MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 03 Oktober 2017

KAJIAN HUKUM BERSALAMAN SELESAI SHALAT




Masyarakat Nusantara dikenal dengan kesantunan, kesopanan, dan kelembutannya. Mereka identik dengan masyarakat yang pandai bersosial dan bukan tipikal masyarakat individual. Kekompakan masyarakat Nusantara ini juga tercermin dalam tradisi agama yang mereka jalankan.


Terbukti hampir sebagian besar tradisi keagamaan mereka dilakukan secara kolektif (berjama’ah) dan memiliki fungsi sosial yang cukup kuat. Misalnya tradisi salaman setelah shalat.

Kebiasaan ini lumrah ditemukan di masyarakat. Usai shalat berjama’ah mereka saling sapa satu sama lainnya dengan jabat tangan. Ada juga yang berdzikir dan berdo’a terlebih dahulu, kemudian baru salaman. Hal ini menunjukkan betapa akurnya masyarakat Nusantara dan tradisi ini sekaligus dapat memupuk persaudaraan dan memperkuat keakraban.
Dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No. 3703)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قلنا: يا رسول الله! أينحني بعضنا لبعض؟ قال ((لا)). قلنا: أيعانق بعضنا بعضا؟ قال ((لا. ولكن تصافحوا)).

Kami bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain?” Beliau menjawab; “Tidak.” Kami bertanya: “Apakah saling berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi hendaknya saling bersalaman.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’ala No. 4287)

Dari Anas pula:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“Adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/36)

Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

دخلت المسجد، فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني.

Saya masuk ke masjid, ketika bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datanglah menghampiri saya Thalhah bin ‘Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156, Abu Daud No. 2773, Ahmad No. 15789)

Berkata Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.

Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari No. 5908)


مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم

Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “pada asalnya bersalam-salaman itu disyariatkan ketika bertemu antar sesama muslim. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menyalami para sahabat nya jika bertemu dan para sahabat juga jika saling bertemu mereka bersalaman. Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Asy Sya’bi mengatakan:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“Para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika saling bertemu mereka bersalaman, dan jika mereka datang dari safar mereka saling berpelukan”.
Budaya bersalaman (jabat tangan) adalah perkara yang masyhur diantara kaum Muslimin pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Kesimpulan
Jadi, tradisi salaman yang sudah berlangsung lama di masyarakat Nusantara bukanlah bid’ah tercela, namun dapat digolongkan bid’ah hasanah. Bahkan menurut An-Nawawi, tradisi ini dapat dikatakan sebagai kesunahan terutama jika orang yang dijabat tangannya belum pernah bertemu sebelumnya.
Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru’nya bersalaman bagi sesama muslim yakni pria dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil ‘aam (umum) dan muthlaq (tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil bersifat ‘aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar