MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 20 Maret 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MERENGGANGKAN SHAF KARENA DARURAT VIRUS CORONA


Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan atau rasa takut dan kekhawatiran tertular wabah penyakit yang menular dan mematikan seperti virus corona yang sudah menelan banyak korban jiwa.

Ulama bersilang pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama semisal Imam As-Suyuthi memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.” (QS. Al-An'am : 119)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 173)

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم

“Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 3).

Di antara landasan kaidah ini dari hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa datang seoramg laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِى قَالَ « فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِى قَالَ « قَاتِلْهُ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِى قَالَ « فَأَنْتَ شَهِيدٌ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ قَالَ « هُوَ فِى النَّارِ »

“Ya Rasulallah, apa pendapat engkau apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.” (HR. HR. Bukhari: 6888, dan Muslim: 2158)

Imam al-Zuhailiy menganggap bahwa kaidah darurat yang dianggap penting ada 8, yaitu :

المشقة تجلب التيسير

1. "(Kesulitan itu menarik kemudahan)"

Kaidah ini memberi penjelasan bahwa kesulitan itu menjadi sebab bagi kemudahan, dan mengharuskan adanya toleransi di waktu kesempitan. Berdasarkan ini, maka yang dimaksud kesulitan (masyaqqah) di sini adalah kesulitan yang menghendaki adanya keringanan dan di luar dari kebiasaan.

إذا ضاق الأمر اتسع

2. "(Apabila timbul kesukaran maka hukumnya menjadi lapang)"

Pengertian kaidah tersebut adalah bahwa terjadi masyaqqah, sedangkan orang yang merasa sempit karena adanya ketetapan hukum syarak dalam keadaan biasa, maka mereka dibenarkan mengambil rukh¡ah tak terikat dengan kaidah-kaidah umum yang bersifat menyeluruh.

الضرورة تبيح المحظورات

3. "(Darurat itu menghilangkan larangan)"

Artinya keadaan-keadaan darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak itu membuat seseorang boleh mengerjakan yang terlarang dalam syarak.

الضرورة تقدر بقدرها

4. "(Darurat itu dinilai berdasarkan kadarnya)"

Pengertian kaidah ini adalah setiap hal yang dibolehkan karena darurat itu, baik itu berwujud pelaksanaan perbuatan dan meninggalkan perbuatan, maka semua itu dibolehkan dalam batas untuk menghindari kemudaratan dan hal yang menyakitkan saja, tidak lebih dari itu.

ما جاز لعذر يبطل بزواله

5. "(Sesuatu yang dibolehkan karena uzur akan menjadi batal setelah hilang masa darurat)"

Kaedah ini dipraktekkan ketika menghadapi darurat, dan sesuatu yang dilakukan setelah masa darurat.

الإضطرار لا يبطل حق الغير

6. "(Keadaan terpaksa tidak dapat membatalkan hak orang lain)"

Sekalipun keadaan terpaksa itu merupakan salah satu sebab dibolehkannya melakukan perbuatan yang dilarang, seperti dibolehkannya memakan bangkai, darah, meminum khamar, tetapi tidak menggugurkan hak orang lain secara materi.

الميسور لايقسط بالمعسور

7. "(Kemudahan itu tidak hilang karena kesukaran)"

Maksudnya ialah bahwa sesuatu yang diperintahkan, tetapi tidak dapat dikerjakan secara sempurna sesuai dengan perintah kecuali sebagiannya saja, maka kewajiban itu jatuh pada sebagian yang dapat dilakukan itu, dan tidak dapat ditinggalkan karena ditinggalkannya yang sulit.

الحاجة العامة والخاصة تنزل منزلة الضرورة

8. "(Kebutuhan umum atau khusus menduduki posisi darurat)"

Kebutuhan vital yang bersifat umum ataupun khusus, mempunyai pengaruh dalam perubahan ketetapan hukum, sebagaimana halnya darurat. Meskipun demikian darurat lebih kuat daripada kebutuhan dalam menyebabkan perubahan hukum asal, karena darurat merupakan suatu keadaan yang jika dilawan akan berakibat bahaya dan kemudaratan bagi keselamatan jiwa dan yang lainnya.

Penularan virus corona (Covid-19) yang begitu cepat mendorong diperlukannya langkah pencegahan dan antisipasi agar virus ini tidak semakin menyebar luas menginfeksi masyarakat. Langkah pencegahan ini juga turut mempengaruhi cara shalat berjamaah.

Di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, shalat wajib berjamaah dilakukan dengan menerapkan konsep social distancing atau berjarak satu meter antarshaf. Jamaah juga memberi jarak yang cukup dengan jamaah di sampingnya.

Hal serupa dilakukan Muslim di Sudan. Sesuai imbauan di negara itu, jarak shaf antar jamaah justru harus berjauhan dengan jarak minimal 1,5 meter.

Lantas, bagaimana hukum shalat berjamaah dengan shaf berjarak ini? Apakah itu tetap sah dalam kaidah fikih?

Hal ini dijelaskan dalam kitab Minhaj al-Qawim, bahwa shalat berjamaah tetap sah jika mereka berdua (imam dan makmum) berada di dalam satu masjid atau beberapa masjid, yang pintu-pintunya terbuka atau jika ditutup tidak dikunci mati (dipaku).

Shalat berjamaah juga sah jika masing-masing masjid berjamaah dengan adanya seorang imam, muadzin dan jamaah khusus, meskipun jarak mereka berjauhan. Misalnya jarak di antara mereka lebih dari 300 hasta.

Di dalam kitab Nihayah al-Zain juga disebutkan, jika imam dan makmum berada di dalam satu masjid yang sama, shalat berjamaah mereka sah, sekalipun jarak shaf mereka jauh, bahkan lebih dari 300 hasta.

Adapun terkait perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meluruskan shaf beliau bersabda,

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ )) .

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433]

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”

وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ .

وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434]

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Dan keadaan salah seorang, dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan kakinya dengan kaki rekannya."

Menurut Ibn Hajar, jawabannya: Tidak. Redaksinya di dalam al-Manhaj al-Qawim, dengan Matannya,

(ويستحب تسوية الصفوف والأمر بذلك لكل أحد وهو من الإمام بنفسه أو مأذونه آكد للاتباع، مع الوعيد على تركها، والمراد بها إتمام الأول فالأول، وسدُّ الفرَج وتحاذي القائمين فيها .. فإن خولف في شئ من ذلك كُره) انتهى

“Disunahkan merapikan barisan. Perintah itu berlaku untuk setiap orang. Mulai dari imam sendiri, atau yang diseru, lebih tegas untuk mengikuti. Dengan ancaman bagi yang meninggalkannya. Maksudnya adalah menyempurnakan shaaf yang pertama, dan seterusnya. Menutup celah, merapatkan tumit orang yang berdiri di sana.. Jika itu dilanggar, maka hal itu makruh (tidak disukai).”

At-Tarmasi memberikan komentar pernyataan beliau (Ibn Hajar) (Juz IV/41),

(أي: وفاتته فضيلة الجماعة عند الشارح، وعند الشهاب الرملي: كل مكروهٍ من حيث الجماعة مفوِّتٌ لفضيلتهاإلا تسوية الصفوف) انتهى.

“Maksudnya, keutamaan jamaahnya hilang menurut pensyarah. Menurut as-Syuhab ar-Ramli, “Semua yang dimakruhkan dari segi berjamaah bisa menghilangkan keutamaannya (jamaah), kecuali merapikan barisan.”

Ada beberapa hadits yang berisi perintah merapatkan shaf ketika shalat berjamaah jangan sampai renggang sehingga setan menempatinya,

*Pertama,* dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan shaf shalat jamaah dengan memerintahkan,

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Rapatkan shaf kalian, rapatkan barisan kalian, luruskan pundak dengan pundak. Demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sungguh aku melihat setan masuk di sela-sela shaf, seperti anak kambing.” (HR. Abu Daud 667, Ibn Hibban 2166).

*Kedua,* hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan shaf shalat jamaah. Beliau memerintahkan makmum,

أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلاَئِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِى أَيْدِى إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

"Luruskan shaf, agar kalian bisa meniru shafnya malaikat. Luruskan pundak-pundak, tutup setiap celah, dan buat pundak kalian luwes untuk teman kalian. Serta jangan tinggalkan celah-celah untuk setan. Siapa yang menyambung shaf maka Allah Ta’ala akan menyambungnya dan siapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya." (HR. Ahmad 5724, Abu Daud 666)

*Ketiga,* hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika merapatkan shaf, beliau mengatakan,

وَسُدُّوا الْخَلَلَ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ فِيمَا بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْحَذَفِ

“Tutup setiap celah shaf, karena setan masuk di antara shaf kalian, seperti anak kambing.” (HR. Ahmad 22263)

Kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطويق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar