MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 26 Maret 2019

KAJIAN TENTANG HUKUM FIDYAH SHOLAT DAN PUASA


Firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah: 184).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”. (HR. Bukhari no. 4505)

*Definisi Fidyah*

Menurut Ibnu Al-Manzhur dalam Lisan Al-Arab fidyah secara bahasa berarti:

مَالٌ أَوْ نَحْوُهُ يُسْتَنْقَذُ بِهِ الأَسِيرُ أَوْ نَحْوُهُ فَيُخَلِّصُهُ مِمَّا هُوَ فِيهِ

“Harta atau sejenisnya yang dipakai untuk meyelamatkan tawanan atau sejenisnya sehigga dia terbebas darinya”

Sedangkan menurut istilah, Imam Al-Jurjani dalam Ta’rifatnya memberikan penjelasan bahwa fidyah itu adalah:

هِيَ الْبَدَلُ الَّذِي يَتَخَلَّصُ بِهِ الْمُكَلَّفُ مِنْ مَكْرُوهٍ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ

“Pengganti untuk membebaskan seorang manusia mukallaf dari suatu larangan yang berlaku padanya”

Dalam bahasa Arab kata “fidyah” adalah bentuk masdar dari kata dasar “fadaa”, yang artinya mengganti atau menebus. Adapun secara terminologis (istilah) fidyah adalah sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang telah ditinggalkan.

Misalnya, fidyah yang diberikan akibat ditinggalkannya puasa Ramadhan oleh orang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakannya, atau oleh keluarga orang yang belum sempat meng-qadha atau mengganti puasa yang ditinggalkannya (menurut sebagian ulama). Dengan memberikan fidyah tersebut, gugurlah suatu kewajiban yang telah ditinggalkannya.

عَن أَنَس بنِ مَالِك رضي الله عنه أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (HR. Ad-Daruquthni)

Bagi wanita yang tidak bepuasa karena hamil atau menyusui maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya sendiri atau pada diri dan bayinya maka ia hanya wajib mengganti puasanya setelah bulan Ramadhan dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap anak atau bayinya saja maka ia wajib meng-qadha dan membayar fidyah sekaligus.

عن مالك عن نافع أن ابن عمر سئل عن المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة

Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (HR. Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i dan sanadnya sahih)

*Meninggal dan Mempunyai Hutang Puasa*

Untuk mereka yang berbuka puasa karena sakit, lalu setelah sembuh dari sakitnya belum sempat untuk megqadha puasa dan meninggal dunia, maka dalam kondisi seperti ini menurut ulama madzhab selain madzhab Syafi’i menilai bahwa wajib atas atas orang meninggal ini membayar fidyah. 

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُل يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Orang yang wafat dan punya hutang puasa, maka dia harus memberi makan orang miskin (membayar fidyah) satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan.” (HR. At-Tirmidzi)

Ibnu Abbas ra menyatakan:

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سُئِل عَنْ رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ يَصُومُ شَهْرًا وَعَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ . قَال : أَمَّا رَمَضَانُ فَيُطْعَمُ عَنْهُ وَأَمَّا النَّذْرُ فَيُصَامُ عَنْهُ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa beliau ditanya dengan kasus orang yang meninggal dunia dan punya hutang nadzar puasa sebulan dan hutang puasa Ramadhan. Maka Ibnu Abbas menjawab: ”Hutang puasa Ramadhan dibayar dengan membayar fidyah, hutang puasa nadzar dibayar dengan orang lain berpuasa untuknya”

Namun dalam madzhab Syafi’i bagi mereka yang meninggal dunia dan mempunyai hutang puasa maka wajib atas ahli warisnya membayarkan hutang puasa tersebut. Sebagaimana pesan dari Nabi Muhammad SAW,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa yang meninggal dunia dan punya hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

*Hutang Puasa Nadzar*

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

أنّ امرأة ركبَت البحر فنذَرت، إِنِ الله -تبارك وتعالى- أَنْجاها أنْ تصوم شهراً، فأنجاها الله عز وجل، فلم تصم حتى ماتت. فجاءت قرابة لها إِلى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فذكرت ذلك له، فقال: أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟ قالت: نعم، قال: فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فاقضِ عن أمّك

