Rabu, 25 September 2019
KAJIAN TENTANG HUKUM MENGHADIRI UNDANGAN WALIMAH (TASYAKURAN)
Para ulama Salaf sangat memperhatikan undangan segala bentuk jamuan makan. Apa pun bentuk jamuannya (selagi dibolehkan dalam syariat) baik berupa jamuan walimah, naqi’ah, khurs, i’dzar dan lain-lain, mereka sangat berantusias menghadirinya kecuali ada udzur.
Di antara mereka adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma. Dari Mujahid rahimahullah,
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ دُعِيَ يَوْمًا إِلَى طَعَامٍ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: أَمَّا أَنَا فَاعْفِنِي مِنْ هَذَا فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : لاَ عَافِيَةَ لَكَ مِنْ هَذَا فَقُمْ.
“Bahwa suatu hari Ibnu Umar diundang ke suatu acara jamuan makan. Maka seseorang dari kaum berkata: “Adapun saya, maka maafkanlah saya dari ini (berhalangan hadir).” Ibnu Umar berkata kepadanya: “Tidak ada maaf bagimu (udzurmu ditolak). Ayo berangkat!” (Atsar riwayat Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 19663 (10/448) dan al-Baihaqi dalam al-Kubra: 14934 (7/264). Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: 9/247).
Begitu pula sikap Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah berkata,
دُعِىَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ يُعَالِجُ أَمْرَ السِّقَايَةِ فَقَالَ لِلْقَوْمِ : قُومُوا إِلَى أَخِيكُمْ أَوْ أَجِيبُوا أَخَاكُمْ فَاقْرَءُوا عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَأَخْبِرُوهُ أَنِّى مَشْغُولٌ
“Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma pernah diundang ke suatu acara jamuan makan. Ketika itu beliau sedang mengurusi air minum (untuk jamaah haji). Maka beliau berkata kepada kaum (para sahabatnya), “Berangkatlah atau datangilah undangan saudara kalian dan sampaikan salam kepadanya serta sampaikan kabar kepadanya bahwa aku sedang sibuk!” (Atsar riwayat al-Baihaqi dalam al-Kubra: 14934 (7/264) dan Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 19664 (10/448). Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bari: 9/247).
Sikap tersebut mereka pegang karena mereka sangat memperhatikan pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ
“Jika seseorang dari kalian mengundang saudaranya, maka hendaknya ia mendatangi undangan itu. Baik itu acara pernikahan atau selainnya.” (HR. Muslim: 2578, Abu Dawud: 3248 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma).
Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah berkata,
قوله (أو نحوه) كختان وعقيقة
“Maksud sabda beliau “atau selainnya” adalah seperti acara jamuan khitan atau aqiqah.” (Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 6/163).
*Acara walimah 'urs (pengantin)
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak membedakan antara undangan jamuan walimah atau jamuan lainnya seperti aqiqah, khitanan, wakirah, khurs dan sebagainya. Beliau tetap memerintahkan kita untuk menghadirinya.
Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi (wafat tahun 1329 H) rahimahullah berkata,
وقد احتج بهذا من ذهب إلى أنه يجب الإجابة إلى الدعوة مطلقا وزعم بن حزم أنه قول جمهور الصحابة والتابعين
“Hadits ini dijadikan hujjah oleh orang yang mewajibkan mendatangi undangan jamuan secara mutlak. Ibnu Hazm menyangka bahwa itu merupakan pendapat jumhur (mayoritas) sahabat dan tabi’in.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud: 10/146).
Di antara sahabat beliau yang mengamalkan hadits di atas adalah Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. Al-Imam Nafi’ (ulama tabi’in, wafat tahun 117 H) rahimahullah berkata,
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَأْتِي الدَّعْوَةَ فِي الْعُرْسِ وَغَيْرِ الْعُرْسِ وَهُوَ صَائِمٌ
“Dan adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu mendatangi undangan jamuan, baik undangan pernikahan ataupun selain pernikahan dalam keadaan berpuasa.” (Atsar riwayat al-Bukhari dalam Shahihnya: 4781 secara ta’liq dengan shighat jazem). Dan undangan selain pernikahan itu meliputi aqiqah, khitan, wakirah, naqi’ah dan sebagainya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga tidak membedakan apakah yang mengundang itu orang kaya atau miskin, makanannya banyak atau sedikit, masakannya enak atau kurang enak. Beliau bersabda,
لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
“Seandainya aku diundang acara jamuan makanan (dengan hidangan) sebesar kikil (kambing atau sapi, pen), maka pasti aku akan datang. Dan seandainya aku diberi hadiah sebesar kikil, maka pasti aku akan menerimanya.” (HR. Al-Bukhari: 2380, Ahmad: 9121 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).
Al-Allamah Ubaidullah al-Mubarakfuri rahimahullah menyatakan,
وفي الحديث دليل على حسن خلقه – صلى الله عليه وسلم – وتواضعه وجبره لقلوب الناس وعلى قبول الهدية وإجابة من يدعو الرجل إلى منزله، ولو علم أن الذي يدعوه إليه شيء قليل
“Di dalam hadits ini terdapat dalil atas bagusnya akhlak beliau shallallahu alaihi wasallam, tawadlu’ beliau dan usaha beliau melunakkan hati manusia. Serta terdapat dalil atas anjuran menerima hadiah dan mendatangi undangan seseorang ke rumahnya, meskipun diketahui bahwa hidangan jamuannya itu hanya sedikit.” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 6/224).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَجِيبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَا دُعِيتُمْ لَهَا
“Hadirilah undangan ini jika kalian diundang untuk menghadirinya!” (HR. Al-Bukhari: 4781, Muslim: 2581 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) rahimahullah berkata:
(أجيبوا هذه الدعوة) وهذه اللام يحتمل أن تكون للعهد والمراد وليمة العرس
“Huruf “Al” dalam sabda beliau (di atas) adalah untuk “al-Ahdu” (mengulang penyebutan). Sehingga yang dimaksud adalah walimah untuk pernikahan.” (Fathul Bari: 2/246).
Al-Imam Abul Hasan Ibnu Baththal al-Maliki (wafat tahun 449 H) rahimahullah menyatakan,
هذا الحديث حجة لمن أوجب إجابة الوليمة وغيرها فرضًا، وقد تقدم أن إجابة الدعوة فى غير العرس عند مالك والكوفيين مندوب إليها
“Hadits ini menjadi hujjah bagi orang-orang yang mewajibkan menghadiri undangan walimah (pesta pernikahan) dan lainnya secara fardlu. Dan telah terdahulu keterangan bahwa menghadiri undangan selain pernikahan menurut Imam Malik dan ulama Kufah hanyalah anjuran saja (tidak sampai wajib).” (Syarh Shahihil Bukhari li Ibni Bathal: 7/290).
Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1031 H) rahimahullah juga menyatakan,
فالوليمة له سنة والإجابة إليها عند توفر الشروط واجبة أمّا غير العرس من الولائم العشرة المشهورة فإتيانها مندوب
“Mengadakah acara walimah untuk pernikahan adalah sunnah, sedangkan mendatanginya jika (persyaratan untuk mendatanginya terpenuhi) adalah wajib. Adapun jamuan makan selain pernikahan dari sepuluh macam acara jamuan makan yang terkenal, maka mendatanginya hanya dianjurkan (tidak diwajibkan).” (At-Taisir Syarh al-Jami’ish Shaghir: 1/25).
Al-Imam al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata,
وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ . وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : هِيَ وَاجِبَةٌ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ ، وَلِأَنَّ الْإِجَابَةَ إلَيْهَا وَاجِبَةٌ ؛ فَكَانَتْ وَاجِبَةً . وَلَنَا ، أَنَّهَا طَعَامٌ لَسُرُورٍ حَادِثٍ ؛ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْأَطْعِمَةِ ، وَالْخَبَرُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ ؛ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَاهُ ، وَكَوْنِهِ أَمَرَ بِشَاةِ وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّهَا لَا تَجِبُ ، وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْمَعْنَى لَا أَصْلَ لَهُ ، ثُمَّ هُوَ بَاطِلٌ بِالسَّلَامِ ، لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَإِجَابَةُ الْمُسَلِّمِ وَاجِبَةٌ
“Dan mengadakan acara walimah itu tidaklah wajib menurut kebanyakan ulama’. Sebagian ulama madzhab Syafi’i menyatakan wajib, karena Nabi shallallahu alahi wa sallam memerintahkan Abdurrahman bin Auf mengadakan walimah. Dan juga karena mendatangi undangan walimah itu hukumnya wajib, maka mengadakan acara walimah menjadi wajib. Sedangkan menurut kami, walimah merupakan jamuan makan karena rasa gembira, sehingga menyerupai acara jamuan lainnya (seperti naqi’ah, wakirah, dst, pen). Dan hadits di atas dipahami sunnah dengan dalil yang saya terangkan tadi, dan juga karena beliau memerintahkannya berwalimah dengan seekor kambing. Dan tidak diperselisihkan lagi bahwa acara ini tidak wajib. Dan apa yang mereka sebutkan dari makna hadits ini adalah tidak ada asalnya. Kemudian alasan ini juga batal dengan alasan salam. Menyebarkan salam tidaklah wajib sedangkan menjawab salam hukumnya wajib.” (Al-Mughni: 15/487).
*Acara Naqi’ah ketika Pulang dari Safar*
Ketika pulang dari bepergian jauh, dianjurkan untuk mengadakan acara jamuan makan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla.
Al-Allamah Abus Sa’adat Ibnul Atsir al-Jazari (wafat tahuin 606 H) rahimahullah berkata,
وفيه ذكر [ النَّقيعة ] وهي طَعام يَتَّخذه القادم من السَّفَر
“Di dalam hadits terdapat penyebutan kata ‘an-Naqi’ah’, yaitu hidangan jamuan yang diadakan oleh seorang yang datang dari safar (bepergian).” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar: 5/227).
Kata ‘naqi’ah’ berasal dari kata ‘an-naq’u yang berarti debu. (At-Tibyan fi Tafsir Gharibil Quran: 472). Di antaranya adalah firman Allah Azza wa Jalla,
فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا
“Maka ia (kuda perang) menerbangkan debu.” (QS. Al-Adiyat: 4).
Di antara hadits yang menunjukkan dianjurkannya acara naqi’ah adalah hadits Jabir bin Abdullah radliyallahu anhuma. Ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً
“Bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyembelih seekor unta atau sapi.” (HR. Al-Bukhari: 2859, Abu Dawud: 3255).
Jabir juga menceritakan,
اشْتَرَى مِنِّي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعِيرًا بِوَقِيَّتَيْنِ وَدِرْهَمٍ أَوْ دِرْهَمَيْنِ فَلَمَّا قَدِمَ صِرَارًا أَمَرَ بِبَقَرَةٍ فَذُبِحَتْ فَأَكَلُوا مِنْهَا
“Nabi shallallahu alaihi wasallam membeli seekor unta dariku seharga 2 Uqiyah ditambah 1 Dirham atau 2 Dirham. Ketika beliau tiba di Shirar (nama suatu tempat, pen), beliau memerintahkan untuk menyembelih seekor sapi. Kemudian mereka (kaum muslimin) ikut memakan dari sapi tersebut.” (HR. Al-Bukhari: 2859, Muslim: 3000).
Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi (wafat tahun 1329 H) rahimahullah berkata,
والحديث يدل على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر ويقال لهذه الدعوة النقيعة
“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya mengundang manusia untuk menghadiri jamuan makan ketika pulang dari bepergian. Acara ini disebut “Naqi’ah”.” (Aunul Ma’bud: 10/152).
*Acara Khurs (selesai nifas) dan Aqiqah pada Kelahiran Anak*
Sebenarnya hakekat ‘khurs’ dan ‘aqiqah’ adalah sama, yaitu jamuan yang dibuat dalam rangka kelahiran bayi. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat sedikit perbedaan. Mufadl-dlal bin Salamah berkata,
وطعام الوِلادة الخُرس، وطعام حلق الرأس العقيقة
“Jamuan untuk kelahiran bayi disebut ‘khurs’ sedangkan jamuan untuk diplontosnya kepala bayi disebut ‘aqiqah.” (Al-Fakhir: 212, Fiqhul Lughah: 975).
Adapun dasar adanya undangan jamuan ‘khurs’ atau ‘aqiqah’ pada masa Salaf, maka Mu’awiyah bin Qurrah (seorang ulama tabiin) rahimahullah berkata,
لما ولد لي إياس دعوت نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فأطعمتهم فدعوا فقلت إنكم قد دعوتم فبارك الله لكم فيما دعوتم وإني إن أدعو بدعاء فأمنوا قال فدعوت له بدعاء كثير في دينه وعقله
“Ketika anakku, Iyas lahir, aku mengundang beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Aku menjamu mereka. Aku berkata: “Sesungguhnya kalian telah berdoa, maka semoga Allah memberkati kalian dalam doa kalian. Dan jika aku berdo’a dengan suatu do’a, maka silakan kalian aminkan! Maka aku berdoa untuk anakku dengan doa yang banyak untuk kebaikan urusan agama dan akalnya.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 1255 (429).
Dan mengadakan jamuan aqiqah itu sebuah pilihan. Daging aqiqah boleh kita bagikan kepada tetangga dalam keadaan masak. Atau kita mengundang tetangga untuk menghadiri jamuan aqiqah di rumah kita. Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata,
وَإِنْ طَبَخَهَا ، وَدَعَا إخْوَانَهُ فَأَكَلُوهَا ، فَحَسَنٌ .
“Dan jika ia memasaknya (daging aqiqah tersebut) dan mengundang saudara-saudaranya, kemudian mereka memakan hidangan tersebut, maka itu juga baik.” (Al-Mughni: 22/11).
*Acara I’dzar atau Adzirah untuk Khitanan Anak*
Kata ‘i’dzar’ berarti ‘khitan’. Di dalam sebuah atsar Salaf terdapat contoh pemakaian kata ‘i’dzar’ yang berarti khitan. Musa bin Thalhah bin Ubaidillah rahimahullah berkata,
كان علي بن أبي طالب والزبير بن العوام وطلحة بن عبيد الله وسعد بن أبي وقاص عذار عام واحد يقول أسنانهم متقاربة عذروا في عام واحد
“Adalah Ali bin Abi Thalib, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash adalah ‘idzar’ (khitan) dalam 1 tahun.” Maksudnya adalah umur mereka berdekatan, dikhitan dalam tahun yang sama.” (Atsar riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Damsyiq: 20/296. Lihat pula Tahdzibut Tahdzib: 3/420).
Al-Allamah Abul Hasan Ibnu Sayyidih (wafat tahun 458 H) rahimahullah berkata,
أصل الاِعذار الختان ثم سمي الطعامُ للخِتان إعْذَاراً، ابن السكيت، هي العَذِيرة
“Asal kata ‘al-I’dzar’ adalah khitan. Kemudian jamuan makan untuk khitanan dinamakan dengan ‘al-I’dzar’. Sedangkan menurut Ibnus Sikkit disebut ‘al-Adzirah’.”
(Al-Mukhashshash fil Lughah: 1/360).
Sikap al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata,
وَكُلُّ دَعْوَةٍ كانت على إمْلَاكٍ أو نِفَاسٍ او خِتَانٍ أو حَادِثِ سُرُورٍ دُعِيَ إلَيْهَا رَجُلٌ فَاسْمُ الْوَلِيمَةِ يَقَعُ عليها وَلَا أُرَخِّصُ لِأَحَدٍ في تَرْكِهَا
“Dan setiap undangan jamuan baik itu acara ‘imlak’ (jamuan akad nikah), atau ‘nifas’ (yaitu kelahiran bayi) atau khitan atau kejadian yang menyenangkan, yang mana seseorang diundang untuk menghadirinya, maka nama ‘walimah’ tersemat pada acara tersebut. Dan aku tidak memberikan keringanan kepada seorang pun untuk tidak menghadirinya.” (Al-Umm: 6/181).
*Acara Hidzaq ketika Selesai Mempelajari Ilmu*
Sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla, seseorang diperbolehkan mengadakan acara jamuan makan ketika berhasil menyelesaikan suatu pelajaran, atau lulus ujian atau khatam al-Quran.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقد فاتهم ذكر الحذاق بكسر المهملة وتخفيف الدال المعجمة وآخره قاف الطعام الذي يتخذ عند حذق الصبي ذكره ابن الصباغ في الشامل وقال ابن الرفعة هو الذي يصنع عند الختم أي ختم القرآن كذا قيده ويحتمل ختم قدر مقصود منه ويحتمل أن يطرد ذلك في حذقه لكل صناعة
“Dan mereka (para ulama) lupa menyebutkan ‘hidzaq’, yaitu acara jamuan makan yang dibuat ketika seorang anak telah mahir (terhadap suatu ilmu atau hafal terhadap al-Quran). Ini disebutkan oleh ash-Shabbagh dalam asy-Syamil. Ibnur Rif’ah menyatakan bahwa ‘hidzaq’ adalah jamuan makan yang dibuat ketika selesai menghafal al-Quran. Demikian Ibnu Rif’ah membatasi. Bisa jadi ‘hidzaq’ diadakan ketika selesai menghafal sebagian al-Quran, bisa jadi diadakan ketika ia telah mahir atau lulus dalam setiap cabang ilmu.” (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari: 9/241).
Al-Allamah Abu Nashr al-Jauhari (wafat tahun 393 H) rahimahullah menyatakan,
ويقال لليوم الذي يَختم فيه الصبيُّ القرآن هذا يوم حِذاقِه
“Dan dikatakan untuk hari yang mana seorang bocah telah selesai menghafal al-Quran: “Ini adalah ‘hari hidzaq’-nya.” (Ash-Shihhah fil Lughah: 1/120 dan Lisanul Arab: 10/40).
Al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi (wafat tahun 1252 H) rahimahullah berkata:
وَلِحِفْظِ قُرْآنٍ وَآدَابٍ لَقَدْ قَالُوا الْحُذَّاقُ لِحِذْقِهِ وَبَيَانِهِ
“Acara untuk seseorang yang telah berhasil menghafal al-Quran atau suatu adab disebut oleh para ulama dengan al-Hidzq, karena ia telah mahir dan mumpuni.” (Hasyiyah ar-Raddil Mukhtar alad Durril Mukhtar: 24/154).
Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali rahimahullah menyatakan,
رُوِيَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ رَحِمَهُ اللَّهُ ، أَنَّ بَعْضَ أَوْلَادِهِ حَذَقَ ، فَقَسَمَ عَلَى الصِّبْيَانِ الْجَوْزَ
“Dan diriwayatkan dari Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) rahimahullah, bahwa sebagian anaknya telah selesai (menghafal al-Quran atau menguasai cabang ilmu). Kemudian beliau membagi-bagikan buah kenari (kacang Arab) kepada anak-anak.” (al-Mughni: 16/16, Syarh az-Zarkasyi alal Khurqi: 2/443, al-Mubdi’ Syarhul Muqni’: 7/173).
Bahkan dalam keterangan lainnya, Muhammad bin Ali bin Bahr berkata,
سَمِعْت حُسْنَ أُمَّ وَلَدِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلِ تَقُولُ : لَمَّا حَذَقَ ابْنِي حَسَنٌ ، قَالَ لِي مَوْلَايَ : حُسْنُ ، لَا تَنْثُرِي عَلَيْهِ . فَاشْتَرَى تَمْرًا وَجَوْزًا ، فَأَرْسَلَهُ إلَى الْمُعَلِّمِ ، قَالَتْ : وَعَمِلْت أَنَا عَصِيدَةً ، وَأَطْعَمْت الْفُقَرَاءَ ، فَقَالَ : أَحْسَنْت أَحْسَنْت . وَفَرَّقَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ عَلَى الصِّبْيَان الْجَوْزَ ، لِكُلِّ وَاحِدٍ خَمْسَةٌ خَمْسَةٌ
“Aku pernah mendengar Husnu, seorang ummu walad dari Ahmad bin Hanbal bercerita: “Ketika anakku, Hasan, telah mahir (hafal) al-Quran, majikanku (Ahmad bi Hanbal) berkata kepadaku: “Wahai Husnu! Janganlah kamu menyebarkan buah kenari (sehingga anak-anak berebutan).” Kemudian Ahmad bin Hanbal membeli kurma dan buah kenari dan menyerahkannya kepada sang pengajar.” Husnu berkata: “Dan aku membuat ashidah (makanan Arab untuk jamuan) dan menjamu orang-orang fakir miskin.” Kemudian Ahmad berkomentar: “Kamu telah berbuat baik.” Dan ia membagikan buah kenari kepada anak-anak. Masing-masing anak mendapatkan 5 buah.” (Al-Mughni: 16/16, asy-Syarhul Kabir: 8/120).
Al-Hafizh Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim al-Bahili ash-Shawwaf dari Abu Khabib Abdul Jabbar al-Karabisi bahwa ia menceritakan masa kanak-kanaknya,
كان معنا ابن لأيوب السختياني في الكتاب فحذق الصبي فأتينا منزلهم فوضع له منبر فخطب عليه ونهبوا علينا الجوز، وأيوب قائم على الباب يقول لنا: ادخلوا وهو خاص لنا
“Adalah putra Ayyub as-Sakhtiyani bersama kami belajar di kuttab (semacam TPQ anak). Kemudian jika seorang bocah berhasil menghafal al-Quran, maka kami (teman-temannya) mendatangi rumah mereka dan si bocah dibuatkan mimbar agar ia berkhutbah di atasnya. Dan mereka menyebarkan buah kenari (kacang Arab) sehingga kami berebutan. Ayyub (as-Sakhtiyani) berdiri di pintu berkata kepada kami: “Silakan masuk!” acara jamuan ini khusus untuk kami.” (Atsar riwayat Ibnu Abid Dunya dalam an-Nafaqah alal Iyal: 310 (1/323)).
Atsar-atsar di atas menunjukkan bahwa acara ‘hidzaq’ itu sudah dikenal dan disetujui di masa as-Salaf.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,
المسألة الثانية يستحب صيام يوم الختم إلا أن يصادف يوما نهى الشرع عن صيامه
“Masalah kedua: Dianjurkan berpuasa di hari mengkhatamkan al-Quran kecuali bertepatan dengan hari yang dilarang oleh syariat untuk berpuasa padanya.” (At-Tibyan fi Adab Hamalatil Quran: 158).
Dari al-Awwam bin Hausyab dari Musayyib bin Rafi’ (seorang ulama tabi’in) rahimahullah,
كَانَ يَخْتِمُ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ ثَلاَثٍ ، ثُمَّ يُصْبِحُ الْيَوْمَ الَّذِي يَخْتِمُ فِيهِ صَائِمًا
“Adalah Musayyib bin Rafi’ mengkhatamkan al-Quran dalam tiap 3 hari. Kemudian beliau berpuasa di hari ia mengkhatamkannya.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 8675 (2/502). Isnadnya di-shahih-kan oleh an-Nawawi dalam At-Tibyan fi Adab Hamalatil Quran: 158).
Al-Imam Muhammad bin Nasher al-Marwazi rahimahullah menambahkan dari ulama tabiin lainnya,
وكذلك كان طلحة بن مصرف رحمه الله وحبيب بن أبي ثابت رحمه الله يفعلان
“Demikian pula Thalhah bin Musharrif rahimahullah dan Habib bin Abi Tsabit rahimahullah berpuasa di hari khataman mereka.” (Mukhtashar Qiyamil Lail: 172 (224)).
*Acara Wakirah jika Selesai Membangun Rumah*
Ketika selesai membangun rumah baru atau pindah rumah atau menempati rumah baru, seseorang diperbolehkan mengadakan acara jamuan makan sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Jamuan itu disebut dengan ‘wakirah’.
Al-Allamah Murtadha az-Zabidi al-Hanafi (wafat tahun 1205 H) rahimahullah menyatakan,
والوَكْرَةُ ويُحَرَّك والوَكِيرُ والوَكِيرَةُ : طَعامٌ يُعمَلُ لفَراغِ البُنْيانِ أَي بُنْيان وَكْرِه فيَدعو إليه أَو عندَ شِراءِ وَكْرِه وهذا نقله الزَّمخشريّ .
“Kata ‘wakrah’, ‘wakir’ dan ‘wakirah’ artinya jamuan makan yang dibuat ketika selesai proses pembangunan. Maksudnya selesai membangun tempat tinggalnya atau sehabis membeli tempat tinggalnya, kemudian ia mengundang orang untuk menghadiri jamuannya. Ini yang dinukilkan oleh az-Zamakhsyari.” (Tajul Arus min Jawahiril Qamus: 3617).
Adanya acara ‘wakirah’ dijadikan perumpamaan dalam sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ جِبْرِيلَ عِنْدَ رَأْسِي وَمِيكَائِيلَ عِنْدَ رِجْلَيَّ يَقُولُ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ اضْرِبْ لَهُ مَثَلًا فَقَالَ اسْمَعْ سَمِعَتْ أُذُنُكَ وَاعْقِلْ عَقَلَ قَلْبُكَ إِنَّمَا مَثَلُكَ وَمَثَلُ أُمَّتِكَ كَمَثَلِ مَلِكٍ اتَّخَذَ دَارًا ثُمَّ بَنَى فِيهَا بَيْتًا ثُمَّ جَعَلَ فِيهَا مَائِدَةً ثُمَّ بَعَثَ رَسُولًا يَدْعُو النَّاسَ إِلَى طَعَامِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَجَابَ الرَّسُولَ وَمِنْهُمْ مَنْ تَرَكَهُ فَاللَّهُ هُوَ الْمَلِكُ وَالدَّارُ الْإِسْلَامُ وَالْبَيْتُ الْجَنَّةُ وَأَنْتَ يَا مُحَمَّدُ رَسُولٌ فَمَنْ أَجَابَكَ دَخَلَ الْإِسْلَامَ وَمَنْ دَخَلَ الْإِسْلَامَ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَكَلَ مَا فِيهَا
“Aku melihat dalam mimpiku, seolah-olah Jibril di sisi kepalaku dan Mikail di sisi kakiku. Salah satunya berkata kepada temannya: “Buatlah perumpamaan untuk orang ini (yaitu Nabi shallallahu alaihi wasallam)!” Maka salah satunya berkata: “Dengarkanlah dengan pendengaran telingamu dan pikirkan dengan pikiran hatimu! Perumpamaanmu dan umatmu hanyalah diumpamakan seperti raja yang mengambil suatu daerah, kemudian ia membangun suatu rumah di daerah itu, kemudian ia membuat sebuah hidangan makanan di rumah itu, kemudian ia mengundang manusia untuk menghadiri jamuan makannya. Di antara mereka ada yang datang dan di antara mereka ada yang tidak hadir. Maka Allah adalah raja itu. Daerah itu adalah Islam. Rumah itu adalah surga. Dan Engkau, wahai Muhammad, adalah utusan (yang mengundang manusia, pen). Barangsiapa yang mendatangi undanganmu, maka ia masuk Islam. Barangsiapa yang masuk Islam, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang masuk surga, maka ia akan memakan hidangan di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi: 2787).
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang masuk Islam itu yang akan memenuhi undangan ‘wakirah’ dari Allah Azza wa Jalla.
*Acara Ma’dubah, Jamuan Umum*
Seseorang boleh mengadakan jamuan makan di rumahnya tanpa sebab atau dengan sebab. Ia hanya berniat mensyukuri nikmat dan memberi makan orang-orang yang membutuhkan. Jamuan ini dinamakan ‘ma’dubah’.
Al-Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,
المأْدُبة : الطَّعام الذي يجتمع اِليه الناس أَيَّ طَعام كان يقال
“Ma’dubah’ adalah jamuan makan yang mana manusia berkumpul atasnya apa pun nama jamuannya.” (Gharibul Hadits li Ibni Qutaibah: 2/503).
Sehingga ‘ma’dubah’ merupakan nama umum untuk semua jamuan. Ma’dubah’ bisa berupa acara ‘walimah’, ‘naqi’ah’, ‘wakirah’ dan sebagainya.
Dalam perumpamaan hadits, kata ‘ma’dubah’ diartikan juga dengan ‘wakirah’ yang artinya jamuan setelah membangun rumah.
Dalam redaksi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اضْرِبُوا لَهُ مَثَلًا مَثَلُ سَيِّدٍ بَنَى قَصْرًا ثُمَّ جَعَلَ مَأْدُبَةً فَدَعَا النَّاسَ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ..الخ
(Malaikat berkata): “Buatlah permisalan untuknya (Nabi shallallahu alaihi wa sallam) seperti seorang bangsawan yang membangun istana kemudian membuat jamuan ‘ma’dubah’. Kemudian ia mengundang manusia untuk memakan dan meminumnya..dst.” (HR. At-Tirmidzi: 2788, ia berkata ‘hasan shahih’, ad-Darimi: 12 (1/19)
Dari Maimun bin Mihran rahimahullah. Ia berkata,
سألت نافعا: هل كان ابن عمر يدعو للمأدبة؟ قال: لكنه انكسر له بعير مرة فنحرناه ثم قال: احشر علي المدينة قال نافع: فقلت: يا أبا عبد الرحمن! على أي شيء؟ ليس عندنا خبز فقال: اللهم لك الحمد هذا عراق وهذا مرق أو قال مرق وبضع فمن شاء أكل ومن شاء ودع
“Aku bertanya kepada Nafi’: “Apakah Ibnu Umar pernah mengundang orang untuk acara ‘ma’dubah’?” Ia menjawab: “Pernah untanya mengalami patah tulang. Kemudian kami menyembelihnya.” Kemudian Ibnu Umar berkata: “Undanglah orang-orang Madinah!” Nafi’ berkata: “Aku bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman! Undangan dalam rangka apa? Aku tidak mempunyai roti.” Ibnu Umar berkata: “Ya Allah! Segala puji bagimu. Ini tulang dibalut daging. Ini kuahnya. Atau (ia berkata): Ini kuah dan dagingnya. Barangsiapa mau, maka silakan dimakan. Yang tidak, silakan ditinggalkan.” (Atsar riwayat al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 1243)
*Acara Wadhimah atau Selamatan Kematian*
Wadhimah atau Hadhimah adalah hidangan atau jamuan makan untuk acara Ma’tam. Acara Ma’tam adalah acara berkumpul di rumah duka dalam rangka berbela sungkawa atas mayit.
Al-Allamah Syamsuddin al-Haththab ar-Ru’aini al-Maliki (wafat tahun 954 H) rahimahullah berkata,
اجتماع الناس في الموت يسمى المأتم بهمزة ساكنة ثم مثناة فوقانية
“Berkumpulnya manusia pada acara kematian disebut acara ‘Ma’tam.” (Mawahibul Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil: 3/57).
Al-Allamah Badruddin al-Aini al-Hanafi rahimahullah berkata,
والوضيمة قال ابن سيده طعام المأتم
“Wadhimah menurut Ibnu Sayyidih adalah hidangan untuk acara Ma’tam.” (Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari: 29/354).
Sedangkan Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah menyatakan,
وَطَعَامُ الْمَأْتَمِ يُقَالُ له طَعَامُ الْهَضِيمَةِ
“Dan pesta makanan untuk acara ma’tam disebut makanan ‘hadlimah’.” (Syarh Musykilil Atsar: 8/20).
*Hukum Wadhimah atau Hadhimah*
Hadits di bawah ini menjelaskan secara gamblang bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah disediakan makanan oleh isteri orang yang baru saja meninggal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat menerima dan memakannya. Namun kemudian tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengeluarkan dari mulut beliau, karena beliau tahu bahwa makanan tersebut berasal dari akad jual beli yang haram.
وعن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه. فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظرنا الى رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فيه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها. فأرسلت المرأة تقول يا رسول الله إني أرسلت إلى النقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشتري لي شاة فلم توجد فأرسلت إلى جارٍ لي قد اشترى شاة أن يرسل إليّ بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعمي هذا الطعام الأسرى.
Dari 'Ashim bin Kulaib bin dari ayahnya dari salah seorang Ansar, beliau berkata : Kami pergi dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu pemakaman dan aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di makam itu sedang memberi instruksi kepada penggali kuburan, “Buatlah lebar di sisi kakinya dan juga di sisi kepalanya”. Ketika beliau kembali, beliau ditemui oleh orang yang menyampaikan sebuah undangan dari seorang wanita (istri almarhum). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya. Kami disuguhi makanan, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangannya (yaitu mengambil sepotong di tangannya) dan orang-orangpun mengikuti beliau memakannya. Kami melihat bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengeluarkan suapan yang ada dalam mulutnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata, “Saya menemukan daging domba yang telah diambil tanpa izin pemiliknya." Wanita itu mengirim pesan dengan mengatakan, Ya Rasulullah, aku mengirim (seseorang) ke-Naqi' yaitu tempat jual beli ternak, untuk beli kambing untukku, tapi tak ada, jadi saya mengirim (pesan) untuk tetangga saya yang telah membeli domba , memintanya untuk mengirimkannya untuk saya dengan harganya (yang telah dia bayar), tetapi juga tidak dapat ditemukannya. Oleh karena itu, aku kirim (pesan) kepada istrinya dan ia mengirimkannya untukku. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Berikan makanan ini untuk para tahanan”. (H.R. Baihaqi dan Abu Daud, dan Abu Daud berkata : “Hadits tersebut adalah shahih”)
Al-Allamah Taqiyuddin Ibnun Najjar at-Tanukhi al-Hanbali (wafat tahun 972 H) rahimahullah berkata,
وَسَائِرُ الدَّعَوَاتِ مُبَاحَةٌ غَيْرَ عَقِيقَةٍ فَتُسَنُّ ومَأْتَمٍ فَتُكْرَهُ وَالْإِجَابَةُ إلَيْهَا مُسْتَحَبَّةٌ غَيْرُ مَأْتَمٍ فَتُكْرَهُ
“Membuat undangan jamuan (selain pernikahan) adalah mubah, selain acara aqiqah yang dianjurkan, dan selain acara Ma’tam (selamatan kematian) yang dimakruhkan. Dan memenuhi undangan jamuan yang mubah adalah dianjurkan, kecuali acara ‘Ma’tam (selamatan kematian), maka dimakruhkan.” (Muntahal Iradat: 4/169).
Al-Allamah Kamaluddin Abul Baqa’ ad-Damiri asy-Syafi’i (wafat tahun 808 H) rahimahullah berkata,
ويكره الأكل من طعام المأتم.
“Dan dimakruhkan memakan dari jamuan acara Ma’tam (selamatan kematian).” (An-Najmul Wahhaj fi Syarhil Minhaj: 3/88). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar