MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 26 Oktober 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGGERAKKAN TANGAN SAAT BERKHUTBAH

Umumnya ketika seorang khatib menyampaikan khutbah, tangannya memegang tongkat karena sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak mengacungkan tangannya. Sebagaimana riwayat berikut,

عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ

Dari Syu’aib bin Zuraidj at-Tha’ifi ia berkata, ”Kami menghadiri shalat jum’at pada suatu tempat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur”. (HR. Abi Dawud).

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قُلْتُ لِعَطَاءٍ: أَكَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ إِذَا خَطَبَ عَلىَ عَصًا ؟ قَالَ: نَعَمْ كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَيْهَا اِعْتِمَادًا.

Dari Ibnu Juraij, “Aku berkata kepada ‘Atha’, “Apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berkhutbah selalu berdiri pada tongkat?” Ia menjawab, “Ya. beliau selalu berpegangan pada tongkat.” (HR Abdurrazzaq [5246] dan Imam al-Syafi’i dalam al-Umm juz 1 hlm 177).

Begitu juga dengan Imam Syafi’i yang turut menjelaskan perihal tersebut. Dalam kitabnya beliau Al-Umm beliau mengatakan,

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى) بَلَغَنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ اِعْتِمَادًا

Imam Syafi’i ra berkata, "Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi’ mengabarkan dari Imam Syafi’i dari Ibrahim, dari Laits dari ‘Atha’, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan”. (al-Umm, juz I, hal 272).

Namun di sebagian masjid, pernah dijumpai seorang khatib yang mengacung-ngacungkan tangannya, menunjuk-nunjuk ke kiri dan ke kanan, seperti layaknya berpidato di lapangan. Sebenarnya, bagaimana hukum mengacungkan tangan ketika khutbah Jumat, apakah boleh?

Ketika berkhutbah dan tampil sebagai khatib, seorang juru dakwah harus mengikuti aturan yang telah diatur oleh Islam. Aturan itu pada dasarnya diambil contoh sikap dan perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyampaikan khutbah Jum'at atau lainnya. Seorang khatib hendaknya tidak menggerak-gerakkan tangannya, baik dengan mengangkatnya, menunjuk kearah tertentu atau mengisyaratkan kepada sesuatu. (Sholatul Mukmin, Syaikh Saad Al Qahthani 2/823)

Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 437), menyebutkan adab-adab seorang khatib sebagai berikut:,

أداب الخطيب: يأتى المسجد وعليه السكينة والوقار، ويبدأ بالتحية ويجلس وعليه الهيبة، و يمتنع عن التخاطب، وينتظر الوقت، ثم يخطو إلى المنبر و عليه الوقار، كأنه يحب أن يعرض ما يقول على الجبار، ثم يصعد للخشوع، ويقف على المرقاة بالخشوع ويرتقي بالذكر، ويلتفت إلى مستمعيه باجتماع الفكر، ثم يشيرإليهم بالسلام ليستمعوا منه الكلام، ثم يجلس للأذان فزعا من الديان، ثم يخطب بالتواضع، ولا يشير بالأصابع، ويعتقد ما يقول لينتفع به، ثم يشير اليهم بالدعاء، وينزل إذا أخذ المؤذن في الإقامة، ولا يكبر حتى يسكتوا، ثم يفتتح الصلاة، ويرتل ما يقرأ.  

“Adab khatib, yakni berangkat ke masjid dengan hati dan pikiran tenang; terlebih dahulu shalat sunnah dan duduk dengan khidmat; tidak berbincang-bincang dan menunggu waktu; kemudian melangkah ke mimbar dengan rasa terhormat seolah-olah senang mengatakan sesuatu yang akan disampaikan kepada Yang Maha Perkasa; kemudian naik dan berdiri di tangga dengan khusyu’ sambil berdzikir; berputar untuk melayangkan pandangan kepada para pendengarnya dengan penuh konsentrasi kemudian menyampaikan salam kepada pendengar agar mereka mendengarkan; kemudian duduk untuk mendengarkan adzan dengan penuh rasa takut kepada Yang Maha Kuasa; kemudian berkhutbah dengan penuh tawadhu’; tidak menunjuk dengan jari-jari; merasa yakin bahwa yang disampaikan bermanfaat; kemudian memberi isyarat kepada makmun agar berdoa; turun dari mimbar jika muadzin sudah bersiap-siap iqamat; tidak bertakbir sebelum jamaah tenang; kemudian mulai shalat dan membaca ayat-ayat Al-Qurán dengan tartil.”

Hukumnya makruh khatib yang sedang berkhutbah menggerak-gerakan tangannya layaknya seorang penceramah,

ويكره للخطيب أن يشير بيده

“Dan dimakruhkan bagi khathib berisyarat memakai tangannya saat khutbah”. [ Raudhah at-Thoolibiin I/158 ].

Dalil yang melarang menggerakkan tangan,

عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ

Dari Hushain dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di atas mimbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” (HR. Muslim no. 874).

Hadits ini digunakan oleh sebagian ahli ilmu, bahwa mengangkat tangan  atau menggerakkan tangan bagi khatib adalah dilarang, karena mengurangi khidmatnya shalat jumat.

Namun Rasulullah pernah berisyarat dengan jari telunjukknya kepada makmum. Artinya larangan disini sifatnya jika ada keperluan dan bukan gerakan bebas terlalu banyak, maka sifatnya hanya isyarat saja.

Sebagian kalangan ulama Syafi'iyah menyebutkan, bahwa terlalu banyak bergerak bid’ah dan makruh dilakukan khatib.

بل صرح بعض أهل العلم بأنه – أي رفع اليد – بدعة، وهذا إن كان بقصد، فإن كان بدون قصد فلا مؤاخذة فيه

Para ahli ilmu secara tegas menghukui mengangkat tangan saat adalah bidah, jika dilakukan dengan sengaja, namun jika dilakukan tanpa sengaja maka tidak mengapa (Tanbihul Ghafilin, Ibnu Nuhas, Hal. 268)

Pendapat yang cukup keras disebutkan oleh Imam Nawawi juga mengemukakan tentang khatib yang bergerak menoleh kekanan dan kekiri, bahwa batal dan tidak sah.

ولا يفعل ما يفعله بعض الخطباء في هذه الأزمان من الالتفات يمينا وشمالا في الصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – ولا غيرها، فإنه باطل لا أصل له، واتفق العلماء على كراهة هذا الالتفات، وهو معدود من البدع المنكرة

“Janganlah melakukan apa yang dilakukan oleh para khatib di zaman ini, mereka menoleh kekanan dan kekiri saat mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, karena hal itu merupakan kebathilan, tak berdasar sama sekali, dan para ulama sepakat bahwa hukumnya makruh, serta termasuk bidah yang munkar. (Al Majmu Syarah Muhazab, Imam Nawawi, 4/528)

Yang dimaksud makruh disini adalah makruh tahrim (haram) (Khutbatul Jum’ah wa ahkamuha al fikhiyah, Abdul Aziz Abdullah Al Hujailan)

Imam Syafi’i berkata,

وان لم يعتمد على عصا أحببت ان يسكن جسده ويديه إما بأن يضع اليمنى على اليسرى واما ان يقرهما في موضعهما ساكنتين

“Jika tidak bisa bertumpu pada tongkat, lebih disukai diam tangan dan jasad, baik dengan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, atau tetap pada posisi keduanya tenang “(Al Umm, 1/117)

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ . وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْض السَّلَف وَبَعْض الْمَالِكِيَّة إِبَاحَته لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَة الْجُمُعَة حِين اِسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرَّفْع كَانَ لِعَارِضٍ

“Yang sesuai dengan ajaran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengangkat tangan (untuk berdo’a) saat berkhutbah. Ini adalah pendapat Imam Malik, pendapat ulama Syafi’iyah dan lainnya. Namun, sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah membolehkan mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah mengangkat tangan kala itu saat berdo’a istisqo’ (minta hujan). Namun ulama yang melarang hal ini menyanggah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan saat itu karena ada suatu sebab (yaitu khusus pada do’a istisqo’).” (Syarh Muslim 6: 162)

Memang, gerakan gerakan tangan seperti khutbah itu tidak membatalkan, tapi tetap tidak etis, karena khutbah adalah ibadah murni seperti halnya shalat yang perlu ketenangan dan kekhusyu’an.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar