MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 13 Oktober 2017

HUKUM SEWA MENYEWA (IJAROH)


Pada masa sekarang ini semakin banyak muncul masalah dalam bidang muamalah. Dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masalah pun semakin kompleks, khususnya dalam bidang fiqhiyah. Untuk menyikapi kondisi yg seperti ini, kita dituntut untuk dapat berfikir secara logis serta tetap konsisten memegang teguh dasar2 agama Islam.

Manusia sebagai makhluk social yg tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan muamalah. Praktek muamalah yg sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan rasio akal tapi juga tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadist sebagai dasarnya.

Salah satu bentuk muamalah yg akan  sy bahas dalam artikel ini adalah sewa menyewa. Sewa menyewa menjadi praktek muamalah yg masih banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting untuk membahas secara rinci tentang pengertian, hukum, dasar hukum, rukun, syarat, serta hal2 yg diperdebatkan oleh ulama tentang sewa menyewa agar manusia menjadi semakin mantap dengan akad sewa menyewa yg sering dilakukan dalam kehidupannya.

Secara etimologis, kata ijarah berasal dari kata ajru yg berarti ‘iwadh (pengganti). Oleh karena itu, tsawab (pahala) disebut juga dengan ajru (upah). Dalam syari’at Islam sewa menyewa dinamakan ijarah yaitu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.

Kalau dalam kitab2 fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa” maka hal tersebut jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yg berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi menjual manfaatnya bukan bendanya.

Ahli fiqih dalam berbagai madzhab telah menegaskan bahwa akad sewa-menyewa adalah akad yg dibenarkan dalam syari’at. Dan bahkan ia termasuk satu akad yg telah dijalankan oleh para nabi sejak zaman dahulu kala. Sebagai buktinya simaklah firman Allah Ta’ala berikut :

لَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang2 yg baik".[Al-Qashash ; 27]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjalankan akad ini, diantaranya ketika berhijrah, beliau menyewa seorang lelaki dari Bani Diel, sebagai penunjuk jalan dari kota Makkah menuju ke kota Madinah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga ulama lainnya, terlebih yg menuliskan siroh beliau.

Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Seluruh ulama di berbagai belahan bumi dan juga ulama2 generasi pertama umat, Islam sepakat untuk membolehkan akad sewa-menyewa.” [Bidayatul Mujtahid 2/220]

Secara logika, akad sewa adalah solusi tepat bagi terjadinya hubungan yg adil antara pemilik barang dengan penggunanya. Pemilik barang mendapatkan imbalan atas kegunaan barangnya, sebagaimana penyewa berhak mendapatkan kegunaan barang sewaannya dalam batas waktu yg disepakati.

Andai pemilik barang dipaksa meminjamkan barangnya kepada yg membutuhkan tanpa ada imbalan sedikit pun, tentu ini sangat menyusahkannya. Sebagaimana ide ini mendorong masyarakat untuk bersikap malas, karena merasa memiliki peluang untuk menggunakan barang milik orang lain.

Sebaliknya pun demikian, bila setiap orang diwajibkan memiliki barang, dan tidak boleh menyewa, tentu sangat merepotkan. Betapa banyak orang yg tidak mampu memiliki rumah, kendaraan, berbagai peralatan, dan lainnya secara sendiri. Tentu kondisi semacam ini sungguh menyulitkan kebanyakan orang. Dengan demikian, terbuktilah bahwa akad sewa-menyewa adalah solusi tepat terwujudnya hubungan yg adil antara pemilik barang dan penyewa.

Telah dikemukakan di muka bahwa sewa-menyewa adalah sarana pertukaran kepentingan antara pemilik barang dengan penyewa. Dengan membayar sejumlah imbalan penyewa berhak memanfaatkan barang, sedang sebagai imbalannya pemilik barang mendapatkan uang.

Sebagai konsekuensinya, untuk dapat menjalankan akad ini dengan benar, kita harus mengenal apa saja yg boleh kita jadikan sebagai “uang sewa”. Secara garis besar, ulama ahli fiqih telah menjelaskan bahwa yg dapat Anda jadikan sebagai “uang sewa” ialah segala harta yg dapat kita perjualbelikan. Dengan demikian, berbagai persyaratan yg telah kita ketahui tentang barang yg boleh diperdagangkan berlaku pada barang yang hendak kita jadikan sebagai “uang sewa”.

Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Adapun kententuan barang yg dapat dijadikan sebagai ‘uang sewa’ ialah segala benda yg dapat diperjual belikan, maka boleh dijadikan sebagai ‘uang sewa’.” [Bidayatul Mujtahid 2/220]

Sebagai salah satu aplikasi langsung dari ketentuan ini, maka para ulama mengharuskan adanya kejelasan “uang sewa”. Dengan adanya kejalasan pada “uang sewa” baik nominal ataupun tempo pembayarannya, diharapkan tidak terjadi persengketaan.

عَنْ حَنْظَلَةُ بْنُ قَيْسٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَاْسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذِ يَاتِ وَأَقْبَالِ الجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَالزَّرْعِ فَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهْلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَبَأْسَ بِهِ

"Hanzhalah bin Qais al-Anshari mengisahkan: Aku pernah berrtanya kepada Rafi’ bin Khadij Radhiyallahu anhu perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak (dinar dan dirham). Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa. Sejatinya dahulu semasa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang ‘sewa uang’ berupa hasil tanaman yg tumbuh di dekat sungai, parit, dan hasil tumbuhan tertentu. Dan ketika musim panen tiba, bisa jadi tanaman bagian ini rusak sedangkan bagian ini utuh sedangkan bagian itu rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang kecuali dengan cari ini, karena itu mereka dilarang menyewakan ladangnya. Adapun menyewakan ladang dengan ‘uang sewa’ yg telah jelas nan pasti maka tidak mengapa.” [Riwayat Muslim hadits no. 4034]

Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukilkan dari sebagian ulama yg menjelaskan bahwa hadits di atas menjadi dalil kuat bolehnya menyewakan ladang dengan “uang sewa” berupa emas, perak, segala bentuk bahan makanan dan benda lainnya asalkan jelas jumlahnya. Menurut mereka, segala barang yg dapat dijadikan sebagai “pembayaran” dalam akad jual beli, maka boleh dijadikan “uang sewa” dalam penyewaan ladang. Ketentuan ini berlaku selama barang tersebut tidak mengandung unsure gharar (ketidakpastian) [At-Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr 3/40]

Adapun barang yg menjadi objek akad sewa ketentuannya adalah peryama barangnya harus halal.

Akad sewa-menyewa sejatinya adalah salah satu bentuk akad jual-beli, hanya saja yg diperjualbelikan ialah kegunaan barang dan bukan fisik barangnya. Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Akad sewa-menyewa sejatinya adalah jual beli, dengan demikian setiap orang yg dibenarkan untuk berjual beli maka ia pun boleh untuk sewa-menyewa.” [At-Tanbih: 122]

Berangkat dari fakta ini, tidak diragukan bahwa barang2 haram dalam syari’at, semisal babi, anjing, dan yg serupa dengannya tidak halal diperjualbelikan, baik fisiknya maupun kegunaanya.

إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ

”Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Dia mengharamkan pula atas mereka hasil penjualannya.” [Riwayat Ahmad 1/247 dan Abu Dawud hadits no. 3490]

Keumuman hadits ini mencakup hasil penjualan fisik barang haram, dan juga penjualan fungsinya melalui akad sewa-menyewa.

Ketentuan Kedua: Disewa Untuk Tujuan Yang Halal

Harta benda dan segala yg ada pada diri Anda adalah nikmat dan karunia Allah Azza wa Jalla. Sebagai konsekuensinya, Anda berkewajiban untuk menggunakannya dengan cara2 yg benar dan dalam batasan yg dibenarkan pula. Dengan demikian, segala nikmat Allah Ta’ala yg Anda miliki dapat menunjang terlaksananya peribadatan Anda kepada Allah Azza wa Jalla.

Anda bisa bayangkan, betapa indahnya hidup Anda bila Anda benar2 menggunakan segala karunia Allah Azza wa Jalla guna menunjang peribadatan Anda.

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِح

“Sebaik-baik harta halal adalah harta yg dimiliki oleh orang yang shalih.” [Riwayat Ahmad 4/197]

Berangkat dari prinsip ini, ulama ahli fiqih telah menegaskan akan keharaman menyewakan barang atau diri Anda untuk bekerja dalam hal-hal yg melanggar syari’at.

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُلَهُ

“Berkaitan dengan khamar, Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa sallam melaknati sepuluh kelompok orang: pemerasnya, orang yg meminta untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distrbutornya), orang yg dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yg menyajikan), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yg dibelikan untuknya.” [Riwayat at-Tirmidzi hadits no. 1295 dan Ibnu Majah: 3381]

Di antara bentuk sewa-menyewa (jual jasa) yg diharamkan dalam Islam ialah menyewakan biduanita untuk mendengarkan lagu. Kepastian hukum ini selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَتَبِيْعُوا الْقَيِّنَاتِ وَلاَ تَشْتَرُوْهُنَّ وَلاَ تُعَلِّمُوْهُنَّ وَلاَ خَيْرَفِي تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ

“Janganlah kalian menjual biduanita, jangan pula kalian membeli mereka. Sebagaimana jangan pula kalian mengajarkan mereka untuk benyanyi. Tidak ada baiknya memperdagangkan biduanita dan sudah barang tentu hasil penjualannya haram.” [Riwayat at-Tirmiczi hadits no. 1282]

Diantara bentuk sewa-menyewa yg diharamkan dalam Islam ialah menyewakan jasa perdukunan dan perzinaan. Padahal Anda pasti mengetahui bahwa Islam membolehkan menyewa seorang wanita atau lelaki untuk suatu pekerjaan yang halal. Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menuturkan:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ، وَمَهْرِ الْبَغِىَ

“Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, upah perdukunan, dan perzinaan.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2122]

Demikianlah saudaraku! Setiap orang yang memiliki andil langsung atau tidak dalam perbuatan keji atau mungkar akan mempertanggungjawabkan perbuatannya baik di dunia maupun di akhirat. Yang demikian itu karena setiap pelaku kemungkaran, bila tidak mendapatkan dukungan dari seluruh orang yg ada disekitarnya, tentu tidak akan kuasa menjalankan kemungkarannya. Dan sebagai orang yg beriman, tentu Anda benci terhadap segala bentuk andil dalam kemungkaran. Wallohu a'lam bis-Showab

Bagaimana dengan penyewaan villa di Puncak sebagaimana gambar hehehe...... just kidding

Tidak ada komentar:

Posting Komentar