MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 07 April 2021

KAJIAN TENTANG TALQIN MAYIT MENURUT ULAMA WAHABI MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB


Salah seorang ulama panutan salafi wahabi mengingkari pembacaan talqin mayit dan menyebutnya sebagai amalan bid'ah. Tidak lain dia adalah Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,

تلقين الميت بعد الدفن لم يصح الحديث فيه فيكون من البدع

“Mentalqin mayit setelah dikubur tidak ada hadist shahih di dalamnya, maka amalan ini termasuk bid’ah.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ 5/364).

Talqin secara bahasa berarti mengajar atau memahamkan secara lisan. Sedangkan secara istilah, talqin adalah mengajar dan mengingatkan kembali kepada orang yang mau meninggal maupun orang yang sudah meninggal (mayit) yang baru saja dikubur dengan kalimat-kalimat tertentu.

Para ulama membagi dua bentuk talqin. Yakni talqin yang dilakukan pada saat sakarat al-maut. Kedua adalah talqin yang dikerjakan pada saat pemakaman jenazah. Kedua jenis talqin tidak bertentangan dengan syari’at islam, bahkan dianjurkan oleh Nabi SAW. Mengenai bentuk talqin pada orang yang akan meninggal dunia, Imam Nawawi menuturkan dalam Fatawi al-Imam al-Nawawi,

تَلْقِيْنُ الْمُحْتَضِرِ قَبْلَ الْغَرْغَرَةِ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ سُنَّةٌ لِلْحَدِيْثِ فِي صَحِيْحِ مُسْلِمٍ وَغَيْرِهِ ” لِقِّنُوْا مَوْتَا كُمْ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ”وَاسْتَحَبَّ جَمَاعَةٌ مِنْ اَصْحَا بِنَا مَعَهَا: مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم. وَلَمْ يَذْكُرِ الْجُمْهُوْرُ .(فتاوى الا مام النووي ص٨٣)

“Mentalqin (membimbing untuk membaca kalimat tauhid) orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan itu disunnahkan . Berdasarkan Hadist yang terdapat dalam  Shahih Muslim dan lainnya, “Talqinkanlah orang yang akan mati di antara kamu dengan ucapan la’ilaha illa Allah”. Sekelompok sahabat Imam Syafi’i menganjurkan (agar bacaan tersebut) ditambah dengan ucapan Muhammad al-Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak perlu ditambah dengan ucapan tersebut.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, 83)

Sedangkan talqin yang dilaksanakan ketika mayit baru selesai dikuburkan, juga disunnahkan. Sebagaimana yang disampaikan Imam Nawawi dalam al-Adzkar,

وَاَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ وَكَثِيْرٌ مِنْ اَصْحَا بِنَا بِا سْتِحْبَا بِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَا بِهِ الْقَا ضِى حُسَيْنٌ  فِيْ تَعْلِيْقِهِ وَصَا حِبُهُ أَبُوْ سَعِيْدٍ اَلْمُتَوَلِّيْ فِيْ كِتَابِهِ التَّتِمَّةِ وَالشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُوْ الْفَتْحِ نَصْرُ بْنُ اِبْرَاهِيْمَ اَلْمَقْدِ سِيُّ وَالْإِمَامُ أَبُوْ الْقَا سِمِ اَلرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ اَلْقَا ضِيْ حُسَيْنٌ عَنِ الْأَصْحَابِ.(الأذكا النو ويةص٢٠٦ )

“Membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok ulama serta mayoritas ulama syafi’iyyah. Ulama yang mengatakan kesunnahan ini di antaranya adakah Qadli Husain dalam Kitab Ta’liq-nya, sahabat beliau yang bernama Abu Sa’d al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, al-Imam Abu al-Qasim al-Rafi’i, dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari kalangan syafi’iyyah.”(Al-Adzkar, al-Nawawiyyah, 206)

Mentalqin mayit merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang sudah dilakukan secara turun temurun. Lalu, bagaimanakah hukum mentalqin mayit menurut 4 madzhab? 

Para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Pertama, sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya sunnah. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menyebutkan,   

وَإِنَّمَا لَا يُنْهَى عَنِ التَّلْقِينِ بَعْدَ الدَّفْنِ، لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ فِيهِ، بَلْ نَفْعٌ، فَإِنَّ الْمَيِّتَ يَسْتَأْنِسُ بِالذِّكْرِ.   

“Sesungguhnya tidak dilarang mentalqin mayit setelah dikubur hanyalah karena tidak ada kemadharatan di dalamnya, bahkan terdapat manfa'at. Sebab, mayit memperoleh manfaat dari pemberitahuan tersebut” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Mukhtar Ala Ad-Durril Muhtar, juz 2, h. 205).   

Syekh Al-Mawwaq dari mazhab Maliki juga menyebutkan, 

إذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَلْقِينُهُ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ، وَهُوَ فِعْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الصَّالِحِينَ مِنَ الْأَخْيَارِ، لِأَنَّهُ مُطَابِقٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ}. وَأَحْوَجُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ إلَى التَّذْكِيرِ بِاللَّهِ عِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَائِكَةِ.   

“Jika mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka sesungguhnya disunnahkan mentalqinnya pada saat itu. Hal ini merupakan perbuatan penduduk Madinah yang shaleh lagi baik, karena sesuai dengan firman Allah Ta’ala: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan tentang Allah saat ditanya oleh malaikat” (Muhammad bin Yusuf Al-Mawwaq Al-Maliki, At-Taj Wal Iklil li Mukhtashari Khalil, juz 2, h. 375).   

Senada dengan kedua ulama di atas, Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan,

يُسْتَحَبُّ تَلْقِينُ الْمَيِّتِ عَقِبَ دَفْنِهِ فَيَجْلِسُ عِنْدَ رَأْسِهِ إنْسَانٌ، وَيَقُولُ: يَا فُلَانَ ابْنَ فُلَانٍ وَيَا عَبْدَ اللَّهِ ابنَ أَمَةِ اللَّهِ، أُذْكُرِ العَهْدَ الَّذِي خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا: شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، وَأَنَّ البَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَارَيْبَ فِيهَا، وَأَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ. وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً، وَبِالْمُؤْمِنِينَ إِخْوَانًا.   

“Disunnahkan mentalqin mayit segera setelah menguburnya, di mana seseorang duduk di depan kepala mayit, dan berkata: Wahai fulan anak fulan, dan wahai hamba Allah anak hamba perempuan Allah. Ingatlah janji yang atasnya kamu keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, surga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, kiamat itu pasti datang; tiada keragu-raguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan orang yang ada dalam kubur. Dan sungguh kamu telah meridhai Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan kaum Mukminin sebagai saudara” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 303).    

Sedangkan, Syekh Al-Bahuti dari mazhab Hanbali menulis,   

وَسُنَّ تَلْقِيْنُهُ أَيْ: الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ عِنْدَ الْقَبْرِ؛ لِحَدِيْثِ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.   

“Dan disunnahkan mentalqin mayit setelah dipendam di kuburan, karena hadits riwayat Abi Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu” (Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Syarh Muntahal Iradat, juz 1, h. 374).   

Kedua, sebagian ulama mazhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan,   

أَنَّ تَلْقِينَ الْمَيِّتِ مَشْرُوعٌ، لِأَنَّهُ تُعَادُ إلَيْهِ رُوحُهُ وَعَقْلُهُ، وَيَفْهَمُ مَا يُلَقَّنُ.   

“Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya, begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan)” (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 3, h. 153).   

Di antara ulama yang membolehkan mentalqin mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata,  

تَلْقِينُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ لَيْسَ وَاجِبًا بِالْإِجْمَاعِ، وَلَا كَانَ مِنْ عَمَلِ الْمُسْلِمِينَ الْمَشْهُورِ بَيْنَهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ. بَلْ ذَلِكَ مَأْثُورٌ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ؛ كَأَبِي أُمَامَةَ، وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ. فَمِنَ الْأَئِمَّةِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ اسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْرَهُهُ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ. فَالْأَقْوَالُ فِيهِ ثَلَاثَةٌ: الِاسْتِحْبَابُ، وَالْكَرَاهَةُ، وَالْإِبَاحَةُ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ.   

“Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya. Tetapi, hal itu dicritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i mensunnahkannya. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil” (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, juz 3, h. 356).   

Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya makruh. Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi Al-Maliki menyebutkan,

وَكَذَا يُكْرَهُ عِنْدَهُ – أَيْ عِنْدَ مَالِكٍ – تَلْقِيْنُهُ بَعْدَ وَضْعِهِ فِي قَبْرِهِ   

“Begitu pula dimakruhkan, menurut imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di dalam kubur” (Abdul Wahhab bin Ali Al-Baghdadi, Syarhur Risalah, h. 266).   

Dengan demikian dapat disimpulkan, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mentalqin mayit setelah dikubur. Sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menghukuminya makruh.   

Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menyatakan kesunnahan mentalqin mayit merupakan pendapat yang kuat, terlebih didukung oleh seorang pendiri paham salafi wahabi yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab karyanya Ahkam Tamanni Al-Maut dalam halaman 19 mengutip hadits tentang talqin mayit riwayat dari Abu Umamah ra, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,   

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني

“Jika salah satu diantara kalian  mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata, “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati), anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati),” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa menjawabnya. Kemudian berkata lagi, “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati), anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati),” sebab dia akan duduk. Kemudian berkata lagi, “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati), anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati),” sebab dia akan berkata, “berilah kami petunjuk –semoga Allah merahmatimu-“ dan kalian tidak akan merasakannya. Kemudian hendaklah berkata, “sebutlah sesuatu yang kamu bawa keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, Muhammad hamba dan utusan Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo Allah menjadi Tuhanmu, Muhammad menjadi Nabimu, dan Al Quran menjadi imammu”, sebab Mungkar dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata, “mari kita pergi. Kita tidak akan duduk (menanyakan) di sisi orang yang telah ditalqini (dituntun) hujjahnya (jawabannya), maka Allah menjadi hajiij (yang mengalahkan dengan menampakkan hujjah) baginya bukan Mungkar dan Nakir”. Kemudian seorang sahabat laki-laki bertanya, "wahai Rasulullah ! Jika dia tidak tahu ibu si mayit ? Maka Rasulullah menjawab, "nisbatkan kepada Hawa, wahai fulan bin Hawa.” (HR. Thabrani) [Lihat : Kitab Ahkam Tamanni Al-Maut hal. 19 karya Muhammad bin Abdul Wahhab]

Imam Nawawi mengomentari hadits dalam kitab karya dedengkot pendiri paham salafi wahabi yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab diatas, bahwa sekalipun hadits itu dhaif tetapi dapat dijadikan sebagai dalil penguat. Apalagi, para ulama ahli hadits dan ulama lain sepakat menerima hadits-hadits terkait amal utama, berita gembira, dan peringatan (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 304). 

Selain itu, hadist riwayat Imam At-Thabrani diatas, juga diperkuat oleh hadist-hadits shohih seperti,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .

“Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekat kuburan dan berkata, "Mohonlah kalian ampunan untuk saudara kalian dan mohonkanlah untuknya keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir) karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim).

Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim berikut,

وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم

Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata, "Apabila kalian menguburkanku, maka hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelihnya unta dan dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir." (HR. Muslim)

*Penjelasan Kitab-Kitab Fiqih Tentang Kesunnahan Talqin Mayit*

(فَرْعٌ يُسْتَحَبُّ) لِمَنْ حَضَرَ دَفْنَ الْمَيِّتِ أَوْ عَقِبَهُ  أَنْ يَقِفَ عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ الدَّفْنِ وَيَسْتَغْفِرَ) اللهَ وَيَدْعُو (لَهُ) ... (وَأَنْ يُلَقِّنَ الْمَيْتُ) ... (بَعْدَ الدَّفْنِ بِالْمَأْثُورِ) ... قَالَ النَّوَوِيّ وَهُوَ ضَعِيْفٌ لَكِنَّ أَحَادِيْثَ الْفَضَائِلِ يُتَسَامَحُ فِيْهَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ. وَقَدْ اعْتَضَدَ هَذَا الْحَدِيْثَ شَوَاهِدُ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ كَقَوْلِهِ r أَسْأَلُوا اللهَ لَهُ التَّثْبِيْتَ، وَوَصِيَّةُ عَمْرَو بْنِ الْعَاصِ السَّابِقَةُ. قَالَ بَعْضُهُمْ وَقَوْلُهُ r لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَلِيْلٌ عَلَيْهِ لِأَنَّ حَقِيْقَةَ الْمَيِّتِ مَنْ مَاتَ. وَأَمَّا قَبْلَ الْمَوْتِ وَهُوَ مَا جَرَى عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ كَمَا مَرَّ فَمَجَازٌ.

(Sub Masalah) Disunnahkan bagi orang yang menghadiri penguburan mayit atau setelahnya berdiri di atas kuburan setelah menguburnya itu, memohonkan ampunan (istighfar) dan berdoa kepada Allah untuknya … dan mentalqin mayit … setelah dikubur dengan talqin yang ma’tsur (dikutip dari rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam). Imam Nawawi berkata, “Hadits riwayat al-Thabrani tentang talqin itu dha’if, namun hadits-hadits fadhail (yang berkaitan dengan amal kebajikan) itu ditolelir para ulama. Hadits tersebut telah diperkuat oleh hadits-hadits lain yang sahih, seperti: “Is aluu allaaha lahu al-tasbiita” (Mohonlah kalian kepada Allah Subhanhu wa Ta'ala. agar mayit tetap dalam keimanan) dan wasiat Amr bin Ash yang telah lewat (agar setelah dikuburkan beliau ditemani selama kurang lebih waktu penyembelihan onta dan pembagian dagingnya, sehingga beliau merasa nyaman).” Sebagian ulama berkata:,“Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Laqqinuu mautaakum laa ilaaha illallaah.” (Bacakanlah laa ilaaha illallah pada orang mati kalian), merupakan dalil talqin. Sebab makna hakikat orang mati (dalam  redaksi hadits tersebut) adalah orang yang sudah mati. Sedangkan talqin yang dilakukan sebelum kematian, seperti pendapat para Ashhab yang telah lewat itu merupakan makna majaznya." (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), Jilid I, h. 329-330).

وَمُعْتَمَدُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ سُنَّةُ التَّلْقِيْنِ بَعْدَ الدَّفْنِ كَمَا نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي الْمَجْمُوْعِ عَنْ جَمَاعَاتٍ مِنَ اْلأَصْحَابِ. قَالَ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَالشَّيْخُ نَصْرُ الْمُقَدَّسِيُّ وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ. وَنَقَلَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ عَنْ أَصْحَابِنَا مُطْلَقًا. وَقَالَ ابْنُ الصَّلاَحِ هُوَ الَّذِيْ نَخْتَارُهُ وَنَعْمَلُ بِهِ. وَقَالَ السَّخَاوِيُّ وَقَدْ وَافَقَنَا الْمَالِكِيَّةُ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ أَيْضًا وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِهِ مِنْهُمْ الْقَاضِيْ أَبُوْ بَكْرٍ الْعِزِيُّ. قَالَ وَهُوَ فِعْلُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَالصَّالِحِيْنَ وَاْلأَخْيَارِ وَجَرَى عَلَيْهِ الْعَمَلُ عِنْدَنَا بِقُرْطُبَةَ وَأَمَّا الْحَـنَفِيَّةُ فَاخْتَلَفَ فِيْهِ مَشَايِخُهُمْ كَمَا فِي الْمُحِيْطِ مِنْ كُتُبِهِمْ وَكَذَا اخْتَلَفَ فِيْهِ الْحَنَابِلَةُ اهـ. مُلَخَّصًا

"Pendapat yang menjadi pedoman mazhab al-Syafi’iyah adalah kesunnahan talqin setelah penguburan jenazah. Seperti kutipan penulis (al-Nawawi) dalam kitab al-Majmu’ dari para Ashhab. Di antara ulama’ yang jelas-jelas yang menyatakan kesunahan talqin adalah al-Qadhi Husain, al-Mutawalli, Nashr al-Muqaddasi, al-Rafi’i dan selainnya. Al-Qadhi Husain mengutipnya dari para Ashhab secara mutlak. Ibn Shalah berkata: “Itulah yang kami pilih dan kami amalkan.” Al-Sakhawi berkata: “Dan ulama madzhab Malikiyah sependapat dengan kita atas kesunahan talqin. Dan sebagian ulama yang jelas-jelas menyatakan kesunahan talqin dari golongan mereka adalah al-Qadhi Abu Bakr al-‘Izzi. Ia berkata, “Talqin adalah amalan penduduk Madinah, pada shalihin dan orang-orang baik. Dan begitu pula yang di amalkan di Cordova (kota di Spanyol) berdasar madzhab Malikiyah. Sementara para tokoh ulama Hanafiyah berselisih tentang talqin, seperti dalam salah satu kitab mereka al-Muhith. Begitu pula para ulama Hanabilah, mereka berbeda pendapat tentangnya." (Ibn ‘Allan al-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid III, h. 397).

(قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ) ... أَيْ وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ إِلَخ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ .

(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Dan mentalqin orang baligh”)  … maksudnya disunnahkan mentalqin orang baligh ... Hal itu karena firman Allah Swt.: “Dan berilah peringatan, karena sungguh peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (al-Dzariyaat: 55). Dalam kondisi inilah seorang hamba sangat butuh  diperingatkan." (Al-Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin,(Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, t. th.), Jilid II, h. 140).

يُسْتَحَبُّ تَلْقِينُ الْمَيِّتِ الْمُكَلَّفِ بَعْدَ تَمَامِ دَفْنِهِ لِخَبَرِ إنَّ الْعَبْدَ إذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ إنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ فَإِذَا انْصَرَفُوا أَتَاهُ مَلَكَانِ الْحَدِيثَ فَتَأْخِيرُ تَلْقِينِهِ لِمَا بَعْدَ إِهَالَةِ التُّرَابِ أَقْرَبُ إلَى حَالَةِ سُؤَالِهِ فَيَقُولُ لَهُ يَا عَبْدَ اللهِ ابْنَ أَمَةِ اللهِ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنْ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ وَأَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ r نَبِيًّا وَبِالْقُرْآنِ إمَامًا وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً وَبِالْمُؤْمِنِينَ إخْوَانًا

"Disunahkan mentalqin mayit mukallaf setelah selesai dikuburkan, berdasar hadits: “Sesungguhnya seorang hamba ketika sudah diletakkan di kuburnya dan para pengiringnya berpaling pulang, ia mendengar suara alas kaki mereka. Jika mereka sudah pergi, lalu ia didatangi oleh dua malaikat ...” Sempurnakanlah hadits ini sampai selesai.” Mengakhirkan pembacaan talqin setelah ratanya tanah (selesai penguburan) itu lebih mendekati waktu si mayit diberi pertanyaan oleh malaikat. Maka si pentalqin membacakan untuknya: “Wahai abdullah bin amatillah (Wahai … anak dari perempuan … ). Ingatlah engkau kondisi di saat kamu keluar dari alam dunia, yaitu bersaksi bahwa sungguh tiada yang berhak disembah selain Allah dan sungguh Muhammad adalah Rasulullah. Sungguh surga itu nyata, neraka itu nyata, kebangkitan dari kubur itu nyata, hari kiamat pasti akan terjadi tanpa diragukan lagi, sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan manusia dari kuburnya, sungguh engkau setuju dengan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi, al-Qur’an sebagai pemimpin, Ka’bah sebagai kiblat dan orang-orang mukmin sebagai saudara.” (Syamsuddin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1938), Jilid III, h. 40).

قَالَ أَبُوْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ إِذَا أَنَا مِتُّ فَاصْنَعُوْا بِيْ كَمَا أَمَرنَا رَسُوْلُ اللهِ r أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ r فَقَالَ: اِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمْ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ. ثُمَّ لِيَقُلْ يَا فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ أَرْشِدْنَا يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ. فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَهُوَ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَّنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا.

Abu Umamah al-Bahili berkata, “Jika aku mati, maka perlakukanlah diriku seperti perlakuan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan kepada kita untuk orang-orang mati kami.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kami, beliau bersabda, “Bila seseorang dari kalian mati, maka ratakanlah tanah di kuburnya. Lalu hendaknya salah seorang di antara kalian berdiri di atas kuburnya kemudian berkata, “Wahai Fulan putra si Fulanah’. Sungguh si mayit akan menjawab Mati akan menjawab, “Berilah aku petunjuk, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu.”, namun kalian (orang-orang yang mentalqin) tidak merasa (tidak mendengar) jawaban si mayit tersebut. Kemudian si pentalqin hendaklah berkata, “Ingatlah engkau kondisi di saat kamu keluar dari alam dunia, yaitu bersaksi bahwa sungguh tiada yang berhak disembah selain Allah dan sungguh Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Sungguh engkau setuju dengan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai nabi, al-Qur’an sebagai pemimpin.” Maka (bila kamu berkata begitu, sungguh malaikat Munkar dan Nakir saling bertarik tangan seraya berkata, “Mari kita pergi.” (Ali bin Hisamuddin al-Hindi al-Burhanfuri, Kanz al-Uammal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989), Jilid XV, h. 737).

Dari paparan ini, maka pelaksanaan talqin itu tidak bertentangan dengan ajaran agama bahkan sangat dianjurkan (sunnah). Baik dilakukan pada saat seseorang menjemput ajalnya, atau pada saat mayyit telah dimakamkan. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud  menyampaikam semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar