MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Sabtu, 14 Maret 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGANTI DAN MENAMBAH LAFAZH ADZAN


Pemerintah Kuwait untuk sementara waktu menutup masjid untuk shalat jum'at berjama'ah dan mengubah adzan, panggilan Muslim untuk shalat dengan memasukkan kata-kata صلوا فى رحالكم “shalatlah di rumahmu”, ketika negara itu berjuang untuk menahan laju penyebaran virus corona yang mematikan.

Otoritas agama Kuwait telah meminta umat Islam untuk melaksanakan shalat dan berdoa di rumah pada hari Jumat, (13/3/2020). Shalat Jum'at dibatalkan di seluruh Kuwait untuk pertama kalinya. Negara itu berusaha menahan penyebaran virus corona.

Perlu kita ketahui bahwa virus corona termasuk udzur syar'i yang membolehkan seseorang tidak melakukan shalat berjama'ah atau shalat jum'at karena bahayanya lebih besar daripada bahaya karena hujan. Makna dari kata udzur syar'i adalah segala sesuatu halangan sesuai kaidah syari'at islam yang menyebabkan seorang mukallaf boleh tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan di kemudian hari atau mengganti dengan hal lain.

Terdapat beberapa udzur syar'i dalam ibadah sehari-hari yang kita kerjakan seperti :

1. Udzur syar'i dalam amalan puasa ramadhan bagi orang sakit dan mushafir boleh tidak puasa dalam bulan itu dan mengatikannya dikemudian hari diluar bulan ramadhan sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan.
2. Udzur syar'i dalam shalat jum'at bagi orang yang sakit, kondisi jalan menuju mesjid tidak aman atau hujan sangat lebat dibolehkan tidak melaksanaakn shalat jum'at dimesjid
3. Udzur syar'i dalam berwudhu, ketika tidak dijumpai air yang suci lagi menyucikan atau dalam keadaan tidak bisa menyentuh air karena sakit maka boleh mengantikan wudhuk dengan tayamum.

Diantara sunah yang hampir tidak kita jumpai di masyarakat adalah mengganti lafazh adzan ketika terjadi hujan atau karena udzur takut terkena virus corona dan sejenisnya. Sebenarnya mungkin banyak tokoh agama yang mengetahuinya. Apalagi penjelasan tentang mengganti lafazh adzan ini sangat mudah di dapatkan dan banyak disebutkan di buku-buku hadits maupun fikih. Namun mengingat mengganti lafazh adzan semacam ini jarang dikenal masyarakat, sehingga dianggap suatu kesalahan atau bahkan dianggap ajaran sesat. Sehingga muadzin enggan melantunkan lafadz itu ketika adzan, karena bisa jadi masyarakat akan menilainya sebagai orang sesat.

Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan adanya perbedaan antara lafazh adzan biasa dengan lafazh adzan ketika hujan. berikut beberapa riwayat yang menunjukkan hal tersebut,

Pertama, dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra,

أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.

Ibnu Umar pernah adzan untuk shalat di malam yang dingin, anginnya kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan,

أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ

[Shalatlah di rumah kalian, shalatlah di rumah kalian]’.

Kemudian beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau safar untuk mengucapkan, ’Alaa shollu fi rihaalikum’ [Shalatlah di tempat kalian masing-masing]’. (HR. Muslim no. 1633 dan Abu Daud no. 1062)

Kedua, dari Nafi’, beliau menceritakan,

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».

“Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [shalatlah di rumah kalian].

Kemudian beliau mengatakan,”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].”(HR. Muslim no. 1632 dan Abu Daud no. 1063)

Ketiga, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berpesan mu’adzin pada saat hujan,

إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ

“Apabila engkau selesai mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ‘Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].

قَالَ : فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.

Masyarakat pun mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian merasa heran dengan hal ini, padahal hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (HR. Muslim no. 1637 dan Abu Daud no. 1066).

Dari riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa lafazh adzan tambahan ketika hujan sebagai berikut,

1. أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ
(‘Shalatlah kalian di rumah’)

2. أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ
(‘Shalatlah kalian di rumah kalian’)

3. صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ
(‘Sholatlah di rumah kalian’)

Tiga lafadz di atas tidak dibaca semuanya, namun dipilih salah satu.

Letak Lafadz tambahan ‘Shollu Fii Buyuthikum’ atau ‘Ala Shallu fir rihaal’

Pertama, menggantikan lafadz ‘hayya ‘alas shalaah’, ini sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas di atas.

Kedua, diucapkan langsung setelah selesai adzan, sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Ketika menjelaskan hadits Ibnu Abbas, Imam An-Nawawi mengatakan,

وفي حديث بن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يَقُولَ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ فِي نَفْسِ الْأَذَانِ وَفِي حديث بن عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ وَالْأَمْرَانِ جَائِزَانِ نَصَّ عَلَيْهِمَا الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْأُمِّ فِي كِتَابِ الْأَذَانِ وَتَابَعَهُ جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا فِي ذَلِكَ

“Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, muadzin mengucapkan ’Alaa shollu fii rihalikum’ di tengah adzan. Sedangkan dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan lafadz ini di akhir adzannya. Kedua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana ditegaskan Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm pada Bab Adzan, dan diikuti oleh mayoritas ulama madzhab kami (syafi’iyah). (Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 5:207)

Lebih lanjut, Imam An-Nawawi menganjurkan agar dilakukan setelah adzan. Beliau mengatakan:

فَيَجُوزُ بَعْدَ الْأَذَانِ وَفِي أَثْنَائِهِ لِثُبُوتِ السُّنَّةِ فِيهِمَا لَكِنَّ قَوْلَهُ بَعْدَهُ أَحْسَنُ لِيَبْقَى نَظْمُ الْأَذَانِ عَلَى وَضْعِهِ

Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan, karena terdapat dalil untuk kedua bentuk adzan ini. Akan tetapi, sesudah adzan lebih baik, agar lafadz adzan yang biasa diucapkan, tetap ada. (Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 5:207)

Dari Usamah bin ‘Umair radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,

رأيتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم زمن الحديبية ومطرنا مطراً فلم تبل السماء أسفل نعالنا فنادى منادي النبي صلى الله عليه وسلم أن صلوا في رحالكم

“Dahulu kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu Hudaibiyah dan hujanpun menimpa kami, (tapi hujan tersebut) *TIDAK SAMPAI MEMBASAHI SANDAL-SANDAL KAMI.* Lalu mu’adzin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan, "Shallu Fii Rihaalikum”. (HR. Ahmad)

Jika telah hujan, MESKIPUN TIDAK DERAS sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, maka disunnahkan mu’adzin mengganti “hayya ‘alash shalaah” dengan “shalluu fii rihaalikum” atau “shalluu fii buyuutikum”. atau mengucapkan “alaa shallu fii rihaalikum, alaa shalluu fir rihaal” di akhir adzan. Semua lafazh tersebut boleh diucapkan, dan kedua caranya (apakah mengganti ‘hayya alash shalaah’, atau tidak menggantinya dan mengucapkan diakhirnya) dibolehkan.

Dalam shahiihnya, Imam Ibnu Hibban membuat bab tentang hadits diatas dengan perkataannya,

ذكر البيان بأن حكم المطر القليل وإن لم يكن مؤذيا فيما وصفنا حكم الكثير المؤذي منه

“Penjelasan bahwa hukum hujan yang sedikit (rintik-rintik) yang tidak mengganggu itu SAMA dengan hukum (hujan yang) banyak (/deras) yang mengganggu”

Demikian pula hal tersebut dibaca pada saat malam yang sangat dingin, atau angin yang amat kencang. Maka jika hanya karena udzur turun hujan yang tidak deras dan tidak membahayakan saja dibolehkan MENGGANTI lafazh adzan, tentu kekhawatiran karena bahayanya terkena virus corona lebih DIBOLEHKAN mengganti lafazh adzan sebagaimana yang dipeedengarkan di masjid-masjid Kuwait. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar