MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 26 September 2021

KAJIAN TENTANG DIKABULKANNYA DOA AHLI MAKSIAT YANG BERTOBAT



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96).

Dahulu para nabi dan rasul (utusan) Allah Ta’ala mendorong dan menyemangati umat mereka untuk bertaubat dan istigfar, serta menjelaskan kepada umat mereka bahwa hal itu termasuk sebab dikabulkannya doa, turunnya hujan, banyaknya kebaikan, tersebarnya keberkahan pada harta dan anak.

Allah Ta’ala berfirman tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam bahwa beliau berkata kepada kaumnya,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارً

“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-,”

يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

“Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat.”

وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

“dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12).

Allah Ta’ala berfirman tentang kisah Nabi Hud ‘alaihis salam bahwa beliau mengatakan kepada kaumnya,

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

“Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhan kalian lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atas kalian, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian, dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa’”. (QS. Hud: 52).

Senada dengan kisah dalam Al-Qur'an adalah kisah dikabulkannya doa ahli maksiat yang telah bertobat kepada Allah dimasa Nabi Musa alaihissalam berikut,

[توبة العبد العاصي] وروي أنه لحق بني إسرائيل قحط على عهد موسى عليه السلام فاجتمع الناس إليه، فقالوا: يا كليم الله! ادع لنا ربك أن يسقينا الغيث، فقام معهم، وخرجوا إلى الصحراء وهم سبعون ألفا أو يزيدون. فقال موسى عليه السلام: إلهي! اسقنا غيثك: وانشر علينا رحمتك، وارحمنا بالأطفال الرضع، والبهائم الرتع، والمشايخ الركع فما زادت السماء إلا تقشعا، والشمس إلا حرارة. 

فقال موسى إلهي إن كان قد خلق جاهي عندك، فبجاه النبي الأمي محمد صلى الله عليه وسلم الذي تبعثه في آخر الزمان! فأوحى الله إليه: ما خلق جاهك عندي، وإنك عندي وجيه، ولكن فيكم عبد يبارزني منذ أربعين سنة بالمعاصي، فناد في الناس حتى يخرج من بين أظهركم، فبه منعتكم. 

فقال موسى إلهي وسيدي! أنا عبد ضعيف، وصوتي ضعيف، فأين يبلغ وهم سبعون ألفا أو يزيدون؟ فأوحى الله إليه: منك النداء، ومني البلاغ فقام مناديا وقال: يا أيها العبد العاصي الذي يبارز الله منذ أربعين سنة! اخرج من بين أظهرنا، فبك منعنا المطر. 

فقام العبد العاصي، فنظر ذات اليمين وذات الشمال، فلم ير أحدا خرج. فعلم أنه المطلوب; فقال في نفسه: إن أنا خرجت من بين هذا الخلق افتضحت على رؤوس بني إسرائيل، وإن قعدت معهم منعوا لأجلي. فأدخل رأسه في ثيابه نادما على فعاله، وقال: إلهي وسيدي! عصيتك أربعين سنة وأمهلتني، وقد أتيتك طائعا فاقبلني.

فلم يستتم الكلام حتى ارتفعت سحابة بيضاء فأمطرت كأفواه القرب، فقال موسى: إلهي وسيدي! بماذا سقيتنا وما خرج من بين أظهرنا أحد؟ فقال: يا موسى! سقيتكم بالذي به منعتكم. فقال موسى: إلهي! أرني هذا العبد الطائع. فقال يا موسى! إني لم أفضحه وهو يعصيني، [أ] أفضحه وهو يطيعني؟! يا موسى! إني أبغض النمامين عليه، [أ] فأكون نماما؟!

(أنظر : كتاب التوابين لابن قدامة؛ عبد الله بن محمد بن قدامة الجماعيلي المقدسي ثم الدمشقي الحنبلي)

*[Taubatnya seorang hamba yang durhaka]* 

Diriwayatkan bahwa terjadi kekeringan melanda Bani Israil pada zaman Musa alaihissalam, sehingga orang-orang berkumpul menghadapnya dan berkata, "Wahai Yang Maha Mengetahui Allah! Berdo'alah kepada Tuhanmu agar memberi kami (menurunkan) hujan," sehingga dia (Musa) bangkit bersama mereka, dan mereka pergi ke padang pasir ketika mereka berjumlah 70.000 (tujuh puluh ribu) atau lebih (Istisqa' meminta hujan). Musa alaihissalam, berdoa, "Ya Tuhanku! Beri kami hujan, dan sebarkan belas kasihan Engkau kepada kami, dan kasihanilah bayi kami yang masih menyusu, binatang yang merenung, dan orang tua yang berlutut, karena langit hanya menjadi lebih cerah, dan matahari tidak lain adalah panas." 

Musa alaihissalam berdo'a, “Ya Tuhanku, muliakanlah aku disisi-Mu, maka dengan kehormatan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang buta huruf, yang akan Engkau utus kepadanya di akhir zaman!" Maka Allah berfirman kepadanya, "Aku tidak menciptakan kehormatanmu untukku, dan kamu bagiku adalah orang yang berharga, tetapi di antara kamu ada seorang budak yang telah memusuhi aku selama empat puluh tahun dengan berbuat dosa, panggillah dia diantara orang-orang sampai dia keluar dari tengah-tengahmu, maka sebab karenanya Aku mencegah (hujan) untukmu." 

Musa berkata, "Ya Tuhanku, wahai tuanku! Aku seorang hamba yang lemah, dan suaraku pun lemah, jadi dimana (memanggilnya) ketika mereka berjumlah tujuh puluh ribu atau lebih?" Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, "Darimu cukup memanggil, dan dariku yang menyampaikan panggilan," maka dia (Musa) bangun dan memanggil dan berkata, "Wahai hamba yang durhaka yang telah memusuhi Allah selama empat puluh tahun!

Keluar dari tengah-tengah kami, karena keberadaanmu mencegah kami dari turunnya hujan." 

Maka bangunlah hamba yang durhaka itu dengan melihat ke kanan dan ke kiri, dan dia tidak melihat seorang pun yang keluar. Dia mengetahui bahwa dirinya orang yang dicari; Dia berkata pada dirinya sendiri,  "Jika aku keluar dari orang-orang ini, aku akan ditertawakan dihadapan para pembesar Bani Israil, dan jika aku tetap duduk bersama mereka, maka mereka akan terhalang (turunnya hujan) karenaku." Maka dia memasukkan (menutupi) kepalanya kedalam pakaiannya, menyesali apa yang telah dia lakukan, dan berkata, "Ya Tuhanku, wahai tuanku! Aku telah mendurhakai-Mu selama empat puluh tahun dan Engkau masih memberiku waktu, aku datang kepada-Mu dengan kepatuhan, ketaatan, maka terimalah aku (ketaatan dan taubatku)." 

Maka belum sampai sempurna ucapan kalimat, sehingga awan putih naik dan hujan turun dengan lebat seperti mulut kalajengking, maka Musa berkata, "Ya Tuhanku, wahai tuanku! Sebab apa Engkau menyirami kami (menurunkan hujan) dan apa yang telah keluar dari tengah-tengah kami?" Dia (Allah) berfirman, "Wahai Musa! Aku menyiramimu dengan sebah apa yang menghalangimu." Musa berkata, "Ya Tuhanku! Tunjukkan kepadaku hamba yang taat ini." Dia (Allah) menjawab, "Hai Musa! Aku tidak menampakannya (mengekspos) dia ketika dia tidak mentaati-Ku, apakah Aku harus mengekspos dia sementara dia telah taat kepada-Ku?! Wahai Musa! Aku benci para tukang gosip membicarakan tentang dia, maka apakah aku akan menjadi penggosip?!"

(Lihat : Kitab At-Tawwabiin juz 1 hal. 80-82 Karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali)

Sementara dalam kitab ulama yang lain dijelaskan sebuah riwayat tentang doanya Barakh Al-Aswad dengan nada mendebat Allah Ta'ala,

فقد روي أنّ بني إسرائيل كانوا قد قحطوا سبع سنين، فخرج موسى عليه ‌السلام يستسقي لهم في سبعين ألفاً، فأوحى الله تعالى إليه: ( كيف أستجيب لهم وقد أظلّت عليهم ذنوبهم، وسرائرهم خبيثة؟! يدعونني على غير شيء، ويأمنون مكري! ارجع إلى عبد من عبادي يُقال له: (برخ). يخرج حتّى أستجيب له! ).

Diriwayatkan bahwa Bani Israel telah dilanda kemarau selama tujuh tahun, maka Musa alihissalam, keluar untuk meminta hujan buat mereka (shalat istisqa') dengan tujuh puluh ribu (kaumnya), sehingga Allah SWT mewahyukan kepadanya, "(Bagaimana Aku mengabulkan doa mereka sungguh telah tertutup dengan dosa-dosa mereka dan rahasia-rahasia  keburukan mereka?! Mereka memohon kepada-Ku tanpa alasan (ketaatan) apapun, dan mereka mengharap rasa aman dari makar-Ku! Kembalilah (mintalah) kepada seorang hamba dari hamba-hamba-Ku yang disebut Barkh. Dia akan keluar (ikut berdoa) sehingga Aku mengabulkan doa baginya!"

فسأل عنه موسى عليه ‌السلام فلم يعرفه، وبينما موسى يمشي في طريق، إذ بعبد أسود بين عينيه تراب من أثر السّجود في شَملة قد عقدها على عنقه، فعرفه موسى عليه‌ السلام بنور الله تعالى، فسلّم عليه، فقال: ( ما اسمك؟ ).قال: برخ. قال عليه‌ السلام : ( أنت طَلِبَتُنا منذ حين، اخرُج واستسق لنا ).

Maka Musa alaihissalam bertanya tentangnya, tetapi tidak ada yang mengenalinya. Ketika Musa sedang berjalan di perjalanan tiba-tiba bertemu seorang budak hitam di antara matanya dengan debu dari bekas sujud dengan memakai shamlah (syal) yang telah diikat di lehernya, maka Musa alaihissalam mengenalinya dengan cahaya Allah SWT, maka dia mengucapkan salam dan menyapanya, "(Siapa namamu?)." Dia menjawab, "Barkh." Musa alaihissalam berkata, "(Engkau yang kami cari beberapa waktu lalu, pergilah, keluarlah dan mintalah hujan untuk kami)."

فخرج وقال مُخاطباً ربّه: ما هذا من فعالك! وما هذا من حلمك! وما الذي بدا لك؟! أنَقَضت عليك عيونك؟! أم عاندت الرّياح عن طاعتك؟! أم نفد ما عندك؟! أم اشتدّ غضبك على المذنبين؟! ألست كنت غفّاراً قبل خلقك الخاطئين؟! خلقت الرّحمة وأمرت بالعطف، أفتكون لما أمرت من المـُخالفين؟! أم تُرينا أنّك مُمتنع؟! أم تخشى الفوت، وتُعجِّل بالعقوبة؟!

Maka keluarlah dia (Barakh) dan berkata untuk berdialog kepada Tuhannya, "Apakah ini dari perbuatan Engkau! Dan apakah ini dari mimpi-Mu! Dan apa yang akan Engkau mulai?! Apakah Engkau menutup mata?! Atau apakah Engkau menghendaki agar angin tidak mematuhi-Mu?! Atau apakah Engkau kehabisan apa yang Engkau miliki ?! Atau apakah Engkau marah dengan orang-orang berbuat dosa?! Bukankah Engkau Maha Pengampun sebelum Engkau menciptakan orang-orang yang berdosa?! Engkau menciptakan belas kasihan dan memerintahkan untuk bersimpati, jadi apakah Engkau perintahkan untuk menjadi orang yang tidak patuh?! Atau apakah Engkau menunjukkan kepada kami bahwa Engkau sebagai penolak (doa)?! Ataukah Engkau takut tertinggal, dan sehingga Engkau mempercepat siksaan?!

فما برح برخ حتّى خاضت بنو إسرائيل بالمطر، فلمـّا رجع برخ استقبل موسى عليه‌ السلام فقال: أرأيت حين خاصمت ربّي كيف أنصفني . (مسكن الفواد عند فقد الأحبة و الأولاد - الشهيد الثاني - الصفحة ٧٠) 

Tidak lama setelah Barkh pergi (dari tanah lapang), Bani Israil diguyur hujan deras, dan ketika Barkh kembali pulang, dia bertemu Musa alaihissalam dan berkata, "Apa yang kamu lihat ketika aku berdebat dengan Tuhanku, bagaimana kalian membenarkanku?" (Lihat : Musakkinul Fuad 'Inda Faqdi Ahibbati Wal Awlaad hal. 70 karya Asy-Syahid Ats-Tsani Syeikh Zainuddin Ali bin Ahmad Al-'Amili )

Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموقف الى أقوم الطريق*

Kamis, 23 September 2021

PENJELASAN HADITS TENTANG 6 ORANG YANG DIBENCI ALLAH TA'ALA


Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.“ (Al Ahzab : 70-71)

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله -صلى الله عليه و سلم-: إن الله يبغض كل جعظري جواظ صخاب بالاسواق جيفة بالليل حمار بالنهار عالم بالدنيا جاهل بالاخرة.

Dari Abu Hurairata radhiyallahu 'anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah benci kepada setiap orang yang sombong dan kasar, dan suka berteriak-teriak seperti di pasar. Diwaktu malam bagaikan bangkai, dan diwaktu siang bagaikan keledai. Dia berilmu tentang dunia tapi bodoh tentang kehidupan akhirat.” (HR. Al-Baihaqi)

إن هذا الحديث رواه أحمد وغيره بألفاظ مختلفة، وباللفظ.المذكور رواه البيهقي في السنن وابن حبان في صحيحه..

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dengan lafazh (redaksi) yang berbeda, dan dengan redaksi yang telah disebutkan yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan dan Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya (dengan redaksi:)

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ جِيفَةٍ بِالَّليْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ (حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ)

“Sesungguhnya Allah benci kepada setiap orang yang sombong dan rakus dunia, dan suka banyak dan pandai bicara, diwaktu malam bagaikan bangkai, diwaktu siang bagaikan keledai. Dia pandai dan paham segala urusan dunia tapi bodoh tentang urusan kehidupan akhirat.” (HR. Ibnu Hibban)

ومعنى الجعظري-كما قال أهل العلم-: المتكبر الجافي عن الموعظة، وقيل: الفظ الغليظ.

Dan arti Al-Ja'zhari - sebagaimana dikatakan oleh para ahli ilmu - adalah: sombong, sombong tentang nasihat, dan dikatakan: kekasaran yang keras.

والجواظ: المختال في مشيه الغليظ الفظ.

Al-Jawwazh: orang yang sombong dalam gaya berjalannya yang kasar dan keras (angkuh).

والسخاب:- بالسين والصاد- كثير الخصام ، والسخب في الأسواق كثرة الخصام ورفع الصوت فيها.

Dan fitnah: - dengan huruf sin (س) dan shad (ص) - banyak pertengkaran, dan membuat kebisingan di pasar adalah banyak pertengkaran dan meningkatkan suara di dalamnya.

ومعنى جيفة بالليل: كناية عن كثرة نومه وخموله وعدم قيامه لصلاة الليل...

Dan arti menjadi mayat di malam hari: perumpamaan dari seringnya tidur, lesu dan tidak bangun untuk shalat malam...

ومعنى حمار بالنهار: أنه بليد في فهمه، منهمك في عمله الدنيوي لا يلتفت إلى سواه من الطاعة والعبادة.. فإذا جاء الليل استلقى على فراشه وبقي كالجيفة إلى الصباح.

Arti menjadi keledai di siang hari adalah ia tumpul dalam pemahamannya, asyik dengan pekerjaan duniawinya dan tidak memperhatikan apa pun selainnya (dunianya) dari ketaatan dan ibadah.. Ketika malam tiba, ia berbaring di tempat tidurnya dan tetap seperti mayat sampai pagi.

وهو- مع هذا- عالم بأمور دنياه ولكنه جاهل بأمر دينه لا يهتم به ولا يسأل عنه.

Dan dia - meskipun demikian - memahami dan pandai dalam masalah duniawinya, tetapi dia tidak mengetahui agamanya dan tidak peduli tentangnya dan tidak menanyakannya.

والحديث تنبيه وتعليم للمسلم أن يبتعد عن هذه الصفات الذميمة ويتحلى بضدها من صفات أخلاق الإسلام الفاضلة

Hadits ini adalah peringatan dan petunjuk bagi seorang Muslim untuk menjauhi sifat-sifat tercela ini dan berusaha memiliki sifat kebalikannya, yaitu sifat-sifat  akhlak yang mulia dalam agama islam. Aamiin

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini Menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الزفاف الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG RAHASIA KESUKSESAN BISNIS SAHABAT UTSMAN BIN AFFAN


Sahabat Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 574 M dari sebuah keluarga bersuku Quraisy, Bani Umayah. Nama ibunya adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau memiliki nama panjang Utsman bin Affan al-Umawi al-Quraisy. Beliau biasa dipanggil dengan nama Abu Abdillah atau Abu ‘Amr. Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada generasi ke-5. Sebelum masuk Islam, beliau dipanggil dengan sebutan Abu ‘Amr. 

Beliau memiliki gelar Dzunnurain (memiliki dua cahaya), karena menikahi 2 putri Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Ruqayah dan Ummi Kultsum. Utsman bin Affan merupakan kerabat dekat Abu Sufyan. Beliau adalah sahabat Nabi yang pandai membaca dan menulis.

Beliau diangkat menjadi khalifah oleh Majelis Syuro ketika itu. Bakat kepemimpinannya telah terlatih karena beliau berpengalaman dalam memimpin usaha dagang dan ternak. Beliau juga merupakan seorang pengusaha besar kala itu. Meskipun kaya raya, beliau hidup dengan sederhana dan sangat dermawan, sehingga beliau dijuluki sebagai Bapak Zuhud.

Dalam riwayat disebutkan bahwa Utsman bin Affan memiliki aset senilai 151.000 dinar plus 1000 dirham, mewariskan properti sepanjang Aris dan Khaibar. Beliau juga memiliki beberapa sumur oasis senilai 200.000 dinar atau Rp.240 Miliar. 

Dalam riwayat lain, harta Utsman bin Affan meliputi:

• Tarikah 1 (tunai) : 30 Juta Dirham

• Tarikah 2 (tunai) : 150.000 Dinar

• Sedekah : 200.000 Dinar

• Unta : 1000 ekor

Jika dirupiahkan:

• Tarikah 1 (tunai) : 1.845.690.000.000

• Tarikah 2(tunai) : 291.219.750.000

• Sedekah : 388.293.000.000

• Unta : 7.740.000.000

• Jumlah :2.532.942.750.000

Sebagaimana dijelaskan bahwa rahasia kekayaan salah satu sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat hijrah ke Madinah tidak membawa harta benda apapun kecuali sebuah pedang. Namun tidak perlu waktu lama berada di Madinah langsung menjadi orang yang sukses dan kaya raya yaitu sahabat Utsman Ibnu Affan, dimana ketika beliau ditanya terkait rahasia kesuksesan usahanya beliau menjawab,

كنت أعالج، و أنمّي، و لا ازدري ربحاً، و لا أشتري شيخاً، و أجعل الرأس رأسين

1. Aku merawat (terjun langsung mengelola bisnis).

2. Aku menumbuhkan (mengembangkan bisnis dengan 'rumus sepertiga')

3. Aku tidak meremehkan keuntungan walau sedikit.

4. Aku tidak membeli stok barang lama.

5. Aku menjadikan satu modal menjadi dua modal.

https://aboutblife.wordpress.com/2019/02/06/%D8%A3%D8%B3%D8%B1%D8%A7%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%AC%D8%A7%D8%B1%D8%A9-%D8%B9%D9%86%D8%AF-%D8%B9%D8%AB%D9%85%D8%A7%D9%86-%D8%A8%D9%86-%D8%B9%D9%81%D8%A7%D9%86-%D8%AE%D9%85%D8%B3%D8%A9-%D9%82/

*1.Terjun langsung mengelola bisnisnya*

Apa hikmah yang diperoleh dengan memilih terjun langsung dalam mengelola bisnisnya seperti yang dilakukan khalifah Utsman? Dengan terjun langsung untuk mengelola bisnis, ada keuntungan yang diperoleh dibanding dengan yang langsung membayar jasa orang sejak awal membangun bisnis. Pengalaman eksekusi langsung setiap aspeknya, akan membuat pemilik bisnis lebih mudah memahami masalah kecil yang muncul saat sudah punya karyawan. 

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang”. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

*2.Mengembangkan bisnis dengan ‘rumus sepertiga’*

Supaya bisnis bertahan lama, pembagian keuntungannya dibagi 3: sepertiga untuk dinikmati, sepertiga bisa digunakan untuk diputar lagi sebagai modal, dan sepertiganya untuk sedekah.  

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ 

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 261)

*3.Tidak meremehkan keuntungan walau sedikit*

Memang tidak ada batasan untuk mengambil keuntungan besar dalam sebuah usaha. Namun, ada kalanya keuntungan yang diperoleh adalah jumlah yang belum seberapa. Tapi seperti yang dicontohkan Utsman Bin Affan, beliau tidak meremehkan keuntungan sekecil apapun. Tetap bersyukurlah karena masih mendapatkan keuntungan dan bukan kerugian.

Dalam Al Mughni ‘an Hamlil Asfar, Al Hafizh Al ‘Iroqi pada hadits no. 1576 membawakan hadits,

عليكم بالتجارة فإن فيها تسعة أعشار الرزقة

“Hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan sembilan dari sepuluh pintu rizki.”

*4.Tidak membeli stok barang lama*

Demi kualitas layanan yang terbaik, alangkah baiknya tidak membeli stok barang lama. Selain berisiko cepat rusak atau basi, konsumen juga cenderung lebih suka mencari produk yang baru. Jadi alangkah baiknya untuk memiliki stok barang baru, daripada yang lama.

*5.Menjadikan satu modal menjadi dua modal*

Apa artinya “satu modal menjadi dua modal”? Coba kita jelaskan dengan ilustrasi seperti ini. Katakanlah misal kita punya 1 kg beras merah yang biasanya dijual Rp. 20.000. 1 kg beras merah tersebut bisa kita bagi 2, yaitu masing-masing setengah kg. Setiap setengah kg bisa dijual dengan harga Rp. 15.000 (atau selisih Rp. 5.000 dari ‘harga normal’).

Angka tersebut akan menghasilkan keuntungan lebih tinggi. Dengan cara begini, konsumen yang dilayani pun lebih banyak. Ini bisa menjadi alternatif bagi kita jika memutuskan untuk berdagang. 

Pada dasarnya, setiap orang yang berdagang diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari barang dagangannya tanpa ada batasan tertentu dari syariat. Ia boleh mengambil keuntungan sedikit atau banyak selama tidak menzalimi orang lain dan masyarakat.

Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ sebagai berikut,

من اشترى سلعة جاز له بيعها برأس المال و بأقل منه و بأكثر منه لقوله صلى الله عليه و سلم إذا إختلف الجنسان فبيعوا كيف شئتم. المجموعة شرح المهذب ١/٢٨٨

“Barangsiapa membeli barang dagangan, maka boleh baginya menjual dengan harga modal, lebih murah dari harga modal, atau lebih banyak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw, ‘Jika dua barang berbeda jenis, maka kalian juallah sesuai kemauan kalian.” (Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab juz 1 hal 288)

Menurut Abdus Sattar Al Syaikh yang dikutip Oleh Andil Waris Masygul Hamam, ketika Utsman bin Affan wafat, beliau mempunyai tabungan sebanyak 3,5 juta dirham (2,9 triliun).

Beliau juga memiliki dinar sebanyak 150 ribu dinar setara dengan 525 miliyar.

Utsman bin Affan juga meninggalkan kekayaan 1000 ekor unta dan ladang pertanian yang sangat luas sebanyak 1 juta dinar (3,5 triliun). Kekayaan keseluruhan Utsman bin Affan sekitar 6,925 triliun.

Utsman bin Affan terkenal sosok yang dermawan, beliau ringan tangan dalam bersedekah.

Utsman pernah bersedekah sebanyak 10.000 dinar (35 miliar) untuk perang tabuk. Biaubjuha memberikan 83,3 kg emas yang setara dengan 70,8 miliar, 450 unta (19 miliar), 50 kuda (2,5 miliar).

Jika dikalkulasikan nilai shadaqah Utsman bin Affan setara dengan 125,3 miliar, itu belum termasuk pemenuhan kebutuhan dari 3000 pasukan dan keluarganya.

Utsman juga pernah membeli sumur Yahudi dengan nilai 20.000 dirham (1,9 miliar).

Lalu beliau juga, bershadaqah untuk perluasan masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Untuk perluasan Masjidil Haram Utsman membeli rumah senilai 1000 dinar (34 miliar).

Untuk perluasan masjid Nabawi, Utsman membeli rumah senilai 25.000 dirham (87,5 miliar) kemudian rumah itu diwakafkan.

Itulah beberapa prinsip bisnis yang dilakukan oleh Utsman bin Affan yang diunggah di kanal YouTube Roeng Belajar, Jumat, 12 Maret 2021. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموقف الى أقوم الطريق*

EDISI KHUTBAH JUMAT (6 MACAM ORANG YANG DIBENCI ALLAH TA'ALA)

*Khutbah Pertama*

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَامِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَقُرَّةَ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إَلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. 

أَمَّابَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ. وقال تعالى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

*Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,*

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan dalam sebuah hadits,

إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ صَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ , جِيفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِالدُّنْيَا، جَاهِلٍ بِالْآخِرَةِ

“Sesungguhnya Allah benci kepada setiap orang yang sombong dan kasar, dan suka berteriak-teriak seperti di pasar. Diwaktu malam bagaikan bangkai, dan diwaktu siang bagaikan keledai. Dia berilmu tentang dunia tapi bodoh tentang kehidupan akhirat.” (HR. Al-Baihaqi)

Dalam riwayat lain ada sedikit perbedaan redaksinya sebagaimana Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dalam hadits shahih dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ جِيفَةٍ بِالَّليْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ (حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala membenci seseorang yang memiliki enam sifat berikut ini,    

1. جَعْظَرِيٍّ   

Yakni orang yang takabbur atau sombong. Sombong ada dua macam yaitu : 

*Pertama,* menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang lain padahal ia tahu bahwa hal itu benar, dikarenakan penyampai kebenaran lebih muda usianya, lebih miskin hartanya, lebih rendah status sosialnya atau karena hal lain. Padahal fir’aun tidaklah binasa kecuali karena sifat takabburnya. Fir’aun telah melihat sekian banyak mu’jizat Nabi Musa ‘alaihissalam, namun ia tidak beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. 

Demikian pula Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir Quraisy, setelah mereka melihat mu’jizat al-Qur’an dan mengakui bahwa al-Qur’an tidak seperti puisi dan prosa yang mereka kenal, tidak ada yang membinasakan mereka dan membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabbur mereka.   

*Kedua,* merendahkan orang lain. Seseorang yang memiliki sifat takabbur jenis kedua ini dalam hatinya, ia akan menganggap dirinya memiliki keistimewaan lebih atas orang lain sehingga melihat dirinya dengan pandangan kesempurnaan dan penuh kebaikan. Dia melupakan bahwa itu semua adalah anugerah yang Allah berikan kepadanya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong itu artinya menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia.” (HR. Muslim)

*Hadirin Jama'ah Jum'at rahimakumullah,*

Orang kedua yang dibenci Allah Ta'ala yaitu,

2. جَوَّاظٍ   

Yaitu seseorang yang rakus dan kasar ucapan serta prilakunya dalam usaha untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan niat yang tidak benar dan didorong kecintaannya yang sangat besar terhadap harta. Ia tidak peduli dari mana harta itu ia peroleh, apakah dari sumber yang halal ataukah haram. Dengan itu, ia bertujuan untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya yang haram dan membanggakan diri di hadapan para hamba yang lain.   

Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang kasar ucapan dan perbuatannya, sebaliknya Allah cinta kepada orang-orang yang lembut. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ

“Sesungguhnya Allah itu lembut dan cinta kelembutan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ   

Dalam riwayat Ibnu Hibban,

سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ  

Artinya orang yang karena kerakusan dan kegandrungannya pada harta, ia memperbanyak omongan dengan tujuan supaya bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ia tidak peduli apakah omongannya halal ataukah haram.   

Dalam riwayat Imam Al-Baihaqi,

صَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ

“Suka berteriak-teriak seperti di pasar.”

Di mana lisannya itu pedas, lisannya suka menyakiti hati orang lain, dia tidak peduli apakah orang itu akan marah atau tidak, dia tidak peduli. Dan sifat ini tentunya sangat dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mempunyai sifat yang lemah lembut. Bahkan ketika Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasehati Firaun, Allah mengatakan:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ ﴿٤٤﴾

“Dan ucapkan kepada Firaun dengan ucapan yang lemah - lembut, mudah - mudahan ia mau ingat atau takut.” (QS. Tha-ha[20]: 44)

4. جِيفَةٍ بِاللَّيْلِ   

Menjadi bangkai di malam hari. Yakni menghabiskan seluruh waktu malamnya untuk tidur. Ia tidak peduli untuk melakukan shalat sama sekali.   

5. حِمَارٍ بِالنَّهَارِ   

Menjadi keledai di siang hari. Yakni yang ia pikirkan hanya bagaimana bisa memakan berbagai menu makanan dan banyak menikmati berbagai kemewahan hidup. Dengan sebab itu, ia lalai melakukan hal-hal yang Allah wajibkan kepadanya.   

6. عَالِـمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ الْآخِرَةِ   

Mengetahui perkara dunia namun bodoh mengenai perkara akhirat. Yakni mengetahui bagaimana cara mencari dan mengumpulkan harta, akan tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bagian ilmu agama yang fardlu ‘ain untuk dipelajari, yang disebut para ulama dengan istilah عِلْمُ الدِّيْنِ الضَّرُوْرِيِّ (ilmu agama yang pokok).

 أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   

*Khutbah Kedua*   

إِنَّ الْحَـمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَشْكُرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ  لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، 

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الصَّادِقِ الْوَعْدِ الْأَمِيْنِ، وَعَلٰى إِخْوَانِهِ النَّبِيِّيْنَ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَآلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِيْنَ، وَعَنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنِ الْأَئِمَّةِ الْمُهْتَدِيْنَ، أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَعَنِ الْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْن أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ فَاتَّقُوْهُ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلٰى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا،

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰىآلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ،فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. 

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبَّنَاآتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ،اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضٰالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ، اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا وآمِنْ رَّوْعَاتِنَا وَاكْفِنَا مَا أَهَمَّنَا وَقِنَا شَرَّ ما نَتَخوَّفُ   

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبٰى ويَنْهٰى عَنِ الفَحْشٰاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَاتَّقُوْهُ يَجْعَلْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مَخْرَجًا، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر.

Senin, 20 September 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM TAHLIL ATAU TAHLILAN UNTUK ORANG MENINGGAL

Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa tahlilan itu suatu hal baru dalam agama (bid'ah) yang harus ditinggalkan dengan berdalil,

من عمل عملًا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada dalam urusan kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan kami, sesuatu yang tidak ada asalnya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Benarkah bahwa tahlilan itu bid'ah dan bukan perkara agama islam? 

Lafazh tahlil berasal dari kata,

هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا

"Hallala" "Yuhallilu" "Tahliilan"

Artinya: "Mengucapkan laa ilaaha illallaah."

Kalimat "laa ilaaha illallaah" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna: "Tidak ada Tuhan selain Allah."

Kata Tahlilan juga berasal dari bahasa Arab tahliilun (تَهْلِيْلٌ) dari akar kata,

  هَلَّلَ – يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلا

yang berarti mengucapkan kalimat, لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau,

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى .رواه مسلم

“Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda, "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dhuha.” (HR. Muslim).

Tahlilan merupakan suatu tradisi kegiatan dzikir bersama masyarakat indonesia dengan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala bacaan tersebut dihadiahkan untuk para arwah (mayit) yang disebutkan oleh pembaca atau oleh pemilik hajat. Adapun diantara hujjahnya adalah, 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ 

Abu Hurairah dan Abu Sa'id Al Khudri bahwasanya keduanya menyaksikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidaklah suatu kaum yang duduk berkumpul untuk mengingat Allah, kecuali dinaungi oleh para malaikat, dilimpahkan kepada mereka rahmat, akan diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah Azza Wa jalla akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim no.4868)

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ   

“Barangsiapa yang mencontohkan sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim).

Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia) tahlilan adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang meninggal atau pengucapan kalimat tauhid laa ilaaha illallaah tidak ada Tuhan selain allah secara berulang-ulang.

Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya. Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu saat tasyakkuran dan sejenisnya.

Diantara rangkaian tahlilan terdiri dari bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir dan kalimat thaiyibah lainnya. Adapun hujjahnya sebagaimana sebuah riwayat menyebutkan,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيِّ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا إِلَى سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ حِينَ تُوُفِّيَ، قَالَ: فَلَمَّا صَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَسُوِّيَ عَلَيْهِ، سَبَّحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَبَّحْنَا طَوِيلًا، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرْنَا، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَ سَبَّحْتَ؟ ثُمَّ كَبَّرْتَ؟ قَالَ: " لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الْعَبْدِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللهُ عَنْهُ "

“Jabir bin Abdillah berkata: “Pada suatu hari kami keluar bersama Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam menuju sahabat Sa’ad bin Mu’adz ketika meninggal dunia. Setelah Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat jenazah kepadanya, ia diletakkan di pemakamannya, dan tanah diratakan di atasnya, maka Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam membaca tasbih. Kamipun membaca tasbih dalam waktu yang lama. Kemudian Nabi membaca takbir, maka kami membaca takbir. Lalu Nabi ditanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membaca tasbih kemudian membaca takbir?” Nabi menjawab, “Kuburan hamba yang shaleh (Sa’ad bin Mu’adz) ini benar-benar menjadi sempit kepadanya, hingga Allah melapangkannya baginya.” (HR. Ahmad)

Dengan demikian, inti tahlilan adalah :

*Pertama,* menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. 

*Kedua,* mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. 

*Ketiga,* bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan. 

*Keempat,* membacakan istighfar dan mendokan mayit agar diterima amal ibadahnya, diampuni dosa dan kesalahannya, mendapatkan rahmat dan ampunan Allah dan Husnul khatimah. 

Maka jawabnya, bahwa keempat inti dari tahlilan semuanya adalah termasuk perkara agama yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait keempat masalah tersebut?   

*1. Hukum hadiah bacaan Al-Qur'an untuk mayit*

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. *Pertama,* ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan,   

أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ 

"Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya." (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, hal. 131).   

Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menyebutkan,   

وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ، وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ، جَازَ ذَلِكَ، وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ    

"Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit." (Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, hal. 173).   

Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan,

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا   

"Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya." (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, hal. 311).   

Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menuturkan,   

وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ. أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا   

"Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya)." (Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, hal. 79).   

Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Ibnu Taimiyyah seorang ulama rujukan salafi wahabi. Dalam kitab Majmu’ Fatawa beliau disebutkan,

وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ، كَمَا يَصِلُ إلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ، كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ   

"Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit." (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h. 366).   

*Kedua,* sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis,  

قَالَ فِي التَّوْضِيحِ فِي بَابِ الْحَجِّ: الْمَذْهَبُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ لِلْمَيِّتِ حَكَاهُ الْقَرَافِيُّ فِي قَوَاعِدِهِ وَالشَّيْخُ ابْنُ أَبِي جَمْرَةَ   

"Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah." (Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, hal. 173).   

Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya.

*2. Hukum mengkhususkan waktu.*   

Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan shalat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu,    

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ.   

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya." (HR. Bukhari no 1118, Muslim no.4930, Ahmad no.4305, Abu Daud no.4419, Tirmidzi no.3625, An-Nasa'i no.5364, Malik no.1587, Darimi no.2949 dan Ibnu Majah no.4285)   

Mengomentari hadits tersebut, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, "hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya." (Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, hal. 197).   

Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.   

*3. Hukum bersedekah untuk mayit.*   

Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha,   

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ نَعَمْ

Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata, “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.” (HR. Bukhari no.1299, 2551, Muslim no.3082, 1672, Abu Daud no.2495 dan Tirmidzi no.851)

Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, "hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit." (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, hal. 90).   

*4. Hukum memohonkan istighfar dan memanjatkan doa untuk mayit.*

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Haayr : 10).

Dari Utsman bin Affan menuturkan, apabila Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah selesai menguburkan jenazah, beliau bersabda, 

 كانَ النَّبيُّ إذا فَرغَ مِن دفنِ الميِّتِ وقفَ عليهِ ، فَقالَ : استَغفِروا لأَخيكُم ، واسأَلوا لَهُ بالتَّثبيتِ ، فإنَّهُ الآنَ يسألُ

"Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian ini, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya ia sekarang sedang ditanya (Malaikat Munkar dan Nakir." (HR Abu Dawud).

وعن عبد الله رضي الله عنهما - قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ما الْمَيّتُ في القَبْرِ إلاّ كالْغَرِيْق الْمُتَغَوِّثِ يَنتَظِرُ دَعْوَةً تَلحَقُه مِن أبٍ أوْ أُمٍّ أوْ أخٍ أوْ صَدِيقٍ فإذا لَحِقَتْه كانَتْ أحَبَّ إليه مِن الدُّنيا ومَا فيها وإنَّ اللهَ عزّ وجلّ لَيُدخِلُ على أهْلِ القُبُورِ مِن دُعاءِ أهْلِ الأَرْضِ أمْثَالَ الجِبالِ وإنَّ هَديَّةَ الأَحْيَاءِ إلى الأَمْوَاتِ الاِسْتِغفارُ لهم

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Seorang mayat dalam kuburnya seperti orang tenggelam yang sedang meminta pertolongan. Dia menanti-nanti doa ayah, ibu, anak, dan kawan yang tepercaya. Apabila doa itu sampai kepadanya, maka itu lebih ia sukai daripada dunia berikut segala isinya. Dan sesungguhnya Allah menyampaikan doa penghuni dunia untuk ahli kubur sebesar gunung. Adapun hadiah orang-orang yang hidup kepada orang-orang mati ialah memohon istighfar kepada Allah SWT untuk mereka dan bersedekah atas nama mereka." (HR Ad-Dailami).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tahlilan diperbolehkan dalam Islam, sebab mayoritas ulama menegaskan kebolehan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit, sebagaimana mereka menyatakan kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an, kalimat thayyibah dan memohonkan ampunan dan doa untuk mayit. Para ulama juga sepakat (berijma'/berkonsensus) akan kebolehan berusaha berbuat atau melakukan suatu yang pahalanya dihadiahkan untuk mayit semisal membadalkan haji dan umrah. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموقف الى أقوم الطريق*

Selasa, 14 September 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMBANGUN FASILITAS MASJID DI TANAH WAKAF

Berawal dari sebuah pertanyaan: Ada seseorang yang mewakafkan tanahnya seluas 1 hektar untuk masjid. Kemudian masjid tersebut dibangun. Selain masjid, di atas tanah tersebut dibangun WC, tempat wudlu, tempat parkir, taman dan lain-lain. Bolehkan membangun beberapa fasilitas masjid di atas tanah wakaf yang pada awalnya diwakafkan untuk dibangun masjid?

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, 

عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR Muslim).

Makna hadits tersebut adalah bahwa pahala amal anak cucu Adam terputus atau terhenti setelah kematiannya. Akan tetapi tidak semua amal, ada pengecualiannya. Di antara yang dikecualikan adalah ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain dengan cara mengajarkannya kepada orang lain. Ilmunya orang yang bermanfaat akan terus mendapatkan pahala meski sudah meninggal dunia. Sama halnya juga anak shalih yang akan terus mendoakan orang tuanya. Demikian juga termasuk amal yang pahalanya terus mengalir meski pelakunya sudah mati adalah sadaqah jariyah. 

Dalam kitab qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam sedekah jariyah dimaksudkan bukan hanya sedekah pemberian. Sedekah bisa berarti wakaf, wasiat bangunan yang masih bisa dimanfaatkan, atau hal lain yang setelah ditinggal mati benda tersebut masih bisa dimanfaatkan. Wakaf masuk dalam kategori sedekah karena benda yang diwakafkan harus merupakan barang yang pada saat digunakan atau dimanfaatkan tidak rusak atau tidak berkurang atau habis. Barang yang diwakafkan itu harus yang abadi, seperti tanah dan lainnya. Sehingga tidak sah jika mewakafkan kue atau lilin yang jika digunakan akan rusak dan habis. 

Sebagai bentuk jawaban dari masalah diatas yang perlu dipahami adalah persoalan wakaf yang berkembang dalam masyarakat Islam kekinian adalah pembangunan fasilitas masjid. Pembangunan fasilitas seperti tempat wudlu, area parkir, kamar mandi, WC, dan lain-lain. Semua fasilitas tersebut bertujuan untuk mempermudah masyarakat beribadah, merasakan kenyawanan dan mendukung kekhuysukan shalat. Dalam bahasa yang lain, tujuannya jelas yaitu untuk mendukung dan menyempurnakan ibadah para jamaah dalam ibadah shalat. Namun di sisi lain, sarana dan prasarana tersebut dibangun di atas tanah wakaf untuk pembangunan masjid. Problematika mengenai hal tersebut setidaknya dapat dijawab dengan merujuk pada sebuah paparan Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya Tuhfah al-Muhtaj juz 6 hal. 261.

Hujjah lain sebagaimana Imam Al-Isnawi telah menjelaskan,

رَجَّحَ الْإِسْنَوِيُّ قَوْلَ بَعْضِهِمْ لَوْ بَنَى فِيهِ مَسْطَبَةً وَوَقَفَهَا مَسْجِدًا صَحَّ كَمَا يَصِحُّ عَلَى سَطْحِهِ وَجُدْرَانِهِ وَقَوْلِ الزَّرْكَشِيّ يَصِحّ     

“Imam Al-Isnawi menganggap lebih unggul terhadap pendapat sebagian ulama yang menyatakan, jika ada tanah dibangun sebuah tempat duduk di sebuah teras dan diwakafkan sebagai masjid, hukumnya sah sebagaimana sahnya wakaf pada lantai atas dan temboknya. Dan al-Isnawi menganggap kuat pendapat az-Zarkasyi tentang keabsahan hal tersebut." (Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, [Al-Maktabah al-Iislamiyyah], juz 3, halaman 274)

كان مسجد النبي صلى الله عليه وسلم مربع الشكل تقريبا، ولم ترد الأخبار أن النبي صلى الله عليه وسلم اتخذ ملحقات في المسجد، قال خارجة بن زيد: بنى رسول الله صلى الله عليه وسلم مسجده سبعين ذراعا في ستين ذراعا أو يزيد (بحثت عنه في كتب الحديث والآثار فلم أجده، وذكره الزركشي في إعلام الساجد بأحكام المساجد 225).

Masjid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hampir berbentuk bujur sangkar, dan tidak ada kabar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil/membuat bentuk design dalam masjid tersebut. Kharijah bin zaid berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membangun masjidnya dengan luas 70 hasta kali 60 hasta atau lebih (Pembahasan tentang hal ini dalam hadits maupun atsar shahabat tidak ditemukan, dan Imam Zarkasyi menyebutkannya dalam kitab I'lam As-Sajid bi Ahkam Al-Masajid hal. 225).

قال عبدالله بن عمر رضي الله عنه: "كان المسجد على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم مبنياً باللبن وسقفه الجريد وعمده خشب النخل، فلم يزد فيه أبو بكر شيئاً، وزاد فيه عمر، وبناه على بنيانه في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم باللبن والجريد وأعاد عمده خشباً، ثم غيره عثمان فزاد فيه زيادة كثيرة وبنى جداره بالحجارة المنقوشة والقَصَّة وجعل عمده من حجارة منقوشة وسقفه بالساج (وهو خشب أسود رزين يجلب من الهند انظر: تحفة الراكع والساجد بأحكام المساجد للجراعي  ص 238).[أخرجه البخاري]

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Masjid ini dibangun pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan atap bata lumpur dan tiang-tiang kayu korma. Abu Bakar menambahkan sesuatu, dan Umar menambahkan sesuatu padanya, dan dia membangunnya di atas strukturnya pada zaman Rasulullah, Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan batu bata dan daun, dan dia mengembalikan pilarnya ke kayu, kemudian Utsman mengubahnya, jadi dia menambahkan banyak padanya dan membangun dindingnya dengan batu berukir dan memotong dan membuat pilarnya dari batu berukir dan atapnya dari kayu sejenis jati (Ini adalah kayu hitam dan bagus yang dibawa dari India. Lihat: Tuhfat Ar-Raki' wa As-Sajid bi Ahkam Al-Masajid karya Imam Al-Jara'i hal.238). [HR. Al-Bukhari Kitab Doa, Bab Membangun Masjid 1/97 No. 446].

ثم بدأ التطور العمراني في نمو مستمر، فأضاف الناس ملحقات ومرافق إلى مساجدهم، وهذه المرافق تتبع حاجة الناس ومصالحهم، وهذا يختلف باختلاف الأمكنة والأزمنة.

Maka perkembangan kota mulai berkembang terus menerus, dan orang-orang menambahkan bentuk design dan fasilitas ke masjid mereka, dan fasilitas ini mengikuti kebutuhan dan minat orang, dan ini bervariasi sesuai dengan tempat dan waktu yang berbeda. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan soga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 13 September 2021

KAJIAN TENTANG ARWAH PULANG KE RUMAH DAN BERHUBUNGAN DENGAN KELUARGANYA YANG HIDUP



Dalam sebuah riwayat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ما الْمَيّتُ في القَبْرِ إلاّ كالْغَرِيْق الْمُتَغَوِّثِ يَنتَظِرُ دَعْوَةً تَلحَقُه مِن أبٍ أوْ أُمٍّ أوْ أخٍ أوْ صَدِيقٍ فإذا لَحِقَتْه كانَتْ أحَبَّ إليه مِن الدُّنيا ومَا فيها وإنَّ اللهَ عزّ وجلّ لَيُدخِلُ على أهْلِ القُبُورِ مِن دُعاءِ أهْلِ الأَرْضِ أمْثَالَ الجِبالِ وإنَّ هَديَّةَ الأَحْيَاءِ إلى الأَمْوَاتِ الاِسْتِغفارُ لهم

"Tidaklah seorang mayat dalam kuburnya itu kecuali seperti orang tenggelam yang sedang meminta pertolongan. Dia menanti-nanti doa dari ayah, ibu, anak, dan kawan-kawan yang ditujukan kepadanya. Apabila doa itu sampai kepadanya, maka itu lebih ia sukai daripada dunia berikut segala isinya. Dan sesungguhnya Allah akan menyampaikan doa penghuni dunia untuk ahli kubur (pahalanya) sebesar gunung. Adapun hadiah orang-orang yang hidup kepada orang-orang mati ialah memohon istighfar kepada Allah SWT untuk  mereka." (HR Ad-Dailami)

Sering kita dengar bahwa arwah saudara kita pada setiap malam jum’at pulang ke rumah, sehingga kita dianjurkan membacakan al-fatihah dan surat-surat lain untuknya, apakah hal itu hanya mitos ataukah memang ada kitab yg mengatakan demikian?

"Saben malem jumat ahli kubur mulih nang umah. Kanggo njaluk dungo wacan qur'an najan sak kalimat. Lamun ora dikirimi banjur bali mbrebes mili. Bali nang kuburan mangku tangan tetangisan." (setiap malam jum'at ahli kubur pulang ke rumah. Minta di doakan dengan bacaan Al-Qur'an meski satu ayat. Bila tidak di kirim bacaan doa, maka (ahli kubur) balik ke kubur menangis dengan tangan hampa dengan). Syair ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa. 

Keterangan kembalinya arwah ke rumah keluarganya disebutkan dalam beberapa kitab ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang terkenal kealimannya. Seperti Syekh Abu Bakr bin Syatha (w. 1310 H.), pengarang kitab I’anah Al-Thalibin Hasyiyah Fath Al-Mu’in. Beliau adalah maha guru para ulama di nusantara. Karyanya tersebut diajarkan di pesantren salafiyyah di seluruh Indonesia. Beliau berkata,

ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ (142 /2) ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻳﻀﺎ ﺇﻥ ﺃﺭﻭﺍﺡ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺗﺄﺗﻲ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺗﻘﻒ ﺑﺤﺬﺍﺀ ﺑﻴﻮﺗﻬﺎ ﻭﻳﻨﺎﺩﻱ ﻛﻞ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﺼﻮﺕ ﺣﺰﻳﻦ ﺃﻟﻒ ﻣﺮﺓ ﻳﺎ ﺃﻫﻠﻲ ﻭﺃﻗﺎﺭﺑﻲ ﻭﻭﻟﺪﻱ ﻳﺎ ﻣﻦ ﺳﻜﻨﻮﺍ ﺑﻴﻮﺗﻨﺎ ﻭﻟﺒﺴﻮﺍ ﺛﻴﺎﺑﻨﺎ ﻭﺍﻗﺘﺴﻤﻮﺍ ﺃﻣﻮﺍﻟﻨﺎ ﻫﻞ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﻳﺬﻛﺮﻧﺎ ﻭﻳﺘﻔﻜﺮﻧﺎ ﻓﻲ ﻏﺮﺑﺘﻨﺎ ﻭﻧﺤﻦ ﻓﻲ ﺳﺠﻦ ﻃﻮﻳﻞ ﻭﺣﺼﻦ ﺷﺪﻳﺪ ﻓﺎﺭﺣﻤﻮﻧﺎ ﻳﺮﺣﻤﻜﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻻ ﺗﺒﺨﻠﻮﺍ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﺗﺼﻴﺮﻭﺍ ﻣﺜﻠﻨﺎ ﻳﺎ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﺃﻳﺪﻳﻜﻢ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺃﻳﺪﻳﻨﺎ ﻭﻛﻨﺎ ﻻ ﻧﻨﻔﻖ ﻣﻨﻪ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺣﺴﺎﺑﻪ ﻭﻭﺑﺎﻟﻪ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻭﺍﻟﻤﻨﻔﻌﺔ ﻟﻐﻴﺮﻧﺎ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﺗﻨﺼﺮﻑ ﺃﻱ ﺍﻷﺭﻭﺍﺡ ﺑﺸﻲﺀ ﻓﺘﻨﺼﺮﻑ ﺑﺎﻟﺤﺴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﺮﻣﺎﻥ ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻳﻀﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻓﻲ ﻗﺒﺮﻩ ﺇﻻ ﻛﺎﻟﻐﺮﻳﻖ ﺍﻟﻤﻐﻮﺙ ﻳﻨﺘﻈﺮ ﺩﻋﻮﺓ ﺗﻠﺤﻘﻪ ﻣﻦ ﺍﺑﻨﻪ ﺃﻭ ﺃﺧﻴﻪ ﺃﻭ ﺻﺪﻳﻖ ﻟﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﻟﺤﻘﺘﻪ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ

Ada hadits juga sesungguhnya arwahnya orang mukmin datang disetiap malam jum'at kelangit dunia dan berdiri dekat rumah mereka dan memanggil-manggil penghuni rumah dengan suara yang sedih sampai 1000x "wahai keluargaku, wahai kerabatku, wahai anakku wahai orang yang menempati rumahku dan memakai pakaianku dan membagi harta-hartaku apakah salah satu diantara kalian ada yang ingat pada kami. Adakah yang memikirkan ketidak adanya kami, kami berada dalam penjara yang panjang/lama dan benteng yang kuat, kasihilah kami maka Allh akan mengasihi kalian dan janganlah kalian kikir sebelum kalian menjadi seperti kami wahai hamba-hamba Allah sesungguhnya anugrah yang kalian raih/terima itu juga ada pada kami dan kami tidak menginfakkannya dijalan Allah sedangkan hisab dan cobaan itu menimpa kami sedangkan kemanfaatan itu untuk selain kami". Maka jika arwah-arwah tersebut tidak memperoleh apa-apa maka arwah-arwah tersebut memperoleh kerugian."

Juga ada hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sesungguhnya beliau berkata: "Tidaklah ada seorang mayyit dikuburannya kecuali seperti orang yang tenggelam yang minta pertolongan, dia menanti kiriman doa dari anaknya, saudaranya atau temannya, ketika ia mendapatkannya maka ia sungguh bahagia mengalahkan kebahagiaan dunia seisinya." (I’anah Al-Thalibin Hasyiyah Fath Al-Mu’in juz 2 hal 142).

Sebelumnya, Imam Al-Ramli (w. 957 H.) yang dikenal sebagai seorang yang sudah mencapai derajat mujtahid dalam internal mazhab Syafi’i, dalam kumpulan kitab Fatawa Al-Ramli mengutip pernyataan Imam Al-Qurtubi tentang adanya pendapat yang mengatakan bahwa arwah orang mukmin akan mengunjungi keluarganya. Imam Al-Ramli berkata,

قَالَ الْقُرْطُبِيُّ وَقَدْ قِيلَ إنَّهَا تَزُورُ قُبُورَهَا كُلَّ جُمُعَةٍ عَلَى الدَّوَامِ وَقَدْوَرَدَ أَنَّهَا تَأْتِي قُبُورَهَا وَدُورَ أَهْلِهَا فِي وَقْتٍ يُرِيدُهُ اللَّهُ لَهَا ؛ لِأَنَّهَا مَأْذُونٌ لَهَا فِي التَّصَرُّفِ ، وَإِنَّهَا تُبْصِرُ مَنْ هُنَاكَ سَوَاءٌ أَتَتْ إلَى الْقُبُورِ أَمْ الدُّورِ

Al-Qurtubi berkata, “Terkadang dikatakan bahwa arwah-arwah itu mengunjungi kuburannya setiap hari Jumat, selamanya. Dan telah datang sebuah khabar bahwa arwah-arwah itu mendatangi kuburnya dan rumah keluarga mereka pada waktu yang dikehendaki Allah. Hal itu karena mereka telah diberi izin oleh Allah untuk melakukannya. Arwah-arwah itu dapat melihat dari sana baik mereka datang ke kuburnya atau ke rumah keluarganya.” (Fatawa Ar-Ramli juz 4 hal. 235)

Sebelum para ahli fiqh terkemuka di atas, seorang ulama ahli hadits sekaligus ahli tasawuf, Al-Hakkari (w. 468 H.) meriwayatkan sebuah hadits yang menunjukkan fenomena berkunjungnya arwah ke rumah keluarganya dalam kitabnya, Hadiyyatul Ahya ilal Amwat wa Maa Yashilu Ilaihim hal. 184-185 beliau menjelaskan,

أخبرنا أبو عبد الرحمن محمد بن الحسين بن موسى السلمي كتابةً قال: ثنا أبو القاسم عبد الله بن محمد النيسابوري عن علي بن موسى البصري، عن ابن جريج، عن موسى بن وردان، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه ولمع: (اهدوا لموتاكم) ، قلنا: وما نهدي يا رسول الله الموتى؟ قال: (الصدقة والدعاء) ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إن أرواح المؤمنين يأتون كل جمعة إلى سماء الدنيا فيقفون بحذاء دورهم وبيوتهم فينادي كل واحد منهم بصوت حزين: يا أهلي وولدي وأهل بيتي وقراباتي، اعطفوا علينا بشيء، رحمكم الله، واذكرونا ولا تنسونا، وارحموا غربتنا، وقلة حيلتنا، وما نحن فيه، فإنا قد بقينا في سحيق وثيق، وغم طويل، ووهن شديد، فارحمونا رحمكم الله، ولا تبخلوا علينا بدعاء أو صدقة أو تسبيح، لعل الله يرحنا قبل أن تكونوا أمثالنا، فيا حسرتاه وانداماه يا عباد الله، اسمعوا كلامنا، ولا تنسونا، فأنتم تعلمون أن هذه الفضول التي في أيديكم كانت في أيدينا، وكنا لم ننفق في طاعة الله، ومنعناها عن الحق فصار وبالاً علينا ومنفعته لغيرنا، والحساب والعقاب علين ا» ، قال: « فينادي كل واحد منهم ألف مرةٍ من الرجال والنساء، اعطفوا علينا بدرهم أو رغيف أو كسرة » قال: فبكى رسول الله صلى الله عليه وسلم وبكينا معه، فلم نستطع أن نتكلم ثم قال : « أولئك إخوانكم كانوا في نعيم الدنيا، فصاروا رميماً بعد النعيم والسرور » ، قال: « ثم يبكون وينادون بالويل والثبور والنفير على أنفسهم يقولون: يا وليتنا لو أنفقنا ما كان في أيدينا ما احتجنا فيرجعون بحسرة وندامة

Telah bercerita kepada kami Abu Abdurrahman Muhammad Ibnu Al-Husain Ibnu Musa Al-Sullami, beliau berkata, ‘Telah bercerita kepada kami Abu Al-Qasim Abdullah Ibnu Muhammad Al-Naisaburi dari Ali Ibnu Musa Al-Bashri dari Ibnu Jarih dari Musa Ibnu Wirdan dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Berilah hadiyah untuk keluargamu yang telah meninggal.” Kemudian kami (para sahabat) bertanya, “Apa yang dapat kami hadiyahkan untuk keluarga kami yang meninggal wahai Rasulullah?.”

Maka Rasulullah menjawab, “Dengan bersedekah dan berdo’a.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh orang mu’min datang ke langit dunia pada setiap malam Jum’at. Maka mereka berdiri didepan rumah-rumah mereka kemudian masing-masing mereka memanggil dengan suara yang penuh dengan iba, ‘Wahai keluargaku, anak-anakkku dan kerabat-kerabatku, belas kasihanilah kami dengan sesuatu, niscaya Allah akan menyayangi kalian. Ingatlah pada kami dan janganlah kami kalian lupakan. Belas kasihanilah kami dalam keterasingan ini, ketidak berdayaan kami dan segala sesuatu yang kami berada didalamnya. Sesungguhnya kami berada ditempat yang jauh dan terpencil dengan kepiluan yang mendalam dan ketidak berdayaan yang teramat sangat. Sayangilah kami, niscaya Allah akan menyayangi kalian. Janganlah kalian kikir kepada kami dengan sekedar berdoa, bersedekah ataupun bertasbih. Semoga Allah memberikan rasa nyaman kepada kami sebelum kalian sama seperti kami. Duuh…. sungguh kalian akan merugi, sungguh kalian akan menyesal wahai hamba-hamba Allah! dengarkanlah apa yang kami ucapkan dan janganlah kalian melupakan kami. Kalian juga tau bahwa fadlilah dan keutamaan yang saat ini berada ditangan kalian adalah sebelumnya milik kami namun kami tidak membelanjakan untuk keta’atan kepada Allah, kami tidak menerima dan menolak kebenaran hingga ia menjadi bencana dan musibah bagi kami. Manis dan manfa’atnya dinikmati oleh orang lain sedang pertanggungjawaban dan siksanya kami yang menanggung." 

Kemudian Rasulullah bersabda, “Masing-masing dari mereka (arwah-arwah) memanggil sebanyak seribu kali, ‘Belas kasihanilah kami dengan satu dirham atau sepotong roti atau bahkan setengahnya.’”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis dan kamipun (para sahabat) tak kuasa membendung air mata kami dan kamipun terdiam seribu bahasa. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka adalah saudara-saudara kalian yang terlena dalam kenikmatan dunia dan kini mereka telah hancur setelah sebelumnya mereka hanyut dalam kenikmatan dan kebahagiaan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Lalu merekapun menangis dan merintih dengan kehancuran dan kebinasaan yang mereka alami, dan merekapun berkata, ‘Celakalah kita, seandainya kita menginfaqkan apa yang pernah kita miliki dijalan Allah, kita tidak akan membutuhkan semua ini.’ Merekapun pulang dengan penuh penyesalan.” (Hadiyatul Ahya’ lil Amwat hal. 184-185, karya Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Yusuf bin Ja’far Al-Hakkari (w=486 H)

Dalam Kitab Hasyiah Al-Bujairami Ala Al-Khatib Syeikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairimi As-Syafi'i mengutib keterangan dari Kitab Al-Jami' Al-Kabir karya Imam Abi Abdillah Muhammad bin Hasan As-Syaibani Al-Hanafi (Fiqh Hanafi) menjelaskan sebagai berikut,

وقال صلى الله عليه وسلم : { إن أرواح المؤمنين يأتون في كل ليلة إلى سماء الدنيا ويقفون بحذاء بيوتهم وينادي كل واحد بصوت حزين ألف مرة يا أهلي وأقاربي وولدي يا من سكنوا بيوتنا ولبسوا ثيابنا واقتسموا أموالنا هل منكم من أحد يذكرنا ويفكرنا في غربتنا ونحن في سجن طويل وحصن شديد ؟ فارحمونا يرحمكم الله ولا تبخلوا علينا قبل أن تصيروا مثلنا يا عباد الله إن الفضل الذي في أيديكم كان في أيدينا وكنا لا ننفق منه في سبيل الله وحسابه ووباله علينا والمنفعة لغيرنا ؛ فإن لم تنصرف أي الأرواح بشيء فينصرفون بالحسرة والحرمان } ا هـ من الجامع الكبير

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Arwah-arwah kaum mu’minin itu setiap malam mendatangi langit dunia dan mereka (arwah) berhenti atau berdiri dengan terompah mereka pada rumah rumah mereka (selama masih hidup), mereka memangil atau menyeru, setiap kali seruan dengan suara susah seribu (1000) kali seruan. "Wahai keluargaku, kerabatku dan anak anakku, Wahai orang yang telah menempati rumahku, dan memakai baju tinggalanku dan yang telah membagi warisan hartaku, Adakah darimu seseorang yang ingat padaku dan memikirkan rantauanku (merantau) Aku dalam penjara yang sangat lama, dan dalam benteng yang sangat kuat. Maka Kasianilah aku, maka Allah akan menghasihi kalian dan jangan lah kamu pelit terhadapku sebelum kalian menjadi seperti aku (mati) wahai hamba hamba Allah. Sesungguhnya apa yang utama di tanganmu itu juga di tanganku. Dan aku tidak menafkahkannya di jalan Allah dan aku tidak menghitungnya serta perduli terhadapnya (harta) dan sekarang manfaatnya terhadap selain ku."

"Maka bila kamu tidak memberikan sesuatu pada para arwah tadi dengan sesuatu, maka mereka para arwah akan pergi dengan kerugian dan dia akan tercengah." Dari Kitab Al-Jami' Al-Kabir. (Hasyiah Al-Bujairami Ala Al-Khatib juz 6 hal. 167)

Dalam kitab Durrotun Nashihin dan juga dalam kitab Daqaiq Al-Akhbar ada sebuah riwayat sebagai berikut,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ اْلمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْراً فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِياَلِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذاَ أَتَمَّ شَهْراً رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قَبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْ لَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِيْ الصُّوْرِ .

(Diriwayatkan) dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka arwahnya berkeliling di seputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka arwahnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta orang yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka arwahnya dinaikkan ke tempat di mana para arwah berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala."

Dan ada lagi riwayat sebagai berikut,

اَلْمَيِّتُ إِذاَ مَاتَ دِيْرَ بِهِ دَارُهُ شَهْرًا يَعْنِيْ بِرُوْحِهِ وَحَوْلَ قَبْرِهِ سَنَةً ثُمَّ تُرْفَعُ إِلَى السَّبَبِ الَّذِيْ تَلْتَقِيْ فِيْهِ أَرْواَحُ اْلأَحْياَءِ وَاْلأَمْواَتِ .

"Seseorang apabila meninggal, maka ruhnya dibawa berputar-putar di sekeliling rumahnya selama satu bulan, dan di sekeliling makamnya selama satu tahun, kemudian ruh itu dinaikkan ke suatu tempat di mana ruh orang hidup bertemu dengan arwah orang mati." (HR. Dailami dari Abu Darda' ra.)

Matan ini direkam oleh ad-Dailami (w. 509 H / 1115 M) dalam kitabnya al-Firdaus fi Ma’tsur al-Khithab [(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1417/1996), IV: 240, nomor 6722]. Selain itu matan ini juga dicatat oleh as-Sayuthi (w. 911 H / 1505 M) dalam dua kitabnya, yaitu Busyra al-Ka’ib bi Liqa’ al-Habib (h. 11) dan Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur (h. 262)

Hadits lain terkait ruh orang yang telah meninggal

(ما من أحد يمر بقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)

“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadits Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).

(سألت أم هانئ رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: أنتزاور إذا متنا ويرى بعضنا بعض يا رسول الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يكون النَسَمُ طيرا تعلق بالشجر حتي إذا كان يوم القيامة دخلت كل نفس فى جسدها).

“Ummu Hani' bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Apakah kita akan saling mengunjungi jika kita telah mati, dan saling melihat satu dengan yang lainnya wahai Rarulullah? Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Ruh akan menjadi seperti burung yang terbang, bergelantungan di sebuah pohon, sampai jika datang hari kiamat, setiap ruh akan masuk ke dalam jasadnya masing-masing.” (HR. Ahmad dan Thabrani dengan sanad baik).

(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)

“Tidak seorang pun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr). 

إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)

“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).

Maka tidak tepat ada pandangan yang mengatakan bahwa kunjungan arwah ke rumah keluarganya hanya khayalan tukang khayal. Sebaliknya, ulama-ulama besar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari kalangan Syafi’iyyah-Asy’ariyyah seperti Syeikh Abu Bakr bin Syatha, Syeikh Al-Bujairami, Syeikh Ar-Ramli, Imam Al-Qurtubi, Syeikh Asy-Syaibani, dan Syeikh Al-Hakkari mengutip informasi tersebut tanpa menunjukkan penolakan. Ini menunjukkan bahwa mereka menerima kandungan informasi tersebut. Terlepas dari kualitas hadisnya dhaif, misalnya, kembalinya arwah ke rumah atau ke tempat lain, adalah tergolong perkara yang mungkin terjadi jika Allah mengizinkan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas’ud menyampaikan semoga bermanfa’at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG QADHA SHALAT BAGI WANITA HAIDH

Kajian kali ini sangat penting untuk dibahas, sebab sepertinya masih banyak wanita yang belum benar-benar tau tentang hal ini.

"Jika ada wanita haidh, kemudian di akhir durasi haidhnya dia suci di waktu Ashar, apakah dia wajib meng-qadha waktu zhuhur atau tidak?"

Atau begini :

"Jika ia sudah suci di waktu isya, apakah dia wajib mengqadha shalat maghribnya?”

Mengapa kita membahas ini? Bukankah masing-masing merupakan waktu shalat yg berbeda? Mengapa dibahas?

Para ulama memandang 2 waktu ini (Dzuhur dan Ashar / Maghrib dan Isya') memiliki keterkaitan dalam waktu, atau dalam istilah fiqih disebut dengan تدارك الوقت (tadaaaruk al-waqt). Dimana dua pasang waktu ini bisa digabung dalam shalat jama'. Yakni jama' taqdim dan ta’khir.

Dalam masalah wajibnya qadha zhuhur/maghrib saat wanita suci di waktu Ashar/ Isya' ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka masih mewajibkan dengan sebab adanya 'tadaruk al-waqt" antara Dzhuhur dengan Ashar. Tetapi sebagian ulama lainnya tidak memandang demikian.

Wanita haidh itu asal perintahnya tidak boleh shalat. Hal itu didasari dari hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam,

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي» صحيح البخاري (1/ 73)

Dari Aisyah r.a berkata, Nabi bersabda, "Jika datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Jika haidhnya selesai, maka mandilah, bersihkan darahnya lalu shalatlah." (HR. Bukhari).

Secara mendasar, wanita haidh selain dilarang shalat, mereka juga tidak diperintahkan mengganti shalatnya nanti saat suci. Hal itu didasari dari hadits Aisyah,

عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» صحيح مسلم (1/ 265)

Dari Mu'adz Ra bahwa Aisyah berkata, "Kita ketika haid, diperintahkan mengganti puasa tapi tidak diperintahkan mengganti shalat." (HR. Muslim).

Ketika Mu’adzah, seorang wanita tabiin, bertanya kepada Aisyah radhiallahu anha,

ماَ بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصَّلاَةَ؟ فَقَالَت: أَحَرُوْرِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلتُ: لَسْتُ بِحَرُوْرِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

“Mengapa wanita yang haidh mengqadha puasanya, tetapi tidak mengqadha shalat?”

“Apakah engkau wanita Haruriyah?”[wanita khawarij] tanya Aisyah.

Aku menjawab, “Aku bukan wanita Haruriyah. Aku hanya bertanya.”

Aisyah kembali berkata, “Dulu kami ditimpa haidh, maka kami hanya diperintah untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 761)

Pada dasarnya sesungguhnya wanita yang haidh itu tak diwajibkan mengganti shalat yang telah ditinggalkan saat mereka haidh.

Namun jika masalah haidh tersebut terkait pertanyaan diatas maka terjadi dua pendapat para ulama sebagai berikut :

*Pendapat pertama*

Jika wanita haidh suci sebelum tenggelam matahari, ia tetap harus mengerjakan shalat Ashar, juga shalat zhuhur. Begitu pula jika wanita suci sebelum fajar shubuh atau di waktu isya, maka ia tetap mengerjakan shalat maghrib dan shalat isya.

Alasannya adalah riwayat dari sahabat dan tabi’in dalam masalah ini yang disebutkan dalam kitab Al Muntaqo fil Ahkamisy Syari’ah min Kalami Khoiril Bariyyah karya Majduddin Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyah Al Khoroni (kakek Ibnu Taimiyah).

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ : إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ بَعْدَ الْعَصْرِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ، وَإِذَا طَهُرَتْ بَعْد الْعِشَاء صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ .

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika wanita haidh suci setelah ‘Ashar, maka ia tetap mengerjakan shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar. Jika ia suci di waktu ‘Isya, maka ia tetap mengerjakan shalat Maghrib dan shalat ‘Isya. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/122, Ad Darimi 894, 

Ibnul Mundzir dalam  Al Awsath 2/243 dan Al Baihaqi 1/387)

وَعَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ : إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ، وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْل الْفَجْر صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ رَوَاهُمَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي سُنَنِهِ وَالْأَثْرَمُ ، وَقَالَ : قَالَ أَحْمَدُ : عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ.

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata, “Jika wanita haidh suci sebelum tenggelam matahari, maka ia tetap harus mengerjakan shalat zhuhur dan ‘ashar. Jika ia suci sebelum fajar (waktu shubuh), maka ia tetap mengerjakan shalat maghrib dan isya. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/122, Ibnul Mundzir dalam Al Awsath 2/243, Al Baihaqi 1/387)

Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam kitab sunannya dan Al Atsrom. Imam Ahmad berkata bahwa mayoritas tabi’in berpendapat seperti ini kecuali Al-Hasan Al-Bashri yang menyelisihinya. (Lihat Al-Awsath karya Ibnul Mundzir 2/245, Al Mughni 2/46)

Imama As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut,

فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ أَيَّامَ الصَّوْمِ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ

"Dan jika dia (wanita haidh) sudah suci, maka wajib baginya mengganti puasa (puasa wajib yang terlewat) dan tidak ada kewajiban atasnya mengganti shalat (yang terlewat)." (As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3 hal 81).

Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan,

وإن كان ذلك (الطهر) في وقت العصر أو في وقت العشاء، قال في الجديد: يلزمه الظهر بما يلزم به العصر ويلزم المغرب بما يلزم به العشاء. (المجموع شرح المهذب 3/ 64)

"Jika sucinya di waktu ashar atau waktu isya, maka Imam Syafii dalam qaul jadidnya mewajibkan perempuan untuk qadha’ dzuhur lantas shalat ashar, atau qadha’ maghrib lalu shalat isya’." (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 3/ 64)

Imam Al-Haramain (w. 478 H) salah satu ulama dalam mazhab Syafi'iyah di dalam kitabnya Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab menuliskan sebagai berikut,

ثم يتفق انقطاعُ الحيض في آخر النهار، فيجب قضاءُ الظهر مع العصر

"Kemudian mereka (ulama madzhab Syafi'i) sepakat jika darah haidh sudah berhenti di akhir siang hari, maka wajib baginya qadha’ shalat zhuhur dan Ashar." (Imam Al-Haramain, Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab, jilid 1 hal 398).

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut,

ولنا ما روى الأثرم، وابن المنذر، وغيرهما، بإسنادهم عن عبد الرحمن بن عوف، وعبد الله بن عباس، أنهما قالا في الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن تغرب الشمس، صلت الظهر والعصر جميعا

"Dalam mazhab kami (Hanabilah), seperti apa yang diriwayatkan Al-Atsram, dan ibnu mundzir, dari yang lainnya dengan sanad dari Abdurrahman bin 'Auf, dan Abdullah ibnu Abbas, dalam masalah haidh. Jika ia bersuci sebelum terbit fajar (akhir waktu isya') masih ada waktu satu rakaat, "maka baginya shalat maghrib dan isya, dan apabila suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar), maka baginya menjama' shalat zhuhur dan Ashar." (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal 287).

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu ulamanya (salafi Wahabi) yang bermadzhab Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa  menuliskan sebagai berikut,

وَلِهَذَا قَالَ الصَّحَابَةُ كَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَغَيْرِهِ: إنَّ الْمَرْأَةَ الْحَائِضَ إذَا طَهُرَتْ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ. وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ

"Seorang wanita yang haidh ketika sudah suci sebelum fajar (akhir waktu isya', sebelum masuk shubuh), maka ia wajib shalat maghrib dan isya. Dan apabila ia suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar sebelum masuk maghib), maka wajib baginya shalat Dzuhur dan Ashar." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, jilid 2 hal 347).

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut,

قَوْلُهُ (وَإِنْ بَلَغَ صَبِيٌّ، أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ طَهُرَتْ حَائِضٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِقَدْرِ تَكْبِيرَةٍ: لَزِمَهُمْ الصُّبْحُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ: لَزِمَهُمْ الظُّهْرُ وَالْعَصْرُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: لَزِمَهُمْ الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ)

"Apabila seorang anak kecil telah baligh, orang kafir masuk islam, orang gila menjadi sadar, atau wanita yang haidh itu suci sebelum terbitnya matahari maka mereka wajib shalat subuh, tapi jika kejadiannya sebelum matahari terbenam maka mereka wajib shalat zhuhur dan ashar, dan kalau kejadiannya sebelum terbit fajar maka mereka wajib menunaikan shalat maghrib dan isya." (Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 442).

*Pendapat kedua*

Jika wanita suci pada waktu ashar, ia cukup mengerjakan shalat ashar tanpa mengerjakan lagi shalat zhuhur. Alasannya adalah dalil berikut,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat shubuh. Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608)

وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ, وَقَالَ: “سَجْدَةً” بَدَلَ “رَكْعَةً”. ثُمَّ قَالَ: وَالسَّجْدَةُ إِنَّمَا هِيَ اَلرَّكْعَةُ

Menurut riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ada hadits serupa, di mana beliau bersabda “sekali sujud” sebagai pengganti dari “satu rakaat”. Kemudian beliau bersabda, “Yang dimaksud sekali sujud itu adalah satu rakaat.” (HR. Muslim, no. 609)

Dari hadits di atas, dijelaskan dalam kitab “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat ashar saja, tidak lagi shalat zhuhur.

Imam Ibnul Jallab (w. 378 H) salah satu ulama mazhab Malikiyah dalam kitab At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas menuliskan sebagai berikut,

وليس على الحائض قضاء ما فات وقته من الصلوات، وعليها أن تصلي ما أدركت وقته من الصلوات. فإن أدركت أول الوقت وجب عليها الأداء، وإن أدركت آخره فكذلك أيضًا، وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها. وإن كان الذي بقي عليها من النهار قدر أربع ركعات أو ما دونهن إلى ركعة واحدة، صلت العصر لإدراكها آخر وقتها، وسقط الظهر عنها لفوات وقتها.

"Tidak ada kewajiban bagi seorang wanita meng-qadha’ shalat yang terlewat, kewajibannya hanya melaksanakan shalat pada waktunya. Jika dia suci di awal waktu shalat maka wajib mengerjakan shalat itu, begitupun jika dia suci di akhir waktu shalat.

Dan hal itu terjadi jika ia suci di siang hari (akhir waktu dzuhur), dan masih ada waktu shalat kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya shalat dhuhur, begitu juga shalat ashar dan ashar, karena dia masih masuk dalam waktu shalat (dzuhur). Dan jika waktu yang tersisa di siang hari itu hanya cukup untuk mengerjakan shalat 4 rakaat atau kurang, maka dia hanya wajib shalat ashar karena hanya mendapati akhir waktu dzuhur (menjelang ashar) dan gugur kewajiban shalat dhuhur karna waktunya sudah lewat." (Ibnul Jallab, At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, jilid 1 hal 111).

Ats- Tsa’labi (w. 422 H) salah satu ulama mazhab Malikiyah di dalam kitab Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah menuliskan sebagai berikut,

فلو طهرت الحائض وبلغ الصبي لقدر خمس ركعات، فإلى أن تطهر وتلبس وبقي عليه قدر ركعة كان عليه العصر دون الظهر

"Jika (di akhir waktu zhuhur) seorang wanita telah suci dari haidh, dan anak yang baru saja baligh mendapati waktunya masih cukup untuk shalat selama 5 rakaat, maka wajib baginya zhuhur dan kemudian ashar. Namun jika waktu yang tersisa hanya cukup untuk mengerjakan 1 rakaat, maka wajib baginya shalat ashar tanpa shalat zhuhur." (Ats- Tsa’labi, Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah, jilid - hal 266). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموقف الى أقوم الطريق*

Kamis, 09 September 2021

APAKAH UAH MEMBACA KITAB KH. HASYIM ASY'ARI RISALAH AHLUSSSUNNAH WAL JAMA'AH YANG ASLI ATAU YANG SUDAH DITAHRIF (DIDISTORSI)

Ustadz Adi Hidayat tidak jujur..

Mbah Yai Hasyim Asy'ari secara tegas mengatakan bahwa wahabiyah dan para pengikutnya adalah ahli bid'ah, begitu juga Abduhisme dan Rosyid Ridhoisme..

Di kitab ini tertulis para pengikut Muhammad Abduh, Rosyid Ridho, Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi, Ibnu Taimiyah dan muridnya yaitu Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Abdul Hadi adalah kelompok yang suka membid'ahkan mualim lainnya.

Dan Ustadz Adi Hidayat dalam satu kesempatan mengaji ketika membedah kitab mbah Yai Hasyim Asy'ari dan UAH memulai membaca, 

(فصل) في بيان تمسك أهل جاوى بمذهب أهل السنة والجماعة، وبيان ابتداء ظهور البدع وانتشارها في أرض جاوى، وبيان أنواع المبتدعين الموجودين في هذا الزمان. 

قد كان مسلموا الاقطار الجاوية في الزمان السالفة الخالية متفقى آلراء والمذهب، متحدى المأخذ والمشرب، 

*PASAL MENJELASKAN TENTANG : BAGAIMANA MASYARAKAT JAWA BERPEGANG TEGUH PADA MADZHAB AHLI AL SUNNAH WA AL JAMA’AH, TENTANG KAPAN LAHIRNYA BID’AH DAN PENYEBARANNYA DITANAH JAWA, TENTANG MACAM-MACAM PERILAKU AHLI BID’AH YANG TERJADI DI ZAMAN INI* 

"Masyarakat Muslim di pulau Jawa tempo dulu memiliki pandangan dan madzhab yang sama, memiliki satu reverensi dan kecenderungan yang sama."

Namun UAH memenggal lanjutan penjelasan KH. Hasyim Asy'ari terkait aqidah dan madzab muslim jawa, inilah kalimat yang dipenggal UAH,

فكلهم في الفقه على المذهب النفيس مذهب الامام محمد بن إدريس، وفي أصول الدين على مذهب الامام أبي الحسن الأشعري، وفي التصوف على مذهب الامام الغزالي والامام أبي الحسن الشاذلي رضي الله عنهم أجمعين. 

"Semua masyarakat Jawa ketika itu menganut dan mengidolakan satu madzhab yakni Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi’i dan didalam masalah teologi atau aqidahnya mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-‘Asy’ari dan di bidang Tasawuf mengikuti madzhab Imam Al-Ghazali dan Imam Abi Al-Hasan Al-Syadili, Radhiyallahu 'anhum ajma'in."

Demikian pula ketika ada bahasan terkait muslim yang mencintai ahlul bait, suka ziarah kubur, mentalqin mayit, tawasul dan sejenisnya UAH melewatinya dan ketika bahasan terkait dengan kelompok yang suka membid'ahkan, UAH meninggalkannya dan tidak membacanya dan berikut redaksinya,

فمنهم سلفيون قائمون على ما عليه أسلافهم من المذهب بالمذهب المعين والتمسك بالكتب المعتبرة المتداولة، ومحبة أهل البيت والولياء والصالحين، والتبرك بهم أحياء وأمواتا، وزيارة القبور، وتلقين الميت، والصدقة عنه، واعتقاد الشفاعة ونفع الدعاء والتوسل وغير ذلك.

ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن اقيم وابن عبد الهادى

"Diantara mereka ada yang beraviliasi pada kelompok Salafiyyin, golongan Tradisional yang tetap eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang diinginkan Salafuna As-Shalih, bermadzhab kepada satu madzhab tertentu, berpegang kepada kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlul bait, para wali dan orang-orang yang sholih, mengharap berkah mereka baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah berupa ziarah kubur, mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit dan menyakini adanya syafaat atau pertolongan, kemanfaatan doa, mengerjakan tawassul dan lain-lain." 

*"Sebagian dari masyarakat kita terdapat kelompok yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, yang menyepakati pendapat yang menyatakan bid'ahnya beberapa hal diatas sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Nadji dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya yakni Ibnu al-Qoyyim dan Ibnu Abdi al-Hadi."*

Entah apa alasan UAH menghindari bahasan diatas dan langsung loncat ke bahasan Rafidhah.

ومنهم رافضيون يسبون سيدنا أبا يكر وعمر رضي اهلل عنهما ويكرهون الصحابة رضي اهلل عنهم ويبالغون هوى سيدنا علي وأهل بيته رضوان اهلل عليهم.

"Termasuk dalam katagori gerakan baru yang muncul di pulau Jawa adalah sekte Syi’ah Rafidloh, yakni golongan yang mencela sahabat Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar Bin Khattab RA, golongan ini juga membenci para sabahat RA, dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan fanatik terhadap Sayyidina Ali RA dan Ahli bait."

Entah apa lagi motif UAH menskip kalimat itu, apakah kebetulan bahasan tentang Syaikh-syeikhnya UAH akhirnya di skip? Karena memang Muhamadiyah ini adalah ormas yang berpayung faham Abduhisme (Muhammad Abduh) dan Rosyid Ridho (Ridhoisme).

UAH tidak jujur dalam hal ini..

langsung saja lihat video UAH mulai menit ke 5 sampai menit ±14.45 semoga menambah wawasan keilmuan kita. Aamiin

Inilah teks asli Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah karya KH. Hasyim Asy'ari terkait bahasan yang disampaikan oleh UAH dalam video,

(فصل) في بيان تمسك أهل جاوى بمذهب أهل السنة والجماعة، وبيان ابتداء ظهور البدع وانتشارها في أرض جاوى، وبيان أنواع المبتدعين الموجودين في هذا الزمان. 

قد كان مسلموا الاقطار الجاوية في الزمان السالفة الخالية متفقى آلراء والمذهب، متحدى المأخذ والمشرب، فكلهم في الفقه على المذهب النفيس  مذهب الامام محمد بن إدريس، وفي أصول الدين على مذهب الامام أبي الحسن الأشعري، وفي التصوف على مذهب الامام الغزالي والامام أبي الحسن الشاذلي رضي الله عنهم أجمعين. 

ثم إنه حدث في عام ألف وثالثمائة وثالثين أحزاب متنوعة، وآراء متدافعة، وأقوال متضاربة، ورجال متجاذبة. فمنهم سلفيون قائمون على ما عليه أسالفهم من المذهب بالمذهب المعين والتمسك بالكتب المعتبرة المتداولة، ومحبة أهل البيت والولياء والصالحين، والتبرك بهم أحياء وأمواتا، وزيارة القبور، وتلقين الميت، والصدقة عنه، واعتقاد الشفاعة ونفع الدعاء والتوسل وغير ذلك.

*ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن اقيم وابن عبد الهادى،* فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه، وهو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم، والفوهم فيما ذكر وغيره. قال ابن تيمية في فتاويه: وإذا سافر الاعتقاده أنها أي زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم طاعة كان ذلك محرما بإجماع المسلمين فصار التحريم من الامور المقطوع به.

*PASAL MENJELASKAN TENTANG : BAGAIMANA MASYARAKAT JAWA BERPEGANG TEGUH PADA MADZHAB AHLI AL SUNNAH WA AL JAMA’AH, TENTANG KAPAN LAHIRNYA BID’AH DAN PENYEBARANNYA DITANAH JAWA, TENTANG MACAM-MACAM PERILAKU AHLI BID’AH YANG TERJADI DI ZAMAN INI* 

"Masyarakat Muslim di pulau Jawa tempo dulu memiliki pandangan dan madzhab yang sama, memiliki satu reverensi dan kecenderungan yang sama. Semua masyarakat Jawa ketika itu menganut dan mengidolakan satu madzhab yakni Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi’i dan didalam masalah teologi atau aqidahnya mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-‘Asy’ari dan di bidang Tasawuf mengikuti madzhab Imam Al-Ghazali dan Imam Abi Al-Hasan Al-Syadili, Radhiyallahu 'anhum ajma'in. 

Pada perkembangan selanjutnya di tahun 1330 H. muncul beberapa golongan yang bermacam-macam, dan mulai timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran, dan pertikaian dikalangan para pemimpin. Diantara mereka ada yang beraviliasi pada kelompok Salafiyyin, golongan Tradisional yang tetap eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang diinginkan Salafuna As-Shalih, bermadzhab kepada satu madzhab tertentu, berpegang kepada kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlul bait, para wali dan orang-orang yang sholih, mengharap berkah mereka baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah berupa ziarah kubur, mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit dan menyakini adanya syafaat atau pertolongan, kemanfaatan doa, mengerjakan tawassul dan lain-lain. 

*Sebagian dari masyarakat kita terdapat kelompok yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, yang menyepakati pendapat yang menyatakan bid'ahnya beberapa hal diatas sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Nadji dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya yakni Ibnu al-Qoyyim dan Ibnu Abdi al-Hadi,* kelompok kedua ini secara tegas mengharamkan apa yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimin sebagai bentuk ibadah sunnah, yakni pergi untuk menziarahi makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Firqoh ini secara terus menerus melakukan penentangan keras terhadap kaum muslimin atas rutinitas yang mereka jalankan." Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

https://youtu.be/n03xIyHPNhE?t=300