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, "Ada wanita yang naik perahu di tengah laut, kemudian dia bernazar, jika Allah menyelamatkan dirinya maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah menyelamatkan dirinya, namun dia belum sempat puasa sampai mati. Hingga datang putri wanita itu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia menyebutkan kejadian yang dialami ibunya. Lantas beliau bertanya: ‘Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?’ ‘Ya.’ Jawab wanita itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Hutang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Lakukan qadha untuk membayar hutang puasa ibumu.’ (HR. Ahmad 1861, Abu Daud 3308, Ibnu Khuzaimah 2054, dan sanadnya dishahihkan Al-A’dzami).

Juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أنّ سعد بن عبادة -رضي الله عنه- استفتى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: إِنّ أمّي ماتت وعليها نذر فقال: اقضه عنها

Bahwa Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ibuku mati dan beliau memiliki utang puasa nadzar.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lunasi hutang puasa ibumu.’ (HR. Bukhari 2761, An-Nasai 3657 dan lainnya).

*Berapakah Besarnya Fidyah?*

Fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud = 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa (Madzab Syafi'i).

Beberapa pendapat lain tentang besamya fidyah tersebut yakni;

1) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sebesar 2,8 Kg bahan makanan pokok, beras misalnya. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud dari Salmah bin Shakhr, yang menyatakan bahwa dalam peristiwa seorang lelaki berbuat jima' pada siang hari di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW menyuruh lelaki itu untuk memberikan 1 wasaq kurma, dimana 1 wasaq terdiri dari 60 sha, sehingga setiap orang miskin akan mendapatkan kurma sebanyak 1 sha.

2) pendapat yang menyata­kan bahwa besamya fidyah tersebut sebanyak 1/2 sha bahan makanan pokok, dengan dasar hadits riwayat Ahmad dari Abu Zaid Al Madany, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada seorang lelaki yang berbuat dzihar (menyamakan isteri dengan ibunya) untuk memberikan 1/2 wasaq kurma kepada 60 orang miskin, dan

3) pendapat yang menyatakan bahwa besarnya fidyah itu sama dengan fidyah atas orang yang bercukur ketika sedang ihram, yakni sebesar 1/2 sha atau 2 mud.

Tiga pendapat itu dinilai lemah. Dalil-dalil yang kuat menunjukkan besarnya fidyah yang biasa diberikan kepada fakir miskin sekarang ini adalah 1 mud atau 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa.

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia masih dapat bermanfaat untuknya  amalan orang yang masih hidup seperti doa, sadaqah, haji.  Namun ada beberapa amalan yang diperselisihkan seperti fidyah shalat.  Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :

وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَقْضَى الْقُضَاةِ أَبُو الْحَسَنِ الْمَاوَرْدِيُّ البصرى الفقيه الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِهِ الْحَاوِي عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ الْكَلَامِ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ثَوَابٌ فَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَطْعًا وَخَطَأٌ بَيِّنٌ مُخَالِفٌ لِنُصُوصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ فَلَا الْتِفَاتَ إِلَيْهِ وَلَا تَعْرِيجَ عَلَيْهِ

Adapun yang dihikayah oleh Aqzha al-Quzha Abu al-Hasan al-Mawardi al-Bashri al-Faqih al-Syafi’i dalam kitabnya al-Hawi dari sebagian ashhab kalam, bahwa simati tidak dihubungkan pahala apapun setelah kematiannya merupakan mazhab bathil secara pasti dan tersalah serta menyalahi nash-nash al-Kitab, al-Sunnah dan ijmak ummat. Karena itu, tidak boleh memperhatikannya dan memperdulikannya. (Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 133)

*Pendapat Mu’tamad Mazhab Syafi'i*

Menurut pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’i, orang yang sudah meninggal tidak diberikan fidyah. Namun demikian ada ulama dari kalangan Syafi’iyah seperti al-Baghwi dan lainnya yang berpendapat berbeda dengan mazhabnya. Ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini :

1.    Imam al-Nawawi tokoh mazhab Syafi’i dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan,

لَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يَفْعَلْهُمَا عَنْهُ وَلِيُّهُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ بِالْفِدْيَةِ صَلَاةٌ وَلَا اعْتِكَافٌ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ وَالْمَعْرُوفُ مِنْ نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ فِي الام وغيره ونقل الْبُوَيْطِيُّ عَنْ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ فِي الِاعْتِكَافِ يعتكف عنه وليه وفى وراية يُطْعِمُ عَنْهُ قَالَ الْبَغَوِيّ وَلَا يَبْعُدُ تَخْرِيجُ هَذَا فِي الصَّلَاةِ فَيُطْعَمُ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ

Jika seseorang mati dan atasnya ada kewajiban shalat atau i’tikaf, maka tidak dilakukan untuknya oleh walinya dan tidak gugur shalat dan i’tikaf dengan sebab fidyah. Ini yan masyhur dalam mazhab dan ma’ruf dari nash-nash Syafi’i dalam al-Um dan lainnya . Namun al-Buwaithi pernah menaqal dari Syafi’i bahwa beliau mengatakan dalam masalah i’tikaf, mengi’tikaf oleh walinya untuk simati. Dalam satu riwayat,diberikan makanan. Al-Baghwi mengatakan, Tidak jauh untuk ditakhrij (dihubungkan hukumnya) ini kepada shalat, maka diberikan satu mud untuk setiap shalat. (Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 420)

2.    Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim,

وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي كِتَابِهِ التَّهْذِيبُ لَا يَبْعُدُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ ضَعِيفَةٌ وَدَلِيلُهُمُ الْقِيَاسُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ فَإِنَّهَا تَصِلُ بِالْإِجْمَاعِ وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مات بن آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Imam Abu Muhammad al-Baghwi dari kalangan Syafi’yah mengatakan dalam kitabnya al-Tahzib, tidak jauh bahwa diberikan makanan untuk setiap shalat satu mud makanan. Semua pendapat ini dhaif. Dalil mereka adalah qiyas kepada doa, shadaqah dan haji, karena semuanya itu sampai pahalanya dengan ijmak. Dalilnya Imam Syafi’i dan yang setuju dengannya firman Allah : “Tidak ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya dan hadits Nabi SAW : “Apabila mati anak Adam, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara, yakni sadaqah jariah, ilmu yan bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya. (Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah,Juz. I,  Hal. 133-134)

3.    Al-Nawawi mengatakan,

(وَلَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلَاةٌ أَوْ اعْتِكَافٌ لَمْ يَفْعَلْ) ذَلِكَ. (عَنْهُ) وَلِيُّهُ (وَلَا فِدْيَةَ) لَهُ.

Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya,maka walinya tidak boleh melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat. (An-Nawawi dan Qalyubi, Minhaj at-Thalibin dan Hasyiahnya, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 67)

Diantara dalil yang kemukakan ulama-ulama yang berpendapat boleh memberikan fidyah shalat, antara lain :

1.    Hadits Ibnu Abbas,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ

"Dari Ibnu Abbas, mengatakan tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa seseorang untuk orang lain, akan tetapi memberikan makanan untuknya untuk setiap hari satu mud hinthah." (HR. An-Nasa'i) [An-Nasa-i, Sunan al-Nisa-i, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 257, No. 2930]

2.        Hadits Ibnu Umar berbunyi,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُومَنَّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا تَصَدَّقْتَ عَنْهُ أَوْ أَهْدَيْتَ

"Dari Ibnu Umar mengatakan, tidak shalat seseorang untuk orang lain dan tidak berpuasa seseorang untuk orang lain, akan tetapi seandainya kamu melakukannya, maka bersedekahlah atau memberikan hadiah." (HR. Abdurrazaq) [Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61, No. 16346]

Kebolehan memberikan fidyah shalat orang yang sudah meningggal dunia lebih  masyhur dikenal dalam mazhab Hanafi. Bahkan Ibnu ‘Abidin salah seorang ulama mutakhirin Hanafiyah mengatakan memberi fidyah shalat ini hanya ada dalam mazhab Hanafi. Dalam Majmu’ah Rasailnya, beliau mengatakan,

اعلم ان فدية الصلاة مما انفرد بها مذهب ابي حينفة رحمه الله تعالى الذي قاسه مشائخ مذهبه على الصوم واستحسنوه وامروا به

Ketahuilah sesungguhnya fidyah shalat termasuk yang menyendiri mazhab Abu Hanifah rhm, dimana para masyaikh mazhab Abu Hanifah mengqiyasnya kepada puasa dan mereka mengistihsan dan memerintahkannya. (Ibnu Abidin, Majmu’ ah Rasail Ibnu Abidin, Juz. I, Hal. 223)

Dengan demikian, sejauh pernyataan Ibnu Abidin ini, maka mazhab Maliki, Hanbali dan Syafi’i (pendapat mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i sebagaimana penjelasan setelah ini) tidak mengenal pemberian fidyah shalat.

Dalam literatur mazhab Hanafi lainnya, kebolehan memberikan fidyah shalat ini dapat dilihat antara lain :

1.    Al-Sarkhasi tokoh mazhab Hanafi mengatakan,

وَعَلَى هَذَا إذَا مَاتَ، وَعَلَيْهِ صَلَوَاتٌ يُطْعِمُ عَنْهُ لِكُلِّ صَلَاةٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ حِنْطَةٍ وَكَانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ يَقُولُ أَوَّلًا: يُطْعِمُ عَنْهُ لِصَلَوَاتِ كُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ عَلَى قِيَاسِ الصَّوْمِ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: كُلُّ صَلَاةٍ فَرْضٌ عَلَى حِدَةٍ بِمَنْزِلَةِ صَوْمِ يَوْمٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ

Berdasarkan ini, apabila seeorang mati dan diatasnya ada kewajiban shalat, maka diberikan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya setengah sha’ hinthah. Muhammad bin Muqatil mengatakan, pertama : diberikan makanan untuk simati karena semua shalat setiap satu hari setengah sha’ dengan jalan qiyas kepada puasa, kemudian beliau ruju’ dari pendapat tersebut dan mengatakan, setiap shalat fardhu atas hitungan sama dengan puasa satu hari. Ini pedapat shahih. (Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 90)

2.    Ibnu Abidin tokoh mazhab Hanafi mengatakan,

قَالَ فِي الْفَتْحِ وَالصَّلَاةُ كَالصَّوْمِ بِاسْتِحْسَانِ الْمَشَايِخِ. وَجْهُهُ أَنَّ الْمُمَاثَلَةَ قَدْ ثَبَتَتْ شَرْعًا بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْإِطْعَامِ وَالْمُمَاثَلَةُ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ ثَابِتَةٌ وَمِثْلُ مِثْلِ الشَّيْءِ جَازَ أَنْ يَكُونَ مِثْلًا لِذَلِكَ الشَّيْءِ وَعَلَى تَقْدِيرِ ذَلِكَ يَجِبُ الْإِطْعَامُ وَعَلَى تَقْدِيرِ عَدَمِهَا لَا يَجِبُ فَالِاحْتِيَاطُ فِي الْإِيجَابِ

Pengarang al-Fath mengatakan, shalat seperti puasa dengan jalan istihsan para masyaikh. Jalan istihsannya sesungguhnya kesamaaan antara puasa dan memberikan makanan telah shahih ada pada syara’, sedangkan kesamaan antara shalat dan puasa juga shahih ada pada syara’. Adapun yang sama dengan yang sama dengan sesuatu boleh sama dengan sesuatu tersebut. Berdasarkan ini, maka wajib memberikan makanan dan berdasarkan tidak sama, maka tidak wajib. Namun ihtiyathnya wajib. (Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar ala Dar al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 245) Wallahu a'lam bis-Shawab

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar