MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 21 Maret 2021

KAJIAN TENTANG MI'RAJ NABI KE SIDRATIL MUNTAHA, BAITUL MA'MUR DAN PERINTAH SHALAT

Setelah delapan tahun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendakwahkan agama Allah kepada kaumnya dengan didampingi dan dilindungi oleh dua orang kuat suku Qurays, yakni pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah, maka pada tahun ini Rasulullah pun harus rela ketika keduanya dipanggil menghadap Sang Rabb. Dengan demikian, pada waktu itu Nabi tiada lagi memiliki pembela yang cukup kuat di hadapan kaumnya sendiri yang memusuhi kebenaran. Dalam sejarah Islam tahun ini disebut ’amul huzni, tahun kesedihan.

Atas cobaan yang teramat berat dan bertubi-tubi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari embargo kaum Qurays, penolakan kaum Thaif atas hijrah Rasul dan para shahabat serta wafatnya paman beliau Abu Thalib dan istrinya Khadijah, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memberikan ”sekadar hiburan” kepada Muhamad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang berkabung dengan segala keadaan dan perasaannya. Rasulullah menerima ”sepaket perjalanan rekreasi” untuk menyegarkan kembali ghirroh (semangat) perjuangannya dalam menegakkan misi Tauhid di Bumi.

”Paket perjalanan” yang kemudian disebut sebagai Isra’ Mi’raj ini sejatinya adalah sebuah pesan kepada seluruh umat Muhammad bahwa, segala macam cobaan yang seberat apa pun haruslah kita lihat sebagai sebuah permulaan dari akan dianugerahkannya sebuah kemuliaan kepada kita. Dalam peristiwa itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat saja langsung menuju langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya menuju Masjidil Aqsha, pusat peribadahan nabi-nabi sebelumnya

Shalat telah diwajibkan bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pengikutnya sejak diturunkannya firman Allah pada awal kenabian, 

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً 

"Hai orang yang berselimut (Muhammad),),bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)... (QS. Al-Muzzammil, 73:1-19) 

Ini adalah petunjuk bahwa Rasulullah dan para pengikutnya yang baru berjumlah sedikit kala itu memiliki kewajiban untuk bangun pada tengah malam untuk menjalankan kewajiban shalat. 

*Sidratil Muntaha*

Sidratul muntaha (سدرة المنتهى), Allah sebutkan makhluk istimewa ini dalam Al-Quran, di surat An-Najm,

أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى  وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى  عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى  عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى  إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى  مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى  لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

"Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?  Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,  yaitu  di Sidratil muntaha.  di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.  penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.  Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS. An-Najm: 12 – 18)

Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon besar yang berada di langit ketujuh. Ia adalah pemisah. Disebut muntaha (akhir) karena ia merupakan batas akhir dari sebuah perjalanan. Tidak ada satu makhluk pun yang pernah melewatinya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Pohon Sidr adalah Pohon Bidara.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

سُمِّيَتْ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى لأَنَّ عِلْمَ الْمَلاَئِكَةِ يَنْتَهِي إِلَيْهَا، وَلَمْ يُجَاوِزْهَا أَحَدٌ إِلاَّ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

“Dinamakan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat (tentang jarak perjalanan) berakhir padanya. Tidak ada satu makhluk pun yang pernah melewatinya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (An-Nawawi, Al-Minhaj juz 2 hal. 214).

Ibnu Abbas dan para ahli tafsir mengatakan,

سميت سدرة المنتهى لأن علم الملائكة ينتهي إليها ولم يجاوزها أحد إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم وحكي عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أنها سميت بذلك لكونها ينتهي إليها ما يهبط من فوقها وما يصعد من تحتها من أمر الله تعالى

"Dinamakan sidratul muntaha (pohon puncak), karena ilmu malaikat puncaknya sampai di sini. Tidak ada yang bisa melewatinya, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dinamakan sidratul muntaha karena semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari sana dan semua yang naik, ujungnya ada di sana." (Ta’liqat ‘ala Shahih Muslim, Muhamad Fuad Abdul Baqi, 1/145).

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dsampaikan Imam As-Sa’di. Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan alasan penamaan sidratul muntaha,

سميت سدرة المنتهى، لأنه ينتهي إليها ما يعرج من الأرض، وينزل إليها ما ينزل من الله، من الوحي وغيره، أو لانتهاء علم الخلق إليها أي: لكونها فوق السماوات والأرض، فهي المنتهى في علوها أو لغير ذلك، والله أعلم.

"Dinamakan sidratul muntaha, karena tempat pohon ini merupakan puncak segala sesuatu yang naik dari bumi, dan yang Allah turunkan, pangkalnya di sidratul muntaha, baik wahyu atau lainnya. Bisa juga dimaknai, karena sidartul muntaha merupakan puncak yang diketahui makhluk. (lebih dari itu, makhluk tidak tahu), karena pohon ini berada di atas langit dan bumi. Sehingga sidratul muntaha merupakan puncak ketinggian, atau lainnya."

Terdapat beberapa riwayat shahih yang menjelaskan sifat fisik Sidratul Muntaha, berikut diantaranya,

Hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَرُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ المُنْتَهَى، فَإِذَا نَبِقُهَا كَأَنَّهُ قِلاَلُ هَجَرَ وَوَرَقُهَا  كَأَنَّهُ آذَانُ الفُيُولِ فِي أَصْلِهَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ نَهْرَانِ بَاطِنَانِ، وَنَهْرَانِ ظَاهِرَانِ، فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: أَمَّا البَاطِنَانِ: فَفِي الجَنَّةِ، وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ: النِّيلُ وَالفُرَاتُ

"Aku melihat Shidratul-Muntaha di langit ke tujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril, apakah keduanya ini?” Dia menjawab, “Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat." (HR. Bukhari 3207)

Dalam riwayat Ahmad (12673), terdapat keterangan,

رُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى فِي السَّمَاءِ السَّابِعَةِ

“..kemudian aku melihat sidratul muntaha di langit ketujuh..” (HR. Ahmad)

Hadits dari Asma bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Sidratul Muntaha,

يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّ الفَنَنِ مِنْهَا مِائَةَ سَنَةٍ، أَوْ يَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا مِائَةُ رَاكِبٍ، فِيهَا فِرَاشُ الذَّهَبِ كَأَنَّ ثَمَرَهَا الْقِلَالُ

"Orang yang naik kuda baru bisa melintasi bayang-bayangnya selama seratus tahun atau seratus penunggang kuda, bisa dinaungi bayang-bayangnya, di sana ada laron dari emas, buahnya seperti kendi besar." (HR. Turmudzi 2541).

Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَتَّى انْتَهَى بِي إِلَى سِدْرَةِ المُنْتَهَى، وَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لاَ أَدْرِي مَا هِيَ

“…hingga saya berhenti di sidratil muntaha, dan pohon ini diliputi warna, yang saya tidak tahu apa itu.”

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمَّا عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ ذُهِبَ بِي إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، …. فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللَّهِ مَا غَشِيَهَا، تَغَيَّرَتْ، فَمَا أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا

"Ketika saya dimi’rajkan ke langit ke tujuh, saya diajak ke sidratul muntaha,… ketika pohon ini diliputi perintah Allah, dia berubah. Tidak ada seorangpun manusia yang mampu menggambarkannya, karena sangat indah." (HR. Abu Ya’la Al-Mushili 3450 dan dishahihkan Husain Salim Asad).

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

“لَمَّا أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، انْتُهِيَ بِهِ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، وَهِيَ فِي السَّمَاءِ السَّادِسَةِ، إِلَيْهَا يَنْتَهِي مَا يُعْرَجُ بِهِ مِنَ الأَرْضِ فَيُقْبَضُ مِنْهَا، وَإِلَيْهَا يَنْتَهِي مَا يُهْبَطُ بِهِ مِنْ فَوْقِهَا فَيُقْبَضُ مِنْهَا”، قَالَ: {إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى} [النجم: 16]، قَالَ: “فَرَاشٌ مِنْ ذَهَبٍ”

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diisra’kan, beliau dihentikan di Sidrah al-Muntaha, yang terletak di langit keenam. Sesuatu yang naik dari bumi akan bermuara di sana dan ditahan di sana. Dan sesuatu dari atasnya berhenti padanya, lalu ditahan di tempat tersebut. Allah berfirman: ‘(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya).’ (QS. An Najm: 16). Abdullah berkata lagi, “Yaitu hamparan dari emas.” (HR. Muslim dalam Kitabul Iman, 173).

Besarnya pohon ini, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Dan pohon ini benar-benar ada di langit ketujuh dalam sejumlah riwayat. Kecuali riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang menyebutnya berada di langit keenam. Tapi, bisa juga tafsinya adalah bahwa akar pohon ini berada di langit keenam. Dan pohonnya yang besar berada di langit ketujuh. Maha Suci Allah yang berkuasa atas segala sesuatu.

*Baitul Ma'mur*

Baitul makmur adalah kabah penduduk langit sebagaimana kabah di bumi sebagai pusat ibadah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ ﺑﻌﺪ ﻣﺠﺎﻭﺯﺗﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ : ‏« ﺛﻢ ﺭﻓﻊ ﺑﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ , ﻭﺇﺫﺍ ﻫﻮ ﻳﺪﺧﻠﻪ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺳﺒﻌﻮﻥ ﺃﻟﻔﺎً ﻻ ﻳﻌﻮﺩﻭﻥ ﺇﻟﻴﻪ ﺁﺧﺮ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ‏» ﻳﻌﻨﻲ ﻳﺘﻌﺒﺪﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﻭﻳﻄﻮﻓﻮﻥ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻄﻮﻑ ﺃﻫﻞ ﺍﻷﺭﺽ ﺑﻜﻌﺒﺘﻬﻢ , ﻛﺬﻟﻚ ﺫﺍﻙ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ ﻫﻮ ﻛﻌﺒﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ , ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻭﺟﺪ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﺨﻠﻴﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺴﻨﺪﺍً ﻇﻬﺮﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ , ﻷﻧﻪ ﺑﺎﻧﻲ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ ﺍﻷﺭﺿﻴﺔ ,

“Terdapat dalam Shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa saalm bersabda ketika peristiwa Isra’ pada saat melewati langit ke tujuh, ‘kemudian aku diangkat menuju baitul makmur, padanya masuk (datang) setiap hari 70.000 malaikat yang tidak akan kembali lagi’. Yaitu mereja beribadah dan berthawaf sebagaimana penduduk bumi thawaf di ka’bah mereka . Demikian juga baitul makmur ia adalah ka’bah penduduk langit ketujuh. Oleh karena itu, didapati Nabi Ibrahim Al-Khalil alihisshalatu wassalam menyandarkan badannya pada baitul makmur karena ia telah membangun ka’bah di bumi”

Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah berkata,

ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﻫﻮ ﺑﻴﺖ ﺣﺬﺍﺀ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺗﻌﻤﺮﻩ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ,يصلي ﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺳﺒﻌﻮﻥ ﺃﻟﻔﺎً ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺛﻢ ﻻ ﻳﻌﻮﺩﻭﻥ ﺇﻟﻴﻪ . ﻭﻛﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ

“Dari Ibnu Abbas, ia adalah rumah yang disekitar ‘Arsy yang dimakmurkan oleh para malaikat. 70.000 malaikat shalat di situ setiap hari kemudian mereka tidak akan kembali. Demikian juga pendapat Ikrimah, Mujahid dan banyak para salaf.”

Posisnya sejajar di atas ka’bah di bumi. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata,

” ﻭﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻤﻌﻤﻮﺭ “ ، ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺍﻟﻐﺎﺷﻴﺔ ﻭﺍﻷﻫﻞ، ﻭﻫﻮ ﺑﻴﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺣﺬﺍﺀ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﺤﻴﺎﻝ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ

“Baitul Makmur: banyaknya yang memenuhi dan penduduknya, yaitu rumah di langit sekitar ‘Arsy dan sejajar dengan Ka’bah bumi.”

*Perintah Shalat 5 Waktu*

Ibadah shalat lima waktu diwajibkan pada umat ini saat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam masih tinggal di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah dilakukan. Tepatnya saat malam isra’ mi’raj. Satu setengah tahun sebelum hijrah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah,

فلما كان ليلة الإسراء قبل الهجرة بسنة ونصف ، فرض الله على رسوله صلى الله عليه وسلم الصلوات الخمس ، وفصل شروطها وأركانها وما يتعلق بها بعد ذلك ، شيئا فشيئا

“Pada malam isra’ mi’raj, tepatnya satu setengah tahun sebelum hijrah, Allah mewajibkan shalat lima waktu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian secara berangsur, Allah terangkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, serta hal-hal yang berkaitan dengan shalat” (Tafsir Ibnu Katsir)

Menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya, kewajiban shalat malam dihapuskan setelah ayat ke 20 atau ayat terakhir dari surat al-Muzammil ini diturunkan oleh Allah Ta'ala. 

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ 

"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah..." (QS. Al-Muzammil : 20)

Pelaksanaan ibadah shalat menunjukkan bahwa Baitul Maqdis di Yerusalem merupakan salah satu tempat sangat penting posisinya dalam agama Islam sebagai kiblat pertama umat Islam. Kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi Shalat dan para pengikutnya menghadap Baitul Maqdis, sebelum akhirnya Allah memerintahkan umat Islam untuk memindahkan kiblatnya ke Ka'bah di Makkah. Pemindahan arah kiblat ini terjadi di tengah-tengah ibadah shalat sedang berlangsung. Masjid tempat dilaksanakan shalat ketika perintah berpindah kiblat ini diturunkan hingga sekarang disebut sebagai Masjid Kiblatain (Masjid Dua Kiblat). 

Allah senantiasa melibatkan Masjidil Aqsho dalam setiap perkembangan ajaran-ajaran seputar Shalat. Termasuk menghadap ke Baitul Maqdis sebelum dipindahkan kiblatnya ke Ka'bah. Perintah Shalat lima waktu diterima setelah Rasulullah dikaruniai singgah di Baitul Maqdis (QS. Al-Isra', 17:1) dalam perjalanan menuju Sidratul Muntaha. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar