MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 08 Juni 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGABUNGKAN NIAT PUASA SUNNAH DENGAN QADHA' PUASA WAJIB


Niat merupakan hal yang sangat penting bagi setiap hal. Khususnya dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena dengan niat dapat dibedakan antara aktivitas biasa dengan aktivitas yang bernilai ibadah.

Seperti duduk di dalam masjid, adat kebiasaan orang adalah duduk untuk beristirahat. Tetapi ketika sudah diniati ibadah maka duduknya di dalam masjid bergeser istilah menjadi i’tikaf dan bernilai ibadah, bukan istirahat biasa.

Lebih lanjut, piranti penting yang harus ada di dalam niat adalah ikhlas. Ikhlas adalah memurnikan amal hanya karena Allah Ta'ala dan menyelamatkan amal dari beragam nafsu yang dapat merusaknya.

Adapun pengertian ikhlas di dalam bab fiqh adalah memurnikan niat untuk satu ibadah. Oleh karena itu, maka men-tasyrik niat adalah menjadikan tidak sahnya niat. Tasyrik adalah mencampur niat antara ibadah dengan yang lain.

Namun, tidak diperbolehkannya mencampur niat tersebut tidak berlaku dalam beberapa ibadah. Misalnya niat salat tahiyatul masjid dicampur dengan salat sunah qabliyah hukumnya adalah sah. Keterangan tersebut sebagaimana disebutkan oleh imam Abu bakar al Ahdali dalam kitab Qawaid Fiqhiyah al Faraid al Bahiyyah

وَاعْتُبِرَ الْإِخْلاَصُ فِيْ الْمَنْوِيْ فَلَا # تَصِحُّ بِالتَّشْرِيْكِ فِيْمَا نُقِلَا

وَاسْتُثْنِيَتْ أَشْيَاءُ كَالتَّحِيَّةِ # مَعْ غَيْرِهَا تَصِحُّ فِيْهَا النِّيَّةُ

"Diharuskan ikhlas di dalam niat maka tidak sah niat dengan tasyrik sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Terkecuali beberapa perkara sebagaimana salat tahiyatul masjid dicampur dengan lainnya maka niatnya berhukum sah."

Seseorang yang memiliki utang puasa Ramadan dianjurkan untuk mengqadha segera utang puasanya. Setelah utang puasa Ramadhannya terbayar, maka ia boleh melanjutkannya dengan puasa sunah Syawal, puasa senin kamis atau puasa sunnah lainnya.

ولو صام في شوال قضاء أو نذرا أو غير ذلك ، هل تحصل له السنة أو لا ؟ لم أر من ذكره ، والظاهر الحصول. لكن لا يحصل له هذا الثواب المذكور خصوصا من فاته رمضان وصام عنه شوالا ؛ لأنه لم يصدق عليه المعنى المتقدم ، ولذلك قال بعضهم : يستحب له في هذه الحالة أن يصوم ستا من ذي القعدة لأنه يستحب قضاء الصوم الراتب ا هـ

“Kalau seseorang mengqadha puasa, berpuasa nadzar, atau berpuasa lain di bulan Syawal, apakah mendapat keutamaan sunah puasa Syawal atau tidak? Saya tidak melihat seorang ulama berpendapat demikian, tetapi secara zhahir, mendapat (keutamaan puasa syawal). Tetapi memang ia tidak mendapatkan pahala yang dimaksud dalam hadits khususnya orang luput puasa Ramadhan dan mengqadhanya di bulan Syawal karena puasanya tidak memenuhi kriteria yang dimaksud. Karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa dalam kondisi seperti itu ia dianjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Dzul qa’dah sebagai qadha puasa Syawal,” (Lihat Al-Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Marifah, cetakan pertama, 1997 M/1418 H, juz I, halaman 654).

Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan,

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ”

Dari Abu Ayyub Al Anshari berkata, bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka bagai berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim)

Kalau pun ia tidak melanjutkan pembayaran utang puasa wajibnya dengan puasa sunah Syawal, ia tetap dinilai mengamalkan sunah puasa Syawal meski tidak mendapatkan ganjaran seperti yang disebutkan di dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Adapun mereka yang tidak berpuasa Ramadhan tanpa uzur diharamkan untuk mengamalkan puasa sunah Syawal. Mereka wajib mengqadha segera utang puasanya. Sedangkan mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur tertentu, makruh mengamalkan puasa sunah Syawal.

وَقَضِيَّةُ كَلَامِ التَّنْبِيهِ وَكَثِيرِينَ أَنَّ مَنْ لَمْ يَصُمْ رَمَضَانَ لِعُذْرٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ صِبًا أَوْ جُنُونٍ أَوْ كُفْرٍ لَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ . قَالَ أَبُو زُرْعَةَ : وَلَيْسَ كَذَلِكَ : أَيْ بَلْ يُحَصِّلُ أَصْلَ سُنَّةِ الصَّوْمِ وَإِنْ لَمْ يُحَصِّلْ الثَّوَابَ الْمَذْكُورَ لِتَرَتُّبِهِ فِي الْخَبَرِ عَلَى صِيَامِ رَمَضَانَ . وَإِنْ أَفْطَرَ رَمَضَانَ تَعَدِّيًا حَرُمَ عَلَيْهِ صَوْمُهَا. وَقَضِيَّةُ قَوْلِ الْمَحَامِلِيِّ تَبَعًا لِشَيْخِهِ الْجُرْجَانِيِّ ( يُكْرَهُ لِمَنْ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِالصَّوْمِ كَرَاهَةُ صَوْمِهَا لِمَنْ أَفْطَرَهُ بِعُذْرٍ

“Masalah di Tanbih dan banyak ulama menyebutkan bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur, perjalanan, masih anak-anak, masih kufur, tidak dianjurkan puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Abu Zur‘ah berkata, tidak begitu juga. Ia tetap dapat pahala sunah puasa Syawal meski tidak mendapatkan pahala yang dimaksud karena efeknya setelah Ramadhan sebagaimana tersebut di hadits. Tetapi jika ia sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa uzur, maka haram baginya puasa sunah. Masalah yang disebutkan Al-Mahamili mengikuti pandangan gurunya, Al-Jurjani. (Orang utang puasa Ramadhan makruh berpuasa sunah, kemakruhan puasa sunah bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur),” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan ketiga, 2003 M/1424 H, juz III, halaman 208).

Salah satu niat yang diperbolehkan untuk dicampur dengan niat lain dalam satu ibadah adalah puasa sunah Syawwal, Arafah, Senin Kamis atau puasa sunnah lainnya yang digabungkan dengan niat puasa qadha' atau nadzar. Puasa Syawal atau Arafah berhukum sunah dan puasa qadha' atau nadzar berhukum wajib, maka niatnya tidak batal, dan kedua-duanya baik puasa sunnah maupun puasa qadha' atau nadzarnya sah.

Jadi dia melakukan satu puasa, namun ia mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni puasa sunah Arafah dan puasa wajib qada. Hal ini disebutkan di dalam Al-Tsamaratul Mardliyyah karya M. Yahya Khusnan Manshur (Jombang: Pustaka al Muhibbin, 2009, hal. 35-36).

أن ينوي مع العبادة المفروضة عبادة أخرى. ما لا يقتضي البطلان ويحصلان معا. نوى بغسله الجنابة والجمعة، صام يوم عرفة مثلا قضاء أو نذرا نوى معه الصوم بعرفة.

Di dalam kitab Fathul Mu’in (Surabaya: Nurul Huda, h. 59) karya Imam Zainuddin al Malibari juga menyebutkan bahwa mayoritas ulama muta’khirin telah menfatwakan bahwa sampainya pahala puasa Arafah yang disertai dengan puasa fardhu.

Demikian halnya Al-‘Allamah Abu Zur’ah Al-‘Iraqi rahimahullah berkata,

يحصل أصل سنة الصوم وإن لم يحصل الثواب المذكور ؛ لترتبه في الخبر على صيام رمضان ، وإن أفطر رمضان تعديًا حَرُم عليه صومها

“(Bagi yang mendahulukan puasa Syawal dari qadha puasa), ia akan mendapatkan pahala pokok sunnah puasa walaupun tidak mendapatkan pahala sempurna setahun penuh. Karena hadits menyebutkan mesti mendahulukan puasa Ramadhan. Namun jika qadha’ puasa karena tidak berpuasa tanpa uzur, maka haram baginya berpuasa Syawal.”

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyertakan niat antara puasa sunah dengan puasa fardhu tidak dilarang. Keduanya masing-masing dianggap dan sampai pahalanya.

Oleh karena itu, jika seseorang puasa Ramadhan, maka boleh baginya setiap hari Senin dan Kamis menggabungkan niat qadha' puasa Ramadhan dengan puasa Senin atau Kamis. Bahkan ketika tanggal 13, 14 dan 15, maka boleh baginya berniat puasa Ramadhan dan puasa ayyamul bidh sekaligus niat puasa Senin atau Kamis.

Dalam hal ini dibedakan antara sahnya ibadah dan konsekuensi pahala.

*Pertama:* Dari sisi sahnya ibadah, siapa yang berpuasa dengan dua niatan, maka puasanya sah. Ia mendapatkan pahala pokok puasa.

*Kedua:* Dari sisi pahala, ia tidak mendapatkan pahala puasa Syawal (setahun penuh berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaratkan berpuasa Ramadhan dulu lalu berpuasa Syawal.

Dalam madzhab Syafii, menggabungan dua niat ada beberapa bentuk sebagai berikut.

*Bentuk pertama:* menggabungkan dua niat, yakni niat qadha’ dan niat puasa enam hari Syawal, maka pahala qadha’ dan pahala sunnah enam hari Syawal tetap dapat. Demikian ada kesamaan antara pendapat Imam Ar-Ramli dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

*Bentuk kedua:* hanya berniat qadha’, sedangkan puasa Syawal diniatkan untuk ditunda setelah qadha’, maka pahala yang diperoleh hanya qadha’ saja, sedangkan pahala puasa enam hari di bulan Syawal tidak didapatkan. Dalam hal ini, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ar-Ramli bersepakat.

*Bentuk ketiga:* hanya berniat qadha’, namun tidak berniat puasa Syawal setelah qadha’, maka pahala yang diperoleh adalah pahala qadha’ dan mendapatkan pahala puasa sunnah enam hari Syawal sebagai jaminan (dhamnan). Karena maksudnya adalah menyibukkan diri dengan puasa pada bulan Syawal. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan untuk bentuk ini, ia hanya mendapatkan pahala qadha’ sebagaimana yang diniatkan.

*Kesimpulannya,* siapa yang menginginkan pahala sempurna seperti puasa setahun penuh, hendaklah ia mendahulukan menunaikan qadha’ puasa dari puasa sunnah Syawal. Adapun mengggabungkan niat puasa Syawal dan niat qadha’, atau mendahulukan puasa Syawal dari qadha’, puasanya sah, namun pahala sempurna (puasa setahun penuh) tidaklah diperoleh. Jika ingin mendapatkan pahala puasa setahun penuh, lakukanlah qadha’ puasa lalu diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar