Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
إن اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Azhab: 56)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحبّ إليه من ولده ووالده والناس أجمعين.
“Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sehingga aku lebih dicintai olehnya daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari Muslim).
Alhamdulillah, pada tahun ini disaat kita berada di bulan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kenikmatan yang amat besar dari Allah Ta'ala bagi seluruh alam. Penting bagi kita sebagai umat Islam untuk bersyukur atas kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengekspresikan kegembiraan dan kebahagiaan ketika memperingati Maulid Nabi.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi'i dalam kitab karyanya An-Ni'matul Kubro 'Alal 'Alam Fi Maulidi Sayyidi Waladi Adam pada halaman 5-6 menjelaskan sbb,
فَصْلٌ فِي بَيَانِ فَضْلِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قال ابو بكر الصديق رضي الله عنه (مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلَى قِرَاءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ رَفِيْقِيْ فِي الْجَنَّة) وقال عمر رضي الله عنه (مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَحْيَا اْلإِسْلاَمَ) وقال عثمان رضي الله عنه (مَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا عَلَى قِرَاءَةِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَأَنَّمَا شَهِدَ غَزْوَةَ بَدْرٍ وَ حُنَيْنٍ) وقال علي رضي الله عنه وكرّم الله وجهه (مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ سَبَبًا لِقِرَاءِتِهِ لا يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ بِاْلإِيْمَانِ وَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ)
*PASAL: KEUTAMAAN PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM*
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq berkata, "(Barangsiapa yang berinfaq satu dirham untuk membaca (kisah) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam niscaya orang tersebut kawan karibku didalam Surga),"
Sayyidina ‘Umar bin Khaththab berkata, "(Barangsiapa yang membesarkan (mengagungkan) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka sungguh orang tersebut telah menghidupkan agama Islam),"
Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan, "Barangsiapa yang berinfaq satu dirham untuk membaca (kisah) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka seakan-akan orang tersebut telah syahid pada perang Badar dan perang Hunain,"
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib berkata, "Barangsiapa yang membesarkan (mengagungkan) Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan orang tersebut menjadi penyebab terhadap bacaan kisah Maulid niscaya orang tersebut tidak keluar dari dunia ini kecuali bersama iman dan masuk surga dengan tiada hisab." (Ni’mah Al-Kubro ‘Ala Al-‘Alam Fi Maulid Sayyid Walad Adam [Nikmat Yang Besar Atas Alam Pada Kelahiran Penghulu Keturunan Adam] hal. 5-6 karangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i)*
Al-Hafizh Imam Syihabuddin Abul Fadhil bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar yang kita kenal dengan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Imam Jalaludin As-Suyuti dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, juz 1 halaman 230 menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ritual untuk mensyukuri nikmat Allah Ta'ala.
وَقَالَ اْلاُسْتَاذُ اْلاِمَامُ الْحَافِظُ اْلمُسْنَدُ الذُّكْتُوْرُ اْلحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ اْلقَادِرِ بَافَقِيْهِ بِأَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ مَارَوَاهَ ابْنُ عَسَاكِرَ فِى التَّاريْخِ فِى الْجُزْءِ اْلاَوَّلِ صَحِيْفَةُ سِتَّيْنِ وَقَالَ الذَّهَبِى صَحِيْحٌ اِسْنَادُهُ.
Ustadz Imam al-Hafidz al-Musnid DR. Habib Abdullah Bafaqih mengatakan bahwa hadits,
مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامةِ
"Barangsiapa yang mengagungkan hari kelahiranku, maka aku akan memberi syafa'at padanya di hari qiyamat." (HR. Ibnu Asakir)
Demikian yang diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh, juz 1, hal. 60, menurut Imam Dzaraby sahih sanadnya.
Sekitar lima abad yang lalu Al-Imam Jalaluddin Al-Shuyuthi (849-910 H/1445-1505 M) juga pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husnu al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut,
“عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ”.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperoleh pahala. Karena perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rosululloh dan merupakan menampakkan (menzhahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (Rasululloh) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan Al-Muzhoffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun Al-Jami` Al-Muzhoffari di lereng gunung Qasiyun”.
Pernyataan Al-Imam Al-Hafizh Al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “Al-Ajwibah Al-Mardliyyah,"
“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.
“Perayaan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum Al-Salaf Al-Sholeh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelahnya. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahirannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mulia. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makanan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka berbagai-bagai sodaqoh, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”.
Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menurut pendapat yang paling shoheh adalah malam senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak masalah melakukan kebaikan ini dihari-hari yang istimewa ini baik siang maupun malamnya sesuai dengan kesiapannya saja, bahkan dianjurkan agar amalan baik ini dilakukan disepanjang hari dan malanya sebulan penuh.”
Pernyataan Al-Syaikh Al-Islam Khatimah Al-Huffadzh Amir Al-Mu’minin Fi Al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar Al-`Asqalani,
“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.
“Asal perayaan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukilkan dari Al-Salaf Al-Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian perayaan maulid mengandung kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barang siapa dalam perayaan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al Hafidzh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan perayaan Maulid di atas akan adanya dalil yang tsabit (Shaheh)،Yaitu hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, datang ke Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka? Mereka menjawab: Asyura’ adalah hari dimana Alloh menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa As. Maka kami berpuasa pada hari Asyura’ sebagai bentuk syukur kami kepada Alloh.”
Dari hadits ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dari-Nya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulang kali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sodaqoh dan membaca Al-Qur'an. Dan manakah nikmat yang lebih agung daripada kelahiran seorang Nabi, Nabi pembawa rahmat, di hari tersebut? Dari uraian ini dianjurkan untuk berusaha untuk menyesuaikan dengan hari kelahirannya agar sesuai dengan kisah Musa As, di hari Asyura’. (Al-Hawi lil-Fatawi li Al-Hafizh Al-Suyuthi jilid 1 hal : 301).
Pernyataan Al-Hafizh Al-Dzahabi, “Orang yang pertama kali melakukan Maulid adalah penguasa Irbil, Raja Al-Muzhoffar Abu Sa’id Kaukabari bin Zainuddin Ali bin Buktukin (549-630 H, iparnya Sultan Sholahuddin Al-Ayyubi), salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Ia memiliki riwayat hidup yang baik. Dan dia telah memakmurkan masjid Jami’ Al-Muzhaffar di lereng gunung Qasiyun. Bahkan Al-Dzahabi berkata, “Ia raja yang rendah diri, baik, Sunni (pengikut Ahlisunnah wal Jama’ah) dan mencintai ulama fikih dan ahli hadits.” (Siyar A’lam an Nubala’, jilid 22 halaman 336).
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitab “Tarikh”nya, menyatakan bahwa Malik Al-Muzhaffar mengamalkan maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal dan melakukan perayaan yang besar. Dia adalah sosok cerdas hatinya, pemberani, tangguh, cerdas akalnya, pandai dan adil. Semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya.
فقام عند ذلك السبكي، وجميع من عنده فحصل أنس كبير في ذلك المجلس ، وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك مستحسن. قال الإمام أبو شامة شيخ النووي: من أحسن ما إبتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقة والمعروف وإظهار الزينة والسرور فإن فيه مع الإحسان للفقراء إشعارا بمحبته صلى الله عليه وسلم وتعظيمه وشكر على ما من به علينا. قال السخاوي وحدوث عمل المولد بعد القرون الثلاثة ، ثم لا زال المسلمون يفعلونه. وقال إبن الجوزي من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشري عاجلة، واول من أحدثه من الملوك المظفر. قال سبط إبن الجوزي في مرأة الزمان: حكي لي من حضر سماط المظفر في بعض المولد أنه عد فيه خمسة الاف رأس غنم شواء وعشرة ألاف دجاجة ومائة ألف زبدية وثلاثين الف صحن حلواء ، وكان يحضره أعيان العلماء والصوفية ، ويصرف عليه ثلاثمائة الف دينار. (إسعاد الرفيق جزء 1 ص 26).
Imam Subkhi dan para pengikutnya juga menganggab baik peringatan maulid dan berkumpulnya manusia untuk merayakannya. Imam Abu Syammah Syaikh al-Nawawi mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan kebaikan seperti hal-hal baik yang terjadi di zaman kami yang dilakukan oleh masyarakat umum di hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. diantarnya sedekah, berbuat baik, memperlihatkan hiasan dan kebahagiaan. Maka sesungguhnya dalam hari tersebut beliau menganjurkan agar umat muslim berbuat baik kepada para fakir sebagai syiar kecintaan terhadap baginda Rasul. mengangungkan beliau, dan sebagai ungkapan rasa syukur. (Kitab As'ad Ar-Rafiq juz 1 hal. 26)
Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah ulama panutan salafi wahabi yang anti dan menolak maulid dalam kitab beliau Iqtidla’u al-Shirati al-Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabi al-Jahim halaman 297, beliau mengomentari acara maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sbb:
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَدَّمْتُهُ لَكَ. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم، مخالفة أصحاب الجحيم: ص/٢٩٧.
"Mengagungkan maulid (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan melakukannya rutin (setiap tahun), yang kadang dilakukan oleh sebagian orang. Dan baginya dalam merayakan maulid tersebut, pahala yang agung/besar karena tujuan yang baik dan mengagungkan Rasulullah SAW. dan keluarga beliau. Sebagaimana yang telah aku sampaikan padamu." (Syaikh Ibnu Taimiyah, Iqtidla’u al-Shirati al-Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabi al-Jahim: 297)
Berdasarkan kesaksian para imam dan para ulama masyhur diatas, maka jelas sudah, bahwa Perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sebuah terobosan dan ide untuk membangkitkan keimanan yang dirintis oleh Raja Al-Muzhaffar. Juga perkataan dari Al-Salaf Al-Sholeh (tiga generasi pertama : Shohabat, Tabi’in, dan Tabi’i Al-Tabi’in) sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi'i dalam karyanya diatas. Maka berlakulah padanya Qoidah adat sesuai kaidah Ushul Fiqih,
الأصل في العبادات المنع إلا إذا ورد بها الشرع والأصل في العادات الإباحة
“Asal hukum ibadah adalah dilarang, sehingga datang perintah dari Syara’ (Agama) untuk melakukannya. Sedangkan hukum ‘adat/kebiasaan itu adalah dibolehkan”.
الإباحة اصطلاحا هو ما لا حرج على المكلف في فعله ولا تركه لذاته ، أو هو ما خير بين فعله وتركه من غير تخصيص أحدهما بثواب ولا عقاب
“Ibaahah/Boleh” menurut istilah (secara Syari’at) ialah perbuatan yang tidak jadi dosa bagi orang Mukallaf (Orang yang sudah tertuntut oleh hukum Syari’at), baik didalam mengerjakannya atau meninggalkannya, Atau bisa jadi diantara mengerjakan dan meninggalkannya itu lebih baik dengan tanpa harus menentukan salah satu dari keduanya itu dengan pahala atau siksa”.
يكون المباح حراماً إذا اختلط بمحرم أو كان وسيلة له
“Sesuatu yg dibolehkan bisa berubah jadi haram, jika di campuri dengan perkara yg di haramkan. Atau ia menjadi haram karena telah jadi sarana perantara untuk perkara yg diharamkan”.
المباح قد ينقلب مندوباً أو واجباً أو حراماً أو مكروهاً بالنية أو لكونه وسيلة, أن للوسائل حكم المقاصد, ويتغير الحكم بتغير القصد
“Al-Mubah” (Perkara yg dibolehkan), sewaktu2 bisa berubah hukumnya menjadi sunat, wajib, haram dan makruh, tergantung bagaimana niatnya atau karena keadaannya merupakan suatu wasilah/sarana perantara. maka untuk segala perkara yang hanya merupakan perantara itu berlaku padanya Hukum niat-nya (tergantung pada niatnya). Dan hukumnya itu bisa berubah, dengan berubahnya tujuan/niat itu sendiri”.
Al-Syaikh Ibnu Muflih Al-Maqdisi Al-Hambali dalam “Al-Adabu Al-Syar’iyyah”nya menyatakan sebuah Qoidah dalam menyikapi sebuah adat,
لا ينبغي الخروج من عادات الناس إلا في الحرم
“Tidak semestinya keluar dari adat-adatnya orang-orang kecuali dalam hal yang diharamkan.”
Al-Hasil adat kebiasaan perayaan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ini boleh karena sangat terbukti tidak ada dalil Muthlaq akan ke-Haraman-nya. dan terbukti Syara’ tidak melarangnya. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar