Salah satu keunikan jamaah Haji Indonesia adalah usai mereka menunaikan rukun Islam yang kelima ini mereka mendapat gelar baru yaitu haji. Sehingga tetangga kanan kirinya pun memanggil mereka dengan panggilan yang ditambahi dengan kata haji untuk yang laki-laki, dan kata hajjah untuk yang perempuan. Lantas bagaimana jika panggilan "Haji/Hajah" diucapkan kepada orang yang belum haji atau orang yang sudah umroh?
Hukum memanggil orang yang belum haji dengan sebutan "Haji" atau "Hajjah" adalah tidak diperbolehkan dalam Islam karena dianggap sebagai kebohongan atau dusta, terutama jika panggilan tersebut ditujukan untuk memuliakan orang tersebut.
Sebagian besar ulama, terutama dalam mazhab Syafi'i, mengharamkan panggilan "Haji" atau "Hajjah" bagi orang yang belum berhaji, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Panggilan tersebut dianggap haram karena merupakan kebohongan atau dusta, sebab orang yang dipanggil belum melaksanakan ibadah haji. Kecuali jika panggilan tersebut dimaksudkan secara harfiah, misalnya "Pak Haji" sebagai panggilan untuk orang yang hendak menuju shalat berjamaah, maka hukumnya diperbolehkan.
Juga seorang pedagang di pasar terbiasa memanggil pelanggan yang memakai peci putih atau kerudung dengan sebutan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" tanpa mengetahui status hajinya, maka sebaiknya niatkan panggilan tersebut secara harfiah untuk mendoakan agar bisa menunaikan ibadah haji atau sebagai bentuk penghormatan sebagaimana di Makkah dan Madinah jamaah umroh pun dipanggil dengan sebutan "Pak Haji/Bu Janji (Hajji/Hajjah)".
Sebaiknya, umat Islam tidak terlalu terpaku pada gelar "Haji" atau "Hajjah" karena yang terpenting adalah niat ikhlas dalam beribadah dan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan sekadar gelar.
Imam Romli dalam kitab karyanya Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj beliau menyampaikan,
(فرع استطرادي) وقع السؤال عما يقع كثيرا في مخاطبات الناس بعضهم لبعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيما له هل هو حرام أو لا ؟ والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب ، إن معنى يا حاج : يامن أتى بالنسك على الوجه المخصوص .
نعم إن أراد بيا حاج المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحا ، كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة.
(Cabang yang menyimpang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam percakapan orang-orang satu sama lain, yaitu menyebut seseorang yang belum berhaji dengan sebutan "Hai, haji Fulan" sebagai penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah tampaknya haram karena itu adalah kebohongan. Arti dari "Hai, haji" adalah "Wahai yang telah melaksanakan ibadah haji dengan cara yang khusus."
Namun, jika maksud dari "Hai, haji" adalah arti secara bahasa dan dimaksudkan dengan makna yang benar, seperti "Hai, haji, wahai yang berniat pergi ke sini" seperti jamaah atau lainnya, maka tidak ada larangan." (Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihabuddin Ar-Ramli juz 3 hal.242 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)
Juga diperkuat oleh Imam Jamal dalam kitab Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj beliau mengatakan,
(فرع) وقع السؤال عما يقع كثيراً في مخاطبات الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيماً له هل هو حرام أولا والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب لأن معنى يا حاج فلان يا من أتى بالنسك على الوجه المخصوص نعم إن أراد بيا حاج فلان المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحاً كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة اهـ
"(Cabang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam komunikasi antara orang-orang, yaitu ketika mereka mengatakan kepada seseorang yang belum melaksanakan haji, 'Hai haji fulan' sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah bahwa tampaknya itu haram karena dianggap sebagai kebohongan, karena makna 'Hai haji fulan' adalah 'Hai, orang yang telah melaksanakan ibadah haji' dengan cara tertentu. Namun, jika yang dimaksud dengan 'Hai haji fulan' adalah makna bahasa dan ditujukan dengan niat yang benar, seperti 'Hai haji, hai yang berniat menuju ke tempat tertentu, seperti kelompok atau lainnya,' maka tidak ada larangan." (Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj, Sulaiman bin Umar bin Mashur Al-Ajili Al-Mashur Asy-Syafi'i Al-Ma'ruf bi Jamal juz 4 hal.5 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)
Pada dasarnya penggunaan nama panggilan "Haji/Hajjah atau panggilan lain misal panggilan laqab atau julukan sepanjang mengandung arti baik atau maksud mendoakan serta disukai oleh pemilik namanya, dalam ajaran Islam merupakan hal yang dibolehkan. Seperti para sahabat yang memiliki julukan tertentu setelah namanya.
Sebagai contoh, sahabat Abu Bakar memiliki julukan Al-‘Atiq yang berarti terbebas dari api neraka, sahabat Umar bin Khattab yang dijuluki Al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan), sahabat Khalid bin Walid yang dijuluki Saifullah (pedang Allah) dan selainnya. Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menyatakan,
وَاتَّفَقُوا عَلَى اسْتِحْبَابِ اللَّقَبِ الَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ فَمِنْ ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ
“Para ulama sepakat bahwasanya dianjurkan memanggil seseorang dengan julukan yang disukai oleh si empunya, diantaranya ialah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Abdullah bin Utsman di juluki ‘Atiq.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], juz. 8, hal.441). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar