MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 03 Oktober 2017

KAJIAN TENTANG SUNNAH QUNUT SHUBUH


Qunut adalah doa mengharap kepada Allah swt. dalam menolak bahaya atau mendatangkan kebaikan yang pelaksanaannya dalam rangkaian pelaksanaan sebelum ruku’ atau sesudah ruku’ terakhir pada shalat yang dikerjakan. Bagi Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa hukum doa qunut adalah sunat muakkad pada shalat subuh, pada shalat witir setiap tahun dan paruh kedua (malam ke-16) bulan Ramadhan hingga akhir dan pada shalat istisqa (minta hujan).


Doa Qunut menurut Ukramah pertama kali dilakukan pada saat Bani Sulaim terkena musibah, sesuai hadis Ibnu Abbas ra. yang berkata :

قَنَتَ الرَّسُوْلُ صلى الله عليه وسلم شَهْـرًا مُتَتَابِعًا فِى الظُّهْـرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَ الصُّبْحِ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ يَدْعُوْ كُلَّهُمْ عَلىٰ حَيٍّ مِنْ بَنِى سُلَيْمٍ عَلىٰ رِعْلٍ وذُكْوَانَ وَ عُصْبَةِ وَيُؤْمِنُ مَنْ خَلْفَهُ. رواه أبو داود و أحمد. (فقه السنة الجزء الأول، ٢٨)18.

“Rasulullah saw. membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada waktu shalat Dzuhur, Ashar, Magrib, Isya dan Subuh yang ditempatkan diakhir semua shalat jika telah berkata سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ pada rakaat terakhir,mereka berdoa atas kehidupan dari Bani Sulaim atas Ri’al, Zukwan, Ushbah dan orang beriman sesudahnya”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Al-Hafidz Ibnu Hajar, yang bermadzhab Syafii, yaitu:

وَقَدْ وَجَدْنَا لِحَدِيثِهِ شَاهِدًا رَوَاهُ الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ عَنْ عَمْرٍو عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ : { صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ ، وَخَلْفَ أَبِي بَكْرِ كَذَلِكَ ، وَخَلْفَ عُمَرَ كَذَلِكَ } . (التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير – ج 1 / ص 479)

”Sungguh kami menemukan hadis penguat bagi hadis Qunut, yang diriwayatkan oleh Hasan bin Sufyan (dalam Musnadnya) dari Ja’far bin Mihran dari Abdulwaris dari Amr dari Hasan dari Anas, ia berkata: Saya salat bersama Rasulullah Saw, maka beliau selalu membaca Qunut dalam salat Subuh hingga saya berpisah dengan beliau, saya salat di belakang Abu Bakar juga seperti itu, dan di belakang Umar juga seperti itu” (at-Talkhish al-Habir 1/479)

Kesunahan Qunut Salat Subuh Dalam Madzhab Syafiiyah

Imam kita Muhammad bin Idris asy-Syafii tidaklah berijtihad secara dangkal, namun melalui sekian banyak penelitian terhadap hadis yang berkaitan dengan Qunut dalam salat Subuh, diawali dengan perkataan beliau:

(أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ) قَالَ (أَخْبَرَنَا الشَّافِعِي) قَالَ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ مَعْقِلٍ أَنَّ عَلِيًّا رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَنَّتَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَهُمْ لَا يَرَوْنَ الْقُنُوْتَ فِي الصُّبْحِ وَنَحْنُ نَرَاهُ للِسُّنَّةِ الثَّابِتَةِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَنَّتَ فِي الصُّبْحِ. (الأم – ج 7 / ص 177)

“Rabi’ telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syafii telah memberi kabar kepada kami, ia berkata Husyaim memberi kabar kepada kami dari Ma’qil bahwa Ali Ra melakukan qunut dalam salat Subuh, mereka tidak sependapat dengan Qunut salat Subuh dan kami berpendapat demikian, berdasarkan sunah yang sahih dari Rasulullah Saw, bahwa beliau melakukan Qunut dalam salat Subuh” (al-Umm 7/177)

Imam Kita, asy-Syafii juga menyebut bahwa sebelum adanya Qunut Nazilah, Rasulullah Saw sudah melakukan Qunut dalam salat Subuh dan tetap dilanjutkan hingga wafat bahkan dilanjutkan oleh para Khalifah yang empat:

وَيَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَتْرُكْ عَلِمْنَاهُ الْقُنُوْتَ فِي الصُّبْحِ قَطُّ وَإِنَّمَا قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَاءَهُ قَتْلُ أَهْلِ بِئْرِ مَعُوْنَةَ خَمْسَ عَشَرَ لَيْلَةً يَدْعُوْ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فِي الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا ثُمَّ تَرَكَ الْقُنُوْتَ فِي الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا فَأَمَّا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَا أَعْلَمُ أَنَّهُ تَرَكَهُ بَلْ نَعْلَمُ أَنَّهُ قَنَتَ فِي الصُّبْحِ قَبْلَ قَتْلِ أَهْلِ بِئْرِ مَعُوْنَةَ وَبَعْدُ. وَقَدْ قَنَتَ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ كُلُّهُمْ بَعْدَ الرُّكُوْعِ وَعُثْمَانُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فِي بَعْضِ إِمَارَتِهِ ثُمَّ قَدَّمَ الْقُنُوْتَ عَلَى الرُّكُوْعِ وَقَالَ لِيُدْرِكَ مَنْ سَبَقَ بِالصَّلَاةِ الرَّكْعَةَ. (الأم – ج 7 / ص 148)

“Imam (hendaknya) melakukan Qunut dalam salat Subuh setelah rakaat keduat. (Sebab) Rasulullah Saw tidak pernah meninggalkan Qunut dalam salat Subuh, sepengetahuan kami. Rasulullah Saw hanya melakukan Qunut ketika sampai kepada beliau kabar terbunuhnya penduduk sumur Maunah selama 15 hari, beliau mendoakan keburukan bagi satu kaum Musyrikin dalam semua salat, kemudian beliau meninggalkan Qunut dalam semua salat. Adapun dalam salat Subuh maka tidak saya ketahui beliau meninggalkannya, bahkan yang kami ketahui beliau sudah melakukan Qunut sebelum terbunuhnya penduduk sumur Maunah dan sesudahnya. Dan setelah Rasulullah, maka Abu Bakar, Umar dan Ali juga melakukan Qunut setelah rukuk. Sementara Utsman di sebagian masa kepemimpinannya memajukan Qunut sebelum rukuk, ia berkata: ’Supaya makmum yang terlambat menemukan rakaat salat’ (al-Umm 7/148)

Setelah sekian ratus tahun Madzhab Syafii ini berjalan, ada seorang ulama Syafiiyah yang mentarjih pendapat-pendapat imam Syafii, yaitu Imam Abu Zakariya an-Nawawi (631-676 H). Kalaulah pendapat Imam Syafii ini berdasarkan pada hadis yang lemah maka sudah pasti akan dianulir oleh Imam an-Nawawi sebagaimana dalam banyak masalah, diantaranya Imam an-Nawawi menguatkan pendapat Qaul Qadim Imam Syafii sebanyak kurang lebih 20 hukum, yang menurut an-Nawawi lebih kuat dasarnya dari pada Qaul Jadid. Dan ternyata masalah Qunut Subuh ini tetap dikuatkan oleh Imam an-Nawawi:

مَذْهَبُ الشَّافِعِيّ رَحِمَهُ الله أَنَّ الْقُنُوْتَ مَسْنُوْنٌ فِي صَلَاةِ الصُّبْح دَائِمًا ، وَأَمَّا غَيْرُهَا فَلَهُ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ : الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ : أَنَّهُ إِنْ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ كَعَدُوٍّ وَقَحْطٍ وَوَبَاءٍ وَعَطَشٍ وَضَرَرٍ ظَاهِرٍ فِي الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوِ ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيْعِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ وَإِلَّا فَلَا . وَالثَّانِي يَقْنُتُونَ فِي الْحَالَيْنِ . وَالثَّالِثُ : لَا يَقْنُتُونَ فِي الْحَالَيْنِ . وَمَحَلُّ الْقُنُوتِ بَعْدَ رَفْعِ الرَّأْسِ مِنْ الرُّكُوعِ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ . وَفِي اِسْتِحْبَابِ الْجَهْرِ بِالْقُنُوتِ فِي الصَّلَاةِ الْجَهْرِيَّةِ وَجْهَانِ : أَصَحُّهُمَا : يَجْهَرُ ، وَيُسْتَحَبُّ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْهِ ، وَلَا يَمْسَحُ الْوَجْهَ . وَقِيْلَ : يُسْتَحَبُّ مَسْحُهُ ، وَقِيْلَ : لَا يَرْفَعُ الْيَدَ . وَاتَّفَقُوا عَلَى كَرَاهَةِ مَسْحِ الصَّدْرِ ، وَالصَّحِيْحُ : أَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ فِيْهِ دُعَاءٌ مَخْصُوْصٌ ، بَلْ يَحْصُلُ بِكُلِّ دُعَاءٍ . وَفِيْهِ وَجْهٌ : أَنَّهُ لَا يَحْصُلُ إِلَّا بِالدُّعَاءِ الْمَشْهُورِ : ( اللَّهُمَّ اِهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْت . . . ) إِلَى آخِره . وَالصَّحِيح أَنَّ هَذَا مُسْتَحَبٌّ لَا شَرْطٌ ، وَلَوْ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ سَجَدَ لِلسَّهْوِ . وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَآخَرُونَ إِلَى أَنَّهُ لَا قُنُوْتَ فِي الصُّبْحِ ، وَقَالَ مَالِكٌ : يَقْنُتُ قَبْل الرُّكُوعِ . وَدَلَائِلُ الْجَمْعِ مَعْرُوفَةٌ ، وَقَدْ أَوْضَحْتُهَا فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ . وَاللَّهُ أَعْلَم . (شرح النووي على مسلم – ج 2 / ص 481)

“Madzhab Syafii Ra, bahwa Qunut disunahkan dalam salat Subuh selamanya. Adapun selain Qunut Subuh ada 4 pendapat, yang sahih dan masyhur adalah jika ada musibah seperti musuh, paceklik, wabah penyakit, kehausan, petaka yang tampak dalam kaum Muslimin dan sebagainya, maka mereka melakukan Qunut dalam semua waktu salat wajib, jika tidak maka tidak melakukan Qunut. Pendapat kedua melakukan Qunut dalam dua kondisi tersebut. Pendapat ketiga tidak melakukan Qunut dalam kondisi keduanya. Tempat melakukan Qunut adalah setelah bangun dari rukuk di rakaat terakhir. Dalam kesunahan mengeraskan Qunut saat salat yang dianjurkan mengeraskan suara ada 2 pendapat dari Ashab Syafiiyah, yang lebih kuat yaitu mengeraskan suara Qunut. Dianjurkan pula mengangkat kedua tangan dalam Qunut, tidak mengusap wajah, ada pendapat mengusap wajah. Ada pendapat pula tidak mengangkat tangan. Dan ulama sepakat makruhnya mengusap dada. Pendapat yang sahih tidak ditentukan doa dalam Qunut, boleh dengan doa apa saja. Ada pendapat dari Ashab Syafii yang mengharuskan dengan doa yang sudah masyhur ‘Allahumma ihdini fi man hadaita’… Pendapat yang sahih ini adalah kesunahan, bukan syarat. Jika meninggalkan Qunut dalam salat Subuh maka sujud Sahwi. Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya berpendapat tidak ada Qunut dalam Subuh, Malik berkata: Qunut sebelum rukuk. Dalil-dalil yang mengkompromikan sudah diketahui dan sudah saya jelaskan dalam Syarah Muhadzab (al-Majmu’)” (Syarah Muslim 2/481)

Penilaian Ahli Hadits Terhadap Dalil Qunut Riwayat Anas

Hadits tentang Qunut dalam salat Subuh berikut ini dinilai dlaif oleh ulama-ulama Wahabi. Lalu bagaimana penilaian ulama Ahli Hadis yang jauh lebih kredibel?

Al-Hafidz Ibnu Hajar:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا . (حم عب) حسن (روضة المحدثين – ج 11 / ص 277)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw selalu membaca doa Qunut dalam salat Subuh hingga wafat” (HR Ahmad). Ibnu Hajar mengatakan: Hadis Hasan (Raudlat al-Muhadditsin 11/277)

Al-Hafidz al-Haitsami:

Ulama Ahli Hadis al-Hafidz al-Haitsami menilai riwayat tentang Qunut Subuh adalah berdasarkan dari para perawi yang terpercaya, baik hadis dari Nabi maupun sahabat yang menggantikan Nabi Saw (Khalifah).

Hadis Nabi

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي اْلفَجْرِ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا. (رواه أحمد والبزار بنحوه ورجاله موثقون. اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد – ج 1 / ص 315)

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw selalu membaca doa Qunut dalam salat Subuh hingga wafat” (HR Ahmad dan al-Bazzar. Para perawinya dinilai terpercaya. Majma’ az-Zawaid 1/315)

Atsar Sahabat

وَعَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَّتَ حَتَّى مَاتَ وَأَبُوْ بَكْرٍ حَتَّى مَاتَ وَعُمَرُ حَتَّى مَاتَ. (رواه البزار ورجاله موثقون اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد – ج 1 / ص 315)
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw membaca doa Qunut hingga wafat, Abu Bakar hingga wafat dan Umar hingga wafat” (HR al-Bazzar. Para perawinya dinilai terpercaya. Majma’ az-Zawaid 1/315)

Ahli Hadis Ibnu Baththal:

وَثَبَتَ قُنُوْتُهُ فِى الصُّبْحِ، وَصَحَّ الْخَبَرُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا، حَدَّثَنَاهُ عَمْرُو بْنُ عَلِىٍّ قَالَ: أَخْبَرَنَا خَالِدُ بْنُ زَيْدِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُوْ جَعْفَرِ الرَّازِى عَنِ الرَّبِيْعِ قَالَ: « سُئِلَ أَنَسٌ عَنْ قُنُوْتِ النَّبِى، عَلَيْهِ السَّلَامُ، أَنَّهُ قَنَّتَ شَهْرًا قَالَ: لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، حَتَّى مَاتَ » ، حَدِيْثُ أَبِى مَالِكٍ صَحِيْحٌ عِنْدَنَا أَيْضًا (شرح ابن بطال – ج 4 / ص 210)

“Qunut dalam Subuh adalah sahih. Sebuah hadis sahih menyatakan bahwa Nabi selalu Qunut hingga wafat. Telah bercerita kepada kami Amr bin Ali, ia bercerita bahwa Khalid bin Zaid bercerita kepada kami, ia berkata bahwa Abu Ja’far ar-Razi bercerita kepada kami dari Rabi’: “Anas ditanya tentang Qunutnya Nabi Saw bahwa beliau Qunut selama sebulan. Anas menjawab: Nabi selalu membaca Qunut hingga wafat” Hadis Abu Malik adalah sahih menurut kami” (Syarah al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 4/210)

Abdul Qadir al-Arnauth:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : ” أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِى الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا ” ( الأذكار 48/1 ) قال الإمام النووى فى ” الأذكار ” 1 / 48 : قال الحاكم : حديث صحيح (روضة المحدثين – ج 10 / ص 179) تعقيب : قال عبد القادر الأرناؤوط 1 / 48 : و أخرجه الحاكم أيضا فى كتاب القنوت . وَقَالَ عَبْدُ الْقَادِرِ اْلأَرْنَاؤُوْطُ 1 / 48 : أَيْضًا صَحَّحَهُ الْحَاكِمُ عَلَى طَرِيْقَتِهِ فِى تَصْحِيْحِ مَا هُوَ حَسَنٌ عِنْدَ غَيْرِهِ ، فَالصَّوَابُ أَنَّ الْحَدِيْثَ حَسَنٌ .

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw selalu membaca doa Qunut dalam salat Subuh hingga wafat” (al-Adzkar 1/48 Imam an-Nawawi berkata bahwa al-Hakim menyatakan hadis ini sahih). Abdul Qadir al-Arnauth berkata: Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam kitab al-Qunut. Ia berkata: “al-Hakim menilainya sahih. Sesuai metodenya menilai sahih sebuah hadis yang menurut ulama lainnya adalah hasan. Maka yang benar hadis tersebut (Qunut riwayat Anas) adalah hasan”

Hadits-Hadits Yang Menguatkan Qunut Subuh

Imam an-Nawawi ber-istidlal dengan sebuah hadis sahih:

( كَانَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاة الْفَجْرِ مِنْ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبّنَا وَلَك الْحَمْدُ ، ثُمَّ يَقُول : اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيْدَ بْن الْوَلِيْدِ ) إِلَى آخِرِهِ فِيْهِ اِسْتِحْبَابُ الْقُنُوْتِ وَالْجَهْرِ بِهِ (شرح النووي على مسلم – ج 2 / ص 482)

“Hadis Riwayat Muslim: (Setelah Rasulullah Saw selesai dalam salat Subuh dari membaca Fatihah, beliau takbir, lalu bangun dari rukuk dengan mengucapkan ‘Semoga Allah menerima orang yang memujinya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, lalu Nabi berdoa: Ya Allah selamatkan Walid bin Walid…) Hadis ini adalah anjuran Qunut dan mengeraskan bacaan Qunut” (Syarah Muslim 2/482)
Imam an-Nawawi juga berkata:

( وَهُوَ قَائِمٌ فِي الصَّلَاةِ رَافِعٌ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يُسَبِّحُ . . . إِلَى قَوْله وَيَدْعُوْ ) فِيْهِ دَلِيلٌ لِأَصْحَابِنَا فِي رَفْع الْيَدَيْنِ فِي الْقُنُوْتِ ، وَرَدٌّ عَلَى مَنْ يَقُوْلُ : لَا تُرْفَعُ الْأَيْدِي فِي دَعَوَاتِ الصَّلَاةِ . (شرح النووي على مسلم – ج 3 / ص 324)

“Hadis riwayat Muslim: (Rasulullah berdiri dalam salat, mengangkat kedua tangannya, lalu bertasbih dan berdoa)… Hadis ini adalah dalil bagi ulama Syafiiyah dalam mengangkat kedua tangan dalam Qunut dan membantah pendapat yang mengatakan: Tidak boleh mengangkat tangan dalam doa saat salat” (Syarah Muslim 3/324)

Ahli Hadis al-Munawi berkata:

( كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ في صَلَاةِ الصُّبْحِ فِي آخِرِ رَكْعَةٍ قَنَتَ ) فِيْهِ أَنَّ الْقُنُوْتَ سُنَّةٌ فِي الصُّبْحِ مَأْثُوْرَةٌ وَأَنَّهُ كَانَ يُدَاوِمُ عَلَيْهِ لِاقْتِضَاءِ كَانَ لِلتَّكْرَارِ ( محمد بن نصر عن أبي هريرة ) بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (التيسير بشرح الجامع الصغير ـ للمناوى – ج 2 / ص 490)

“Hadis: (Jika Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk dalam salat Subuh di rakaat yag terakhir, maka membaca doa Qunut). Hadis ini menunjukkan bahwa Qunut adalah sunah dalam salat Subuh, berdasarkan riwayat dari Nabi dan Nabi selalu melakukannya. Sebab redaksi hadis yang berbunyi ‘kaana’ maknanya adalah berulang-ulang (HR Muhammad bin Nashr dari Abu Hurairah) dengan sanad yang hasan” (at-Taisir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir 2/490)

Kebanyakan Sahabat dan Tabiin Melakukan Qunut Subuh

Al-Hafidz az-Zailai berkata:

قَالَ الْحَازِمِيُّ فِي ” كِتَابِهِ النَّاسِخِ وَالْمَنْسُوخِ ” : اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي قُنُوتِ الْفَجْرِ ، فَذَهَبَ إلَيْهِ أَكْثَرُ الصَّحَابَةِ . وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ ، إلَى يَوْمِنَا ، فَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ الْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ . وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ ، مِثْلَ : عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ وَأُبَيُّ بْنِ كَعْبٍ وَأَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَالْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَسُهَيْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ وَمُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ وَعَائِشَةَ ، وَمِنْ الْمُخَضْرَمِينَ : أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ وَسُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ وَأَبُو عُثْمَانَ النَّهْدِيُّ وَأَبُو رَافِعٍ الصَّائِغُ ، وَمِنْ التَّابِعِينَ : سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَالْحَسَنُ وَمُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ وَأَبَانُ بْنُ عُثْمَانَ وَقَتَادَةُ وَطَاوُسٌ وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وَالرَّبِيعُ بْنُ خُثَيْمِ وَأَيُّوبُ السِّخْتِيَانِيُّ وَعَبِيدَةُ السَّلْمَانِيُّ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ وَزِيَادُ بْنُ عُثْمَانَ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَحُمَيْدَ الطَّوِيلُ . (نصب الراية في تخريج أحاديث الهداية للزيلعي الحنفي – ج 3 / ص 185)

“Al-Hazimi berkata dalam kitabnya ‘an-Nasikh wa al-Mansukh’: Ulama berbeda pendapat mengenai Qunut salat Subuh. Maka kebanyakan sahabat memilih pendapat ini, para Tabiin dan yang sesudahnya dari ulama-ulama perkotaan sampai hari ini. Qunut Subuh ini diriwayatkan dari Khalifah yang empat dan sahabat yang lain, seperti Ammar bin Yasir, Ubay bin Ka’b, Abu Musa al-Asyari, Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Barra’ bin Azib, Malik bin Anas, Suhail bin Sa’d as-Saidi, Muawiyah bin Abu Sufyan, Aisyah. Dari kalangan Mukhadram (Sahabat yang baru masuk Islam setelah Nabi wafat) adalah Abu Raja’ al-Utharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman an-Nahdi, Abu Rafi’ ash-Shai’. Dari kalangan tabiin adalah Said bin Musayyab, Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Aban bin Utsman, Qatadah, Thawus, Ubaid bin Umair, Rabi’ bin Khutsaim, Ayyub as-Sakhtiyani, Abidah as-Salmani, Urwah bin Zubair, Ziyad bin Utsman, Abdurrahman bin Abi Laila, Umar bin Abdul Aziz dan Humaid ath-Thawil” (Nash bar-Rayah fi Takhriji Hadis al-Hidayah, az-Zailai al-Hanafi, 3/185)

Sahabat Yang Mengatakan Bid’ah Pada Qunut

Dari kalangan Wahabi sering mengatakan bahwa Qunut salat Subuh adalah bid’ah berdasarkan perkataan beberapa sahabat, inilah jawabannya dari para ahli hadis:
قَوْله : ( بَاب الْقُنُوت قَبْل الرُّكُوع وَبَعْده ) الْقُنُوت يُطْلَق عَلَى مَعَانٍ ، وَالْمُرَاد بِهِ هُنَا الدُّعَاء فِي الصَّلَاة فِي مَحَلّ مَخْصُوص مِنْ الْقِيَام . قَالَ الزَّيْن بْن الْمُنِير : أَثْبَتَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة مَشْرُوعِيَّة الْقُنُوت إِشَارَة إِلَى الرَّدّ عَلَى مَنْ رَوَى عَنْهُ أَنَّهُ بِدْعَة كَابْنِ عُمَر ، وَفِي الْمُوَطَّأ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ لَا يَقْنُت فِي شَيْء مِنْ الصَّلَوَات ، وَوَجْه الرَّدّ عَلَيْهِ ثُبُوته مِنْ فِعْل النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ مُرْتَفِع عَنْ دَرَجَة الْمُبَاح ، قَالَ : وَلَمْ يُقَيِّدهُ فِي التَّرْجَمَة بِصُبْحٍ وَلَا غَيْره مَعَ كَوْنه مُقَيَّدًا فِي بَعْض الْأَحَادِيث بِالصُّبْحِ (فتح الباري لابن حجر – ج 3 / ص 432)

“Bab Qunut Sebelum dan Sesudah Rukuk. Qunut memiliki banyak makna. Yang dimaksud disini adalah doa di dalam salat di tempat tertentu saat berdiri. Az-Zain al-Munir berkata: “al-Bukhari menetapkan bab ini menjelaskan disyariatkannya Qunut, sebagai isyarat menjawab ulama yang mengatakan bid’ah seperti Ibnu Umar. Dalam al-Muwatha’ diriwayatkan bahwa Ibnu Umae tidak Qunut sama sekali dalam salat. Bentuk jawabannya adalah keabsahan Qunut dilakukan oleh Nabi Saw. Maka Qunut naik derajatnya dari sekedar sesuatu yang diperbolehkan. Az-Zain berkata: al-Bukhari tidak menyebutkan ketentuan ‘Subuh’ atau yang lainnya, sementara dalam sebagian riwayat yang lain ada teks kalimat ‘Subuh’ (Fath al-Bari Syarah al-Bukhari 3/432)

Sedangkan riwayat bid’ah dari Ibnu Abbas dinilai dlaif oleh ulama Wahabi sendiri:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ أَشْهَدُ أَنِّي سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ إِنَّ الْقُنُوْتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ بِدْعَةٌ . رواه الدارقطني ( ضعيف ) (مختصر إرواء الغليل – ج 1 / ص 88)

Diriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata: Saya bersaksi bahwa saya mendengan Ibnu Abbas berkata bahwa Qunut dalam salat Subuh adalah bid’ah. HR ad-Daruquthni (Dlaif). (al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 1/88)
28 Sahabat Badar Melakukan Qunut Subuh

Al-Hafidz al-Mizzi menyebutkan riwayat diatas sebagai berikut:

رَوَى عَبْدُ الصَّمَدِ بْنِ عَبْدِ الْوَارِثِ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ خَالِدَا الْعَبْدَ يَقُوْلُ: قَالَ الْحَسَنُ: صَلَّيْتُ خَلْفَ ثَمَانِيَةٍ وَعِشْرِيْنَ بَدْرِيًّا كُلُّهُمْ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ. فَقُلْتُ : مِمَّنْ سَمِعْتَ هَذَا ؟ قَالَ: مِنْ مَيْمُوْنِ الْمَرْئِي. فَلَقِيْتُ مَيْمُوْنًا الْمَرْئِيَّ فَسَأَلْتُهُ، فَقَالَ: قَالَ الْحَسَنُ: صَلَّيْتُ خَلْفَ ثَمَانِيَةٍ وَعِشْرِيْنَ بَدْرِيًّا كُلُّهُمْ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ (تهذيب الكمال للمزي – ج 29 / ص 228)

Abdushomad bin Abdulwaris meriwayatkan bahwa ia mendengar Khalid berkata bahwa Hasan berkata: “Saya salat bermakmum kepada 28 sahabat yang ikut perang Badar, semuanya membaca Qunut dalam salat Subuh setelah rukuk.” Saya (Abdulwaris) bertanya: Kamu mendengar dari siapa? Ia berkata: Dari Maimun al-Mar’i” Lalu saya bertemu Maimun al-Mar’i, ia berkata bahwa Hasan berkata: “Saya salat bermakmum kepada 28 sahabat yang ikut perang Badar, semuanya membaca Qunut dalam salat Subuh setelah rukuk.” (Tahdzib al-Kamal 29/228)
Riwayat yang menyebut “Qunut Salat Subuh” selain al-Mizzi adalah Syaikh ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta’dil 8/237. namun ulama lainnya seperti Imam al-Bukhari dalam kedua kitab Tarikhnya (al-Kabir 3/165 dan ash-Shaghir 2/118) dan al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal 1/649 tidak menyebut ‘Subuh’:

قَدْ رَوَى عَبْدُ الصَّمَدِ بْنِ عَبْدِ الْوَارِثِ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ خَالِدَا الْعَبْدَ يَقُوْلُ: قَالَ الْحَسَنُ: صَلَّيْتُ خَلْفَ ثَمَانِيَةٍ وَعِشْرِيْنَ بَدْرِيًّا كُلُّهُمْ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ. فَقُلْتُ: مَنْ حَدَّثَكَ ؟ قَالَ: مَيْمُوْنُ الْمَرْئِى، فَلَقِيْتُ مَيْمُوْنًا فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: قَالَ الْحَسَنُ مِثْلَهُ، فَقُلْتُ: مَنْ حَدَّثَكَ ؟ قَالَ: خَالِدٌ الْعَبْدُ. (ميزان الاعتدال – ج 1 / ص 649)

Kerancuan dan Kontradiksi Metodologi Ilmiah Wahabi

Kalau Wahabi masih secara buta bersikukuh bahwa Qunut adalah bid’ah dengan berpedoman pada kriteria yang dibuat-buat oleh Syaikh Albani, yaitu:

كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ تَأْتِ كَيْفِيَّتُهَا إِلَّا فِي حَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ أَوْ مَوْضُوْعٍ.

“(diantara criteria bid’ah) adalah setiap ibadah yang tidak ada tatacara ibadahnya kecuali dalam hadis dlaif atau hadis palsu” (Ahkam al-Janaiz 1/242)
Maka teori ini bertentangan denga perkataan Albani sendiri dalam halaman yang sama dalam 1 kitab, bahwa jika perintah syariat dilakukan oleh seorang sahabat bukanlah bid’ah:

كُلُّ أَمْرٍ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُشَرَّعَ إِلَّا بِنَصٍّ أَوْ تَوْقِيْفٍ، وَلَا نَصَّ عَلَيْهِ، فَهُوَ بِدْعَةٌ إِلَّا مَا كَانَ عَنْ صَحَابِيٍّ.

Setiap hal yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan nash syar’i, atau diajarkan oleh Nabi. Hal tersebut merupakan bid’ah kecuali yang dilakukan sahabat (Ahkam al-Janaiz 1/242)
Sudah kami paparkan diatas sangat banyak sekali sahabat yang melakukan Qunut salat Subuh, bahkan para Khalifah juga melakukannya. Lalu darimana bid’ahnya? Inilah kerancuan dan kontradiksi teori ulama Wahabi yang tidak ilmiah sama sekali, sebab bagaimana mungkin sahabat melakukan suatu ibadah berdasar hadis dlaif bisa dihukumi bid’ah secara bersamaan?



Kesimpulan

Kesimpulannya, ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum doa qunut pada shalat Shubuh adalah sunnah ab’adl, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam. Wallahu a’lam bi -shawab.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar