Rabu, 07 Maret 2018
KAJIAN TENTANG NIQAB UNTUK WANITA
Definisi niqab adalah
النِّقَابُ هو مَا تَجْعَلُهُ الْمَرْأَةُ عَلَى أَنْفِهَا أَوْ وَجْهِهَا تَتَسَتَّرُ بِهِ
"Sesuatu yang dijadikan sebagai penutup mulut dan wajah wanita." (Mu'jam 'Arabi).
Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita shahabiyah. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.
Membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian shahabiyah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur : 31)
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al Ahzab : 59)
*Riwayat Hadits tentang wajah wanita*
Ibnu Abbas ra. berkata.
أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl bin Abbas……kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya……[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]
Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaithan (menggoda) keduanya.” [HR Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya].
Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).
Ibnu Hazm berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekwensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehinga beliau khawatir fitnah menimpanya.
Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl.
Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” [Fathul Bari XI/8]
Sahl bin Sa’d ra. berkata.
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…
Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada anda.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya…….” [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya].
Ketika Fathimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,
أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …
Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…[HR Muslim].
Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau n khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Kartena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. [Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]
Atha bin Abi Rabah ra. berkata,
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni sorga?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan sorga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. [HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad]
Ibnu Abbas ra. berkata,
كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )
Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian orang laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat), وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ [HR Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya].
Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Ibnu Mas’ud berkata
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu mempesona beliau, maka beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapapun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu. [HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi].
*Hukum Menutup Wajah Wanita Menurut 4 Imam Madzab*
*Madzhab Hanafi*
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Imam Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah.
*Madzhab Maliki*
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Imam Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176).
Imam Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229).
*Madzhab Syafi’i*
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Di kalangan madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.
وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل : هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى
“Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).
Imam Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112).
*Madzhab Hambali*
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
*Istilah-istilah yang ada kaitannya dengan niqab*
1.Al Khimar (الخمار)
Ini adalah nama kain yang digunakan untuk menutup bagian kepala bagi wanita. Berdasarkan firman Allah Ta'ala di dalam Al-Qur'an surah An-Nur ayat 31: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ Maksudnya: dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka. Kaitan di antara niqab dan khimar ialah niqab digunakan untuk menutup wajah, sementara khimar digunakan untuk menutup kepala. Kedua-duanya merupakan pakaian muslimah.
2. Al Hijab (الحجاب)
Ini merupakan nama bagi kain yang digunakan untuk menutup keseluruhan tubuh wanita tersebut.
3. Al Burqa' (البرقع)
Ini merupakan nama bagi kain yang digunakan untuk menutup keseluruhan wajah wanita. Menurut Ibn Manzhur, pengarang kitab Lisan al-Arab, "Terdapat sedikit ruang untuk memperlihatkan mata bagi burqa’". Jika kita mengambil dengan ta'rif yang diberikan oleh Ibn Manzhur maka ianya sama maksud dengan niqab.
4. Al Litsam (اللثام)
Ini merupakan nama bagi kain yang digunakan untuk menutup bahagian mulut. Kaitan di antara niqab dan al-Litsam ialah, niqab digunakan untuk menutup keseluruhan wajah kecuali kedua mata. Sementara al-Litsam juga digunakan untuk menutup bagian mulut dan ke bawah.
*KESIMPULAN*
1. Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian sahabiyyat (para wanita sahabat). Sehingga merupakan sesuatu yang disyari’atkan dan keutamaan.
2. Membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiyyat. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
3. Seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya atau pun yang belum memakai niqab.
4. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu juga kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar