Kamis, 08 Maret 2018
KAJIAN TENTANG SHALAWAT KEPADA SELAIN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Shalawat merupakan bentuk kata jama' (plural) yang berasal dari bahasa Arab: ( الصلوات ), bentuk kata tunggalnya adalah kata shalat (الصلاة) yang berarti berdoa atau mendoakan. Membaca shalawat dalam kerangka agama adalah mendoakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan tambahan rahmat, kemuliaan, kehormatan dari Allah Ta'ala. Dan perintah untuk melaksanakan shalawat dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Ahzab ayat 56,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيما
"Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya." (QS Al-Ahzab: 56)
Kalau kita bershalawat dengan kalimat “shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyina Muhammad”, semoga shalawat dan salam dari Allah kepada Nabi kita Muhammad, apa maksudnya?
Imam Nawawi Al-Bantani rahimahullah (lahir tahun 1815, meninggal dunia tahun 1898) berkata bahwa yang dimaksud “shalawat dari Allah” adalah semoga Allah menambahkan kemuliaan. Sedangkan “salam” yang dimaksud adalah semoga Allah memberikan penghormatan yang tinggi dan derajat yang mulia. (Lihat Kasyifah As-Saja Syarh Safinah An-Najaa, hlm. 29)
Video viral yang beredar di dunia maya (dumai) tentang ritual kebangsaan yang telah di lakukan paguyuban Sawunggaling sempat menggegerkan masyarakat Surabaya dan para netizen. Video yang berdurasi 5 menit 47 detik dan ada juga berdurasi 57 detik yang di beri judul *Shalawat Pancasila* tersebut mengundang berbagai kontroversi di kalangan masyarakat. Kegiatan tersebut diadakan di aula makam Joko Berek atau Raden Sawunggaling yang ada di Lidah Wetan 3, Kecamatan Lakasantri, Kota Surabaya, Jawa Timur. Kemudian muncul berikutnya video Shalawat Merah Putih, bagaimana hukumnya?
Sebagian pendapat mengatakan dan mengecam bahwa shalawat pancasila dan shalawat merah putih dan sejenisnya adalah hal yang dilarang dan termasuk mengada-adakan shalawat. Sementara yang lain berargumen bahwa hal tersebut dibolehkan karena dimaksudkan untuk berdoa dengan berdalih sebagaimana firman Allah Ta'ala,
خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah : 103)
عن عبد الله بن أبي أوفى قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذا أتاه قوم بصدقتهم،قال: “اللهم ! صل عليهم” فأتاه أبي – أبو أوفى – بصدقته، فقال: “اللهم ! صل على آل أبي أوفى”.
Dari Abdullah bin Abi Aufa ra berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila datang kepada beliau satu kaum yang menunaikan zakatnya, beliau berdoa: “Ya Allah, berilah ampunan atas mereka.” Hingga datanglah ayahku –Abu Aufa- dengan membawa zakat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berdoa: “Ya Allah, berilah ampunan atas Abi Aufa..”
*Takhrij Hadits*
Hadits ini Muttafaqun ‘alaihi, disepakati keshahihannya oleh As-Syaikhan.
Imam Bukhari mengeluarkan dalam Shahih-nya Bab Shalatul Imam Wa du’auhu lishahibish-Shadaqah (Bab Imam bershalawat dan mendoakan orang yang bersedekah) no.1497, juga beliau riwayatkan dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/1/24). Adapun Muslim, beliau keluarkan dalam Shahih-nya (2/756 no.1078).
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (no.1590), An-Nasa’i (5/31), Ibnu Majah (no.1796), At-thayalisi (no. 819), Ahmad (4/353, 355, 381, 383), At-Thahawi dalam Musykilul Atsar (4/162) dan lainnya melalui banyak jalan dari Syu’bah bin Hajjaj dari ‘Amr bin Murrah dari Abdullah bin Abi Aufa ra
Abdullah bin Abi Aufa ra dan ayahnya Abu Aufa – Alqomah bin khalid Al-Harits Al-Aslami ra – keduanya shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyaksikan perjanjian Hudaibiyyah (6 H) dan berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat itu pada bai’at Ridhwan.
Lantas apa hukum mendoakan muzakki sebagaimana QS. Al-Ahzab ayat 33 diatas, wajibkah sebagaimana dzahir perintah dalam ayat atau mustahab? Imam Al-Baghawi rahimahullah (516 H) dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil, menukil adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Kata beliau: “Ulama berselisih pendapat tentang wajibnya imam mendoakan (muzakki) ketika mengambil zakat(nya). Sebagian berkata: wajib, sebagian lainnya berkata sunnah, sebagian mereka mewajibkannya pada sedekah yang wajib dan menganggapnya sunnah pada sedekah tathawwu’, sebagian lagi berpendapat: wajib atas imam adapun fuqoro yang menerima zakat hukumnya sunnah (mendoakan) bagi yang memberikan. Tafsir Al-Baghawi (2/323)
Jumhur ulama berpendapat bahwa doa tersebut hukumnya mustahab (sunnah). Berkata An-Nawawi rahimahullah: “Dan yang masyhur dalam madzhab kami (Syafi’iyyah) demikian pula madzhab ulama seluruhnya bahwasannya mendoakan orang yang membayar zakatnya adalah sunnah dan tidak wajib. Lain halnya dengan ahli zhahir. Mereka berkata: “ (Mendoakan Muzakky hukumnya) Wajib.” … mereka bersandar pada perintah dalam ayat.
(Menanggapi pendapat ahli dzahir) jumhur berkata: “Perintah (dalam ayat ini) menurut kami adalah sunnah –dengan alasan- bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal ra. dan selainnya untuk mengambil zakat beliau tidak perintahkan mereka untuk mendoakan (orang yang berzakat) …. (Al-Minhaj)
Penggalan ayat terkait baca shalawat (do'a) kepada selain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut Imam Ibnu Katsir,
وقوله : ( وصل عليهم ) أي : ادع لهم واستغفر لهم ، كما رواه مسلم في صحيحه ، عن عبد الله بن أبي أوفى قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتي بصدقة قوم صلى عليهم ، فأتاه أبي بصدقته فقال : " اللهم صل على آل أبي أوفى " وفي الحديث الآخر : أن امرأة قالت : يا رسول الله ، صل علي وعلى زوجي . فقال : " صلى الله عليك ، وعلى زوجك " .
Firman Allah Ta'ala,
{وَصَلِّ عَلَيْهِمْ}
"... dan berdoalah untuk mereka." (At-Taubah: 103)
Maksudnya, berdoalah untuk mereka dan mohonkanlah ampunan buat mereka.
Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya telah meriwayatkan melalui Abdullah ibnu Abu Aufa yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menerima zakat dari suatu kaum, maka beliau berdoa untuk mereka. Lalu datanglah ayahku (perawi) dengan membawa zakatnya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa,
“اللَّهُمَّ صَل عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى”
"Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa."
Di dalam hadits lain disebutkan bahwa seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, mendoalah untuk diriku dan suamiku.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa,
“صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكِ، وَعَلَى زَوْجِكِ”
“Semoga Allah merahmati dirimu juga suamimu.”
*Pendapat Ulama dalam masalah ini*
(بابُ الصَّلاة على الأنبياءِ وآلهم تبعاً لهم صلى الله عليه وسلم)
أجمعوا على الصلاة على نبيّنا محمّدٌ صلى الله عليه وسلم، وكذلك أجمع من يُعتدّ به على جوازها واستحبابها على سائر الأنبياء والملائكة استقلالاً.
وأما غيرُ الأنبياء، فالجمهور على أنه لا يُصلّى عليهم ابتداء، فلا يقال: أبو بكر صلى الله عليه وسلم.واختُلف في هذا المنع، فقال بعض أصحابنا: هو حرام، وقال أكثرهم: مكروه كراهة تنزيه، وذهب كثير منهم إلى أنه خلاف الأوْلَى وليس مكروهاً، والصحيحُ الذي عليه الأكثرون أنه مكروه كراهة تنزيه لأنه شعار أهل البدع، وقد نُهينا عن شعارهم.والمكروه هو ما ورد فيه نهيٌ مقصود ,
.قال أصحابنا: والمعتمدُ في ذلك أن الصَّلاةَ صارتْ مخصوصةً في لسان السلف بالأنبياء صلواتُ الله وسلامُه عليهم، كما أن قولنا: عزَّ وجلَّ، مخصوصٌ بالله سبحانه وتعالى، فكما لا يُقال: محمد عزَّ وجلَّ - وإن كان عزيزاً جليلاً - لا يُقال: أبو بكر أو عليّ صلى الله عليه وسلم وإن كان معناه صحيحاً.واتفقوا على جواز جعل غير الأنبياء تبعاً لهم في الصلاة، فيُقال: اللَّهمّ صل على محمد وعلى آل محمد، وأصحابه، وأزواجه وذرِّيته، وأتباعه، للأحاديث الصحيحة في ذلك، وقد أُمرنا به في التشهد، ولم يزل السلفُ عليه خارج الصلاة أيضاً.وأما السلام، فقال الشيخ أبو محمد الجوينيُّ من أصحابنا: هو في معنى الصلاة، فلا يُستعمل في الغائب، فلا يفرد به غير الأنبياء، فلا يُقال: عليّ عليه السلام، وسواء في هذا الأحياء والأموات.وأما الحاضر، فيُخاطب به فيقال: سلام عليكَ، أو: سلام عليكم، أو: السَّلام عليكَ، أو: عليكم، وهذا مجمع عليه، وسيأتي إيضاحه في أبوابه إن شاء الله تعالى
*Pembacaan Shalawat Kepada Para Nabi dan Keluarganya.*
Para ulama' sepakat terhadap bacaan shalawat atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para ulama juga sepakat terhadap shalawat yang dianggap atas kebolehan dan kesunnahannya bershalawat atas para Nabi dan para Malaikat secara mandiri.
Sedangkan untuk selain para Nabi maka tidak diucapkan shalawat atas mereka secara permulaan (maksudnya : mandiri). Maka tidak boleh diucapkan "Abu Bakar shallallahu alaihi wa sallam". Dan diperselisihkan tetang makna "pelarangan bacaan shalawat mandiri" ini:
- Sebagian Ashab kami (Syafi'iyyah) berpendapat : haram.
- Mayoritas Ashab kami berpendapat : makruh tanzih.
- Sebagian besar dari mereka berpendapat : khilaful aula (menyelisihi yang lebih utama) bukan makruh.
Pendapat yang shahih yang diutarakan mayoritas ulama' hukumnya makruh tanzih karena hal tersebut merupakan syi'arnya golongan ahli bid'ah. Dan kita sungguh dilarang menyebarkan syi'ar mereka. Dan hukum makruh itu sesuatu yang larangan yang dimaksud telah warid (datang).
Sebagian Ashab kami berkata : Pendapat yang mu'tamad mengenai hal tersebut bahwa sesungguhnya "shalawat" itu sesuatu yang dikhususkan dalam ucapan ulama' salam untuk para Nabi shalawatullohi wa salamuhu alaihim. Sebagaimana ucapan kita "azza wa jalla" dikhususkan untuk Allah subhanahu wa ta'ala.
Maka sebagaimana tidak boleh diucapkan : "Muhammad azza wa jalla" - meskipun beliau azizan wa jalilan - maka tidak diucapkan: "Abu Bakar atau Ali shallallahu alaihi wa sallam" meskipun maknanya benar para ulama sepakat atas kebolehan menjadikan selain para Nabi diikutkan pada para Nabi dalam bacaan shalawat. Maka diucapkan : "Allahumma shalli ala Muhammadin wa âli Muhammadin, wa ashabihi, wa azwajihi wadzurriyyatihi wa atba'ihi." Karena terdapat hadits-hadits yang shohih tentang hal tersebut.
Dan sungguh kita diperintah membaca demikian dalam bertasyahud. Dan juga tidak henti-hentinya ulama' salaf bersholawat demikian di luar sholat. Sedangkan mengenai salam, Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Juwaini yang termasuk Ashab kami berkata: Salam itu semakna dengan shalawat, maka tidak boleh digunakan untuk orang yang ghoib, selain para Nabi tidak boleh disendirikan dengan salam. Maka tidak boleh diucapkan : "Ali alaihis salam." baik dalam permasalahan ini untuk orang-orang yang hidup ataupun yang sudah meninggal.
Adapun untuk orang yang hadir, maka menggunakan dhomir mukhotthob/dikhitobi, sehingga diucapkan : "Salamun alaik.", "Salamun alaikum.", as Salamu alaik." atau "as Salamu 'alaikum." dan hal ini merupakan hal yang disepakati oleh para ulama'. Dan penjelasan mengenai ini akan datang dalam bab-babnya insya Allahu Ta'ala.
Terkait video viral shalawat pancasila menurut Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Mutawakkil Alallah, mengaku belum mengetahui latar belakang munculnya peristiwa itu.
Ia mengatakan jika lirik asli shalawat itu sudah ada di era Rosulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni; Shallallahu ‘ala Muhammad. Sementara iramanya baru ada di zaman Walisongo.
"Artinya, Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Muhammad," ujar beliau.
Sementara dalam video yang diunggah oleh akun Facebook Media Oposisi ini, liriknya diubah menjadi Shalallah 'ala Pancasila, shalallah 'ala Indonesia, shalallah 'ala Nusantoro.
"Kalau diubah seperti itu artinya menjadi Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Pancasila. Saya ndak berani menilai, tergantung niatnya bagaimana, maksudnya apa," kata beliau. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar