MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 30 November 2020

KAJIAN TENTANG PERBEDAAN KHALAQA, FATHARA DAN JA'ALA DALAM AL-QUR'AN

Jika kita membaca Al-Qur'an secara teliti, ada beberapa kata yang digunakan untuk menjelaskan suatu makna. Tentang penciptaan misalnya, kata kerja yang sering digunakan kata khalaqa (خلق), fathara (فطر) dan ja-‘ala (جعل). Ketiga kata tersebut, selalu disandingkan dengan proses penciptaan alam semesta beserta isinya.

Dalam terjemahan Al-Qur'an, kata khalaqa (خلق), fathara (فطر) dan ja-‘ala (جعل) biasanya dimaknai dengan kata yang sama yakni menciptakan atau menjadikan. Padahal setiap kata di dalam Al-Qur'an memiliki perbedaan. Lalu apa perbedaan tiga kata tersebut?

Kata خَلَقَ disebutkan lebih dari 200 kali dalam al-Qur’an, beserta kata ganti dan turunannya, seperti kata  خَلَقَ yang disebutkan sebanyak 76 kali, خَلَقْتُ yang disebutkan sebanyak 11 kali,   خَلَقَكُمْ yang disebutkan sebanyak 16 kali , خَلَقْنا yang disebutkan sebanyak 41 kali, dan sisanya dalam bentuk present tense (فعل مضارع), kata kerja pasif (مجهول) dan gerund (مصدر).

Kata fathara (فطر) disebutkan dalam Al-Qur'an sebanyak 2 kali, faathiru (فاطر) sebanyak 3 kali, fatharani (فطرني) sebanyak 3 kali, fatharanaa (فطرنا) sebanyak 1 kali, fatharahunna (فطرهن) sebanyak 1 kali.

Kata جَعَلَ  disebutkan lebih dari 200 kali dalam al-Qur’an, beserta kata ganti dan turunannya, seperti kata  جَعَلَ yang disebutkan sebanyak 78 kali, جَعَلَكُمْ yang disebutkan sebanyak 9 kali, جَعَلْنا yang disebutkan sebanyak 113 kali , dan sisanya dalam bentuk present tense (فعل مضارع), kata kerja  perintah (فعل الأمر),kata kerja pasif (مجهول)  dan pelaku (اسم فاعل).

Dalam bahasa arab kata kerja dibedakan bentuk lampau, bentuk sedang atau akan terjadi dan bentuk perintah. jadi kata kerja ini bentuk dan formatnya tergantung dari waktu kejadiannya.

Itulah keindahan bahasa Al-Qur’an, detil dalam setiap penggunaan katanya dan ternyata mengandung makna yang sangat mendalam. Semoga menambah kekaguman kita terhadap kitab suci kita dan semakin menambah keimanan dan keyakinan kita bahwa memang Allah lah yang menurunkan al-Qur’an, karena terbukti kemurniannya hingga saat ini.

Berikut uraiannya. Pertama, kata Khalaqa (خلق). Kata ini bermakna menciptakan sesuatu (yang belum ada sebelumnya) dari sesuatu (yang sebelumnya ada) menjadi sesuatu baru yang belum pernah ada sebelumnya. Misalnya ditunjukkan di dalam QS. Ali Imran ayat 49,

ۖ أَنِّىٓ أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ ٱلطِّينِ كَهَيْـَٔةِ ٱلطَّيْرِ

“… yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung.”

خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ

“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al-'Alaq : 2)

Manusia sebelumnya tidak ada kemudian Allah menciptakan sehingga manusia menjadi ada. Dan, ciptaan baru tersebut dibuat dari sesuatu yang sudah ada sebagaimana manusia yang diciptakan dari segumpal darah. Demikian makna kata khalaqa yang ada di dalam Al-Qur'an.

Kedua, kata Fathara (فطر) bermakna menciptakan sesuatu dari tidak ada, atau menciptakan pertama kali.

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Fathir : 1)

Langit dan bumi diciptakaan oleh Allah untuk pertama kali. Keduanya diciptakan bukan berasal dari benda lain yang didesain untuk membentuk langit dan bumi melainkan benar-benar ada pertama kali di alam semesta.

Ketiga, Ja‘ala (جعل) bermakna mengubah kejadian sesuatu yang sudah ada ke kejadian lain, seperti dalam surat Yasin ayat 80:

ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُم مِّنَ ٱلشَّجَرِ ٱلْأَخْضَرِ نَارًا

“… yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau.” (QS. Yaasiin : 80).

Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa kayu diubah kejadiannya menjadi api.

Atau dalam surah Yunus ayat 5:

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمْسَ ضِيَآءً وَٱلْقَمَرَ نُورًا

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.” (QS. Yunus : 5).

Dari ayat-ayat tersebut, dapat dilihat bahwa kata khalaqa (خَلَقَ) dan fathara (فطر) diartikan sebagai: "membuat sesuatu dari yang belum pernah ada sebelumnya atau menciptakan sesuatu sejak semula atau menjadi sebab awal maujudnya sesuatu." Sedangkan جَعَلَ (ja’ala, menjadikan), "yakni membuat sesuatu dari yang sudah ada sebelumnya." Jadi sama-sama perbuatan mencipta/menjadikan, tetapi perbuatan خَلَقَ (khalaqa) atau فطر fathara yang bermakna menciptakan) lebih dahulu daripada perbuatan جَعَلَ (ja’ala, menjadikan). Pengurutan ini bisa kita amati dalam ayat-ayat diatas.

Perbedaan lainnya antara dua kata tersebut adalah kata خَلَقَ dan فطر biasa digunakan/pelakunya hanya untuk Allah, Sedangkan جَعَلَ,  bisa digunakan/pelakunya untuk selain Allah. Jadi, setiap kata “khalaqa” , maka disana semata-mata Allah saja yang berperan menciptakannya, tanpa ada campur tangan makhluk lain. Sementara bila kata “ja’ala”, maka ada campur tangan makhluk lain didalamnya.

Contohnya kongkrit antara kata khalaqa dam ja'ala adalah ayat,

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS aR-Ruum: 21)

Mengapa pada ayat diatas tatkala Allah mengatakan menciptakan manusia, memakai kata خلق “khalaqa”, sedangkan ayat selanjutnya pada ayat diatas juga, tatkala mengatakan “menjadikan diantara kamu“, memakai kata جعل  “ja’ala “, bukankah kedua arti diatas sama-sama berartikan “menjadikan/menciptakan..?”.

Ternyata, betapa telitinya Allah dalam memasangkan kata perkata sesuai dengan maknanya yang terkandung didalam al-Qur’an, dan pemakaian setiap kata tersebut berbeda maknanya.

Pada kata pertama dalam ayat diatas, Allah mengatakan menciptakan (خَلَقَ) manusia. Jadi benar-benar Allah yang menciptakan manusia itu tanpa ada campur tangan makhluk lainnya, sementara pada kata kedua dipakai kata “جَعَلَ”. Dan menjadikan diantara kamu cinta dan kasih sayang. Ini bermakna, bahwa dalam menciptakan atau menjadikan pernikahan itu menjadi sebuah cinta dan kasih sayang, bukan hanya Allah saja yang menentukannya, tapi atas usaha kedua belah pihak, yaitu suami dan istri.

Allah memang sudah menjanjikan pada kita dengan adanya pernikahan, maka terciptalah ketenangan, kasih sayang dan cinta, namun semua itu tidak akan mungkin tercapai tanpa usaha kedua belah pihak, tidak akan tercapai tujuan pernikahan untuk menuju ketenangan jiwa cinta dan kasih sayang, tanpa usaha dari kedua belah pihak. Itulah sebabnya Allah memakai kata, “جَعَلَ, bukan khalaqa (خَلَقَ)”, Subhanallah !

Perbedaan lainnya khalaqa (خَلَقَ) bermakna membuat melalui proses yang tidak dapat diganggu gugat. khalaqa adalah kata kerja yang tidak berkaitan dengan proses manusiawi, tapi adalah murni hak prerogatif Allah. Hal ini berbeda dengan kata ja 'ala جَعَلَ yang pada prosesnya menyertakan pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan, dimana manusia ikut berperan. Jadi jika sebuah ayat menggunakan kata ja'ala, maka berarti manusia turut terlibat dalam prosesnya.

Contohnya adalah,

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ

"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki." (QS. Asy-Syura: 49)

قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ قَالَ كَذَلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

"Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia."(QS. Ali ‘Imran: 47)

Dari kedua ayat tersebut, terlihat bahwa penciptaan langit dan bumi serta penciptaan Siti Maryam adalah murni perbuatan Allah, tanpa ada campur tangan manusia.

Bandingkan dengan ayat-ayat ini,

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ

"Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)." (QS. An-Nahl: 80)

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلَالًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ

"Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan ni'mat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya)." (QS. An-Nahl: 81)

Dari kedua ayat tersebut, terlihat bahwa dalam pengadaan rumah dan pakaian (papan dan sandang), ada campur tangan manusia dalam proses pembuatannya yaitu yang membangun rumah, menjahit baju dan memasarkannya.

Jadi, kesimpulannya, ada 3 perbedaan makna kata خَلَقَ dan جَعَلَ yaitu kata kata خَلَقَ adalah menciptakan sesuatu dari yang tidak ada, sedangkan جَعَلَ adalah membuat sesuatu dari yang sudah ada; kata خَلَقَ ditujukan pada perbuatan Allah, sedangkan جَعَلَ bisa juga manusia sebagai pelakunya; dan kata خَلَقَ adalah kata kerja yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya, sedangkan جَعَلَ ada keterlibatan manusia dalam prosesnya.

Sementara kata fathara (فَطَرَ) merupakan bentuk kata kerja yang semaknya dengan penggunaannya dengan kata khalaqa (خلق). Istilah ini bermakna menampakkan sesuatu yang baru, "membuat sesuatu dari yang belum pernah ada sebelumnya atau menciptakan sesuatu sejak semula atau menjadi sebab awal wujudnya sesuatu", seakan-akan dibelah sehingga menjadi terlihat. Aslinya adalah asy-syaqqu الشق (membelah). Bersama dengan asy-syaqqu ini juga azh-zhuhur الظهر (tampak). Dari sana kemudian dikatakan tafaththarasy syajar (تفطر الشجار) ketika terbelah dengan (mengeluarkan) daun-daunan;  fatharallahul khalqa (فطر الله الخلق) artinya Allah menampakkan makhluk dengan mengadakan mereka, sebagaimana tampaknya dedaunan bila pohon membelah dirinya, yakni tatkala dedaunan bersemi darinya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala berikut, 

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

"Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (QS. Al-An'am : 79).

 فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

"Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar-Ruum : 30).

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 26 November 2020

SYAIR ABDUL MUTHALIB SAAT KELAHIRAN NABI MUHAMMAD SAW

Dalam kitab Diwan Abdul Muthalib Bin Hasyim karya Al-Husain bin Haidar Mahbub Al-Hasyimi halaman 48-49 menjelaskan tentang pujian kakek Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abdul Muthalib sbb :

صَلىَّ عَلّيْكَ اللهُ يَاعَدْنَانِ 

يَا مُصْطَفَى يَا صَفْوَةَ الرَّحْمَانِ

Rahmat Allah taala untukmu cucu adnan 

Wahai nabi pilihan Allah yang rahman

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى اَعْطَانِى 

هَذَا الْغُلاَم الطَيِّبَ الاْرْدَانِ

Puja puji bagi Allah yang maha memberikan 

Cucu yang terbaik dan yang amat tampan

قَدْ سَادَ فِى اْلمَهْدِ عَلَى اْلغِلْمَانِ 

اُعِيْذُهُ بِالْبَيْتِ ذِى اْلاَرْكَانِ

Sejak masih kecil menjadi pimpinan 

Aku menjaganya berkat rahmat tuhan

حَتَّى اَرَاهُ بَالِغَ اْلبُنْيَانِ 

اَنْتَ الَّذِى سُمِّيْتَ فِى اْلقُرْآنِ

Ku perkenal kan padanya indahnya rumah tuhan 

Namamu di abadikan di dalam Al-qur’an

اَحْمَدُ مَكْتُوْبٌ عَلَى اْلجِنَانِ 

صَلَّى عَلَيْكَ اللهُ فِى اْلاَحْيَانِ

Ahmad dalam surga telah di lukiskan 

Rahmat allah taala untukmu sepanjang zaman

اَحْمَدُهُ فِى السِّرِّ وَاْلاَعْلاَنِ 

حَقَّ عَلَى اْلاِسْلاَمِ وَ اْلاِيْمَانِ

Aku menjunjungnya di tiap kesempatan 

Sesuai ketentuan islam dan iman

يَارَبَّنَا باِلْمُصْطَفَى اْلعَدْنَانِ 

اِغْفِرْ ذُنُوْبِى ثُمَّ اَصْلِحْ شَاِن

Kami memohon padamu ya rahman 

Dengan keberkatan Nabi pilihan

Mohon ampunan Semua kesalahan

Mohon perbaikan semua urusan

Syair Abdul Muthalib diatas juga diterangkan dan dimuat dalam kitab Sirah Nabawiyah Imam Ibnu Katsir juz 1 hal. 208 sbb:

قال محمد بن إسحاق: فلما وضعته بعثت إلى عبد المطلب جاريتها، وقد هلك أبوه وهي حبلى، ويقال إن عبد الله هلك والنبي صلى الله عليه وسلم ابن ثمانية وعشرين شهرا، فالله أعلم أي ذلك كان - فقالت: قد ولد لك غلام فانظر إليه.

فلما جاءها أخبرته وحدثته بما كانت رأت حين حملت به، وما قيل لها فيه، وما أمرت أن تسميه.

فأخذه عبد المطلب فأدخله على هبل في جوف الكعبة، فقام عبد المطلب يدعو ويشكر الله عز وجل ويقول:

الحمد لله الذي أعطانى 

هذا الغلام الطيب الأردان 

قد ساد في المهد على الغلمان 

أعيذه بالبيت ذي الأركان  

حتى يكون بلغة الفتيان

حتى أراه بالغ البنيان 

أعيذه من كل ذي شنآن 

من حاسد مضطرب العنان

ذي همة ليس له عينان 

حتى أراه رافع اللسان 

أنت الذي سميت في القرآن

 فى كتب ثابتة المثاني 

أحمد مكتوب على اللسان

Senin, 23 November 2020

KAJIAN TENTANG LARANGAN MENDOAKAN KEBURUKAN KEPADA ORANG LAIN

Sebagai umat muslim, kita senantiasa berdoa dan berharap kebaikan serta keberuntungan menghampiri kita. hal tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti menjalankan segala kewajiban umat islam agar mendapat ridha-Nya dan memiliki ketenangan hati, berbuat baik kepada kedua orang tua dan sesama, serta mendoakan atau berharap yang baik untuk orang lain agar kebaikan tersebut juga menular atau berbalik kepada diri kita sendiri.

Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudzâharah wal Muwâzarah, halaman 141, menjelaskan tentang larangan mendoakan jelek dan melaknat, baik ditujukan pada diri sendiri, orang lain maupun sesuatu apa pun di luar dirinya sebagai berikut,

واحذر - أن تدعو على نفسك أو على ولدك أو على مالك أو على احد من المسلمين وإن ظلمك,  فإن من دعا على من ظلمه فقد انتصر. وفي الخبر "لا تدعوا على انفسكم ولا على أولادكم ولا على اموالكم لاتوافقوا من الله ساعة إجابة". 

“Jangan sekali-kali mendoakan datangnya bencana atau mengutuk diri sendiri, keluargamu, hartamu ataupun seseorang dari kaum Muslimin walaupun ia bertindak dzalim terhadapmu, sebab siapa saja mengucapkan doa kutukan atas orang yang mendzaliminya, berarti ia telah membalasnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Jangan mendoakan bencana atas dirimu sendiri, anak-anakmu ataupun harta hartamu. Jangan-jangan hal itu bertepatan dengan saat pengabulan doa oleh Allah SWT’.”

Sayyid Abdullah Al-Haddad di halaman yang sama (hal. 141) sebagai berikut,  

وقد ورد أن اللعنة إذا خرجت من العبد تصعد نحوالسماء فتغلق دونها أبوابها ثم تنزل إلى الأرض فتغلق دونها أبوابها ثم تجيء الى الملعون فإن وجدت فيه مساغا وإلارجعت على قائلها.  

“Ketahuilah bahwa suatu laknat, bila telah keluar dari mulut seseorang, akan naik ke arah langit, maka ditutuplah pintu-pintu langit di hadapannya sehingga ia turun kembali ke bumi dan dijumpainya pintu-pintu bumi pun tertutup baginya, lalu ia menuju ke arah orang yang dilaknat jika ia memang patut menerimany , atau jika tidak, laknat itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa kutukan atau laknat memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang yang dilaknat akan terkena bencana jika memang menurut Allah ia pantas menerimanya. Kemungkinan kedua, jika ternyata Allah memandang lain, maka bencana itu akan menjadi bumerang  atau berbalik arah menuju orang yang telah mengucapkannya. Ini artinya sangat riskan melakukan kutukan atau melaknat orang lain.  Dalam kaitan itu, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan contoh atau teladan yang baik ketika beliau didzalimi orang-orang Thaif yang menolak dakwahnya. Beliau mendoakan agar mereka tetap diberi keselamatan atau hak hidup dengan berharap dari anak cucunya akan ada yang mau beriman kepada Allah SWT. Sebenarnya mengutuk atau melaknat orang lain hanya diperbolehklan kepada orang-orang tertentu saja yang telah di-nash oleh Allah sendiri sebagaimana penjelasan Sayyid Abdullah Al-Haddad di halaman yang sama (hal. 141) sebagai berikut,  

واحذرأن تلعن مسلما أو بهيمة أوجمادا أو شخصا بعينه وان كان كافرا إلا إن تحققت أنه مات على الكفر كفرعون وابي جهل أو علمت أن رحمة الله لا تناله بحال كإبليس.  

“Jauhkan dirimu dari perbuatan melaknat seorang Muslim (termasuk pelayan dan sebagainya), bahkan seekor hewanpun. Jangan melaknat seorang manusia tertentu secara langsung, walaupun ia seorang kafir, kecuali bila Anda yakin bahwa ia telah mati dalam keadaan kafir sepeti Fir’aun, Abu Jahal dan sebagainya. Ataupun, yang Anda ketahui bahwa rahmat Allah tak mungkin mencapainya seperti Iblis.” 

Jika ada orang yang didzalimi hak-haknya oleh pihak lain, dia boleh mengadu kepada Allah dan mendoakan laknat, kecelakaan atau hukuman kepada yang mendzaliminya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

”Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS An Nisaa`: 148).

Imam Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat tersebut yang berkata, ”Allah tidak menyukai seseorang yang mendoakan keburukan kepada orang lain, kecuali jika dia dizalimi. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan kepadanya untuk mendoakan keburukan bagi orang yang telah menzaliminya. Yang demikian itu berdasarkan firman-Nya: “Kecuali oleh orang yang dizalimi.” Tapi jika dia bersabar, itu lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir (2/197).

Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah,

اعلم أن هذا الباب واسع جدا، وقد تظاهر على جوازه نصوص الكتاب والسنة، وأفعال سلف الأمة وخلفها، وقد أخبر الله سبحانه وتعالى في مواضع كثيرة معلومة من القرآن عن الأنبياء صلوات الله وسلامه عليهم بدعائهم على الكفار

“Ketahuilah bahwa permasalahan ini sangat luas. Telah jelas kebolehan hal tersebut (mendoakan keburukan kepada orang yang berbuat zalim) berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf), dan Allah ta’ala juga telah menyebutkan di banyak tempat dalam al Qur’an tentang para nabi-nabinya yang mendoakan kecelakaan atas orang-orang kafir.” (Al-Adzkar An-Nawawiyyah, hlm. 479)

Imam As-Suyuthi (w.911), dalam tafsirnya menyatakan,

“لَا يُحِبّ اللَّه الْجَهْر بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْل” مِنْ أَحَد أَيْ يُعَاقِبهُ عَلَيْهِ “إلَّا مَنْ ظُلِمَ” فَلَا يُؤَاخِذهُ بِالْجَهْرِ بِهِ بِأَنْ يُخْبِر عَنْ ظُلْم ظَالِمه وَيَدْعُو عَلَيْهِ

"(Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang) dari siapa pun juga, artinya Dia pastilah akan memberinya hukuman (kecuali dari orang yang dianiaya) sehingga apabila dia mengucapkannya secara terus terang misalnya tentang keaniayaan yang dideritanya sehingga ia mendoakan si pelakunya, maka tidaklah dia akan menerima hukuman dari Allah."

Lebih jelas, Al-Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) menyatakan dalam tafsirnya, mengutip sahabat Ibnu Abbas r.a,

الْمُبَاحُ لِمَنْ ظُلِمَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ، وَإِنْ صَبَرَ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ، فَهَذَا إِطْلَاقٌ فِي نَوْعِ الدُّعَاءِ عَلَى الظَّالِمِ

"Adalah boleh bagi orang yang didzalimi untuk mendoakan keburukan kepada orang yang mendzaliminya, jika dia bersabar itu lebih baik baginya, dan ini mutlak dalam semua jenis do’a kepada orang dzalim." (Al-Jami' Al-Ahkam Al-Qur'an juz 6 hal. 1)

Terkait mendoakan kejelekan atau mengutuk dan melaknat orang yang berbuat zhalim pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa Bi'ru Ma'unah sebagai latar belakang (Asbabun Nuzul) turunnya QS. Ali Imran ayat 128 adalah sebagaimana riwayat Imam Bukhari bahwa Kabilah Ri’lan, Dzakwan, Usaiyyah dan Lahyan pernah meminta bantuan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam untuk menghadapi musuh mereka. Maka baginda mengutus bantuan sejumlah 70 orang sahabat dari kalangan sahabat Anshar. Mereka para sahabat tersebut dikenal dengan sebutan al-Qurra pada zamannya, yaitu orang yang mengantarkan makanan untuk orang-orang yang memerlukan pada siang hari dan banyak menunaikan shalat pada malam hari. Selanjutnya, sampailah mereka pada suatu tempat bernama Bi’ru Ma’unah. Namun tiba-tiba mereka dikhianati dan bahkan dibunuh oleh kabilah-kabilah disana kemudian nabi berdoa dengan melaknat mereka dalam doa (qunut nazilah)

قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam telah melakukan qunut selama sebulan terus-menerus pada waktu shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan shalat Subuh di penghujung setiap shalat, ketika baginda mengucapkan, ‘Sami’allaahu liman hamidah’ pada rakaat yang terakhir. Baginda melaknat kampung Bani Sulaim, Ri’lin, Dzakwan, Ushayyah dan diamini oleh makmum di belakang beliau.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ يَجْهَرُ بِذَلِكَ وَكَانَ يَقُولُ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا لِأَحْيَاءٍ مِنْ الْعَرَبِ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ { لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ } الْآيَةَ

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika ingin mendoakan kecelakaan kepada seseorang atau berdoa keselamatan kepada seseorang beliau selalu qunut setelah rukuk." Kira-kira ia berkata, "Jika beliau mengucapkan, "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH, " beliau berdoa, "Wahai Rabb kami bagi-Mu segala pujian, Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, salamah bin Hisyam, dan 'Ayyasy bin Abu Rabi'ah. Ya Allah keraskanlah hukuman-Mu atas Mudlar, dan timpakanlah kepada mereka tahun-tahun paceklik sebagaimana tahun-tahun pada masa Yusuf." (beliau mengeraskan bacaan tersebut), beliau juga membaca pada sebagian shalat yang lainnya, beliau membaca pada shalat subuh, *"Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan dari penduduk arab."* Sampai akhirnya Allah Azza Wa Jalla mewahyukan kepada beliau, 

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

"Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim (QS. Ali Imran: 128)." (HR. Al-Bukhari)

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan pula,

وَنَزَلَتْ لَمَّا كُسِرَتْ رُبَاعِيَّته صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشُجَّ وَجْهه يَوْم أُحُد وَقَالَ كَيْفَ يَفْلَح قَوْم خَضَّبُوا وَجْه نَبِيّهمْ بِالدَّمِ {لَيْسَ لَك مِنْ الْأَمْر شَيْء} بَلْ الْأَمْر لِلَّهِ فَاصْبِرْ {أَوْ} بِمَعْنَى إلَى أَنْ {يَتُوب عَلَيْهِمْ} بِالْإِسْلَامِ {أَوْ يُعَذِّبهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ} بِالْكُفْرِ

"Ayat ini (QS. Ali Imran : 128) turun ketika salah satu gigi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam rontok di waktu perang Uhud dan terdapat luka di wajah beliau sehingga darah pun mengalir ke bawah. Maka beliau berkata, ‘Bagaimana suatu kaum akan beruntung jika mereka berani melukai Nabi mereka, padahal ia menyeru mereka kepada Tuhan mereka?’ maka Allah menurunkan ayat, "(Tak ada sedikit pun hakmu untuk campur tangan dalam urusan mereka itu) tetapi semua itu urusan Allah, maka hendaklah kamu bersabar (apakah) artinya hingga (Allah menerima tobat mereka) dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam (atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka orang-orang yang aniaya) disebabkan kekafiran mereka." (Tafsir Al-Jalalain QS. Ali Imran : 128)

Ingatlah peristiwa dakwah Nabi ke Thaif dan bagaimana penyambutan yang tak mengenakkan dari kaum Thaif dengan pengusiran dan penganiayaan itu ditanggapi Rasulullah dengan ketenangan. Beliau melakukan shalat lalu memanjatkan doa. Di sebuah kebun kurma milik kedua anak Rabi'ah, Nabi berhenti seraya memanjatkan doa, sebagaimana dinukilkan Imam at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Baghdadi dalam al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi,

اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك  أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك 

"Allahuma Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu."

Malaikat Jibril iba menyaksikan Rasulullah itu terluka fisik dan hatinya. Jibril berkata, "Allah mengetahui apa yang terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu." 

Para malaikat penjaga gunung itu berkata, "Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan Gunung Akhsyabin ini ke atas mereka."

Nabi dengan lembut berkata kepada Jibril dan malaikat penjaga gunung, "Walaupun mereka menolak ajaran Islam, aku berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya." Nabi bahkan berdoa, 

اللهم اهد قومي فإنهم لا يعلمون

"Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Thabrani dalam Mu'jam Al-Kabir bab doa juz 3 hal. 128)

Dari kutipan diatas semakin jelas bahwa kita sangat dianjurkan untuk tidak pernah melaknat siapa pun dan apapun, baik itu manusia maupun bukan manusia; baik itu Muslim maupun kafir. Orang kafir sekarang bisa saja akan menjadi mukmin di masa depan dengan hidayah Allah SWT. Laknat hanya boleh ditujukan kepada orang-orang kafir yang sudah jelas kekafirannya hingga akhir hayat  seperti Fir’aun, Abu Jahal dan semisalnya. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 22 November 2020

KAJIAN TENTANG AHLUL BAIT TIDAK KEBAL DARI HUKUM ALLAH JIKA MELAKUKAN KESALAHAN

https://youtu.be/7sKsYM8P8vA 

Tidak ada yang mengelak bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia paling baik, bahkan sempurna. Satu bukti, ia digelari Al-Amin (seorang yang jujur) oleh kaum Quraisy di zaman pra Islam.

Namun demikian, seluruh keturunan yang mempunyai nasab langsung ke Nabi tidak menjamin bahwa akhlak orang tersebut baik. Alasan untuk persoalan tersebut dijelaskan secara lugas oleh Pimpinan Majelis Kanzus Sholawat Pekalongan Habib Luthfi bin Yahya, Selasa (24/1/17) lalu saat menerima rombongan Anjangsana Islam Nusantara STAINU Jakarta di kediamannya.   

Rais Aam Idarah Aliyah Jamiyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) ini menerangkan, meskipun mempunyai nasab langsung ke Rasulullah, belum tentu akhlak orang itu baik karena ini persoalan ma’shum (dilindungi Allah dari dosa).   

“Jangan heran jika (keturunan Nabi) ada yang berakhlak tidak baik, lah wong mereka tidak di-ma’shum kok,” tutur Habib Luhtfi dengan gaya bicaranya yang khas.

Sebagai Muslim kita harus menghormati sekaligus mencintai keluarga dan keturunan Rasulullah Shallalhu 'alaihi wa sallam yang disebut Ahlul Bait. Rasulullah memang mengimbau agar umatnya menghormati dan mencintai keluarga dan keturunannya. Hal ini karena Ahlul Bait memang memiliki kemuliaan tersendiri sebagai kerabat Rasulullah. Namun apabila di antara mereka ada yang menyimpang dari jalan leluhurnya, hendaklah ada yang menasihatinya. 

Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720 M) dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 89 ) sebagai berikut:,

لأهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم شرف، ولرسول الله صلى اللهعليه وسلم  بهم مزيد عناية وقد أكثر على أمته من الوصيّة بهم والحث على حبّهم ومودتهم. وبذالك أمرالله تعالى في كتابه في قوله تعالى: "قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى" .(الشورى، ٢٣) 

“Ahlul Bait memiliki kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah telah menunjukkan perhatiannya yang besar kepada mereka. Beliau berulang-ulang berwasiat dan mengimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula Allah subhanahu wataála telah memerintahkan di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya: “Katakanlah wahai Muhammad, tiada aku minta suatu balasan melainkan kecintan kalian pada kerabatku.” (QS 42:23).

Terhadap Ahlul Bait yang menyimpang dari apa yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Sayyid Abdullah Al-Haddad mengimbau agar mereka tetap dihormati semata-mata karena mereka adalah kerabat Nabi Muhammmad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tidak meninggalkan perlunya memberikan nasihat kepada mereka sebagaimana kutipan berikut, 

وأما من كان من أهل هذا البيت ليس على مثل طرائق أسلافهم الطاهرين، وقد دخل عليهم شيئ من التخليط لغلبة الجهل، فينبغي أيضا أن يعظّموا ويحترموا لقرابتهم من رسول الله الله صلى الله عليه وسلم. ولا يدعوا المتأهل للنصيحة نصحهم وحثّهم على الأخذ بما كان عليه سلفهم الصالح, من العلم والعمل الصالح، والأخلاق الحسنة والسيرالمرضية. 

“Adapun mereka yang berasal dari keluarga dan keturunan Rasulullah ini yang tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampur adukkan antara yang baik dan yang buruk disebabkan kejahilannya, seyogyanyalah mereka tetap dihormati semata-mata karena kekerabatan mereka dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun siapa saja yang memiliki keahlian atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati dan mendorong mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang saleh-saleh, yang berilmu dan beramal kebajikan, berakhlak terpuji dan berperilaku luhur.” (Lihat hal. 90). 

Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju atas anggapan seperti itu sebagaimana kutipan berikut, 

فيقول هؤلاء أهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورسول الله شفيع لهم، ولعل الذنوب لا تضرهم، وهذا قول شنيع، يضر القائل به نفسه، ويضر به غيره من الجاهلين، وكيف يقول أحد ذالك وفي كتاب الله العزيز ما يدل غلى اهل أن أهل البيت يضاعف لهم الثواب على الحسنات، والعقاب على السيئات.  

“Ada yang mengatakan,”Biarlah, mereka adalah dari Ahlul Bait, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti akan bersyafaat kepada mereka, dan mungkin pula dosa-dosa yang mereka lakukan tak akan menjadi mudarat atas mereka.” Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang-orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Bagaimana bisa seseorang berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Qurán, Kitab Allah yang mulia terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah dilipat gandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya.” (Lihat hal. 88).

Sangat jelas bahwa Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju terhadap anggapan bahwa orang-orang tertentu seperti Ahlul Bait memiliki kekebalan hukum atas hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah subhanahu wataála disebakan kemuliaan nasabnya yang bersambung kepada Rasulullah. Ulama yang diyakini sebagai pembaharu abad 11 hijriyah ini menyebut orang yang memiliki anggapan seperti itu telah melakukan perbuatan dusta tentang Allah Subhanahu wa Taála serta menyalahi ijma’ seluruh kaum Muslilimin. (Lihat hal. 89).

Dalam shahihain disebutkan hadits dari Abu Hurairah, di mana ia berkata,

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri ketika turun ayat, ” Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214). Lalu beliau berkata, “Wahai orang Quraisy -atau kalimat semacam itu-, selamatkanlah diri kalian sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR. Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206).

Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah). 

Jadi sekali lagi, ada kewajiban bagi kaum Muslimin untuk menghormati dan mencintai Ahlul Bait karena mereka memiliki kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Perintah ini memiliki dasar di dalam Al-Qur’an, surat Asy-Syura, ayat 23. Disamping itu ada kewajiban lain bagi orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas untuk menasihati jika ada dari mereka berbuat kemaksiatan dan berperilaku tercela. Perbuatan dosa yang mereka lakukan akan dilipat gandakan hukumannya. Namun cara menasihati mereka harus tetap baik dan hormat karena bagaimanapun mereka adalah dzurriah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 21 November 2020

CARA MENGURUS JENAZAH BAYI KEGUGURAN

A. Memandikan dan Menyolatkan

واثنان لا يغسلان ولا يصلى عليهما الشهيد في معركة الكفار والسقط الذي لم يستهل..

وأما السقط حالتان

الأولى أن يستهل أي يرفع صوته بالبكاء أو لم يستهل ولكن شرب اللبن أو نظر أو تحرك حركة كبيرة تدل على الحياة ثم مات فإنه يغسل ويصلى عليه بلا خلاف لأنا تيقنا حياته وفي الحديث ( إذا استهل الصبي ورث وصلي عليه )

الحالة الثانية أن لا يتيقن حياته بأن لا يستهل ولا ينظر ولا يمتص ونحوه فينظر إن عرى عن إمارة الحياة كالاختلاج ونحوه فينظر أيضا إن لم يبلغ حدا ينفخ فيه الروح وهو أربعة أشهر فصاعدا لم يصل عليه بلا خلاف في الروضة ولا يغسل على المذهب لأن الغسل أخف من الصلاة ولهذا يغسل الذمي ولا يصلى عليه وإن بلغ أربعة أشهر فقولان الأظهر أنه أيضا لا يصلى عليه لكن يغسل على المذهب وأما إذا اختلج أو تحرك فيصلى عليه على الأظهر ويغسل على المذهب.

Dua org yg matinya tidak dimandikan dan disholati : Org mati syahid dan bayi lahir keguguran yg tidak bersuara (menjerit)….

Bayi yg lahir keguguran terbagi atas :

1. Saat ia lahir dengan mengeluarkan suara, menangis, atau tidak mengeluarkan suara tetapi ia minum air susu atau melihat, atau ber-gerak2 layaknya gerakan  org dewasa yg menunujukkan adanya kehidupan pada dirinya, kemudian ia meninggal dunia maka ia dimandikan dan dishalatkan hal ini sesuai kesepakatan ulama karena diyakini adanya kehidupan pada dirinya dan dalam sebuah hadits “Bayi yg lahir mengeluarkan suara maka berhak harta warisan dan disholatkan”

2. Tidak diyakini adanya kehidupan pada dirinya seperti saat kelahiran tidak bersuara, tidak melihat, tidak menetek, maka perihalnya ditinjau terlebih dahulu sebagai berikut :

~ Bila tidak ada tanda2 kehidupan seperti bergerak dan sejenisnya  dan kegugurannya belum sampai pada batas tertiupnya ruh pada dirinya (dalam kandungan usia 4 bulan keatas) maka ulama sepakat ia tidak dishalati, dan tidak dimandikan  menurut pendapat yg dijadikan madzhab dikalangan  syafi’iyyah karena hukum memandikan lebih ringan ketimbang menshalatkan karenanya org mati kafir dzimmi dimandikan tapi tidak boleh dishalatkan.

~ Bila ia telah berusia 4 bulan keatas maka :

a. Menurut pendapat yg paling azhhar ia tidak boleh dishalatkan, tetapi boleh dimandikan  menurut pendapat yg dijadikan madzhab.

b. Bila ia bergerak maka dishalatkan menurut pendapat yg paling azhhar ia tidak boleh dishalatkan, tetapi boleh dimandikan menurut pendapat yg dijadikan madzhab (Kifaayah al-Akhyaar I/160-161)

B. Memberi Nama

قال أصحابنا لو مات المولود قبل تسميته استحب تسميته قال البغوي وغيره يستحب تسمية السقط

Berkata pengikut2 as-Syafi’i “Bila bayi lahir sebelum diberi nama maka sunah memberinya nama”

Berkata al-Baghawi  dan lainnya “Disunahkan memberi nama pada bayi yg lahir keguguran” (Al-Majmuu’ alaa Syarh al-Muhadzdzab VIII/435)

قد ذكرنا أن مذهب أصحابنا استحباب تسمية السقط وبه قال ابن سيرين وقتادة والاوزاعي

* وقال مالك لا يسمى ما لم يستهل صارخا والله أعلم

Telah kami sebutkan bahwa pengikut2 Imam Syafi’i cenderung memilih kesunahan memberi nama pada bayi yg lahir keguguran,  semacam ini yg dipilih oleh Ibn Siriin, Qataadah dan al-Auzaa’i (Al-Majmuu’  alaa Syarh al-Muhadzdzab VIII/448)

عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَلَوْ مَاتَ قَبْلَ التَّسْمِيَةِ اُسْتُحِبَّ تَسْمِيَتُهُ بَلْ يُسَنُّ تَسْمِيَةُالسِّقْطِ ا هـ

Redaksi dalam kitab al-Mughni “Bila bayi lahir sebelum diberi nama maka sunah memberinya nama bahkan disunahkan memberi nama pada bayi yang lahir keguguran” (Tuhfah al-Muhtaaj 41/193)

ولو مات قبل التسمية استحب تسميته بل يسن تسمية السقط فإن لم يعلم أذكر هو أم أنثى سمي اسم يصلح لهما كخارجة وطلحة وهند

“Bila bayi lahir sebelum diberi nama maka sunah memberinya nama bahkan disunahkan  memberi nama pada bayi yg lahir keguguran, bila tidak diketahui jenis kelaminnya  apakah ia lelaki atau pria maka diberi nama yg pantas untuk keduanya seperti nama Kharijah, Thalhah dan Hindun” (Mughni al-Muhtaaj  IV/294) Wallohu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 18 November 2020

KAJIAN TENTANG KEWAJIBAN SHALAT SEBELUM ISRA' MI'RAJ

Fakta sejarah bahwa shalat sudah dikerjakan oleh nabi-nabi terdahulu dapat kita simak pada tulisan Almaghfurlah Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh Sirah Nabawiyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1426 H), hal. 109,

وكان عليه السلام قبل مشروعية الصلاة يصلي ركعتين صباحا ومثليهما مساء كما كان يفعل إبراهيم عليه السلام. 

“Sebelum pensyariatan shalat, nabi terdahulu melakukan shalat masing-masing 2 rakaat di pagi dan sore hari sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm.” 

Fakta tersebut juga didukung oleh beberapa ayat Al-Qur’an seperti dalam Surat Maryam ayat 55 yang menggambarkan tentang shalatnya Nabi Ismail ‘alaihissalâm,

وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا 

“Dan dia (Ismail) menyuruh keluarganya untuk melaksanakan shalat dan zakat, dan ia adalah seorang yang diridloi disisi Tuhan-Nya” (QS. Maryam : 55)

Juga Surat Maryam (31) yang menggambarkan tentang shalatnya Nabi Isa ‘alaihissalâm,

وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا 

“Dan Dia (Allah) memerintahkan kepadaku (Isa) (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;” (QS. Maryam : 31)

Mengacu pada keterangan di atas, sebelum pensyariatan shalat, Nabi Muhammad juga sebenarnya sudah rutin melakukan shalat di pagi dan sore hari. Hal tersebut juga diperkuat dengan Surat Al-Mu’minun ayat 31,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ 

“Dan sucikanlah (shalatlah) dengan memuji Tuhanmu, di waktu sore dan pagi hari”. (QS. Al-Mu'minun : 31)

Perintah shalat 5 waktu kemudian diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra dan Mi’raj, yang terjadi sekitar 18 bulan sebelum peristiwa hijrah. Peristiwa tersebut terekam dalam hadits Nabi riwayat Bukhori no. 342 dan Muslim no. 163, 

أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: "فرج عن سقف بيتي وأنا بمكة، فنزل جبريل .. ثم أخذ بيدي فعرج بي إلى السماء ... ففرض اللهعلى أمتي خمسين صلاة ... فراجعته فقال: هي خمس وهي خمسون لا يبدل القول لدي".

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “loteng rumahku terbuka saat aku berada di Makkah, kemudian Jibril turun … kemudian ia memegang tanganku dan mengangkatku ke langit…kemudian Allah memfardlukan shalat 50 waktu pada ummatku…maka aku kembali lagi, dan Dia (Allah) berfirman: “Shalat 5 waktu itulah (pahalanya sama dengan) shalat 50 waktu, tidak akan tergantikan lagi pernyataanku”. (HR. Bukhori no. 342 dan Muslim no. 163)

Sejak saat itulah shalat 5 waktu sehari semalam difardlukan bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Shalat 5 waktu yang pahalanya sama seperti shalat 50 waktu. 

Berdasarkan asal usulnya, Isra Miraj merupakan bagian kedua dari perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu satu malam saja.

Kejadian tersebut merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa inilah dia mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam. Dengan kata lain, kewajiban shalat lima waktu memang baru muncul setelah Isra Miraj.

Namun, tahukah kita bahwa sebetulnya kewajiban shalat sudah ada sebelum peristiwa tersebut. Shalat diwajibkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sedari awal ia diangkat sebagai nabi dan menerima wahyu pertama.

Hal ini ditegaskan dalam hadits riwayat Ahmad dan Ad-Daraquthni,

أن جبريل أتاه في أول ما أوحي إليه فعلمه الوضوء والصلاة

“Jibril datang kepada Rasul ketika menyampaikan wahyu pertama dan mengajarkan Rasul wudhu’ dan shalat,” (HR Ahmad dan Ad-Daraquthni).

Shalat telah diwajibkan bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pengikutnya sejak diturunkannya firman Allah pada awal kenabian, 

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً 

"Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)..." (QS. Al-Muzzammil, 73 :1-19) 

Ini adalah petunjuk bahwa Rasulullah dan para pengikutnya yang baru berjumlah sedikit kala itu memiliki kewajiban untuk bangun pada tengah malam untuk menjalankan kewajiban. Menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya, kewajiban shalat malam dihapuskan setelah ayat ke 20 atau ayat terakhir dari surat al-Muzammil ini diturunkan oleh Allah SWT. 

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ 

"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah..." (QS. Al-Muzammil : 20)

Pelaksanaan ibadah shalat menunjukkan bahwa Baitul Maqdis di Yerusalem merupakan salah satu tempat sangat penting posisinya dalam agama Islam sebagai kiblat pertama umat Islam. Kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi Shalat dan para pengikutnya menghadap Baitul Maqdis, sebelum akhirnya Allah memerintahkan umat Islam untuk memindahkan kiblatnya ke Ka'bah di Makkah. Pemindahan arah kiblat ini terjadi di tengah-tengah ibadah shalat sedang berlangsung. Masjid tempat dilaksanakan shalat ketika perintah berpindah kiblat ini diturunkan hingga sekarang disebut sebagai Masjid Kiblatain (Masjid Dua Kiblat).

Selain itu, menurut Ibnu Ishaq, kewajiban shalat dimulai sejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima wahyu pertama. Bahkan, Rasul dan Khadijah sudah menunaikan ibadah shalat sebelum shalat lima waktu diwajibkan.

Para sahabat pun diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan berbuat baik. Hal ini dijabarkan dari hadits yang dikutip oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari. Dalam kitab itu, Ibnu Rajab menulis,

وقال ابن عباس: حدثني أبو سفيان في حديث هرقل، فقال يأمرنا، يعني النبي صلى الله عليه وسلم، بالصلاة والصدق والعفاف

“Ibnu Abbas berkata, dari Abu Sufyan tentang hadits Herakilius bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan kami shalat, jujur, dan menjaga harga diri.” (HR. Bukhari)

Lalu, berapa rakaat kah shalat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat sebelum Isra‘?

Menilik penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa perintah untuk mengerjakan shalat memang sudah ada sebelum peristiwa Isra‘. Hanya saja, bentuk shalat, berapa rakaat, dan kapan saja waktunya masih belum pasti.

Seperti yang tertera pada penjelasan Ibnu Rajab dalam Fathul Bari. Disebutkan bahwa sejumlah ulama berbeda pendapat terkait bagaimana shalat Rasul sebelum isra’. Namun, seluruh ulama ingin membuktikan bahwa kewajiban shalat sudah ada sebelum isra’. Ibnu Rajab menjelaskan,

لكن قد قيل: إنه كان قد فرض عليه ركعتان في أول النهار وركعتان في أخره فقط...وقال قتادة: كان بدء الصلاة ركعتين بالغداة وركعتين بالعشي

“Tetapi, ada yang mengatakan bahwa shalat yang diwajibkan pada Rasul pada awalnya adalah dua rakaat shubuh dan dua rakaat waktu malam… Qatadah mengatakan, ‘Shalat pertama kali adalah dua rakaat shubuh dan dua rakaat isya.’”

Dengan demikian, perintah shalat pertama kali tidak langsung lima waktu, tetapi hanya dua kali sehari, yaitu dua rakaat di waktu shubuh dan dua rakaat di waktu isya.

Penjelasannya ternyata tidak berhenti di situ saja, muncul lagi sebuah pertanyaan kira-kira seperti apa shalat yang dikerjakan Nabi sebelum mi’raj?

Sebagaimana diketahui, sebelum Miraj, Rasulullah berhenti di Baitul Maqdis untuk mengerjakan shalat. Hal ini seperti dikisahkan dalam banyak hadits isra’ miraj. Salah satu penggalan hadits tersebut adalah,

ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْن

“Kemudian Rasul masuk masjid dan shalat dua rakaat.”

Ali Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih pada saat menjelaskan hadits ini mengatakan,

أي: تحية المسجد، والظاهر أن هذه في الصلاة التي اقتدى به الأنبياء وصار فيها إمام الأصفياء

“Maksudnya, shalat tahiyatul masjid. Secara lahir, inilah shalat yang diikuti oleh para Nabi, sehingga Nabi Muhammad menjadi imamnya para Nabi.”

Merujuk pendapat Mula Al-Qari, shalat yang dikerjakan Nabi di Baitul Maqdis adalah shalat tahiyatul masjid dan jumlah rakaatnya dua rakaat.

Dengan demikian, kewajiban shalat sudah ada sebelum isra miraj, meskipun jumlahnya tidak seperti shalat lima waktu. Begitu pula kewajiban wudhu. Cara wudhu dan shalat ini diajarkan langsung oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 17 November 2020

KAJIAN TENTANG PENGERTIAN SUJUD SYUKUR, SUJUD SAHWI, DAN SUJUD TILAWAH

Sujud termasuk dalam rukun shalat. Jika tidak sujud maka sudah pasti shalatnya tidak sah kecuali shalat jenazah yang tidak ada ruku' dan sujud. Namun tahukah kita bahwa ulama telah menjelaskan sujud itu bermacam-macam. Dan kita hanya boleh sujud kepada Allah SWT dan tak boleh sujud kepada manusia. 

Mengenai hukum sujud dalam shalat adalah wajib karena termasuk rukun namun ada juga sujud dalam shalat yang hukumnya sunnah dilakukan yaitu sujud tilawah dan sujud sahwi. Sementara di luar shalat ada sujud syukur. 

*Sujud Syukur*

Syukur secara bahasa arab mempunyai penjelasan berikut,

الثناء على المحسِن بما أَوْلاكَهُ من المعروف

“Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari).

Sedangkan dalam bahasa Indonesia, bersyukur diartikan sebagai sebuah berterima kasih.

Selain dari segi pengertian bahasa, istilah syukur dalam agama adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut,

الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة

“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).

Syaikh Abdurrahman Al Jazairi dalam Fikih Empat Madzhab menjelaskan, sujud syukur adalah melakukan sujud sebanyak satu kali ketika seseorang baru saja mendapat kenikmatan atau terlepas dari satu kesengsaraan. Bedanya dengan sujud tilawah atau sujud sahwi, sujud ini hanya boleh dilakukan di luar sholat, tidak boleh dilakukan di dalam sholat.

Menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili, sujud syukur adalah sujud yang dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan atau terselamatkan dari bencana.

Sujud syukur hukumnya sunah, sebagaimana hadits berikut ini.

عَنْ اَبِى بَكُرَةَ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا اَتَاهُ اَمْرٌ يَسُرُّهُ اَوْبُشْرَى بِهِ خَرَّسَاجِدًا شُكْرًا ِللهِ (رواه ابوداود والترمذى)

Dari Abu Bakrah : “Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila datang kepadanya sesuatu yang menggembirakan atau kabar suka, beliau langsung sujud untuk berterima kasih kepada Allah Ta'ala.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dalam riwayat lain dijelaskan,

عَنْ اَبِى بَكُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا جَاءَهُ خَبَرٌ يَسُرُّهُ خَرَّسَاجِدًا ِللهِ (رواه الخمسه الا النسائ)

Dari Abu Bakrah : “Bahwa sesungguhnya apabila datang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuatu yang baik yang menggembirakan, beliau langsung sujud karena berterima kasih kepada Allah SWT.” (HR. Lima kecuali An Nasa'i).

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, 

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim : 7).

Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan, 

ذهب جمهور العلماء إلى استحباب سجدةالشكر لمن تجددت له نعمة تسره أو صرفت عنه نقمة.

"Mayoritas ulama mengatakan disunnahkannya sujud syukur bagi siapa yang mendapatkan nikmat yang membahagiakannya atau karena hilangnya musibah darinya." (Fiqhus Sunnah, 1/224)

 مذهب الشافعية والحنابلة في حكم سجود الشكر عند وجود سببه أنه سنة، لما ورد من الأحاديث الدالة على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعله. وقد أفاد الزرقاني – على القول بمشروعيته عند المالكية – أنه على هذا القول غير مطلوب، أي ليس مستحبا، ولكنه جائز فقط. 

ومشهور مذهب المالكية أن سجود الشكر مكروه، وهو نص مالك، والظاهر أنها عنده كراهة تحريم. ومذهب أبي حنيفة الكراهة، إلا أنهم صرحوا بما يدل على أنها كراهة تنزيه، فعبارة الفتاوى الهندية: سجدة الشكر لا عبرة بها، وهي مكروهة عند أبي حنيفة لا يثاب عليها، وتركها أولى. 

"Menurut madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah [Hambaliyyah] tentang hukum sujud syukur di saat ada sebabnya adalah Sunnah. Berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ melakukannya. Sementara, Az Zarqaniy menjelaskan maksud perkataan Malikiyyah yang mengatakan bahwa sujud syukur itu disyariatkan, bahwa maknanya adalah ghairu mathlub [tidak diperintah], yaitu tidak sunnah, tetapi boleh saja. 

Sedangkan yang terkenal dalam madzhab Malikiyyah adalah sujud syukur itu makruh, dan itulah perkataan Imam Malik, dan yang benar menurutnya adalah makruh tahrim [makruh mendekati haram]. Adapun madzhabnya Imam Abu Hanifah hal itu makruh, penjelasan mereka menunjukkan bahwa itu makruh tanzih. Referensi dalam Al Fatawa Al Hindiyah: “Sujud syukur itu tidak ada, itu makruh menurut Abu Hanifah dan tidak diberikan pahala, dan meninggalkannya lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/247)

Adapun bacaan dalam sujud syukur ada beberapa pilihan diantaranya,

*Bacaan Sujud Syukur 1*

Dengan membaca bacaan tasbih, tahmid, dan tahlil ketika sujud syukur

سُبْحَانَ اللّهِ والْحَمْدُللّهِ وَ لا اِلهَ اِلَّا اللّهُ وَ اللّهُ اَكْبَرُلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بالله العلي العظيم

“Subhaanallohi walhamdulillaahi walaa ilaaha illalloohu walloohuakbar, walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.”

“Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah Yang Maha Tinggi, Maha Agung“.

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله، وَاللهُ أَكْبَرُ

“Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi, wa laa ilaaha illallaah, wallahu akbar”

“Maha Suci Allah. Segala puji kepunyaan Allah, tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar.”

*Bacaan Sujud Syukur 2*

Membaca bacaan doa atau dzikir syukur. Bacaan doa berikut merupakan bacaan atau dzikir syukur yang bisa dilakukan pula ketika sujud tilawah.

سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَا رَكَ اللهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ

“Sajada wajhiya lilladzii kholaqohu washowwarohu wasyaqo sam’ahu wa bashorohu bihaulili wa quwwatihi fatabaa ro kallaahu ahsanul khooliqiin”

“Aku sujudkan wajahku kepada yang menciptakannya, membentuk rupanya, dan membuka pendengaran serta penglihatan. Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”

*Bacaan Sujud Syukur 3*

Membaca bacaan doa sebagaimana yang tersebut dalam Al-Qur'an surah An-Naml ayat 19

رَبِّ اَوۡزِعۡنِیۡۤ اَنۡ اَشۡکُرَ نِعۡمَتَکَ الَّتِیۡۤ اَنۡعَمۡتَ عَلَیَّ وَ عَلٰی وَالِدَیَّ وَ اَنۡ اَعۡمَلَ صَالِحًا تَرۡضٰىہُ وَ اَدۡخِلۡنِیۡ بِرَحۡمَتِکَ فِیۡ عِبَادِکَ الصّٰلِحِیۡنَ

“Robbi au zi’nii an asykur ni’matakallatii an ‘amta ‘alayya wa ‘alaa waa lidayya wa an a’mal shoolihan tardhoohu wa adkhilnii birohmatika gii ‘ibaadikasshoolihiin”

“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.” (QS. An-Naml ayat 19).

*Bacaan Sujud Syukur 4*

Membaca bacaan doa sesuai hadist Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, 

اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Allahumma a ‘innii ‘alayya dzikrika wasyukrika wa husni ‘ibaadatik”

“Ya Allah, bantulah aku dalam selalu berdzikir atau mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus ibadah kepada-Mu.” (HR.Musim).

Dalam beberapa doa tersebut, kita meminta kepada Allah agar diberi pertolongan untuk mensyukuri nikmat-Nya, yakni rasa syukur yang dapat menarik atau mendatangkan keridhaan serta nikmat-nikmat-Nya.

Mengenai tata cara sujud syukur Imam Syafi’i menjelaskan, “Sujud syukur tidak seperti shalat, cukup dilakukan kapan saja, tidak harus suci, dan tidak perlu mengucapkan takbir dan salam. Boleh juga melakukan sujud syukur di atas kendaraan dengan isyarat ketika mendapatkan kegembiraan”.

Imam Asy Syaukaniy Rahimahullah mengatakan, 

وليس في أحاديث الباب ما يدل على اشتراط الوضوء وطهارة الثياب والمكان لسجود الشكر.

"Dalam hadits tidak ada pembahasan yang menunjukkan syarat mesti wudhu, suci, pakaian, dan tempat, untuk sujud syukur." (Nailul Authar, 3/127)

*Sujud Sahwi*

Sujud sahwi merupakan salah satu ibadah sunnah yang diterapkan ketika seorang mukmin melakukan shalat ada yang tertinggal.

Secara bahasa, sahwi (السهو) artinya lupa atau lalai. Kalimat as sahwu fi syai’in (السهو في شيئ) mempunyai arti meninggalkan sesuatu dengan tanpa disengaja atau tidak tahu. Sedangkan kalimat as sahwu ‘an syai’in (السهو عن شيئ) mempunyai makna meninggalkan sesuatu dengan sengaja.

Berdasarkan penjelasan istilah, sujud sahwi (سجود السهو) merupakan sujud dengan tujuan untuk menambal kekurangan yang dilakukan waktu shalat tanpa harus mengulangi shalat. Perkara dilakukannya dikarenakan lupa, tidak tahu jumlah rakaat dan ragu-ragu, meninggalkan atau menambahkan sesuatu dalam shalat. Sujud sahwi hukumnya sunah, sebagaimana hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى سَعِيْدِ الْخُدْرِى قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا شَكَّ أََحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا, فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ (رواه أحمد ومسلم)

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kamu ragu dalam shalat, ia sudah mengerjakan tiga atau empat, maka hendaklah dihilangkan keraguan itu dan diteruskan shalatnya menurut yang diyakini, kemudian hendaklah sujud dua kali sebelum salam” (HR. Ahmad dan Muslim).

Adapun secara umum sebab-sebab melakukan sujud sahwi adalah :

a. Ketinggalan/kelupaan baca tasyahud awal atau ketinggalan/kelupaan baca qunut..

b. Kelebihan rakaat, rukuk atau sujudnya karena lupa.

c. Ragu tentang bilangan rakaat yang telah dilakukannya.

Sujud sahwi dilakukan pada saat duduk terakhir setelah tahiyat sebelum salam dan dilakukan dua kali sujud (bukan satu kali sujud sebagaimana yang sebagian orang lakukan). Adapun bacaannya adalah,

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huu

“Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa”

Atau dengan membaca,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

Subhaanaka alloohumma robbanaa wa bihamdika alloohummaghfirlii

“Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami dan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah aku”

Adapun secara fikih sebab-sebab melakukan sujud sahwi adalah,

وأسبابه خمسة ، أحدها ترك بعض .ثانيها : سهو ما يبطل عمده فقط . ثالثها : نقل قولي غير مبطل . رابعها : الشك في ترك بعض معين هل فعله أم لا ؟ خامسها : إيقاع الفعل مع التردد في زيادته 

“Sebab kesunnahan melakukan sujud sahwi ada lima. Yaitu meninggalkan sunnah ab’ad, lupa melakukan sesuatu yang akan batal jika dilakukan dengan sengaja, memindah rukun qauli (ucapan) yang tidak sampai membatalkan, ragu dalam meninggalkan sunnah ab’ad, apakah telah melakukan atau belum dan yang terakhir  melakukan suatu perbuatan dengan adanya kemungkinan hal tersebut tergolong tambahan” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami, juz 4, hal. 495)

Dalam referensi kitab-kitab Syafi’iyah banyak sekali yang menjelaskan bahwa sujud sahwi hanya sebatas kesunnahan, misalnya seperti yang terdapat dalam kitab Dalil al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj,

سجود السهو سنة) مؤكدة ولو في نافلة ما عدا صلاة الجنازة وهو دافع لنقص الصلاة 

“Sujud Sahwi tergolong sunnah muakkad, meskipun pada shalat sunnah, selain pada shalat jenazah. Sujud sahwi ini berfungsi mencegah kekurangan dalam shalat” (Syekh Abu Abdurrahman Rajab Nuri, Dalil al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz 1, hal. 129)

Bahkan Imam Asy-Syafi’i dalam qaul qadim yang tercantum dalam karya monumentalnya, al-Um, menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan sujud sahwi dalam shalat maka tidak wajib mengulang kembali shalatnya, sehingga shalat yang ia lakukan tetap dihukumi sah dan menggugurkan kewajibannya. Sebagaimana beliau jelaskan dalam referensi berikut,

ولا أرى بينا أن واجبا على أحد ترك سجود السهو أن يعود للصلاة 

“Aku tidak berpandangan bahwa wajib bagi orang yang meninggalkan sujud sahwi untuk mengulangi shalatnya” (Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Um, juz 1, hal. 214)

Berbeda halnya ketika meninggalkan sujud sahwi diarahkan pada konteks shalat jamaah. Misalnya seperti ketika imam melaksanakan sujud sahwi, namun makmum tidak mengikuti imam dengan tidak melaksanakan sujud sahwi bersamaan dengan imamnya, maka dalam keadaan demikian shalatnya menjadi batal ketika hal tersebut dilakukan dengan sengaja. Sebab dalam permasalahan ini, batal shalatnya makmum bukan hanya karena ia tidak melakukan sujud sahwi, tapi lebih karena faktor ia tidak mengikuti (mutaba’ah) imam yang merupakan salah satu kewajiban dalam shalat jama’ah. Ketentuan ini sperti yang dijelaskan dalam kitab Kasyifah as-Saja,

فإن سجد إمامه تابعه وجوباً وإن لم يعرف أنه سها حتى لو اقتصر على سجدة واحدة سجد المأموم أخرى، فإن ترك متابعته عمداً بطلت صلاته ثم يعيد السجود مسبوق آخر صلاته لأنه محل سجود السهو، وإن لم يسجد الإمام وسلم المأموم آخر صلاته جبراً لخلل صلاته بسهو إمامه 

"Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak melaksanakan sujud sahwi bukan merupakan hal yang berpengaruh dalam keabsahan shalat, kecuali ketika hal tersebut terjadi pada shalat jamaah, saat imam melaksanakan sujud sahwi, namun orang yang menjadi makmum tidak mengikutinya. Maka dalam keadaan tersebut shalatnya menjadi batal." (Syekh Muhammad an-Nawawi al-Bantani, Kasyifah as-Saja fi Syarh as-Safinah an-Naja, juz 1, hal. 83)

*Sujud Tilawah*

Sujud tilawah artinya sujud bacaan, yakni sujud yang dikerjakan pada saat membaca atau mendengar ayat-ayat sajdah. Apabila seorang imam membaca ayat-ayat sajdah kemudian ia melakukan sujud tilawah, maka makmumnya harus mengikuti sujud, tetapi jika imam tidak melakukan sujud maka makmum tidak boleh sujud. Hukum melaksanakan sujud tilawah adalah sunnah baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ إِعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُوْلُ : يَاوَيْلَتَا أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُوْدِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُوْدِ فَعَصَيْتُ فَلِيَ النَّارُ (رواه أحمد ومسلم)

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila anak Adam membaca ayat sajdah kemudian sujud menghindarlah syetan dan ia menangis seraya berkata, celakalah aku, anak Adam diperintah untuk sujud lantas ia sujud maka baginya surga dan saya diperintah untuk sujud juga tetapi saya tidak mau maka bagi saya neraka” (HR. Ahmad dan Muslim).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَلَ, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ عَلَيْنَاالْقُرْآنَ فَإِذَا مَرَّ بِالسَّجْدَةِ كَبَّرَ وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا مَعَهُ (رواه الترمذى)

Dari Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca Al-Qur’an di depan kami ketika bacaannya sampai pada ayat sajdah beliau bertakbir lalu sujud, maka kami pun sujud bersama-sama dengannya” (HR. At Tirmidzi).

عَنْ عَمْرِ ابْنِ عَاصٍ قَالَ, أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَهُ خَمْسَةَ عَشَرَ سَجْدَةً فِى الْقُرْآنِ, مِنْهَا ثَلاَثٌ فِى الْمُفَصَّلِ وَفِى الْحَجِّ سَجْدَتَانِ (رواه ابوداود وابن ماجه)

Dari Amr bin Ash, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca lima belas ayat tilawah di dalam Al-Qur’an, di antaranya ada tiga belas ayat dalam surat mufashal dan dua ayat dalam surat Al-Hajj” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Adapun ayat-ayat sajdah yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

1. Surat Al A’raf ayat 206, 

إِنَّ ٱلَّذِينَ عِندَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِۦ وَيُسَبِّحُونَهُۥ وَلَهُۥ يَسْجُدُونَ ۩

2. Surat Ar Ra’du ayat 15,

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَٰلُهُم بِٱلْغُدُوِّ وَٱلْءَاصَالِ ۩

3. Surat Al Isra’ ayat 107, 

قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا ۩

4. Surat An Nahl ayat 49, 

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ مِن دَآبَّةٍ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ ۩

5. Surat Maryam ayat 58, 

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْرَٰٓءِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَٱجْتَبَيْنَآ ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُ ٱلرَّحْمَٰنِ خَرُّوا۟ سُجَّدًا وَبُكِيًّا ۩

6. Surat Al Hajj ayat 18, 

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَسْجُدُ لَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَن فِى ٱلْأَرْضِ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ وَٱلنُّجُومُ وَٱلْجِبَالُ وَٱلشَّجَرُ وَٱلدَّوَآبُّ وَكَثِيرٌ مِّنَ ٱلنَّاسِ ۖ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ ٱلْعَذَابُ ۗ وَمَن يُهِنِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَآءُ ۩

7. Surat Al Hajj ayat 77, 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱرْكَعُوا۟ وَٱسْجُدُوا۟ وَٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمْ وَٱفْعَلُوا۟ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ۩

8. Surat Al Furqan ayat 60,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱسْجُدُوا۟ لِلرَّحْمَٰنِ قَالُوا۟ وَمَا ٱلرَّحْمَٰنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا ۩

9. Surat An Naml ayat 26,

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ ۩

10. Surat As Sajdah ayat 15,

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِـَٔايَٰتِنَا ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا۟ بِهَا خَرُّوا۟ سُجَّدًا وَسَبَّحُوا۟ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ ۩

11. Surat Shaad ayat 24,

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ ۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسْتَغْفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ ۩

12. Surat Fushilaat ayat 38,

فَإِنِ ٱسْتَكْبَرُوا۟ فَٱلَّذِينَ عِندَ رَبِّكَ يُسَبِّحُونَ لَهُۥ بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَهُمْ لَا يَسْـَٔمُونَ ۩

13. Surat An Najm ayat 62,

فَٱسْجُدُوا۟ لِلَّهِ وَٱعْبُدُوا۟ ۩

14. Surat Al Insyiqaq ayat 21,

وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ ٱلْقُرْءَانُ لَا يَسْجُدُونَ ۩

15. Surat Al ’Alaq ayat 19.

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَٱسْجُدْ وَٱقْتَرِب ۩

Oleh karena itu ketika seseorang sedang shalat dan membaca salah satu dari 15 ayat diatas maka disunnahkan sujud tilawah sebelum melanjutkan ayat berikutnya. 

Tata cara sujud tilawah diluar shalat ketika seseorang membaca atau mendengar ayat sajdah dan ia berkehendak untuk melakukan sujud tilawah maka yang mesti ia lakukan adalah memastikan dirinya tidak berhadats dan tidak bernajis dengan cara berwudlu dan mensucikan najis yang ada. Setelah itu menghadapkan diri ke arah kiblat untuk kemudian bertakbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan. Setelah berhenti sejenak lalu bertakbir lagi untuk turun bersujud tanpa mengangkat kedua tangan. Setelah sujud satu kali lalu bangun untuk kemudian duduk sejenak tanpa membaca tahiyat dan mengakhirinya dengan membaca salam.

Apakah harus berdiri sebelum melakukan sujud tilawah? Para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam hal ini. Syekh Abu Muhammad, Qadli Husain dan lainnya lebih menyukai sujud tilawah dilakukan dengan cara dimulai dari berdiri dan berniat lebih dahulu. Namun pendapat ini diingkari oleh Imam Haramain dengan mengatakan, “Saya tidak melihat untuk masalah ini adanya penuturan dan dasar.” Apa yang menjadi pendapat Imam Haromain ini dipandang oleh Imam Nawawi sebagai pendapat yang lebih benar dan karenanya yang dipilih adalah tidak berdiri untuk sujud tilawah (lihat Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, (Beirut: Al-Maktab Al-Islamy, 1991), jil. I, hal. 321 – 322).

Adapun bacaan yang sunah dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana disebutkan Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thâlibîn adalah, 

سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ 

Sajada wajhiya lil ladzî khalaqahû wa shawwarahû wa syaqqa sam’ahû wa basharahû bi haulihî wa quwwatihî.

“Wajahku bersujud kepada Dzat yang menciptakannya, yang membentuknya, dan yang memberi pendengaran dan penglihatan, Maha berkah Allah sebaik-baiknya pencipta”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Tirmidzi dan nasa’i)

Juga disunahkan membaca do’a,

اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاقْبَلْهَا مِنِّي، كَمَا قَبِلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ  

“Allâhummaktub lî bihâ ‘indaka ajraa, waj’alhâ lî ‘indaka dzukhran, wa dla’ ‘annî bihâ wizran, waqbalhâ minnî kamâ qabiltahâ min ‘abdika dâwuda ‘alaihis salâm.” 

Namun demikian menurut Imam Nawawi bila yang dibaca adalah do’a yang biasa dibaca saat sujud di waktu shalat maka diperbolehkan. Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 16 November 2020

KAJIAN TENTANG TATA CARA MENGURUS JENAZAH MUTILASI ATAU RUSAK

Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. Allah Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia. 

ثُمَّ أَمَاتَهُۥ فَأَقْبَرَهُۥ

"Kemudian, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur." (QS. Abasa : 21)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ بَيْنَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ أَوْ قَالَ فَأَقْعَصَتْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ أَوْ قَالَ ثَوْبَيْهِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُلَبِّي

Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata, "Ada seorang laki-laki ketika sedang wukuf bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di 'Arafah terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga ia terinjak" atau dia Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata, "Hingga orang itu mati seketika". Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mandikanlah dia dengan air dan (air) yang dicampur daun bidara dan kafanilah dengan dua helai kain, Atau Beliau berkata, dengan dua helai pakaian (ihram) nya dan janganlah diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepala (serban) karena dia nanti Allah akan membangkitkannya pada hari qiyamat dalam keadaan bertalbiyyah". (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

وقال الإمام الشافعي رحمه الله : (حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لا يسع عامتهم، وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية أجزأ إن شاء الله تعالى). الأم (1/312).

"Berkata Imam As-Syafi'i rahimahullah, "Kewajiban manusia atas mayit adalah memandikan, (mengkafankan), menshalatkan dan meeguburkannya. Dan apabila seseorang dari mereka telah melakukan hal itu maka cukuplah insya Allah mendapat pahala." (Al-Umm : 1 hal. 312)

Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Namun dalam keadaan darurat, di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat. Sebagai contoh keadaan dharurat adalah jenazah mutilasi, meninggal karena wabah menular seperti tha'un, korban corona (covid 19), mati yang tidak ketahuan dan tenggelam yang sudah membusuk, atau terbakar, mereka tetap dimandikan bila memungkinkan.

يجب تغسله كما يغسل غيره إذا أمكن ذلك ، فإن لم يمكن فإنه يُيمّم ، لأن التيمم يقوم مقام التغسيل بالماء عند العجز عن ذلك .

"Wajib untuk memandikannya sebagaimana jenazah yang lainnya jika memungkinkan. Namun apabila tidak memungkinkan untuk memandikannya maka ditayamumi. Karena tayamum bisa menggantikan kedudukan pemandian jenazah dengan air yang tidak bisa dilakukan."

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Fatwa tersebut lahir pada 31 Desember 2004 setelah bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2004 silam. Untuk kondisi darurat tersebut, MUI pun berfatwa bahwa jenazah boleh tidak dimandikan saat hendak dikubur. Tapi, apabila memungkinkan, sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meski kafan darurat itu terkena najis.

Tak hanya itu, menurut MUI, mayat boleh dishalatkan sesudah dikuburkan meski dari jarak jauh (shalat ghaib). Boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu'tamad (pendapat yang kuat). Jenazah pun wajib segera dikuburkan. Pemakaman tersebut bisa dilakukan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas. Meski terdiri atas satu atau beberapa liang kubur. Tak hanya itu, dalam kondisi seperti tsunami Aceh, mayat tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.

Terkait cara memandikan dan mengkafani jenazah dharurat korban mutilasi, berikut keterangan ulama madzahb Syafi'i,

Kewajiban kita masih tetap sama dengan janazah lainnya, mengkafani, menshalati dan menguburkannya hanya dalam masalah memandikan diganti dengan tayammum.

قال النووي رحمه الله : إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غسل لتهرى لم يغسل بل ييمم، وهذا التيمم واجب لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم

Imam an-Nawawi rahimahullah menulis, “Apabila tidak memungkinkan untuk memandikan jenazah lantaran langkanya air ataupun jenazah terbakar, maka jenazah tak perlu dimandikan, tetapi cukup ditayamumi. Tayamum ini wajib. Sebab ia adalah upaya mensucikan yang tidak berhubugan dengan menghilangkan najis, sehingga wajib beralih kepada tayamum saat tidak memungkinkan menggunakan air.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, 5/128)

(وَيَلْزَمُ) عَلَى طِرِيْقِ فَرْضِ الْكِفَايَةِ (فِي الْمَيِّتِ)… الْمُسْلِمِ غَيْرِ الْمُحْرِمِ وَالشَّهِيْدِ (أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ غُسْلُهُ وَتَكْفِيْنُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ ) (قَوْلُهُ غُسْلُهُ) أَيْ أَوْ بَدُلُهُ وَهُوَ التَّيَمُّمُ كَمَا لَوْ حُرِقَ بِالنَّارِ وَكَانَ لَوْ غُسِلَ تَهَرَّى .

"Dan wajib menurut secara fardlu kifayah pada mayat yang muslim selain orang yang mati dalam keadaan ihram dan mati syahid (dalam pertempuran membela agama) empat perkara, yaitu: memandikannya, mengkafaninya, melakukan shalat atasnya dan menguburnya. Ucapan pengarang: memandikannya, artinya atau penggantinya, yaitu tayammum, sebagaimana andaikata mayat yang terbakar oleh api dan andaikata dimandikan maka dagingnya terlepas dari tubuhnya." (Al-Bajuri 1/ 242 – 243).

وَإِنْ كان بِحَيْثُ لو غُسِّلَ تَهَرَّى لِحَرْقٍ أو نَحْوِهِ يُمِّمَ بَدَلَ الْغُسْلِ لِعُسْرِهِ

“Apabila janazah dalam keadaan rusak karena terbakar atau lainnya yang andai di mandikan kulitnya akan terkelupas maka janazah tersebut ditayammumi sebagai pengganti dari mandi karena sulitnya melaksanakan pemandian”. (Asna al-Mathalib I/305).

وَلَوْ وُجِدَ جُزْءُ مَيِّتٍ مُسْلِمٍ غَيْرِ شَهِيدٍ صُلِّيَ عَلَيْهِ بَعْدَ غُسْلِهِ وَسُتِرَ بِخِرْقَةٍ وَدُفِنَ كَالْمَيِّتِ الْحَاضِرِ ، وَإِنْ… كَانَ الْجُزْءُ ظُفْرًا أَوْ شَعْرًا لَكِنْ لَا يُصَلَّى عَلَى الشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ

قَوْلُهُ : ( وَلَوْ وُجِدَ جُزْءُ مَيِّتٍ ) أَيْ تَحَقَّقَ انْفِصَالُهُ مِنْهُ حَالَ مَوْتِهِ أَوْ فِي حَيَاتِهِ وَمَاتَ عَقِبَهُ فَخَرَجَ الْمُنْفَصِلُ مِنْ حَيٍّ وَلَمْ يَمُتْ عَقِبَهُ إذَا وُجِدَ بَعْدَ مَوْتِهِ فَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَيُسَنُّ مُوَارَاتُهُ بِخِرْقَةٍ وَدَفْنُهُ .اهـ .

"Bila diketemukan bagian dari janazah orang muslim maka wajib di sholati setelah terlebih dahulu dimandikan dan dibungkus dengan kain, dan juga dikuburkan selayaknya janazah yang hadir, meskipun bagian tersebut hanyalah kuku atau rambut hanya saja bila hanya sehelai rambut tidak perlu disholati.

(Perkataan pengarang “Bila di ketemukan bagian dari janazah orang muslim”) dengan syarat bila diketahui pasti anggota tersebut milik mayit saat ia sudah mati/saat matinya, atau saat hidupnya kemudian mati setelahnya, berbeda dengan bagian tubuh yang terpisah dari orang hidup namun ia tidak mati setelah anggautanya terpisah dan baru diketemukan saat ia mati maka tidak wajib disholati”. [ Hasyiyah Bujairami VI/98, I/455 ].

Menurut ulama madzhab Hambali,

قال ابن قدامة رحمه الله : ( والمجدور , والمحترق , والغريق , إذا أمكن غسله غسل , وإن خيف تقطعه بالغسل صب عليه الماء صبا , ولم يمس , فإن خيف تقطعه بالماء لم يغسل , وييمم إن أمكن , كالحي الذي يؤذيه الماء , وإن تعذر غسل الميت لعدم الماء ييمم , وإن تعذر غسل بعضه دون بعض , غسل ما أمكن غسله , وييمم الباقي , كالحي سواء ) انتهى من المغني 2/209

"Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Jenazah yang terkena virus penyakit berbahaya, orang yang terbakar, dan orang yang tenggelam, jika memungkinkan untuk dimandikan maka harus dimandikan. Namun jika ada halangan lainnya, maka boleh untuk melakukan tayamum bagi si jenazah. Jika tidak didapati air, jenazah ditayamumi. Jika penggunaan air pada sebagian anggota tubuh tidak memungkinkan, maka yang memungkinkan dimandikan/disiram air sedangkan untuk yang tidak terkena siraman air maka jenazah ditayamumi." (Al-Mughni, 2/209).

Adapun menurut ulama madzhab Hanafi adalah,

1. Imam Burhanudin Ibnu Mazah mengatakan,

وإن أوجد شيئاً من أطراف ميت كيد أو رجل أو رأس لم يغسل ولم يصلِ عليه، ولكنه يدفن

"Jika hanya ditemukan potongan tubuh mayit, seperti tangan atau kaki, atau kepala saja, dia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, namun langsung dimakamkan."

Kemudian beliau menyebutkan keterangan dari Imamnya, disebutkan oleh al-Hasan bin Ziyad dari Abu Hanifah, beliau mengatakan,

إذا وجد أكثر البدن غسل وكفن وصلي عليه ودفن. وإن كان نصف البدن، ومعه الرأس غسل وصلي عليه ودفن

"Jika ditemukan potongan tubuh mayat yang lebih utuh, dia dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan. Dan jika ditemukan separoh jasad dan ada kepalanya maka dikafani, dimandikan, dishalati, dan dimakamkan."

Beliau juga mengatakan,

وإن كان مشقوقاً نصفين طولاً، فوجد منه أحد النصفين لم يغسل، ولم يصلِ عليه، ولكنه يدفن لحرمته، وإن كان نصف البدن بلا رأس غسل، ولم يصلِ عليه. وإن كان أقل من نصف البدن ومعه الرأس غسل وكفن ودفن ولا يصلى عليه

“Jika terbelah memanjang separoh, dan ditemukan hanya separohnya, maka tidak dimandikan, tidak dishalati, namun dikubur dalam rangka memuliakan jasadnya. Jika ditemukan separoh jasad melintang tanpa kepala maka dimandikan dan tidak dishalati. Jika kurang dari separoh jasad dan ada kepalanya, dia dimandikan, dikafani, dikuburkan dan tidak dishalati.” (al-Muhith al-Burhani, 2:364).

2. Keterangan dalam Hasyiyah Ibn Abidin,

لو وجد طرف من أطراف إنسان أو نصفه مشقوقا طولا أو عرضا يلف في خرقة إلا إذا كان معه الرأس فيكفن

“Jika ditemukan potongan anggota badan manusia atau ditemukan separoh badan terbelah memanjang atau melintang, cukup dibungkus dengan kain (tidak dimandikan), kecuali jika ada kepalanya maka dia dikafani.” (ar-Raddul Mukhtar, 2:222).

Dari beberapa keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan,

1. Potongan jasad mayat, ada yang disikapi sebagai layaknya manusia utuh dan ada yang disikapi bukan sebagai manusia.

2. Potongan jasad yang disikapi sebagaimana layaknya manusia, wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan sebagaimana layaknya jenazah. Sebaliknya, potongan jasad yang tidak disikapi sebagaimana layaknya manusia, tidak dimandikan dan tidak dishalati, tapi cukup dibungkus dengan kain dan dikuburkan.

3. Potongan yang disikapi sebagai jasad manusia utuh:

- Potongan jasad mayat yang lebih dari separoh, meskipun tanpa kepala

- Potongan kurang dari separoh badan bersama kepala

4. Potongan yang disikapi BUKAN sebagai jasad manusia utuh

- Hanya potongan anggota badan, seperti tangan, kaki

- Hanya potongan separoh tanpa kepala. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 04 November 2020

WALIMAH HADHIMAH (SYUKURAN KEMATIAN)

Mengadakan acara jamuan makan termasuk dalam keutamaan ‘Memberikan makanan kepada orang lain’, apalagi jika yang diundang adalah kaum fakir miskin. Sebagaimana yang kita kenal dengan undangan tasyakkuran, jamuan makan atau walimah. Menurut kamus bahasa arab Mu'jamul Ma'ani Al-'Arab kata walimah berarti,

الوَلِيمَةُ :: كلُّ طعام يُتَّخذ لجَمْع أو لدعوة أو فرح

"Setiap makanan/minuman yang disediakan untuk umum, mengundang orang atau untuk acara menyenangkan."

Allah Ta'ala berfirman,

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرً () إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلا شُكُورًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 8-9).

Seseorang shahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ»

“Islam manakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Kamu memberikan (atau menjamu) makanan dan menyebarkan salam kapada orang yang kamu kenal ataupun yang belum kamu kenal.” (HR. Al-Bukhari: 12, Muslim: 169, an-Nasai: 5000, Abu Dawud: 5194 dan Ibnu Majah: 3253 dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma).

Al-Allamah Syihabuddin al-Qasthalani asy-Syafi’i (wafat tahun 923 H) rahimahullah berkata,

أي هو أن تطعم الطعام فأن مصدرية والتقدير هو إطعام الطعام ولم يقل توكل الطعام ونحوه، لأن لفظ الإطعام يشمل الأكل والشرب والذواق والضيافة والإعطاء وغير ذلك

“Maksudnya adalah bahwa kamu memberikan makanan. Beliau tidak menyatakan ‘memakankan makanan dan lainnya, karena lafazh memberikan (makanan) meliputi makanan, minuman, mencicipi, membuat jamuan, memberikan dan sebagainya.” (Irsyadus Sari li Syarh Shahihil Bukhari: 1/95).

Al-Allamah Abul Hasan al-Mirdawi al-Hanbali (wafat tahun 885 H) rahimahullah berkata,

الأطعمة التي يدعى إليها الناس عشرة. الأول: الوليمة وهي طعام العرس. الثاني: الحذاق وهو الطعام عند حذاق الصبي أي معرفته وتمييزه وإتقانه. الثالث: العذيرة والإعذار لطعام الختان. الرابع: الخرسة والخرس لطعام الولادة. الخامس: الوكيرة لدعوة البناء. السادس: النقيعة لقدوم الغائب. السابع: العقيقة وهي الذبح لأجل الولد على ما تقدم في أواخر باب الأضحية. الثامن المأدبة وهو كل دعوة لسبب كانت أو غيره. التاسع الوضيمة وهو طعام المأتم. العاشر التحفة وهو طعام القادم.

 “Jamuan makan yang mana manusia diundang untuk menghadirinya ada 10. Yaitu: 

*Pertama: Walimah ('Arus),* yaitu jamuan acara pernikahan. 

*Kedua: Hidzaq,* yaitu jamuan ketika seorang anak telah mahir atau tamyiz. 

*Ketiga: Adzirah atau I’dzar* yaitu jamuan makan untuk khitanan. 

*Keempat: Khursah* atau khurs untuk jamuan kelahiran. 

*Kelima: Wakirah* yaitu undangan jamuan setelah membangun (rumah). 

*Keenam: Naqi’ah* yaitu jamuan untuk kedatangan dari safar. 

*Ketujuh: Aqiqah* yaitu penyembelihan untuk anak menurut keterangan. *Kedelapan: Ma’dubah* yaitu setiap undangan jamuan dengan sebab atau tanpa sebab. *Kesembilan: Wadhimah* yaitu jamuan untuk musibah. 

*Kesepuluh: Tuhfah* yaitu jamuan untuk tamu yang datang.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf: 8/233).

الهَضِيمَةُ: طعامٌ يُعمَلُ كرامةً ورحمةً للميِّت

"Hadhimah adalah hidangan masakan sebagai bentuk memulyakan dan mengasihi orang yg telah meninggal (mayit)." (Mu'jamul Ma'ani Al-'Arab) Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 02 November 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MUBAHALAH

 


Beberapa waktu yang lalu paska pilpres 2019 lini masa media sosial sempat viral dengan video "Mubahalah" Nur Sugi Raharja yang akhirnya tenggelam oleh video atau berita yang lebih heboh dan viral lainnya. Nur Sugi Raharja ini oleh banyak kalangan disebut Dus Nur karena sebutan "Gus Nur" yang sempat dilekatkan padanya dinilai tidak layak. Tidak layak disebut Gus karena bukan putra kyai, tidak lahir dari seorang ulama, dan yang lebih membuat tidak layak menyandang gelar "Gus" adalah isi ceramahnya yang tidak mencerminkan ilmu & akhlak islami. Sugi Nur yang pernah melakukan mubahalah dengan sangat emosional melaknat orang-orang di sekeliling Presiden Jokowi. Lantas bagaimana studi keIslaman melihat hal tersebut?

Mubahalah dalam Islam dikenal dan pernah terjadi di zaman Rasul, saat diskusi antara Rasul dengan orang Nasrani perihal kedudukan Isa AS. Dan diabadikan dalam QS. Ali Imran ayat 59-61. Mubahalah itu diajukan Rasulullah kepada kaum Nasrani, dan dilakukan untuk urusan agama untuk kepentingan yang fundamental, menyatakan kebenaran, bukan urusan duniawi dan hawa nafsu serta niatnya tulus. Bukan untuk menggapai kemenangan semata.

Menurut bahasa kata mubahalah [arab: المباهلة] turunan dari kata al-Bahl [arab: البَهْل] yang artinya laknat. Dalam Lisan al-Arab dinyatakan,

البَهْل: اللعن، وبَهَله الله بَهْلاً أي: لعنه، وباهل القوم بعضهم بعضاً وتباهلوا وابتهلوا: تلاعنوا، والمباهلة: الملاعنة.

"Al-Bahl artinya laknat. Kalimat ‘bahalahullah bahlan’ artinya Allah melaknatnya. Kalimat ‘baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha’ artinya saling melaknat satu sama lain. Al-Mubahalah berarti Mula’anah (saling melaknat)."

Memurut istilah adalah,

أَن يجتمع القوم إِذا اختلفوا في شيء فيقولوا لَعْنَةُ الله على الظالم منا 

"Berkumpulnya sekelompok dalam rangka ketika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, lalu mereka berdoa: Semoga laknat Allah atas orang yang zalim di antara kita. (Lisan al-Arab, 11/71)

Imam Ar-Raghib al-Asfahani seorang pakar tata bahasa arab mengatakan,

والبهل والابتهال في الدعاء الاسترسال فيه، والتضرع؛ نحو قوله ـ عز وجل ـ: {ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ} [آل عمران: 61]، ومن فسر الابتهال باللعن فلأجل أن الاسترسال في هذا المكان لأجل اللعن

Al-Bahl dan Ibtihal dalam doa, artinya bersungguh-sungguh tanpa batas dalam berdoa. Seperti disebutkan dalam firman Allah, (yang artinya), “Kemudian kita melakukan ibtihal, dan kita tetapkan laknat Allah untuk orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran: 61). Ulama yang menafsirkan ibtihal dengan laknat karena umumnya orang lepas kontrol ketika itu, disebabkan melakukan laknat. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 63).

Mubahalah termasuk salah satu metode dakwah yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Metode ini digunakan untuk melawan orang kafir dan orang musyrik yang bersikap sombong, dengan tidak mau menerima kebenaran, tetap kukuh di atas kebatilan dan kesesatan. Padahal telah disampaikan dalil-dalil yang sangat jelas, yang menunjukkan kesesatannya.

Imam Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Ishaq dalam sirahnya, bahwa suatu ketika kota Madinah kedatangan tamu orang-orang nasrani dari daerah Najran. Diantara mereka ada 14 orang yang merupakan pemuka dan tokoh agama di Najran. dari 14 orang itu, ada 3 orang yang menjadi tokoh sentral: Aqib, gelarnya Abdul Masih. Dia pemuka kaum, yang memutuskan hasil musyawarah masyarakat. as-Sayid, dia pemimpin rombongan. Nama aslinya al-Aiham. Dan yang ketiga Abul Haritsah bin Alqamah. Dulunya orang arab, kemudian pindah ke Najran dan menjadi uskup di sana.

Ketika mereka sampai di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan shalat asar. Mereka kemudian masuk masjid dan shalat dengan menghadap ke timur.

As-Sayid dan Aqib menjadi jubir mereka di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

قال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم : " أسلما "

“Kalian mau masuk islam?” tanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

قالا قد أسلمنا 

Mereka menjawab, "Kami telah masuk islam,"

قال : " إنكما لم تسلما فأسلما " 

"Sungguh kalian berdua belum masuk islam, berislamlah kalian," Sanggah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

قالا بلى ، قد أسلمنا قبلك

“Kami telah masuk islam sebelum kamu.” Jawab mereka.

قال : " كذبتما ، يمنعكما من الإسلام دعاؤكما لله ولدا ، وعبادتكما الصليب وأكلكما الخنزير "

“Dusta, kalian bukan orang islam disebabkan kalian menganggap Allah punya anak, kalian menyembah salib, dan makan babi.” Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

قالا فمن أبوه يا محمد ؟

“Jika Isa bukan anak Allah, lalu siapa ayahnya?” Tanya mereka

فصمت رسول الله صلى الله عليه وسلم عنهما فلم يجبهما

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diam, tidak menjawab keduanya.

فأنزل الله في ذلك من قولهم وإختلاف أمرهم صدر سورة آل عمران إلى بضع وثمانين آية منها

"Maka Allah menurunkan dari peristiwa tersebut penjelasan mengenai perkataan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, iaitu pada permulaan surah Al Imran sampai dengan lapan puluh ayat lebih darinya..." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/50).

Maka sebab itulah Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam untuk bermubahalah sebagaimana firman-Nya,

إنَّ مَثَلَ عِيسَى عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ . الْـحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلا تَكُن مِّنَ الْـمُمْتَرِينَ . فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

"Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran: 59–61).

Diriwayatkan pula bahwa pada satu ketika datang delegasi Nasrani dari Najran untuk berdialog dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah dalam subjek perbandingan agama antara Nasrani dan Islam. Setelah disampaikan segala hujah yang benar yang tidak mampu dijawab oleh delegasi Nasrani, mereka tetap enggan mengakui kebenaran Islam, apa lagi memeluknya. Keengganan delegasi Nasrani ini menyebabkan Allah swt menurunkan ayat di atas. Sabda Rasulullah saw.

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ جَاءَ الْعَاقِبُ وَالسَّيِّدُ صَاحِبَا نَجْرَانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدَانِ أَنْ يُلَاعِنَاهُ قَالَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ

Dari Hudzaifah ra, berkata; Al-‘Aqib dan as-Sayid dari Najran mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melaknat beliau, Hudzaifah berkata; salah satu dari mereka berkata kepada temannya; ‘Jangan kamu lakukan, Demi Allah, Seandainya dia benar seorang nabi maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita. Kemudian keduanya berkata: wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya kecuali memang orang itu sangat terpercaya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.” Maka para shahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Berdirilah wahai Abu Ubaidah bin Jarrah! ‘ setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah saw bersabda: ‘Dialah orang kepercayaan umat ini. (HR. Bukhari).

Dalam ayat di atas (QS. Ali Imran: 59–61), Allah mengajarkan bahwa ketika bermubahalah, hendaknya orang yang bermubahalah mengumpulkan keluarganya, anak dan istrinya. Mereka didatangkan di majlis mubahalah, kemudian saling mendoakan laknat bagi siapa yang berdusta. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ { تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ } الْآيَةَ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا وَفَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَقَالَ اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلِي

Dari Amir bin a’ad bin Abi Waqqash ra, dari ayahnya berkata, "Ketika turun ayat ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau bersabda, ‘Ya Allah, mereka keluargaku.’ (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).

Tujuan mengumpulkan keluarga, anak, istri ketika mubahalah, bukan menimpakan dampak buruk Mubahalah kepada mereka. Karena dampak buruk dari laknat ketika Mubahalah, hanya mengenai pelaku. Tujuan mengumpulkan mereka adalah untuk semakin meyakinkan dan menunjukkan keseriusan diantara mereka untuk melakukan Mubahalah.

Ibnu Hajar mengatakan,

ومما عُرف بالتجربة أن من باهل وكان مبطلاً لا تمضي عليه سنة من يوم المباهلة، وقد وقع لي ذلك مع شخص كان يتعصب لبعض الملاحدة فلم يقم بعدها غير شهرين

"Berdasarkan pengalaman, orang yang melakukan mubahalah di kalangan pembela kebathilan, tidak bertahan lebih dari setahun sejak hari mubahalah. Itu pernah saya alami sendiri bersama seorang yang memiliki pemikiran menyimpang, dan dia tidak bertahan hidup lebih dari 2 bulan." (Fathul Bari, 8/95).

Ibnu Abbas ra, mengomentari orang Nasrani Najran,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ أَبُو جَهْلٍ لَئِنْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عِنْدَ الْكَعْبَةِ لَآتِيَنَّهُ حَتَّى أَطَأَ عَلَى عُنُقِهِ قَالَ فَقَالَ لَوْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عِيَانًا وَلَوْ أَنَّ الْيَهُودَ تَمَنَّوْا الْمَوْتَ لَمَاتُوا وَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ فِي النَّارِ وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهِلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَرَجَعُوا لَا يَجِدُونَ مَالًا وَلَا أَهْلًا

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata; “Abu Jahal berkata; jika aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di Ka’bah sungguh aku akan mendatanginya hingga aku injak lehernya.” Ia berkata; Ibnu Abbas berkata; “Jika ia melakukannya sungguh Malaikat akan menyambar penglihatannya, seandainya Yahudi mengharap kematian maka pasti mereka akan mati dan melihat tempat duduknya di Neraka. Jika keluar orang-orang yang melaknati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam niscaya mereka akan pulang tanpa mendapatkan harta maupun keluarga.” (HR. Ahmad).

Perlu diketahui, terlalu sering bersumpah dan berjanji adalah sesuatu yang tidak baik, meski kita adalah seorang yang jujur dan selalu menepati janji. Sebagaimana dijelaskan al-Muhasibi dalam kitabnya Risâlah al-Mustarsyidin,

وَلَا تُكْثِرُ الْأَيْمَانَ وَإِنْ كُنْتَ صَادِقًا   

“Dan janganlah sering bersumpah meskipun engkau benar.” (Imam al-Harits al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, halaman 136)

Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah memberi tambahan penjelasan atas nasehat Imam al-Muhasibi di atas. Beliau mengutip suatu perkataan, 

علامة الكاذب جوده بيمينه من غير مستحلف له   

“Alamat seorang pembohong adalah kegemarannya mengobral sumpah tanpa diminta.” (Imam al-Harits al-Muhasibi, Risalah al-Mustarsyidin, Dar el Salam hal. 136). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*