakat diberikan pada pengasuhnya, sebab terkadang tidak ada yang menafkahi anak kecil kecuali dia, dan terkadang pula anak kecil tersebut tidak mendapatkan bagian anggaran dana untuk anak-anak yatim, karena orang tuanya miskin. Aku berkata: “Urusan harta ghanimah di zaman ini sudah tidak ada lagi di berbagai daerah, karena tidak adilnya para penguasa, maka sebaiknya memastikan bolehnya memberikan zakat pada anak yatim, kecuali anak yatim tersebut tergolong nasab mulia (nasab yang bersambung pada Rasulullah) maka tidak boleh untuk memberinya zakat, meskipun ia tercegah dari bagian seperlima dari seperlimanya harta ghanimah menurut qaul shahih. Wallahu a’lam” (Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min Al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, Hal 191)  

Oleh karenanya perlu pembahasan khusus tentang masalah penyaluran harta zakat ini terkait masalah Sabilillah yang menjadi salah satu mustahiq zakat. Bolehkan harta zakat dialokasikan kepada guru ngaji, penuntut ilmu (santri), pembangunan masjid, pesantren dan sejenisnya?

Imam Asy-Syarbini dalam Al-Jawahir Al-Bukhari menjelaskan,

لجهاد فيعطى ولو غنيا إعانة له على الغزو اهل سبيل الله الغزاة المتطوعون بالجهاد وان كانوا اغنياء ويدخل في ذلك طلبة العلم الشرعي ورواد الحق وطلاب العدل ومقيموا الانصاف والوعظ والارشاد وناصر الدين الحنيف

"Yang ke tujuh Sabilillah Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan ikhlas demi agama Allah, maka ia diberi meskipun ia kaya raya sebagai bantuan untuk biaya perangnya. “Sabilillah” Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan ikhlas demi agama Allah meskipun ia kaya raya. Dan masuk dalam kategori sabiilillah adalah para pencari ilmu syar’i, pembela kebenaran, pencari keadilan, penegak kebenaran, penasehat, pengajar, penyebar agama yang lurus." (Al-Jawaahir Al-Bukhari, Iqna Li Asy-Syarbini I/230).

Imam Ar-Razi dalam kitab Mafatih Al-Ghaib mengutip pedapat Imam Al-Qaffal bahwa kata Sabilillah bisa diarahkan kepada seluruh hal-hal yang baik, seperti mengkafani mayat, bangun benteng, bangun masjid dan sejenisnya,

ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻇﺎﻫﺮ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﻟﻘﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ، ﻓﻠﻬﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻧﻘﻞ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﻓﻲ »ﺗﻔﺴﻴﺮﻩ « ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺃﻧﻬﻢ ﺃﺟﺎﺯﻭﺍ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﺇﻟﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ ﺗﻜﻔﻴﻦ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻭﺑﻨﺎﺀ ﺍﻟﺤﺼﻮﻥ ﻭﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ، ﻷﻥ ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻞ .

“Ketahuilah bahwa dhohirnya ayat في سبيل الله tidak bisa hanya dikhususkan kepada orang-orang yang berperang di jalan Allah saja, berdasarkan pemahaman inilah Imam Qaffal meriwayatkan pendapat sebagian ahli fiqih yang membolehkan memberikan zakat kepada seluruh jalan-jalan kebaikan seperti mengkafani mayat, membangun benteng, dan masjid. Karena lafadz Sabilillah adalab lafadz umum”. (Tafsir Ar-Razi juz 16 hal.87)

Hal ini senada dengan pendapat Imam Musthafa Imarah dalam kitab Jawahir Al-Bukhari, bahwa kata في سبيل الله tidak hanya terbatas kepada orang-orang yang berperang,

ﺍﻫﻞ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻯ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ ﺍﻟﻤﺘﻄﻌﻮﻥ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺍﻏﻨﻴﺎﺀ ﺍﻋﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻃﻠﺒﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺭﻭﺍﺩ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻃﻼﺏ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻣﻘﻴمو ﺍﻻﻧﺼﺎﻑ ﻭﺍﻟﻮﻋﻆ ﻭﺍﻻﺭﺷﺎﺩ ﻭﻧﺎﺻﺮو ﺍﻟﺪﻳﻦ الحنيف. ﺍﻩ

“Sabilillah adalah orang-orang yang berperang dan berjihad dengan sukarela walaupun mereka kaya, karena untuk membantu jihad. Dan masuk dalam kategori Sabilillah yaitu orang-orang yang mencari ilmu, orang-orang yang menyampaikan kebenaran, orang yang menegakkan keadilan, serta orang-orang yang membela agama yang lurus (Islam)." (Jawahir Al-Bukhari Syarh Al-Qasthalani hal.106).

Dengan demikian jika para janda dan anak yatim boleh menerima bagian zakat karena termasuk (mustahiq) fakir miskin, maka guru ngaji lebih berhak lagi menerima bagian harta zakat karena Sabilillah meskipun tidak termasuk fakir miskin. Jadi harta zakat bisa untuk mensubsidi bisyarah untuk guru ngaji. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 09 Februari 2023

EDISI KHUTBAH JUM'AT (MALAPETAKA ITU BERNAMA LISAN)

*Khutbah Pertama*

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ مَنْ تَوَكَّلَ عَلَيْهِ بِصِدْقِ نِيَّةٍ كَفَاهُ وَمَنْ تَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِاتِّبَاعِ شَرِيْعَتِهِ قَرَّبَهُ وَأَدْنَاهُ وَمَنِ اسْتَنْصَرَهُ عَلَى أَعْدَائِهِ وَحَسَدَتِهِ نَصَرَهُ وَتَوَلاَّهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ حَافَظَ دِيْنَهُ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمَّا بَعْدُ

فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Tak ada yang sia-sia seluruh yang diciptakan Allah. Kata-kata ini benar karena seluruh keberadaan di jagat ini memiliki maksud dan tujuan, entah diketahui manusia maupun tidak. Termasuk dalam hal ini seluruh anggota badan manusia, seperti mata, hidung, telinga, lisan, kaki, tangan, dan organ-organ luar dan dalam, serta sel-sel yang tak terhitung jumlahnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَكْثَرُ مَا يَلِجُ بِهِ الْإِنْسَانُ النَّارَ الْأَجْوَفَانِ الْفَمُ وَالْفَرْجُ وَأَكْثَرُ مَا يَلِجُ بِهِ الْإِنْسَانُ الْجَنَّةَ تَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

Dari Abu Hurairah, Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kebanyakkan yang menjadikan manusia masuk ke dalam neraka adalah dua lubang; mulut dan kemaluan. Dan kebanyakkan yang menjadikan manusia masuk ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah 'Azza wa Jalla dan akhlaq yang baik." (HR. Ahmad)

Lisan itu merupakan nikmat besar. Nikmat yang tak mungkin bisa dibalas secara sepadan, kecuali sekadar mensyukurinya, baik melalui kata-kata maupun perbuatan. Bersyukur lewat perkataan bisa dilakukan dengan mengucapkan hamdalah atau kalimat puji-pujian lainnya; sementara bersyukur lewat tindakan akan tercermin dari kualitas perbuatan: apakah sudah baik, bermanfaat, atau sebaliknya?

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullâh,*

Di antara semua anggota badan itu yang paling krusial adalah lisan. Lisan merupakan perangkat di dalam tubuh manusia yang bisa menimbulkan manfaat, namun sekaligus mudarat yang besar bila tak benar penggunaannya. Karena itu ada pepatah Arab mengatakan, salamatul insan fî hifdhil lisan (keselamatan seseorang tergantung pada lisannya). Melalui kata-kata, seseorang bisa menolong orang lain. Dan lewat kata-kata pula seseorang bisa menimbulkan kerugian tak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (QS. Al-Ahzab : 70-71)

Karena saking krusialnya, Islam bahkan hanya memberi dua pilihan terkait fungsi lisan: untuk berkata yang baik atau diam saja. Seperti bunyi hadits riwayat Imam al-Bukhari,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَـيْرًا أَوْ لِيَـصـمُــتْ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluinya dengan mengungkapkan keimanan sebelum memperingatkan tentang bagaimana sebaiknya lisan digunakan. Keimanan adalah hal mendasar bagi umat Islam. Ini menunjukkan bahwa urusan lisan bukan urusan main-main. Hadits di atas bisa dipahami sebaliknya (mafhum mukhalafah) bahwa orang-orang tak bisa berkata baik maka patut dipertanyakan kualitas keimanannya kepada Allah dan hari akhir. Ini menarik karena lisan ternyata berkaitan dengan teologi. 

Dari Uqbah bin Amir pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keselamatan,

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

Dari 'Uqbah bin 'Amir berkata, Aku bertanya: Wahai Rasulullah bagaimana supaya selamat? beliau menjawab, "Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu lapang dan menangislah karena dosa-dosamu." Abu Isa berkata, Hadits ini hasan. (HR. At-Tirmidzi)

Kenapa dihubungkan dengan keimanan dan keselamatan? Hal ini tentang pesan bahwa segala ucapan yang keluarkan manusia sejatinya selalu dalam pengawasan Allah. Ucapan itu juga mengandung pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia melainkan di akhirat pula. Orang yang berbicara sembrono, tanpa mempertimbangkan dampak buruknya, mengindikasikan pengabaian terhadap keyakinan bahwa Allah selalu hadir menyaksikan dan hari pembalasan pasti akan datang. 

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Allah juga mengutus malaikat khusus untuk mengawasi setiap ucapan,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tak ada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf :18)

Banyak hal kotor yang dapat muncul dari lisan. Seperti ghibah atau membicarakan keburukan orang lain. Ghibah mungkin bagi sebagian orang asyik sebagai kembang obrolan, namun ia mempertaruhkan reputasi orang lain, memupuk kebencian, serta merusak kepercayaan dan kehormatan orang lain. Contoh lain adalah fitnah. Yakni, senagaja menebar berita tak benar dengan maksud merugikan pihak yang difitnah. Fitnah umumnya berujung adu domba, hingga pertengkaran bahkan pembunuhan. Sifat ini sangat dibenci Islam. Fitnah masuk dalam kategori kebohongan namun dalam level yang lebih menyakitkan.

Inilah relevansi manusia dikarunia akal sehat, agar ia berpikir terhadap setiap yang ia lakukan atau ucapkan. Berpikir tentang nilai kebaikan dalam kata-kata yang akan kita ucapkan, juga dampak yang bakal timbul setelah ucapan itu dilontarkan. Ini penting dicatat supaya kesalahan tak berlipat ganda karena lisan manusia yang tak terjaga. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَـافُ عَلَيْــكُمْ بَعْدِيْ كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِـيمُ اللِّسَانِ

“Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian semua sepeninggalku adalah orang munafiq yang pintar berbicara” (HR At-Tabrani).

*Jama'ah shalat Jum'at rahimakumullah,*

Di zaman modern ini, ucapan atau ujaran tak semata muncul dari mulut tapi juga bisa dari status atau komentar Facebook dan WhatsApp, cuitan di Twitter, meme di Instagram, konten video, dan lain sebagainya. Media sosial juga menjadi ajang ramai-ramai berbuat ghibah, fitnah, tebar kebohongan, provokasi kebencian, bahkan sampai ancaman fisik yang membahayakan. Makna lisan pun meluas, mencakup pula perangkat-perangkat di dunia maya yang secara nyata juga mewakili lisan kita. Dampak yang ditimbulkannya pun sama, mulai dari adu domba, tercorengnya martabat orang lain, sampai bisa perang saudara.

Karena itu, kita seyogianya hati-hati berucap atau menulis sesuatu di media sosial. Berpikir dan ber-tabayyun (klarifikasi) menjadi sikap yang wajib dilakukan untuk menjamin bahwa apa yang kita lakukan bernilai maslahat, atau sekurang-kurangnya tidak menimbulkan mudarat. Sekali lagi, ingatlah bahwa Allah mengutus malaikat khusus untuk mengawasi ucapan kita, baik hasil lisan kita maupun ketikan jari-jari kita di media sosial.

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