MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 19 September 2019

KAJIAN TENTANG AHLI IBADAH MASUK NERAKA, AHLI MAKSIAT MASUK SURGA


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar." (QS. Al-Buruj : 11)

Tidak selamanya orang yang ahli beribadah dan beramal shaleh jaminannya masuk surga. Sebab ada hadits yang membicarakan tentang seorang ahli ibadah yang masuk neraka.

Suatu hari, seperti biasa Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat berkumpul di masjid. Di depan masjid itu ada sebuah rumah, di rumah itu tinggal seorang wanita yang dikenal sebagai ahli ibadah di lingkungan tempat tinggalnya, sebut saja `si fulanah`. Saat si fulanah keluar rumah hendak melaksanakan sholat berjama`ah di masjid, para sahabat memuji-mujinya dan ada yang berkata, `tentulah si fulanah itu ahli surga, karena dia senantiasa puasa di siang hari dan sholat di malam hari.` Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak dari tempat duduknya dan menjawab,

`TIDAK! Hiya fin naar.. Hiya fin naar.. (Dia ahli neraka.. Dia ahli neraka..)`

Para sahabat bertanya-tanya, `kenapa?`.

"Karena mulutnya sering menyakiti orang lain. Dia suka mengganggu tetangganya dengan ucapannya. Seluruh amal ibadahnya hancur, karena dia punya akhlak yang buruk. Dia menjadi ahli neraka karena ibadahnya tidak mampu menjadi motivasi baginya untuk berakhlak yang baik." Jawab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Senada dengan riwayat diatas adalah hadits,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. (HR. al-Bukhori di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban)

من كان يؤمن باالله واليوم الاخر فليقل خيرا اوليصمت

"Barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.` (HR. Bukhori no. 6018)

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Muslim dari Jabir ra)

Hadits lain yg serupa: “Dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash ra dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

“Muslim ialah orang yang semua orang Islam lainnya selamat dari kejahatan lidah -ucapan- dan kejahatan tangannya (perbuatannya).” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Pada suatu kesempatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat apakah mereka tahu yang disebut orang bangkrut. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh sebagai berikut,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Tahukah kalian siapakah yang dinamakan orang bangkrut?”

 قَالُوْا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ

Mereka (para sahabat) menjawab, “Orang bangkrut menurut pendapat kami ialah mereka yang tidak mempunyai uang dan tidak pula mempunyai harta benda.”

Jawaban seperti itu ternyata bukan sebagaimana yang dimaksudkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tidak bertanya tentang ekonomi. Beliau ingin mengajak para sahabat mengetahui bahwa kebangkrutan bisa terjadi tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang agama. Jadi di dalam agama juga ada perhitungan matematis terkait pahala dan dosa, seperti penambahan dan pengurangan di antara sesama manusia. Hal ini terjadi pada saat semua manusia berada di Padang Makhsyar untuk menjalani hisab yang akan menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.

Dengan perhitungan seperti itu, dapat diketahui apakah seseorang akan termasuk orang beruntung atau justru orang bangkrut di akherat kelak. Adapaun yang dimaksud bangkrut dalam agama adalah sebagaimana penjelasan Rasulullah dalam lanjutan hadits berikut,

فَقَالَ “إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي، يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هٰذَا، وَقَذَفَ هٰذَا، وَأَكَلَ مَالَ هٰذَا، وَسَفَكَ دَمَ هٰذَا، وَضَرَبَ هٰذَا. فَيُعْطِى هٰذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهٰذَا مِنٰ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ، قَبْلَ أَنْ يَقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ”

Nabi menjelaskan: “Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku ialah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal kebaikan dari shalat, puasa, dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum hutangnya lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada mereka; Sesudah itu, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muttafaq 'alaih dari Abu Hurairah ra)

Inilah kelengkapan haditsnya,

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan - kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”. (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah juga bercerita kepada Abu Hurairah ra. tentang dua orang bersaudara dari kalangan  Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras: yang satu sering berbuat dosa, sementara yang lain sangat rajin beribadah.

Rupanya si ahli ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa tak betah untuk tidak menegur. Teguran  pertama pun terlontar. Seolah tak memberikan efek apa pun, perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan si ahli ibadah.

“Berhentilah!” Sergahnya untuk kedua kali.

Si pendosa lantas berucap, "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?"

Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin beribadah itu tiba-tiba mengeluarkan semacam kecaman:

وَاللهِ لَا يَغْفِرُ اللهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ

“Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.”

Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Ibnu Hibban, Abu Dawud dan Ahmad. Di bagian akhir, hadits tersebut memaparkan, tatkala masing-masing meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala.

Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan, "Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?"

Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan.

"Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, "(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka."

Inilah teks riwayat haditsnya,

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ. فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَىَّ رَقِيبًا فَقَالَ وَاللهِ لَا يَغْفِرُ اللهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ أَرْوَاحُهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهٰذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ». قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.

Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada dua orang di Bani Isra’il yang bersaudara, salah satunya suka berbuat dosa dan yang lainnya rajin beribadah. Saudaranya yang ahli ibadah setiap melihat saudaranya yang suka berdosa maka dia menasihatinya, ‘Berhentilah kamu.’ Pada suatu saat, dia mendapatinya melakukan dosa lalu menasihatinya tetapi saudaranya yang berdosa mengatakan, ‘Biarkanlah diriku dengan Rabbku, apakah kamu diutus untuk mengawasiku?’ Maka saudaranya berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni dosamu atau tidak akan memasukkanmu ke surga.’ Akhirnya, keduanya dibangkitkan ruh keduanya maka keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam, lalu Allah mengatakan kepada yang rajin ibadah, ‘Apakah kamu lebih tahu daripada Aku? Apakah kamu memiliki kekuasaan apa yang berada pada Tangan-Ku.’ Dan Allah berfirman kepada yang berdosa, ‘Pergilah kamu dan masuklah ke surga dengan sebab rahmat-Ku’ dan mengatakan untuk saudaranya yang lain, ‘Seretlah dia ke neraka.’” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh dia telah mengucapkan suatu ucapan yang menyengsarakan dunia dan akhiratnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud: 4901)

Cerita-cerita riwayat hadits diatas mengungkapkan fakta yang menarik dan beberapa pelajaran bagi kita semua. Ahli ibadah yang sering kita asosiasikan sebagai ahli surga ternyata kasus dalam hadits itu justru sebaliknya. Sementara hamba lain yang terlihat sering melakukan dosa justru mendapat kenikmatan surga.

Mengapa bisa demikian? Karena nasib kehidupan akhirat sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Manusia tak memiliki kewenangan sama sekali untuk memvonis orang atau kelompok lain sebagai golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau surga, dilaknat atau dirahmati. Tak ada alat ukur apa pun yang sanggup mendeteksi kualitas hati dan keimanan seseorang secara pasti.

Jika diamati, ahli ibadah dalam kisah hadits tentang dua bersaudara diatas terjerumus ke jurang neraka lantaran melakukan sejumlah kesalahan. Pertama, ia lancang mengambil hak Allah dengan menghakimi bahwa saudaranya “tak mendapat ampunan Allah dan tidak akan masuk surga”. Mungkin ia berangkat dari niat baik, yakni hasrat memperbaiki perilaku saudaranya yang sering berbuat dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak Tuhan: menuding orang lain salah sembari memastikan balasan negatif yang bakal diterimanya.

Dalam konteks etika dakwah, si ahli ibadah sedang melakukan perbuatan di luar batas wewenangnya sebagai pengajak. Ia tak hanya menjadi dâ‘i (tukang ajak) tapi sekaligus hâkim (tukang vonis).  Padahal, Al-Qur’an mengingatkan,

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik, dan bantulah mereka dengan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dan Dia Maha mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah.” (An-Nahl [16]: 125)

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (Al-Kahfi [18]: 29)

Ayat ini tak hanya berpesan tentang keharusan seseorang untuk berdakwah secara arif dan santun melainkan menegaskan pula bahwa tugas seseorang hamba kepada hamba lainnya adalah sebatas mengajak atau menyampaikan. Mengajak tak sama dengan mendesak, mengajak juga bukan melarang atau menyuruh. Mengajak adalah meminta orang lain mengikuti kebaikan atau kebenaran yang kita yakini, dengan cara memotivasi, mempersuasi, sembari menunjukkan alasan-alasan yang meyakinkan. Urusan apakah ajakan itu diikuti atau tidak, kita serahkan kepada Allah Subhânahu wa Ta‘âlâ (tawakal).

Singkatnya, tidak selayaknya sebagai ahli ibadah mengotori amal ibadahnya dengan menyakiti tetangga melalui ucapan dan tindakannya, atau dengan menghina atau merendahkan saudaranya yang ahli maksiat. Karena amar ma'ruf nahi mungkar itu dengan mengajak dan mencegah bukan dengan menghina dan menghakimi. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar