MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 07 April 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMBUNUH TERDUGA TERORIS ATAU BUGHOT MENURUT ISLAM

Al-Irhab (Teroris dalam Bahasa Arab disebut dengan kata ‘الإرهاب’ berasal dari kata (أرهب – يرهب – إرهابا) maknanya adalah “menimbulkan rasa gentar”. Makna ini tidaklah terpuji atau tercela secara langsung kecuali jika diketahui maknanya oleh orang yang mengatakannya. Kalau tidak, maka dilihat dari dampaknya. Siapa yang mengatakan bahwa “Irhab” dalam Islam selalu berarti pembunuhan, maka dia keliru. Irhab artinya adalah menimbulkan rasa gentar, bukan membunuh.

Bughat ( بُغَاةٌ )adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ, yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kata بَغى (fi’il madhi), يبْغِيُ (fi’il mudhari’), dan بُغْيَةً – بَغْيًا بُغَاءً – (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zhalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong).

Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknya اَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zhalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zhalim dan menyombongkan diri).

Dalam definisi syar’i bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghyu (pemberontakan).

Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah, dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh Ali Belhaj, dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)

*A. Menurut Ulama Hanafiyah.*

… البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق (حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48)

“Al-Baghyu (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (pemimpin) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).

*B. Menurut Ulama Malikiyah.*

… البغي … الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا …

… البغاة … فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه (شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)

“Al-Baghyu adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (pemimpin) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…

Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (pemimpin besar/tertinggi) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).

*C. Menurut Ulama Syafi’iyah.*

… البغاة … المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة لهم و تأويل و مطاع فيهم (نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153)

“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).

… هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع (أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )

“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah/komunitas), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)

*D. Menurut Ulama Hanabilah.*

… البغاة … الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع (شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114)

“Bughat adalah orang-orang yang memberontak kepada seorang imam (walaupun ia bukan imam yang adil) dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).

*Hukum Pembunuhan*

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya." (QS. An-Nisa' : 93).

Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا

"Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengutusku (berbuat kekerasan) untuk memaksa orang lain atau menjerumuskannya, akan tetapi Dia mengutusku sebagai seorang pengajar (mu'allim) dan orang memudahkan urusan (muyassir)". (HR. Muslim no. 2703)

Dalam Islam, pembunuhan  merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana  ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum qisash (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Tetapi dalam kasus ini, Polisi pembunuh teroris bisa digolongkan kepada pembunuh yang melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’i), Yakni orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’i berhak membela dan mempertahankan dirinya.

Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku teror yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.

Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar,  atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.

Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi seperti teror di sarinah, dimana pelaku sudah  mengacungkan pistol, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597).

Dan bagi polisi tersebut baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.

Dalil masalah ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, 

فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين

“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah : 194)

Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.

Sementara dalam as-sunnah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة)

“Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid,   siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.

Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadits riwayat Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه البخاري وأحمد والترمذي)

“Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya, “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab, “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من أذل عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم القيامة (رواه أحمد)

“Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Ta'ala akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia.” (HR. Ahmad)

Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqqun ja’iz),  maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.

Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut madzhab al-Hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-Malikiyyah, al-Hanafiyyah, dan as-Syafi'iyah). Hanya saja madzhab Syafi'i memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

كن خير ابني آدم (رواه أبو داود)

“Jadilah sebaik-baiknya bani adam (HR. Abu Daud).

Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadits ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafi'i adalah bahwa membela diri sendiri sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur yang lain berpegang pada firman Allah Ta'ala,

ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah : 195)

فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله

“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah." (QS. Al-Hujuraat : 9)

Para fuqaha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan diatas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

من شهر سيفه ثم وضعه فدمه هدر (رواه الإمام الحاكم)

"Siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya." (HR. Al-Hakim)

Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadits ini shahih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadits ini dalam kitab shahihnya.

Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bertanya,

يا رسول الله ، أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مالي؟ قال: فلا تعطه مالك، قال: أرأيت إن قاتلني؟ قال: قاتله، قال: أرأيت إن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال: أرأيت إن قتلتُه؟ قال: هو في النار (رواه مسلم)

“Wahai Rasulullah, “bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab, “jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Bagaimana jika ia menyerangku”.?. Beliau menjawab, “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab, “kamu syahid“. Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab, “Dia masuk neraka.“ (HR. muslim).

Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya. (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).

Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia adalah seorang teroris. 

Andaikan pemerintah Indonesia menggunakan hukum Islam, maka hukum pidana bagi teroris adalah hukuman mati. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS. Al Maidah: 33)

Ayat ini berbicara tentang terorisme. Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan tentang ayat ini: “Huruf أَوْ (atau) di sini berfungsi untuk menunjukkan urutan. (Teroris) yang hanya membunuh, hukumannya adalah dibunuh. (Teroris) yang membunuh dan merampas harta hukumannya dibunuh lalu disalib. (Teroris) yang hanya merampas harta dan tidak membunuh, hukumannya potong tangan. Dan (teroris) yang hanya membuat teror (tidak membunuh dan merampas harta) hukumannya diasingkan dari negerinya.”

Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam Manhajus Salikin menjelaskan ayat ini: “Yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang mengganggu masyarakat dengan perampokan, perampasan atau pembunuhan. Bila mereka membunuh dan merampas harta, hukumannya dibunuh dan disalib. Bila mereka hanya membunuh, diputuskan hukuman mati. Bila mereka hanya merampas harta, hukumannya dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Bila mereka hanya membuat teror, hukumannya diasingkan dari negerinya." Wallahu a’lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar