Syahdan, tulisan ini sekedar menyampaikan perkataan ulama Ahlussunnah wal Jama'ah dan bukan berasal dari kitab-kitab ulama salafi wahabi sehingga siapa pun yang mengkritisi kuburan Ba'alawi disebut berpaham wahabi. Kajian kali ini mengambil hujjah dari Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani Al-Yamani.
Imam Asy-Syaukani berasal dari Yaman, lebih tepatnya dari kota Hijrah Syaukan di luar kota Sana'a. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani Ash-Shan'ani Al-Yamani, dan ia dilahirkan di sana pada tahun 1173 H. Dalam salah satu kitab karyanya Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur pada halaman 6-8 menjelaskan bahwa orang yang pertama kali dan satu-satunya yang membolehkan pembangunan makam orang-orang Shaleh dengan megah adalah Syeikh Yahya bin Hamzah Al-Yamani.
Syeikh Yahya bin Hamzah Al-Yamani adalah anggota elit Syiah Zaidiyah, tetapi bukan dari keturunan Rassayyin (Al-Houti) yang biasanya menjadi imam. Yahya adalah keturunan generasi ke-13 dari imam Syiah Ali bin Musa Ar-Ridha (wafat 818 M).
Imam Al-Mahdi Muhammad telah menaklukkan banyak wilayah negara Rasuliyah, termasuk kota perdagangan dan politik penting, Sana'a. Setelah kematiannya pada tahun 1328 M, setidaknya ada empat orang yang mengklaim diri sebagai imam.
Selain Yahya, klaim imamah juga datang dari An-Nasir Ali bin Shalah, Ahmad bin Ali Al-Fathiy, dan putra imam yang wafat, Al-Watsiq Al-Muthahhar bin Muhammad.
Yahya adalah yang paling berpeluang menjadi imam dan berhasil menguasai Sana'a. Dengan Sana'a sebagai basis, beliau memutuskan untuk melancarkan perang terhadap sekte Ismailiyah dari suku Hamdan di Dhuhr Wadi.
Negara Rasuliyah tidak dapat merebut kembali wilayah yang telah hilang di Yaman utara dan membiarkan Zaidiyah tidak terancam. Imam Yahya menulis kitab "Al-Intishar" yang dianggap sebagai salah satu kitab hukum syariah terpenting bagi Zaidiyah dan kitab "Ad-Da'wah Al-'Amah" untuk mendorong perjuangan iman yang sebenarnya.
Dikatakan bahwa jumlah halaman kitab-kitab yang ditulisnya sama dengan jumlah hari yang beliau jalani.
Mukayyad Yahya wafat pada tahun 1345 M (atau 1349 M menurut sumber lain) dan dimakamkan di Dhamar. Setelah kematiannya, Sana'a dikepung oleh dua bersaudara Zaidiyah, Ibrahim bin Abdullah dan Dawud bin Abdullah, yang memerintah sebagai amir dan tidak mengklaim gelar imam. Kontrol atas Sana'a berlanjut hingga tahun 1381 M.
Di dalam kitab karya Imam Asy-Syaukani dijelaskan sebagai berikut,
**مسألة رفع القبور، والبناء عليها، كما يفعل الناس من بناء المساجد والقباب على القبور.**
نقول: اعلم أنك قد اتفق الناس، سابقهم ولاحقهم، وأولهم وآخرهم من لدن الصحابة رضي الله عنهم إلى هذا الوقت، أن رفع القبور والبناء عليها بدعة من البدع التي ثبت النهي عنها، رأيت رسول الله ﷺ لفاعلها، كما يأتي بيانه، ولم يخالف في ذلك أحد من المسلمين أجمعين؛ لكنه وقع للإمام يحيى بن حمزة مسألة تدل على أنه يرى أنه لا بأس بالقباب والمشاهد على قبور الفضلاء، ولم يقل بذلك غيره، ولا يُروى عن أحد سواه، ومن ذكرها من المؤلفين في كتب الفقه من الزيدية، فهو جرى على قوله وقلّدَه فيه، ولم يُجد القول بذلك من غيره، أو تقدّم عصره عليه، لا من أهل البيت، ولا من غيرهم. وهكذا اقتصر صاحب البحر الذي هو مدرَس كبار الزيدية ومرجع مذهبهم، ومكان العيان فلاتهم في ذات بينهم، والخلاف بينهم غيرهم، بل اشتهل على غالب أقوال المجتهدين وخلافاتهم في المسائل الفقهية، وصار هو المرجوع إليه في هذه الأعصار، وهذا الديار، لمن أراد معرفة الخلاف في المسائل وأقوال القائلين بأعيانها أو نُسبها من المجتهدين؛ فإن صاحب هذا الكتاب الجليل لم يُنسب هذه المقالة -أعني جواز رفع القباب والمشاهد على قبور الفضلاء- إلا إلى الإمام يحيى وحده. فقد قال ما نصه:
**مسألة: الإمام يحيى: لا بأس بالقباب والمشاهد على قبور الفضلاء، والمدرك: لاستعمال المسلمين ولم يُنكر. انتهى.**
*Masalah Meninggikan Kubur dan Membangun Bangunan di Atasnya*
Seperti yang biasa dilakukan orang dengan membangun masjid dan kubah di atas kuburan, kami katakan: Ketahuilah bahwa semua ulama, baik yang terdahulu maupun yang belakangan, dari zaman sahabat radhiyallahu ‘anhu hingga sekarang, sepakat bahwa meninggikan kubur dan membangun di atasnya adalah bid'ah yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Tidak ada seorang Muslim pun yang menyelisihi hal ini. Namun, Imam Yahya bin Hamzah memiliki pendapat yang berbeda. Beliau berpendapat bahwa tidak ada masalah dengan membangun kubah dan bangunan di atas kuburan orang-orang saleh.
Pendapat ini tidak diikuti oleh ulama lain, dan tidak ada riwayat yang mendukungnya selain dari beliau. Para penulis kitab fikih dari kalangan Zaidiyah mungkin menyebutkan pendapat ini karena mengikuti pendapat Imam Yahya dan meneladaninya dalam hal ini.
Namun, pendapat ini tidaklah kuat jika dibandingkan dengan pendapat lainnya. Bahkan, penulis kitab "Al-Bahr" yang menjadi rujukan utama dalam mazhab Zaidiyah dan tempat rujukan bagi para ulama mereka, menyebutkan bahwa hanya Imam Yahya yang berpendapat demikian.
Beliau (penulis kitab Al-Bahr) menyebutkan berbagai pendapat dan perbedaan pandangan para mujtahid dalam masalah fikih dan menjadi rujukan utama di zaman ini.
Dalam kitabnya yang agung ini, beliau hanya menyebutkan bahwa pendapat tentang bolehnya membangun kubah dan bangunan di atas kuburan orang-orang saleh hanya datang dari Imam Yahya saja. Beliau berkata:
Masalah: Imam Yahya berkata, "Tidak ada masalah dengan membangun kubah dan bangunan di atas kuburan orang-orang shaleh, karena umat Islam telah melakukannya dan Masjid di atas kuburan orang-orang shaleh, berdasarkan kebiasaan umat Islam dan tidak ada yang mengingkarinya." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.6-7)
فقد عرفت من هذا أنه لم يقل بذلك إلا الإمام يَحْيَى، وعرفت دليله الذي استدلّ به، وهو استعمال المسلمين مع عدم الإنكار. ثم ذكر صاحب البحر هذا الدليل الذي استدلّ به الإمام يحيى في الثبت واقتصر عليه، ولم يأتِ بغيره.
فإذا عرفت هذا تقرر لك أن هذا الخلاف واقعٌ بين الإمام يحيى وبين سائر العلماء، من الصحابة والتابعين، ومن المتقدمين من أهل البيت والمتأخرين، ومن أهل المذاهب الأربعة وغيرهم، ومن جميع المجتهدين أوّلهم وآخرهم، ولا يُعتدّ هذا بحكاية عن حِكَيّ قول الإمام يحيى في مؤلفه من حياء بعده من المؤلفين. فإن جرد حكاية القول لا يدلّ على أن الحاكي يختار ويذهب إليه. فإن وُجدَ قائلٌ من بعده من أهل العلم يقول بقوله هذا ويرجّحه، فإن كان مجتهدًا كان قائلاً بما قاله الإمام يحيى ذاهبًا إلى ما ذهب إليه بذلك الدليل الذي استدلّ به، وإن كان غير مجتهد فلا اعتبار بموافقته؛ لأنها تقليد أقوال المجتهدين لا أقوال المقلدين. فإذا أردت أن تعرف: هل الحق مع ما قاله الإمام يحيى أو ما قاله غيره من أهل العلم، فالواجب عليك ردّ هذا الخلاف إلى ما أُمرنا الله بالردّ إليه، وهو كتاب الله وسنّة رسوله ﷺ.
فإن قلتَ: بيّن لي العمل في هذا الردّ حتى تتمّ الفائدة، ويتضح الحقّ من غيره؛ والمصيب من المخطئ، في هذه المسألة.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa hanya Imam Yahya yang berpendapat demikian, dan kita juga mengetahui dalil yang digunakan oleh beliau, yaitu kebiasaan umat Islam yang tidak diingkari.
Penulis kitab "Al-Bahr" menyebutkan dalil yang digunakan oleh Imam Yahya sebagai landasan hukum dan tidak menyebutkan dalil lainnya.
Dengan memahami hal ini, Anda dapat mengetahui bahwa perbedaan pendapat terjadi antara Imam Yahya dan ulama lainnya, baik dari kalangan sahabat, tabi'in, ulama terdahulu dari kalangan Ahlul Bait dan ulama lainnya, maupun dari kalangan empat mazhab dan lainnya, serta seluruh mujtahid dari zaman awal hingga akhir.
Mengutip pendapat Imam Yahya tanpa mempertimbangkan dalilnya tidaklah cukup untuk menetapkan suatu hukum. Mengutip pendapat seseorang tidak selalu berarti bahwa orang yang mengutip itu memilih dan mengikuti pendapat tersebut.
Jika ada ulama lain yang kemudian mendukung pendapat Imam Yahya dan mengemukakannya sebagai pendapat yang lebih kuat, maka jika ulama tersebut adalah seorang mujtahid, dia dianggap telah mengemukakan pendapatnya berdasarkan dalil yang sama dengan yang digunakan oleh Imam Yahya.
Namun, jika ulama tersebut bukan mujtahid, maka pendapatnya tidak memiliki nilai lebih karena dia hanya mengikuti pendapat mujtahid lain.
Jika Anda ingin mengetahui mana yang benar, pendapat Imam Yahya atau pendapat ulama lainnya, maka Anda harus merujuk pada sumber hukum yang telah diperintahkan oleh Allah, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Jika Anda bertanya bagaimana cara merujuk pada sumber-sumber tersebut agar kita dapat memperoleh jawaban yang jelas dan membedakan antara yang bendan yang salah dalam masalah ini." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.8). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar