MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 10 Oktober 2017

KAJIAN TENTANG ZAKAT PROFESI



Zakat profesi atau jasa disebut juga زكاة كسب العمل  yang berarti mengeluarkan sebagian harta dari hasil gaji, komisi atau bayaran suatu pekerjaan atau profesi, baik sebagai karyawan, dokter, konsultan, pengacara, penjahit, pemborong, kontraktor, makelaran, pengajar dan lainnya, baik itu pegawai negeri atau swasta. Diwajibkan mengeluarkan zakat setelah mencapai satu nishab dan memenuhi syarat dengan niat zakat karena Allah.

Istilah ‘zakat profesi’ sebenarnya tidak dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan diliteratur kitab salaf, bahkan sebagian fuqaha’ salaf tidak menyebutkannya sebagai harta yang wajib dizakati. Karena harta yang wajib dizakati secara eksplisit hanya meliputi beberapa macam yaitu harta 1. Masyiyah (hewan ternak); 2. Naqd (emas dan perak); 3. Zuru’ (hasil pertanian); 4. Tsimar (buah-buahan); 5. ‘Arudl Al-Tijarah (harta dagangan); 6. Ma’dan (hasil pertambangan emas dan perak); 7. Rikaz (temuan harta dari pendaman orang jahiliah); 8. Madu. Sedangkan ‘penghasilan profesi’ tidak disebutkan dalam macam-macam harta tersebut

Zakat  merupakan salah satu rukun islam. Karena masuk pada rukun, maka ibadah seperti zakat wajib difahami oleh kita semua. Selain wajib faham, tentu kita harus mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Mengenai zakat penghasilan atau yang sering disebut dengan zakat profesi, merupakan hasil ijtihad beberapa ulama kontemporer. Istilah zakat profesi sebetulnya tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, para sahabat dan generasi selanjutnya. Dengan berkembangnya zaman, tentu berkembang pula permasalahan yang ada.  Dengan demikian, ijtihad dalam masalah atau hal-hal baru memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ijtihad para ulama untuk masalah kontemporer memang sangat dibutuhkan.

Namun yang menjadi permaslahan adalah, apakah zakat profesi masuk pada masalah kontemporer atau klasik ?

Dari sinilah para ulama berbeda pendapat tentang status hukum zakat profesi itu sendiri. Sebagian ulama ada yang menentangnya dengan alasan bahwa zakat profesi tidak pernah ada di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain tidak ada pada zaman Nabi, zakat merupakan salah satu rukun Islam yang tentu sudah qath’i sehingga tidak ada ijtihad dalam masalah ini. Namun, menurut sebagian ulama lainnya, zakat profesi adalah wajib. Apalagi profesi zaman sekarang sudah  beragam dan adakalanya menghasilkan jumlah yang besar bahkan sangat besar. . Salah satu dalil utama yang mereka kemukakan adalah  firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yaitu Surat Al-Baqarah ayat 267 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ  وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Al-Baqarah : 267)

Zakat diwajibkan berdasarkan al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’ Ulama. Dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an banyak menggunakan bentuk amar (perintah) atau intruksi.

Hal ini didasarkan pada firman Allah:

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

“Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.“ (QS. Al-Baqarah: 219)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa menurut Ibnu Abbas, "al-‘Afw" adalah “sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga”. Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab, Hasan, Qatadah, Qasim, Salim, ‘Atha Khurasani, Rabi’ah bin Anas, dan lainnya berpendapat bahwa arti al-‘Afwu dalam ayat tersebut adalah “lebih”.

Hal ini juga ditunjukkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah:

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ عِنْدِي دِينَارٌ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُعَلَى
 أَهْلِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ قَاعِنْدِيآخَرُ قَالَ فَأَنْتَ أَبْصَرُ.

“Seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, saya memiliki satu dinar. Lalu Rasulullah saw menjawab: Nafkahkanlah untuk dirimu sendiri. Ia berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab: Nafkahkanlah kepada keluargamu. Ia berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab: Nafkahkanlah kepada anakmu. Ia berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab: Kau (berarti sudah) mempunyai kelapangan.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan seseorang, istri, dan anaknya lebih didahulukan daripada kebutuhan orang lain.

Muslim juga meriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا. [رواه مسلم]

"Berikanlah terlebih dahulu untuk kepentingan dirimu; bila lebih, maka untuk istrimu; bila masih lebih, maka untuk keluarga terdekatmu; bila masih lebih lagi, berikanlah untuk lain-lain.” [HR. Muslim]

Sehubungan zakat profesi diqiyaskan kepada emas, maka disyaratkan adanya haul. Jadi, semua harta yang didapat selama satu tahun berjalan digabungkan, dan jika ada sisa harta dalam satu tahun yang mencapai nisab maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Tetapi dalam hal ini boleh juga mempercepat pengeluaran zakat. Hal ini berdasarkan hadis dari Ali r.a.:

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ. [رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلاَّ النَّسَائِيّ]

Bahwa Abbas bin Abdul Muthallib bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menyegerakan (mempercepat) pengeluaran zakatnya sebelum datang waktu halalnya (satu tahun), lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan hal itu.” [HR. lima ahli hadits kecuali an-Nasa’i]

Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar menyebutkan bahwa sanad hadis ini ada komentar, tetapi dikuatkan oleh hadits-hadits lain, di antaranya riwayat Abu Dawud dan Thayalisi dari hadits Abu Rafi’:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعُمَرَ: إنَّا كُنَّا تَعَجَّلْنَا صَدَقَةَ مَالِ الْعَبَّاسِ عَامَ اْلأَوَّلِ.

Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Umar: "Sesungguhnya kami telah mempercepat pengeluaran zakat harta Abbas pada tahun pertama.”

Seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr emas/tahun) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah Ta'ala) bukan hanya sekedar hak mustahiq. (Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 hal. 252-253).

Jadi, jika mempunyai penghasilan tetap yang bisa diprediksi jika dihitung untuk waktu satu tahun ke depan telah mencapai nisab, maka bisa dikeluarkan zakatnya pada saat mendapatkan penghasilan itu.

Contoh Perhitungan Zakat Profesi
Gaji seorang pegawai sebuah perusahaan swasta nasional adalah Rp. 3.500.000,- per bulan. Setelah dipotong biaya hidup sehari-hari seperti biaya dapur/makan, pendidikan, kesehatan, listrik, pembayaran hutang dan kebutuhan pokok lainnya ternyata masih tersisa Rp. 1.850.000,- Jika dikalkulasi, dalam setahun ia mendapat Rp. 1.850.000,- x 12 = Rp. 22.200.000,-. Nishab zakat profesi adalah setara harga 85 gr emas murni 24 karat. Jika harga emas murni 24 karat per gram adalah Rp. 250.000,-, maka nishab zakat profesi adalah Rp. 21.250.000.

Dengan demikian, gaji pegawai tersebut sudah mencapai nisab dan ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % x Rp. 1.850.000,- = Rp. 46.250,- jika dikeluarkan per bulan, atau 12 x 2,5 % x Rp. 1.850.000,- = Rp. 555.000,-  jika dikeluarkan per tahun.

Kesimpulan :

     Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa zakat profesi diakui oleh syariah dan mempunyai landasan dari al-Qur’an dan sunnah sebagaimana yang tersebut di atas. Zakat profesi hanya sebuah istilah, kalau tidak setuju dengan istilah ini, bisa menyebutnya dengan zakat maal.

Adapun cara pengeluarannya dan besaran uang yang harus dikeluarkan dari zakat profesi ini mengikuti tata cara dan besaran dalam zakat emas, dan harus sudah melalui waktu satu tahun. Wallahu a’lam bish-shawab

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

Tidak ada komentar:

Posting Komentar