MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 24 November 2015

CARA BERSEDEKAP SESUAI SUNNAH DALAM SHOLAT


Setelah kita baca pendapat para ulama terkait dimana tangan diletakkan ketika shalat, kita akan bicarakan dalil mereka. Para ulama memang berbeda dalam masalah ini. Tapi perlu dicatat, para ulama salaf yang benar-benar salaf terdahulu, tidak saling menyalahkan hasil ijtihad satu sama lain. Hal itu karena memang hukum dari bersedekap sendiri ini sunnah, boleh dilakukan boleh juga ditinggalkan.

Maka, paling tidak ada beberapa sebab perbedaan diatara para ulama; pertama terkait status keshahihan hadits, kedua terkait makna dari hadits tersebut.

Secara umum, banyak yang menyebut bahwa dalil-dalil dalam kaitan dimanakah tangan diletakkan itu haditsnya lemah.

Ibnu al-Mundzir (w. 319 H) menyebutkan:          

ليس في المكان الذي يضع عليه اليد خبر يثبت، عن النبي صلى الله عليه وسلم، فإن شاء وضعهما تحت السرة، وإن شاء فوقها

Dalam kaitan dimana tangan diletakkan saat shalat, tidak ada hadits yang berstatus shahih dari Nabi. Silahkan letakkan diatas atau dibawah pusar. (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94)

Maka sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) bahwa; ada sebagian ulama yang meletakkan diatas pusar, sebagian lain lagi dibawah pusar. Ini adalah masalah yang luas diantara mereka. (Muhammad bin Isa at-Tirmidzi w. 279 H, Sunan at-Tirmidzi, h. 2/ 32).

Kadang sebuah masalah sepele menjadi tidak sepele ditangan orang-orang sepele. Keluasan pendapat menjadi sebuah hal yang sempit bagi orang-orang yang berpemikiran sempit. Hukum fiqih yang asalnya luas dan boleh berbeda, menjadi yang berbeda pasti salah.

Dalil Masing-Masing Madzhab

Dalil Tidak Meletakkan Tangan

Dalil yang dipakai ulama yang menyatakan bahwa sunnahnya malah tidak bersedekap adalah sebuah hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة رفع يديه حتى يحاذي منكبيه، ثم كبر، واعتدل قائما حتى يقر كل عظم في موضعه معتدلا

Rasulullah dahulu ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai sebatas kedua bahu beliau. Lalu beliau takbur dan berdiri tegak sampai setiap tulang kembali ke tempat asalnya. (Ibn Huzaimah w. 311, Shahih Ibn Huzaimah, h. 1/ 359)

Tempat asal tulang tangan tidaklah diatas dada atau dibawah pusar. Maka setelah orang itu takbir, tangan kembali ke posisi semula, artinya tidak bersedekap. Inilah penafsiran dari sebagaian ulama madzhab Maliki. Meski masih diperdebatkan kesahihan penisbatannya kepada Imam Malik bin Anas (w. 179 H). Tapi pendapat ini dibantah dengan hadits-hadits yang shahih yang menyatakan bahwa Nabi bersedekap ketika shalat.

Dalil Meletakkan Tangan Dibawah Pusar

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ الْأَكُفِّ عَلَى الْأَكُفِّ تَحْتَ السُّرَّةِ

“Sesungguhnya dari Sunnah dalam sholat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar”.

Diriwayatkan oleh Ahmad, h. 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah, h. 1/343/3945, Ad-Daraquthny, h. 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid, h. 20/77. Dan dalam sanadnya ada rawi yang  bernama ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya sebagaimana di dalam Nashbur Rayah (Jamaluddin az-Zailaghi w. 762 H, Nushbu ar-Rayah, h. 1/314, lihat pula: an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/313).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ مِنَ السُّنَّةِ
“Meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di dalam sholat di bawah pusar adalah sunnah”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dan dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity di atas.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Termasuk akhlaq-akhlaq kenabian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar”.
Ibnu Hazm menyebutkannya secara Mu’allaq (tanpa sanad) dalam kitab Al-Muhalla, h. 4/157. Hampir semua dalil pendapat ini ada kelemahannya.

Dalil Meletakkan Tangan diantara Dada dan Pusar

Hadits yang dipakai oleh Madzhab as-Syafi’iyyah adalah hadits Wa’il bin Hujr yang akan dibahas dibawah. (Abu Ishaq as-Syairazi w. 476 H, al-Muhaddzab, h. 1/ 136, lihat pula: an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/ 310).

Hanya saja, dalil itu dimaknai tidak pas diatas dada. Tetapi dibawah dada dan diatas pusar. Sebagaimana hadits lain riwayat Imam al-Baihaqi (w. 458 H):

وأخبرنا أبو زكريا بن أبي إسحاق، أنبأ الحسن بن يعقوب، ثنا يحيى بن أبي طالب، أنبأ زيد، ثنا سفيان، عن ابن جريج، عن أبي الزبير قال: " أمرني عطاء أن أسأل، سعيدا: أين تكون اليدان في الصلاة؟ فوق السرة أو أسفل من السرة؟ فسألته عنه، فقال: " فوق السرة " يعني به سعيد بن جبير وكذلك قاله أبو مجلز لاحق بن حميد وأصح أثر روي في هذا الباب أثر سعيد بن جبير وأبي مجلز

Dari Abu Zubair, dia berkata: saya diperintahkan Atha’ untuk bertanya kepada Said, dimanakah tangan diletakkan saat shalat? Diatas pusar atau dibawahnya? Maka beliau menjawab: Diatas pusar. Al-Baihaqi mengomentari: Atsar yang paling shahih pada bab ini adalah atsar dari Said bin Jubair ini. (Abu Bakar al-Baihaqi w. 458 H, as-Sunan al-Kubro, h. 2/ 47).

Selanjutnya, apakah benar bahwa hadits tentang tangan diatas dada itu shahih?

Dalil Meletakkan Tangan Diatas Dada

Hadits Muammal bin Ismail

Dalam menjelaskan sifat shalat Nabi, hadits Shahabi Wa’il bin Hujr memang banyak sekali dijadikan patokan dalil oleh para ulama. Hal itu karena memang haditsnya cukup lengkap.

Wa’il bin Hujr adalah seorang shahabat Nabi dari Hadhramaut, Yaman. (Syamsuddin ad-Dzahabi w. 748 H, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 2/ 572).

Ada komentar menarik dari Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) terhadap Wa’il bin Hujr terkait hadits shalat Nabi. Ibrahim an-Nakhai berkata:

قال إبراهيم النخعي لرجل روى حديث وائل بن حجر: لعل وائلا لم يصل مع النبي - صلى الله عليه وسلم - إلا تلك الصلاة

Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) berkata kepada seorang yang meriwayatkan hadits dari Wa’il bin Hujr: Barangkali Wa’il tidak pernah shalat bersama Nabi kecuali hanya sekali itu saja.(Abu Muhammad Abdullah Ibn Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 358)

Tapi ini masih praduga dari Ibrahim an-Nakhai (w. 96 H) saja. Terlepas dari itu, terkait meletakkan tangan saat shalat, hadits yang cukup panjang dari seorang Shahabi Wa’il bin Hujr memang banyak yang shahih. Misalnya: dalam kitab Shahih Muslim, h. 1/ 301, KitabMusnad Ahmad, h. 31/ 168, dan masih banyak lagi.
Tetapi dari sekian banyak riwayat itu, hampir tidak ada yang menyebutkan bahwa meletakkan tangannya adalah “diatas dada”.

Jikapun ada, maka hadits itu hanya diriwayatkan melalui jalan Muammal bin Ismail (w. 206 H). Hadits tersebut adalah:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ

“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau meletakkan tangan kanannya  atas tangan kirinya di atas dadanya”.
Catatan:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah di dalam Shohih-nya, h. 1/243 no. 479 dari jalan Abu Musa (Al-‘Anazy) dari Muammal (bin Isma’il) dari Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H) dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Wa`il bin Hujr radhiallahu ‘anhu.

Riwayat dari Muammal bin Ismail ini mempunyai catatan tersendiri. Tambahan “diatas dada” ini hanya ada pada riwayat Muammal bin Ismail saja. Dalam riwayat lain tidak disebutkan seperti itu.

Sedangkan dia menyelisihi 2 orang rawi lainnya yang meriwayatkan juga dari Sufyan ats-Tsaury; yaitu:
  1. ‘Abdullah bin Al-Walid (diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318)
  2. Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby (Al-Mu’jamul Kabir/Ath-Thobarony no. 78).
Dan Muammal bin Ismail (w. 206 H) juga meyelisihi 10 orang rawi yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib, kesepuluh orang tersebut adalah:
  1. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, h. 4/316 dari jalan Yunus bin Muhammad darinya, Imam Al-Baihaqy dalam kitab Sunan-nya, h. 2/72 dari jalan Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdan dari Ahmad bin ‘Ubeid Ash-Shoffar dari ‘Utsman bin ‘Umar Adh-Dhobby dari Musaddad darinya.
  2. ‘Abdullah bin Idris, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam Shohih-nya (Al-Ihsan 3/308/hadits no. 1936) dari jalan Muhammad bin ‘Umar bin Yusuf dari Sallam bin Junadah darinya (‘Abdullah bin Idris).
  3. Abu ‘Awanah, diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobarany dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir,22/34/90 dari 2 jalan ; Dari jalan ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz dari Hajjaj bin Minhal darinya, dan dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
  4. Bisyr bin Al-Mufadhdhol, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dalam Sunan-nya, h. 1/456 no. 726, 1/578 no. 957 dari jalan Musaddad darinya (Bisyr bin Al-Mufadhdhol) dan An-Nasa`i dalam Sunan-nya, h. 3/35 hadits no. 1265 dari jalan Isma’il bin Mas’ud darinya.
  5. Ghailan bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany, h. 22/34/88 dari jalan Al-Hasan bin ‘Alil Al-‘Anazy dan Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Ashbahany dari Abu Kuraib dari Yahya bin Ya’la dari ayahnya darinya.
  6. Kholid bin Abdullah Ath-Thohhan, diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy dalam Sunan-nya, h. 2/131 dari 2 jalan; yaitu dari jalan Abu Sa’id Muhammad bin Ya’qub Ats-Tsaqofy dari Muhammad bin Ayyub dari Musaddad darinya, dan dari jalan Abu ‘Abdillah Al-Hafizh dari ‘Ali bin Himsyadz dari Muhammad bin Ayyub dan seterusnya seperti jalan di atas.
  7. Qois Ar-Robi’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir, h. 22/34/79 dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
  8. Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, diriwayatkan oleh: Imam Abu Daud Ath-Thoyalisy di dalam Musnad-nya, h. 137/hadits 1060 darinya dan Ath-Thobrany (Al-Mu’jamul Kabir 22/34/80) dari jalan Al-Miqdam bin Daud dari Asad bin Musa darinya.
  9. Zaidah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318 dari jalan ‘Abdushshomad darinya.
  10. Zuhair bin Mu’awiyah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, h. 4/318 dari jalan Aswad bin ‘Amir darinya dan Ath-Thobarany di dalam Al-Mu’jamul Kabir, 22/26/84 dari jalan ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz dari Abu Ghossan Malik bin Isma’il darinya.
Jadi, hanya riwayat dari jalan Muammal bin Ismail (w. 206 H) saja yang ada tambahan“diatas dada” dan menyelisihi matan hadits dari jalan lain yang lebih tsiqah.

Muammal bin Isma’il (w. 206 H) sendiri adalah rowi yang dikritisi hafalannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam kitab Taqrib at-Tahdzib memberikan kesimpulan: “Shoduqun Sayyi`ul Hifzh”; seorang yang shaduq tetapi hafalannya jelek. (Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852 H, Taqrib at-Tahdzib, h. 555)

Ibnu at-Turkumani (w. 750 H) menyebutkan alasan Muammal bin Ismail (w. 206 H) ini banyak salah dalam meriwayatkan hadits, karena kitab-kitabnya dikubur. Maka dia meriwayatkan hanya berdasarkan hafalannya saja. Padahal hafalannya lemah, maka dia banyak salahnya. (Ibnu at-Turkumani w. 750 H, al-Jauhar an-Naqiy, h. 2/ 30)

Ada jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalamSunan-nya, h.2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhromy dari Sa’id bin ‘Abdil Jabbar bin Wa`il dari ayahnya dari ibunya dari Wa`il bin Hujr.

Tetapi terdapat beberapa kelemahan didalamnya. Diantaranya Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzhaby (w. 748 H) dalam kitab Mizan al-I’tidal, h. 3/ 511 mengatakan: “Lahu manakir (Meriwayatkan hadits-hadits mungkar)”.

Sa’id bin ‘Abdul Jabbar di dalam kitab At-Taqrib disebutkan bahwa ia adalah rawi dho’if, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Mizzi (w. 742 H) dalam kitab Tahdzib al-Kamal, h. 10/ 522. Selain itu, Ibnu Turkumany (w. 750 H) mengomentari Ibu dari Abdil Jabbar dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqy, h. 2/ 30: “Saya tidak tahu keadaan dan namanya”.
Kesimpulan:
Hadits yang menunjukkan bahwa tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri pada dada adalah lemah dari seluruh jalannya dan tidak bisa saling menguatkan. Wallahu A’lam.

Hadits Yahya bin Said dari Hulb at-Thai’y:

حدَّثنا يحيى بن سعيد، عن سفيان، ثنا سِماك، عن قبيصة بن هلب، عن أبيه، قال: رأيتُ رسولَ الله -صلى الله عليْه وسلَّم- ينصرِف عن يَمينِه وعن يساره، ورأيتُه يضَع هذه على صدره
“Saya melihat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam meletakkan ini (tangannya) di atas dadanya”.
Qobishoh bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari sebagian ulama, tetapi tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin Harab. Imam Ibnu Hajar (w. 852 H) berkata di dalam At-Taqrib : “Maqbul”, artinya riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka riwayatnya lemah.
Tetapi riwayat yang hasan tersebut tanpa ada tambahan lafazh: “Meletakkan tangannya di atas dada”.
Catatan:
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/226) dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434, dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Qoththon dari Sufyan Ats-Tsaurydari Simak bin Harb dari Qobishoh bin Hulb dari Hulb.

Hadits ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tho’iy oleh anaknya Qobishoh dan dari Qobishoh hanya oleh Simak bin Harb selanjutnya dari Simak bin Harb diriwayatkan oleh 6 orang, yaitu:
  1. Sufyan Ats-Tsaury, akan disebutkan takhrijnya.
  2. Abul Ahwash, diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 252, Ibnu Majah no. 809, Ahmad 5/227, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id Al-Musnad 5/227, Ath-Thobrony 22/165/424, Al-Baghawy 3/31 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq.
  3. Syu’bah bin Al-Hajjaj, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 2495 dan Ath-Thobarany 22/163/416.
  4. Syarik bin ‘Abdillah, diriwayatkan oleh Ahmad 5/226, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsanyno. 2493, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 3/198, Ath-Thobarony 22/16/426 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/73
  5. Asbath bin Nashr, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/422.
  6. Hafsh bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/423.
  7. Za`idah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 3/198.
Dari ketujuh orang ini tidak ada yang meriwayatkan lafazh: “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya” kecuali riwayat Yahya bin Sa’id Al-Qoththon dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, h. 5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.

Selain itu, dari Qabishah hanya Simak bin Harb yang meriwayatkan hadits ini. Meskipun banyak ulama yang mengatakan tsiqah Simak bin Harb; seperti Abu Hatim, Ibnu Ma’in, tetapi Imam an-Nasa’i berkata:

قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ النَّسَائِيُّ: إِذَا انْفردَ سِمَاكٌ بِأصلٍ لَمْ يَكُنْ حُجّةً

Abu Abdirrahman an-Nasai berkata: Ketiak Simak bin Harb menyendiri dalam sebuah hukum asal, maka dia tidak bisa menjadi hujjah. (Syamsuddin ad-Dzahabi w. 748 H, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 5/ 248)

Yahya bin Sa’id Al-Qoththon juga bersendirian dalam meriwayatkan lafazh tersebut dan menyelisihi 5 rowi tsiqoh lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dimana ke-5 orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh: “Meletakkannya di atas dada”. Dan ke-5 rowi tersebut adalah:
  1. Waki’ bin Jarrah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/342/3934, Ahmad 5/226, 227, Ibnu Abi ‘Ashim no. 2494, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Baihaqy 2/29, Al-Baghawy 3/32 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam  AT-Tamhid 20/74.
  2. ‘Abdurrahman bin Mahdy diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny 1/285.
  3. ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushonnaf 2/240/3207 dan dari jalannya Ath-Thobarany 22/163/415
  4. Muhammad bin Katsir diriwayatkan oleh Ath-Thobarany 22/165/421.
  5. Al-Husain bin Hafsh diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/295.
Kesimpulan:
Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh: “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lainnya seperti: Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah dan Hafsh bin Jami’.

Perlu diketahui juga, Yahya bin Said al-Qathan dalam fiqih malah mengikuti Madzhab Hanafi. Az-Zirikly (w. 1396 H) menyatakan:

يحيى بن سعيد بن فروخ القطان التميمي، أبو سعيد: من حفاظ الحديث، ثقة حجة. من أقران مالك وشعبة، من أهل البصرة. كان يفتي بقول أبي حنيفة

Yahya bin Said seorang yang hafidz, tsiqah. Sezaman dengan Imam Malik dan Syu’bah dari Bashrah. Beliau berfatwa dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah (Khoiruddin az-Zirikly, al-A’lam, h. 8/ 147, lihat pula: Syamsuddin ad-Dzahabi w. 748 H, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 9/ 176)

Madzhab Abu Hanifah dalam hal ini meletakkanya dibawah pusar. Ditambah lagi, Sufyan at-Tsauri dalam masalah ini juga mengikuti Madzhab Hanafi yaitu dibawah pusar. (Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir w. 319 H, al-Ausath fi as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, h. 3/ 94).

Maka jelaslah bahwa riwayat tersebut terdapat kesalahan sehingga riwayat tersebut dihukumi sebagai riwayat yang Syadz (ganjil) atau Mudraj. Tapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal kesalahan ini dan kepada siapa ditumpukan. Wallahu A’lam.

Dalil ketiga, hadits Mursal Thawus bin Kaisan (w. 101 H), dia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengeratkannya di atas dadanya dan beliau dalam keadaan Sholat”.
Catatan:
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya As-Sunan, h. 2/ 71 no. 759 dan dalam Al-Marasil, h. 85 dari jalan Abu Taubah dari Al-Haitsam bin Humaid dari Tsaur bin Zaid dari Sulaiman bin Musa dari Thowus. Dan sanadnya shohih kepada Thowus tapi haditsnya mursal dan mursal bagian dari hadits yang lemah. Kecuali jika memang ada riwayat lain yang bisa menguatkannya.

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”. (QS. Al-Kautsar: 2)

Ali bin Abi Thalib disebutkan pernah berkata: 

وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى وَسَطِ سَاعِدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ وَضَعَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ فِي الصَّلاَةِ

“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas sa’id (setengah jarak pertama dari pergelangan ke siku) tangan kirinya, kemudian meletakkan keduanya di atas dadanya di dalam sholat”.

Atsar ini dikeluarkan oleh: Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya, h. 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh-nya, h. 3/2/437 dan Al-Baihaqy, dalam Sunan-nya, h. 2/30.
Catatan:
Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam Tafsirnya mengatakan: “Tidak benar (atsar) ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholib”. (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi w. 774 H, Tafsir Ibnu Katsir, h. 8/ 503).

Ibnu Turkumany (w. 750 H) dalam Al-Jauhar An-Naqy berkomentar: “Di dalam sanad dan matannya ada kontradiksi”. (Ibnu at-Turkumany w. 750 H, al-Jauhar an-Naqiy, h. 2/ 30)

Berikut ini rincian lemah dan kontradiksinya atsar ini:

Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf, h. 1/343, Ad-Daraquthny, h. 1/285, Al-Hakim, h. 2/586, Al-Baihaqy, h. 2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih Auham Al-Jama’ wa At-Tafriq 2/340.

Semuanya tidak ada yang menyebutkan kalimat: “di atas dada”, bahkan riwayat Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463 H) dalam At-Tamhid malahan dengan lafazh: “di bawah pusar”. (Ibnu Abdil Barr w. 463 H, at-Tamhid, h. 20/ 78)

Sandaran atsar ini pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin Al-‘Ujaj Al-Jahdary. Dan dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia adalah seorang rawi yang maqbul ‘Ashim ini kontradiktif dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhohir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhobyan, kadang dari ‘Uqbah bin Shohban dan kadang dari ayahnya dari ‘Uqbah bin Zhobyan. (ad-Daraquthni w. 385 H, ‘Ilal, h. 4/98-99).

Maka atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir (w. 774 H) juga menyebutkan dalam tafsirnya bahwa atsar ini menyelisihi kebanyakan Mufassirin (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi w. 774 H,Tafsir Ibnu Katsir, h. 8/ 503). Wallohu a'lam bis-Showab dan semoga bermanfa'at. Aamiin

Ust. Hanif Luthfi, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar