MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 21 Juni 2020

KAJIAN TENTANG AHLUL BAIT (DZURRIYAT RASUL) DAN HUKUM DALAM PERNIKAHANNYA


Banyak masyarakat yang bertanya-tanya tentang bagaimana sebenarnya para keturunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ada sekarang ini. Apakah mereka terjaga dari segala dosa sehingga bebas melaksanakan apa saja? Ataukah mereka punya kewajiban yang sama dengan umat Islam lain dalam hal menjaga keilmuan dan sikapnya untuk berusaha patuh dan mengikuti jejak sikap kakeknya, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitabnya Tâjul Arûs, mengutip sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim yang mengadu kepada Allah dalam ayat, 

فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي

“Barangsiapa yang mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku.” (QS Ibrahim: 36) 

Dengan kata lain, siapapun orangnya, tanpa pandang bulu, apabila mengikuti jejak Nabi Ibrahim, baik keluarga ataupun tidak, akan menjadi golongan Nabi Ibrahim. Demikiam halnya dzurriyat rasul (ahlul bait) atau di luar keturunan rasul harus mengikuti sunnah-sunnahnya, jika bertolakbelakang maka tidak layak mengaku ahlul bait.

Oleh karena itu, mengikuti sikap-sikap baik para utusan Allah menjadi penentu. Bisa jadi, ada keluarga Nabi tapi karena tidak mengikuti jejak Nabinya, ia bisa tidak diakui bagian Nabi itu. Begitu pula sebaliknya, bukan keluarga Nabi namun patuh kepada Nabi, ia bisa dianggap menjadi keluarganya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua tergantung pada kepatuhan.

Sebuah kisah perang parit (khandaq)
yang menguatkan penjelasan diatas. Pembuatan parit sebagai strategi perang berawal dari ide sahabat Salman Al-Farisi. Salman adalah sahabat yang patuh, orangnya kuat, idenya cemerlang, akhirnya sahabat Muhajirin dan Anshar masing-masing menganggap Salman bagian diri mereka semua. Begitu pula Rasulullah. Beliau menyahut pengakuan para sahabat dengan mengatakan,

سَلْمَانُ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ

“Salman adalah bagian dari kita, sebagai ahlul bait.” (Al-Mu’jam Al-Kabir Lit Thabrani: 6040). 

Sebagaimana kita ketahui, Salman bukanlah darah daging Rasulullah. Ia juga bukan keturunan suku Quraisy. Ia orang Persia. Walaupun demikian, ia diakui Nabi sebagai ahlul baitnya (keluarga Nabi). Karena apa? Sebab ia beriman lagi patuh. Kuncinya adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan Rasulullah

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang terekam dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud dan beberapa kitab hadits yang lain menceritakan,

 كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُعُودًا، فَذَكَرَ الْفِتَنَ، فَأَكْثَرَ في ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ؟ قَالَ: " هِيَ فِتْنَةُ هَرَبٍ وَحَرَبٍ، ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ، دَخَلُهَا أَوْ دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي، وَلَيْسَ مِنِّي، إِنَّمَا وَلِيِّيَ الْمُتَّقُونَ، ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ، ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً، فَإِذَا قِيلَ انْقَطَعَتْ تَمَادَتْ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ، فُسْطَاطُ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ، وَفُسْطَاطُ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ، إِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ مِنَ الْيَوْمِ أَوْ غَدٍ

“Kita pernah duduk bersama Rasulullah ﷺ. Beliau mengupas tentang aneka macam fitnah (ujian besar di akhir zaman). Beliau menjelaskan panjang lebar tentang fitnah-fitnah itu, hingga beliau menyinggung tentang fitnah ahlas.

Ada seseorang yang bertanya: “Ya Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah ahlas?’

Rasul menjawab:  ‘Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian fitnah sarra’ (karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam perilaku maksiat), yang asapnya dari bawah kedua kaki seseorang dari ahli bait-ku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang aku kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa.

Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk. Setelah itu, fitnah duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.

Jika dikatakan: ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut. Di dalamnya ada seorang pria yang pada pagi harinya beriman, tetapi pada sore harinya men¬jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan.

Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.” (Musnad Ahmad: 6168) 

Menafsiri hadits di atas, Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, dalam karyanya Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih menjelaskan,

(يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي) أَيْ: فِي الْفِعْلِ وَإِنْ كَانَ مِنِّي فِي النَّسَبِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّ تِلْكَ الْفِتْنَةَ بِسَبَبِهِ، وَأَنَّهُ بَاعِثٌ عَلَى إِقَامَتِهَا (" وَلَيْسَ مِنِّي ") أَيْ: مِنْ أَخِلَّائِي أَوْ مِنْ أَهْلِي فِي الْفِعْلِ ; لِأَنَّ لَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِي لَمْ يُهَيِّجِ الْفِتْنَةَ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ}

“Yang dimaksud ‘ia mengaku bagian dariku’ adalah karena secara lahir, kenyataannya memang ia bagian dariku (Nabi Muhammad) dalam sisi nasab. Adapun hasil nyatanya; fitnah tersebut ada karena disebabkan olehnya, dan justru ia malah menjadi pembangkit fitnah tersebut. 

Maka, Rasulullah bersabda ‘Laisa minni’, maksudnya adalah hakekatnya orang tersebut bukanlah ahli baitku (keluargaku). Sebab, apabila ia benar-benar ahli bait-ku, tentu ia tidak berkontribusi pada fitnah tersebut. 

Hal itu mirip dengan firman Allah subhanahu wa ta’a ‘Sesunggunya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik.’.” (Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, [Darul Fikr, Beirut, 2002), juz 8, halaman 3399)

*Hukum Pernikahan Syarifah Dengan Non Srarif/Sayid*

Islam merupakan agama yang sangat menghargai perempuan. Dalam pemaparan kali ini, salah satu contohnya yakni pada pembahasan kafa`ah dalam pernikahan.

Secara definitif, kafa`ah bisa diartikan sebagai kesetaraan derajat suami di hadapan istrinya. Sebagaimana lazimnya seorang ahlul bait laki-laki (Syarif/Sayid) tak ada larangan menikahi non Syarifah/Sayidah, akan tetapi jika hal itu sebaliknya dengan Syarifah/Sayidah yang dianggap tidak kafa'ah jika menikah dengan non Syarif/Sayid meskipun hal ini pun banyak terjadi dan hukum pernikahannya tetaplah sah secara syareat.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 43,

الكفاءة: ويقصد بالكفاءة: مساواة حال الرجل لحال المرأة

“Al-kafa`ah. Yang dimaksud dengan al-kafa`ah ialah kesetaraan kondisi suami terhadap kondisi istri. Dalam syariat Islam, kafa`ah diberlakukan sebagai sesuatu yang “dipertimbangkan” dalam nikah, namun tidak berkaitan dengan keabsahannya. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 47,

فَصْلٌ: فِي الْكَفَاءَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي النِّكَاحِ لَا لِصِحَّتِهِ بَلْ لِأَنَّهَا حَقٌّ لِلْمَرْأَةِ وَالْوَلِيِّ فَلَهُمَا إسْقَاطُهَا

“Pasal tentang kafa`ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah, bukan pada soal keabsahannya, namun hal tersebut merupakan hak calon istri dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya.

Hadits yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i,

فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي

‘… maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku.’ (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim)

Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.

Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh Rasulullah dijawab : ‘Allah belum menurunkan takdir-Nya’. Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi ? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda,

كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري

‘Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku‘. (HR. At-Thabrani)

Al-Baihaqi, At-Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata, ‘Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, ‘Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.’ Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut, 'Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah)’. (HR. Baihaqi dan At-Thabrani)

Sebelum menikah dengan sayidina Ali bin Abi Tholib, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah Subhanallahu wa Ta'ala belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata : ‘Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah’.

Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan :

لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء

‘Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya’.

Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah".

Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur berkata,

بغية المسترشدين
مسألة : شريفة علوية خطبها غير شريف فلا أرى جواز النكاح وإن رضيت ورضي وليها ، لأن هذا النسب الشريف الصحيح لا يسامى ولا يرام ، ولكل من بني الزهراء فيه حق قريبهم وبعيدهم ، وأتى بجمعهم ورضاهم ، وقد وقع أنه تزوّج بمكة المشرفة عربي بشريفة ، فقام عليه جميع السادة هناك وساعدهم العلماء على ذلك وهتكوه حتى إنهم أرادوا الفتك به حتى فارقها ، ووقع مثل ذلك في بلد أخرى ، وقام الأشراف وصنفوا في عدم جواز ذلك حتى نزعوها منه غيرة على هذا النسب أن يستخفّ به ويمتهن ، وإن قال الفقهاء إنه يصح برضاها ورضا وليها فلسلفنا رضوان الله عليهم اختيارات يعجز الفقيه عن إدراك أسرارها ، فسلَّم تسلم وتغنم ، ولا تعترض فتخسر وتندم.

"Jika seorang Syarifah alawiyyah dipinang oleh bukan syarif maka saya tidak berpendapat
bolehnya (sahnya) pernikahan ini, meskipun syarifah tersebut dan walinya ridho, karena nasab yang mulia dan agung ini tidak ada yang dapat menandinginya. Dan setiap keturunan Azzahro' (ahlul bait) satu sama lainnya saling mempunyai hak dalam pernikahan, baik itu kerabat dekat maupun jauh, dan jika ingin menikahinya maka wajib mendapatkan ridho dari mereka semua. Pernah terjadi di Makkah Musyarrofah seorang laki-laki berdarah arab menikahi seorang Syarifah, berita ini didengar oleh para sa'adah (para sayyid) kemudian mereka pun menentang keras pernikahan ini dan para ulama' disana ikut membantu menyelesaikannya kemudian pernikahan ini dibubarkan setelah hampir saja pengantin pria disergap massa, akhirnya ia memilih untuk menceraikan istrinya."

"Peristiwa serupa juga pernah terjadi didaerah lain para Sa'adah disana pun bangkit menentang, mereka menulis risalah mengenai "Tidak di Perbolehkannya Pernikahan Semacam Ini" dan pengantin wanita pun diambil paksa dari pangkuan pengantin pria mereka melakukan ini semua karena semata-mata ingin membela nasab yang mulia jangan sampai dihinakan atau diremehkan oleh orang. Meskipun sebenarnya fuqoha' menganggap sah pernikahan ini asalkan calon pengantin wanita dan walinya sama-sama ridho untuk melakukannya. Namun para pendahulu kita (ulama' salaf) punya pilihan pendapat yang tidak difahami oleh ahli fiqih karena disana ada rahasia-rahasia yang tidak bisa diungkapkan, terima saja pendapat mereka maka engkau akan selamat dan memperoleh keberuntungan dan jangan sekali-kali menentang sebab engkau akan merugi dan menyesal."

Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in:

‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”

Meskipun demikian perlu juga diketahuo bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menikahkan putri-putri beliau dengan sebagian sahabat yang bukan dari Bani Hasyim. Semisal Utsman bin Affan dan Abul ‘Ash bin Ar Rabi’ radhiallahu’anhum. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu juga menikahkan putrinya dengan Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Demikian juga Sukainah bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah menikah dengan empat orang lelaki yang bukan dari Bani Hasyim. Demikianlah praktek para salaf terdahulu dan hal ini tidak bisa diingkari. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar