MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Sabtu, 26 November 2011

ANTARA MALAM 1 MUHARRAM DAN 1 SURO



1. Muharram Adalah Bulan Yang Mulia. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu”(QS. At-Taubah : 36)

Imam Ath-Thabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah ”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari (no. 4662) dan Muslim (no. 29-(1679) dari sahabat Abu Bakrah ra, Rasul bersabda, “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya termasuk empat bulan yang dihormati: Tiga bulan berturut-turut; Dzul Qoidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang terdapat antara bulan Jumadal Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Muttafaq alaih; Shahih Bukhari, Kitab at-Tafsir, hadits no. 4662, dan Shahih Muslim, Kitab al-Qasamah, hadits no. 29-(1679) [Jami’ul Bayan 10/124-125]

Qotadah berkata, “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dhzalim di dalamnya merupakan kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar” (Ma’alimut Tanzil 4/44-45)

Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. (Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10)

2. Disyariatkan Puasa Asyura. Berdasarkan hadits-hadist berikut ini. “Dahulu Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa” (HR. Bukhari no. 2001)

Tatkala Nabi hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya pada hari ini Allah Ta’ala telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan membinasakan Fir’aun beserta kaumnya. Dan Musa berpuasa pada harinya, maka kamipun berpuasa.” Kemudian beliau berkata, “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.” (HR Bukhari no. 2004, Muslim no. 1130). Maka Nabi berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk melakukan puasanya.

3. Keutamaan Puasa Asyura. Ibnu Abbas d ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya, “Saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah puasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1902, Muslim no. 1132)

Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits berikut, “Rasulullah ditanya tentang puasa Asyura, jawab beliau , “Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu”(HR. Muslim no. 1162, Tirmidzi no. 752)

4. Asyura Adalah Hari Ke-10. dari Ibnu Abbas , tatkala Rasulullah berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”, Maka beliau bersabda, “Tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari ke-9”. Ibnu Abbas berkata, “Tahun berikutnya belum datang Rasulullah keburu meninggal” (HR. Muslim no. 1134)

Imam Nawawi berkata, “Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari ke-10. Yang berpendapat demikian diantaranya adalah Sa’id bin Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak lagi. Pendapat ini sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntutan lafadznya”. (Syarah Shahih Muslim 9/205)

Hanya saja Rasulullah berniat untuk berpuasa hari ke-9 sebagai penyelisihan terhadap ahlul kitab, setelah dikhabarkan kepada beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashara. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata, “ Imam Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya berpendapat ; Disunnahkan untuk berpuasa hari ke-9 dan ke-10 karena Nabi berpuasa hari ke-10 serta berniat untuk puasa hari ke-9. Sebagian Ulama berkata, “Barangkali sebab puasa hari ke-9 bersama hari ke-10 adalah agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi jika hanya berpuasa hari kesepuluh saja. Dan dalam hadits tersebut memang terdapat indikasi ka arah itu” (Syarah Shahih Muslim 9/205)

Selain ada yang berpendapat seperti diatas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa satu hari sebelum dan sesudahnya berdasarkan hadits. Rasulullah bersabda, “Berpuasalah hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi, (dengan) berpuasalah 1 hari sebelumnya dan sesudahnya” (HR. Ahmad no. 2155).

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, sudah sepatutnya bagi seorang muslim yang baik untuk mengisi bulan Muharram ini dengan amal shalih, dan menjalankan ibadah puasa Asyura.

Pada keempat bulan tersebut Allah menekankan agar kita kaum muslimin 
jangan melakukan perbuatan aniaya (az-Zhulm), sebagaimana firman-Nya: “Jangan kalian aniaya diri kalian.”

Di lingkungan masyarakat jawa, bulan Muharram sering disebut bulan Suro. Apakah kata Suro berasal dari kata Asy-Syura, atau berasal dari kata Cura bahasa Jawa kuno? Entah saya kurang tahu persis meskipun lahir di Jawa Tengah. Tanggal 1 Suro yang bertepatan dengan 1 Muharram, bagi kelompok masyarakat tertentu disamping merupakan tahun baru Hijriyah juga dianggap tahun baru Jawa. Hal ini tentu tidak terlepas dari sejarah islamisasi masyarakat jawa sejak periode Wali Songo (Wali sembilan).

Sultan Agung Anyokrokusumo yang memerintah Mataram Islam tahun 1613 s/d 1645 menjadi terkenal karena di samping sifatnya yang “anti Kompeni Belanda”, juga usahanya untuk islamisasi rakyat dan kerajaan Mataram yang antara lain ditempuh dengan menetapkan Kalender Hijriyah sebagai Kalender Negara dengan penyesuaian dan tetap memlihara khasanah Kalender Jawa (berasal dari kalender Caka) sampai batas-batas tertentu.

Belakangan ternyata timbul berbagai tafsir dan pendapat yang menimbulkan pandangan-pandangan, persepsi dan langkah bervariasai yang kadang-kadang menimbulkan pertanyaan akan keragu-raguan. Apakah amalan-amalan yang berkaitan dengan pendapat tertentu itu masih dalam batas ajaran islam, atau sudah jauh menyimpang, atau bahkan telah bertolak belakang dengan islam?

Contoh riil sampai saat ini berkaitan dengan bulan Suro yang penulis belum temukan jawabannya secara islam adalah, pertama; Ada pendapat yang mengatakan bulan Suro adalah bulan istimewa, bulan yang wingit, gawat kaliwat-liwat (angker, sangat berbahaya), serta penuh misteri yang harus disikapi dengan malaksanakan “laku” (amalan) lahir batin agar selamat sentosa. Banyak roh gentayangan mencari mangsa sehingga orang-orang takut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, misalnya mendirikan rumah, khitanan, pesta pernikahan dan sebagainya. Kedua; Ada pendapat bahwa salah satu “laku” terutama malam 1 Suro adalah cegah sare, melekan atau wungon (tidak tidur) semalaman, bisa dengan menonton wayang kulit yang bercerita tentang filsafat moral yang tinggi, dibawakan oleh dalang senior yang telah “mumpuni” ilmu kejawen. Disini tidak dsipersoalkan dengan wayang kulitnya, tetapi latarbelakang, saji-sajian yang diadakan untuk siapa. Ketiga; Ada yang unik dengan melakukan semedi, berkhalwat, berhening diri, bermeditasi di tempat yang terkenal angker, dimana tinggal seorang “Baurekso” (makhluk halus penguasa tempat itu) yang bisa memberikan pertolongan, dan masih banyak lagi yang perlu pertimbangan khusus.

Penulis tidak bermaksud mencela dan menyalahkan budaya nenek moyang secara semena-mena, tetapi marilah kita perhatikan dari segi ajaran agama islam yang sebenarnya. Apakah hal itu masih dalam tingkat kewajaran dan masih dalam batas keislaman kita? Selama hal itu masih dalam batas keislaman, tentu tidak menjadi masalah, tetapi kalu ternyata diluar batas bahkan bertentangan dengan akidah, tentu harus dijauhi. 

Berkaitan dengan keutamaan bulan Muharram atau Asy-Syura Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya hari Asy-Syura termasuk hari-hari yang dimuliakan Allah. Barangsiapa suka berpuasa, berpuasalah.” Juga sabdanya, “Barangsiapa yang melapangkan keluarga dan familinya pada hari Asy-Syura, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun itu.”

Dalam hal itu, sementara ada pula sekelompok umat islam yang menghormatinya dengan hubungan yang lain, yaitu memeringati bulan Asy-Syura sehubungan terbunuhnya cucunda Rasulullah Husain bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan yang dilakukan oleh Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan di padang Karbela, sebuah tempat dekat kota Bagdad (Irak) sekarang. Penghormatan akan peristiwa tersebut melahirkan berbagai upacara antara lain upacara Tabut di Bengkulu.

Singkatnya, apapun yang terjadi saat ini berkaitan prosesi dan cara penyambutan datangnya bulan agung 1 Muharram sebagai tanda awal tahun baru Hijriyah atau bulan keramat 1 Suro, yang terpenting marilah kita berjanji kepada diri sendiri, meniti kehidupan ini dengan hati-hati, misalnya dengan memperhatikan dan menghayati bacan-bacaan shalat, memperbanyak amalan dan pemahaman akan makna takbir, tahmid, tasbih dan istighfar. Nanti kita akan tangguh menghadapi derasnya gelombang kehidupan yang semakin hari semakin tidak terarah. Kita tidak boleh berpikir untuk sememntara dan sekali saja, biarlah iman kita tinggalkan di rumah sehingga bebas menikmati kebebasan berekspresi. Itu tidak benar, karena iman harus selalu menyatu dengan hidup kita. Jangan satu detikpun iman berpisah dari diri dengan alas an kebebasan berekspresi, lalu kita boleh semaunya melanggar larangan agama.

Setelah kita sadar akan makna Muharam atau Suro, apakah kita siap menyususn buku “Neraca Amal dan Dosa” tahun lalu? Ingat, kita jangan membuat pembukuan urusan bisnis saja, tetapi juga tentang amal dan dosa yang pernah kita lakukan. Ada tiga hal yang dapat penulis simpulkan berkenaan memasuki tahun baru Hijriyah. Pertama; Keutamaan tanggal 10 Muharram, yaitu hari Asy-Syura ada puasa sunat. Kedua; Bulam Muharram adalah bulan pertama tahun Hijriyah, sehingga harus dipahami makna kata “Hijrah”. Ketiga; Tahun hijriyah dihitung berpangkal dari peristiwa hijrah Nabi, yaitu tahun 622 Masehi, maka cara memperingatinya harus mengacu kepada “Upaya Meningkatkan Penghayatan dan Pengamalan Sunnah Nabi” bukan memakmurkannya melalui budaya dan tradisi yang tidak islami. Jadikanlah Muharram sebagai bulan yang dimuliakan, bulan tempat usaha untuk meraih pribadi yang mulia. Kemuliaan hanya di dapat melalui amal ibadah dan kebajikan, bukan dengan ritual yang dapat menjerumuskan manusia kearah kemusyrikan. Wallahu a'lam bish-Showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar